BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi alam berpengaruh penting bagi kehidupan manusia. Lokasi hunian manusia biasanya dipilih pada daerah-daerah yang mempunyai kondisi alam yang menguntungkan. Ketersediaan makanan dan air yang cukup menjadi faktor utama pemilihan lokasi hunian guna kelangsungan hidup manusia. Air merupakan
salah
satu
sumber
penghidupan
manusia.
Seiring
dengan
perkembangan pengetahuan manusia, tentunya air lebih diperhatikan baik sebagai salah satu kebutuhan untuk kelangsungan hidup maupun sebagai sarana pendukung kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti, MCK, memasak, hingga kegiatan pertanian dan perikanan. Keberadaan air yang melimpah tentu harus diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan keperluan mereka. Pada awalnya manusia berusaha mengatur air dengan cara yang sederhana, misalnya membuat alur-alur di tanah untuk membelokkan aliran air yang mengalir secara alami (Syafrudin 2001,1). Pengetahuan manusia mengenai sifat-sifat air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dijadikan pegangan dalam membuat saluransaluran sederhana tersebut. Hal ini tentunya berkaitan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan air yang sesuai dengan keperluan.
1
Pengetahuan serta pengalaman tentang air menjadi bukti bahwa manusia tidak lagi tergantung pada tersedianya air secara alami. Mereka sudah memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatur aliran sungai untuk kebutuhan hidup. Peradaban yang semakin maju yang mencakup perkembangan manusia, lingkungan, dan teknologi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan pembuatan saluran air yang lebih rumit. Data tertua tentang sejarah saluran air di Indonesia didapatkan pada masa Kerajaan Tarumanegara dalam Prasasti Tugu. Prasasti ditulis dengan huruf Pallawa, berbahasa Sanskerta dan diperkirakan berasal dari abad IV-V Masehi. Prasasti ini merupakan prasasti yang terpanjang dari semua peninggalan Raja Purnawarman dan berisi hal penting mengenai perintah dari Raja Purnawarman untuk menggali sebuah sungai yaitu Sungai Gomati, yang panjangnya 6122 busur (± 12 km) dalam waktu 21 hari, di samping sungai yang sudah ada yakni Sungai Candrabhāgā (Kali Bekasi) (Soekmono 1973, 36). Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun yang pasti hanya menyebutkan Phālguna dan Caitra, yang bertepatan dengan bulan-bulan Februari sampai April menurut
perhitungan
tarikh
Masehi.
Kondisi
iklim
di
Jawa
umumnya
menunjukkan bahwa pada sekitar bulan tersebut mulai berlangsung musim kemarau, sehingga terdapat kemungkinan pembangunan saluran tersebut berhubungan dengan usaha mengatasi banjir (Sumadio 1993, 41). Usaha pengendalian air untuk mengatasi ancaman bahaya banjir juga dilakukan oleh Raja Airlangga. Di dalam Prasasti Kamalagyan (1037 M) disebutkan bahwa luapan banjir dari Sungai Brantas menyebabkan daerahdaerah hilir dan areal persawahan menjadi rusak. Keadaan ini menyebabkan
2
menurunnya penghasilan pajak pertanian (drawya haji) yang diterima raja. Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian dibuatlah bendungan untuk mengendalikan aliran Sungai Brantas. Usaha Raja Airlangga ini mendapat sambutan yang baik dari para petani (Wurjantoro dalam Subroto 1984/1985, 44). Pada periode Islam peninggalan arkeologis yang berupa bangunan pengendali air dapat dilihat di Situs Plered, Yogyakarta. Data yang berasal dari beberapa sumber Belanda yang ditulis oleh Ricklefs dan de Graaf menyebutkan bahwa Plered dikelilingi oleh saluran-saluran air. Beberapa indikasi menunjukkan tentang pembuatan saluran air dan bendungan. Data tersebut didukung dengan adanya toponim Desa Tambak dan Segoroyoso. Selain itu data artefaktual yang ada berupa tanggul dari tanah di luar sisa-sisa dinding timur tembok keliling Plered. Tanggul ini mengikuti jalur dinding benteng dari sudut timur-laut kemudian di sudut tenggara melengkung ke arah barat. Tampaknya jalur ini juga mengikuti dinding selatan tembok keliling, sebagaimana terlihat dari sisa-sisanya yang fragmentaris sifatnya. Sebagian besar tanggul tersebut sekarang sudah diratakan dengan tanah di sebelah utaranya, dijadikan lahan perumahan dan jalan desa. Di dekat sudut barat daya, tembok keliling tanggul dibuat membelok ke arah Sungai Opak dan berakhir di tepi sungai tersebut, yaitu di Desa Karet. Di tempat ini masih terdapat sisa tanggul dengan ukuran lebar ± 22 m, dan tingginya ± 4 m (Adrisijanti 1997, 85). Pada
masa
kolonial,
bangunan-bangunan
pengendali
air
lebih
diperhatikan dalam kaitannya dengan tata kota. Seperti Kota Jakarta yang dulu bernama Batavia, yang banyak dialiri sungai-sungai, baik sungai alam maupun sungai buatan (kanal) yang semuanya mengalir ke utara dan bermuara di Teluk
3
Jakarta. Dengan bentuk topografi Batavia yang terletak di dataran rendah, maka pemeliharaan
dan
pengendalian
sistem
sungai
sangat
penting
untuk
menghindarkan banjir (Juliastuti 2009, 30). Saluran air berdasarkan terbentuknya dibedakan menjadi dua yaitu saluran
air
alamiah
dan
saluran
air
buatan.
Saluran
air
alamiah
terbentuk melalui proses alamiah yang berlangsung lama. Saluran air terbentuk akibat gerusan air sesuai dengan kontur tanah. Saluran air alamiah ini terbentuk pada kondisi tanah yang cukup kemiringannya, sehingga air mengalir dengan sendirinya menuju permukaan tanah yang lebih rendah sampai ke sungai, danau atau lautan. Saluran air buatan adalah suatu sistem yang dibuat dengan maksud tertentu
dan
merupakan
hasil
rekayasa
berdasarkan
perhitungan
dan
perencanaan. Tujuan dari saluran air buatan ini antara lain dalam upaya penyempurnaan atau melengkapi sistem drainase alam yang ada, pembuangan limbah dan penyaluran air irigasi untuk keperluan pertanian. Saluran air buatan dapat berbentuk saluran air yang hanya merupakan alur galian tanah tanpa perkuat dinding/dasar saluran atau saluran air yang dinding/dasar salurannya diperkuat/diperkeras (Mawardi 2010, 3). Pertanian sebagai hasil dari berkembangnya
budaya bercocok tanam
mempunyai teknik untuk mendapatkan hasil pertanian yang baik. Sistem pengairan merupakan hal yang penting dalam pertanian atau yang lebih dikenal dengan sistem irigasi. Irigasi berasal dari istilah irrigate dalam bahasa Belanda dan irrigation dalam bahasa Inggris. Irigasi dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan air dari sumbernya guna keperluan pertanian, mengalirkan dan membagikan air secara teratur dan setelah digunakan dapat dibuang kembali (Mawardi 2010, 6). Dalam PP No. 77 tahun 4
2001, irigasi yaitu usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Eksistensi pertanian khususnya pertanian sawah sudah ada sejak zaman Klasik di Indonesia. Pada masa itu telah dilakukan usaha-usaha pembangunan prasarana irigasi secara sederhana. Hal ini masih dapat disaksikan di berbagai tempat misalnya irigasi subak di Bali. Terdapat beberapa prasasti yang menggambarkan sejarah sistem irigasi di Bali. Pada prasasti Sukawana (800 Çaka) terdapat kata huma, yang artinya sawah. Prasasti Trunyan (813 Çaka) terdapat kata makah aser, yang artinya sama dengan pekaseh, yaitu pengurus pengairan. Selain itu, dalam prasasti lain juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak sudah dikenal dan dikembangkan pada masa Pemerintahan Raja Marakata Panghodja Sthanuttunggadewa sekitar tahun 1022 M (Teken dalam Pasandaran 1988, 68). Hal ini membuktikan bahwa sistem irigasi ini sudah lama diketahui dan dikembangkan oleh masyarakat setempat. Subak merupakan suatu badan yang bersifat otonom untuk mengatur dirinya secara luas. Otonomisasi tersebut mencakup hak untuk membentuk pengurus, mengatur keuangan, membuat peraturan, dan memberi sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota-anggotanya tanpa campur tangan pihak lain. Selain itu tujuan pokok dari subak adalah menjaga ketertiban dan kesejahteraan para anggotanya (Syafrudin 2001, 32). Fungsi dan kewajiban subak yang sangat penting adalah mengatur pembagian air bagi para anggotanya agar masing-masing anggota dapat memperoleh air yang cukup dan adil. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
5
subak adalah menjaga, memelihara, dan memanfaatkan sumber air dengan sebaik-baiknya, khususnya sumber air yang berada di daerah kerjanya. Pada awalnya para anggota subak bergotong royong untuk membuat bendunganbendungan pada sungai-sungai yang ada. Kemudian dibuat saluran-saluran untuk mengalirkan air ke petak-petak sawah para anggotanya. Bangunan pengendali air tersebut tentu masih sederhana dan hanya dibuat dengan bahan yang tidak permanen. Aspek pemeliharaan yang baik mampu membuat bangunan-bangunan tersebut mampu bertahan lebih lama (Syafrudin 2001, 33) Seiring dengan perkembangan jaman, irigasi di Indonesia berkembang terus hingga memasuki periode jaman penjajahan Belanda. Bangunan air dibangun mulai dari yang sederhana sampai dengan yang cukup besar. Dalam masa ini irigasi tercatat dibangun sekitar tahun 1852. Pembangunan prasarana irigasi di Jawa sekitar tahun 1852 dilatarbelakangi oleh berbagai sebab, di antaranya untuk perluasan tanaman tebu dan untuk usaha penyediaan pangan dalam rangka mengatasi bahaya keresahan akibat kelaparan di daerah Demak sekitar tahun 1849 (Mawardi 2010, 5). Pola kehidupan agraris memang sudah melekat kuat di masyarakat Indonesia. Pertanian sudah menjadi kultur tradisi utama sejak dahulu dan merupakan basis perekonomian masyarakat pedesaan di Pulau Jawa. Di dalam relief candi pun ditemukan bukti adanya pertanian. Salah satu relief pada candi Borobudur terdapat gambaran situasi pada waktu orang mengemasi padi. Bahkan pada relief lain di candi Borobudur terdapat gambaran teknik pengelolaan tanah dengan menggunakan bajak yang ditarik dua ekor lembu. Contoh lain ada pada salah satu relief yang tersimpan dalam museum Trowulan
6
di Jawa Timur yang memuat gambaran mengenai situasi sawah-sawah yang berada di dekat sungai (Subroto 1984/1985, 5). Tanah persawahan merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam perekonomian penduduk pribumi. Masyarakat tradisional Indonesia sesungguhnya telah mengenal teknologi penanaman padi jauh sebelum kedatangan bangsa barat. Kemampuan bertanam padi tidak terlepas dari keadaan geologis dan struktur tanah di Pulau Jawa yang mempunyai banyak gunung berapi sehingga menyuburkan tanah-tanah pertanian di sekitarnya. Kondisi tersebut masih ditambah dengan tersedianya air sungai yang melimpah sepanjang tahun. Indonesia memiliki rata-rata curah hujan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 1600 mm/tahun (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia). Curah hujan yang tinggi dan kondisi udaranya yang cenderung basah/lembab ternyata tidak menjadi jaminan secara otomatis bahwa pertaniannya bagus. Selama masa tumbuh, padi harus mendapatkan pengairan yang bagus karena padi akan rusak bila kurang lebih dari dua minggu tidak mendapatkan air (Gandakoesoemah 1981, 16). Oleh sebab itu, maka diperlukan pengaturan dan pembagian air yang baik yang disesuaikan dengan keadaan musim di Indonesia dengan teknik-teknik tertentu untuk memperoleh hasil pertanian yang baik. Ketersediaan air yang melimpah dan kondisi tanah yang subur di wilayah Pulau Jawa dipandang oleh bangsa barat sebagai tempat yang sesuai untuk mengembangkan usaha-usaha perkebunan berbagai komoditi ekspor penting pada masa itu. Hal itu merupakan salah satu alasan kedatangan bangsa barat
7
pada awal kedatangannya. Komoditi ekspor seperti tembakau, nila, kopi, teh, dan tebu sangat diminati dan laku keras di negara-negara barat (Haryanto 2004, 5). Untuk memaksimalkan potensi daerah jajahannya terutama di Jawa, pemerintah kolonial Belanda pada masa kepemimpinan Gubernur Jendral J. van Den Bosch melakukan konsep Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan sejak tahun 1830. Konsep ini sungguh jitu untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang maksimal dalam kondisi sosial ekonomi Jawa pada masa itu. Para petani dipaksa untuk menanam tanaman ekspor, membangun dan memelihara sarana dan prasarana pendukungnya, dan segala hal yang berkaitan dengan Tanam Paksa, yang meniscayakan peningkatan kerja-wajib secara luar biasa (Suroyo 2000, 8). Kedatangan bangsa Belanda di Indonesia membawa perubahan besar pada gaya bangunan beserta komponen-komponennya di Indonesia. Bangunanbangunan pengendali air berkembang pesat dari yang bersifat tradisional menjadi modern. Hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan pengendali air sendiri maupun dari komponen-komponen pendukungnya. Komponen saluran air bangunan kolonial tidak lepas dari pengaruh gaya arsitektur klasik Eropa terutama arsitektur Yunani dan Romawi. Hal ini dapat dilihat dari adanya akuaduk (jembatan saluran air) yang menjadi salah satu komponen saluran air. Akuaduk diadaptasi dari konstruksi pelengkung pada zaman Romawi. Pelengkung sendiri merupakan perkembangan dari order, yaitu bangunan yang mempunyai konstruksi kolom dan balok (entablature) yang merupakan ciri khas dari arsitektur Yunani. Keindahan order terletak pada bagian
8
dekorasinya yang terbagi menjadi beberapa jenis yang masing-masing mempunyai ciri khas yaitu, Dorik, Ionik, dan Korintien (Sumalyo 2003, 46). Pada masa Romawi, pelengkung menjadi bagian penting karena berfungsi
sebagai
pelengkung
konstruksi
membuat
menggantikan
perkembangan
kolom
arsitektur
dan
berubah
balok. relatif
Adanya cepat.
Pelengkung merupakan sebuah bangunan yang mempunyai ciri khas tersendiri bahkan dapat dikatakan sebagai trademark arsitektur Romawi. Monumenmonumen khas Romawi biasanya didominasi oleh bentuk pelengkung. Dalam wilayah jajahan Roma, pelengkung sangat terutama dalam membangun jembatan dan jembatan saluran air (akuaduk). Salah satu contohnya yaitu Pont du Grand di Nimes, Perancis. Akuaduk yang mempunyai panjang 268.83 m dan membentang setinggi 47.24 m di atas permukaan sungai dan lembah merupakan bagian dari saluran air yang mengalir dari Uzes ke Nimes sepanjang 40 km (Sumalyo 2003, 50). Bangunan akuaduk juga dapat dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satu contohnya yaitu akuaduk di sepanjang Selokan Mataram di Kabupaten Sleman. Terdapat lima bangunan akuaduk yang masing-masing terletak di km ke-2,3 (Desa Banyurejo, Kec. Tempel, Kabupaten Sleman), km ke2,8 (Desa Margokaton, Kec. Sayegan, Kabupaten Sleman), km ke-3 (Desa Banyurejo, Kec Tempel, Kabupaten Sleman), km ke-8 (Desa Margokaton, Kec. Sayegan, Kabupaten Sleman), dan km ke-14 (Desa Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman). Kelima akuaduk tersebut digunakan untuk menghindari persilangan dengan sungai-sungai besar maupun kecil. Akan tetapi, kelima akuaduk tersebut kini sudah tidak digunakan lagi (Syafrudin 2001, 67-69).
9
Dalam kajian arkeologi pemukiman peranan air sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan begitu saja. Situs pemukiman atau situs habitasi merupakan situs tempat manusia tinggal dan melakukan aktivitasnya sehari-hari. Penelitian tentang situs pemukiman menyangkut berbagai aspek yang dapat mengungkapkan aktivitas masyarakat di masa lampau. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi indikasi suatu situs pemukiman antara lain; adanya bekas penggunaan api, sampah, bekas jalan, dan saluran air (Subroto 1984/1985, 1180). Studi perkotaan pun juga tidak lepas dari komponen jaringan air. Obyek pengamatan unit observasi artefak dalam studi perkotaan berupa komponenkomponen yang terdiri dari bangunan dan sarana transportasi. Berdasarkan pemanfaatannya, bangunan dapat digolongkan menjadi beberapa jenis seperti perumahan, perniagaan, pergudangan, pertahanan dan fasilitas umum terdiri dari perkantoran, pasar, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, taman umum, dan sebagainya. Sarana transportasi dapat berupa jaringan jalan, kanal, dan sungai yang merupakan media transportasi dalam kota dan penghubung dengan wilayah-wilayah di sekitarnya (Sukendar 1999, 186). Awal mula berdirinya sebuah kota tidak terlepas dari adanya hubungan kehidupan manusia di sebuah pemukiman di dalam batasan suatu wilayah dan menjadikannya
satu
kesatuan
terintegrasi.
Dalam
membangun
sebuah
pemukiman dibutuhkan suatu kaidah-kaidah tertentu dalam meletakkan unsurunsur pendukung suatu pemukiman (Wahyuni 2008,1). Hal-hal yang bersifat pokok seperti: topografi, tingkat kesuburan tanah, tersedianya air bersih, harus dipertimbangkan dalam membangun sebuah pemukiman.
10
Pemukiman juga dipengaruhi oleh aspek fisik dan nonfisiknya. Aspek fisik dilihat dari komponen-komponen berupa bangunan dan fasilitas pendukungnya. Fasilitas-fasilitas tersebut menyangkut: akses jalan, saluran air, penerangan, pemerintahan, sarana peribadatan, kesehatan, dan rekreasi. Aspek nonfisik menyangkut: aspek sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan sebagainya (Yudyaningtyas 2008, 2). Untuk
mengetahui
gambaran
fisik
sebuah
kota
dan
mengenali
morfologinya, diperlukan studi tentang lay-out kota, yang pada gilirannya merekam organisasi ruang dan topografinya (Adrisijanti 1998,23). Orang-orang Belanda sangat cermat dalam melihat peluang untuk mengembangkan sebuah kota. Arsitektur bangunan dan struktur kota diubah sedemikian rupa hingga hampir sama dengan kota-kota di Eropa. Fasilitas pendukung seperti saluran air pun juga mengalami perkembangan akibat dari perubahan dari kota tradisional menjadi kota Indische. Salah satu kota Indische adalah Magelang. Magelang sebagai kota tinggalan masa kolonial memang diproyeksikan menjadi sebuah pemukiman yang nyaman. Selain itu, Magelang pada waktu itu juga dijadikan sebagai daerah pertanian dan perkebunan untuk kepentingan pemerintah Belanda. Untuk mendukung tujuan tersebut, salah satu usaha pemerintah Belanda adalah membangun saluran air sebagai sarana irigasi. Kotta Leiding atau Kali Kota merupakan sebutan untuk saluran air yang mengalir melewati tengah Kota Magelang. Kotta Leiding berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti saluran air kota (kotta = kota, leiding = saluran air). Saluran yang membentang di tengah kota ini mempunyai panjang sekitar 6 km. Saluran ini mengambil air dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan
11
Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara dan berakhir di Kampung Jagoan, Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan. Keletakan saluran ini dapat dilihat dari jalan utama Semarang – Magelang. Saluran yang mengalir di tengah kota ini juga mempunyai komponen penting peninggalan masa Belanda berupa bangunan pelengkung yang digunakan sebagai jembatan saluran air (akuaduk). Selain sebagai penyangga saluran air, fungsi pelengkung tersebut juga digunakan untuk membuka akses jalan yang berada di bawah saluran. Terdapat tiga pelengkung yang semuanya masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Pembangunan saluran kota ini tentunya tidak lepas dengan sejarah pembangunan saluran Kali Manggis (Manggis Leiding). Oleh sebab itu, keberadaan Kali Manggis tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Menurut
catatan alm. Soekimin Adi Wiratmoko (mantan Kepala Dinas Dikbud Kota Magelang tahun 1980-an) saluran ini dibangun pada tahun 1857. Pembangunan saluran ini tentunya membawa dampak dan tujuan tertentu bagi Kota Magelang. Sebagai salah satu saluran sekunder sistem irigasi Kali Manggis, tentunya saluran ini mempunyai fungsi yang sama dengan saluran induknya sebagaimana mestinya hingga sekarang, yaitu sebagai sarana irigasi persawahan di Kota Magelang. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi tersebut tentunya juga mengalami perkembangan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diajukan adalah : 1. Bagaimana bentuk dan jalur Kotta Leiding? 2. Apa yang melatarbelakangi pembangunan saluran Kotta Leiding?
12
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu : 1. Mendapatkan gambaran mengenai bentuk dan jalur dari saluran Kotta Leiding di Kota Magelang. 2. Untuk mengetahui latar belakang pembangunan saluran Kotta Leiding 3. Untuk mengetahui perkembangan yang terjadi pada saluran Kotta Leiding.
D. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada jalur saluran Kotta Leiding yang mengalir melewati tengah Kota Magelang sehingga peta Kota Magelang menjadi panduan dalam melakukan penelitian ini. Dengan demikian, jalur saluran dijadikan sebagai pembatas ruang lingkup dikarenakan saluran ini berada dan mengalir di Kota Magelang. Selain itu, juga dilihat aspek keruangan yang mengaitkan keberadaan saluran air tersebut dengan kondisi lingkungan sekitar, tata kota Magelang, dan areal persawahan, sehingga nantinya dapat dilihat bagaimana jalur saluran tersebut melintas di tengah Kota Magelang.
E. Keaslian Penelitian Cukup banyak studi yang mengkaji tentang sistem irigasi, tetapi studi tentang sistem irigasi pada masa kolonial masih belum terlalu banyak. Beberapa di antaranya pernah ditulis oleh Mochammad Syafrudin dalam skripsinya yang berjudul “Selokan Mataram Kajian Terhadap Sistem Irigasi dan Dampak SosialLingkungannya”. Dalam skripsinya, Mochammad Syafrudin menyatakan bahwa latar belakang pembangunan Selokan Mataram merupakan sikap moral dan
13
politis Sultan Hamengku Buwana IX untuk menyelamatkan rakyat bumiputra dari program kerja paksa Jepang. Penelitian tentang Kota Magelang sendiri juga sudah banyak dilakukan. Dalam thesisnya yang berjudul “Elemen-Elemen Dominan Dalam Perkembangan Kota Magelang”, Wahyu Utami mencoba menjelaskan bahwa elemen dominan Kota Magelang dilihat dalam kacamata empat konsep yaitu lokasi bersejarah, kebertahanan elemen, bentuk bangunan dan fungsi atau peranan. Selain itu, Irna Saptaningrum dalam thesisnya yang berjudul “Pengelolaan Kawasan Arkeologi di Kota Magelang” mencoba memberikan penjelasan mengenai pengelolaan tinggalan masa kolonial di kota Magelang dalam konteks Cultural Resources Management (CRM). Untuk saluran irigasi Kotta Leiding di Kota Magelang belum ada yang mengkaji sama sekali.
F. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang data-data yang ditemukan melalui fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Sedangkan penalaran yang digunakan adalah penalaran induktif,
yaitu
penalaran
yang
digunakan
untuk
memperoleh
data-data
pendukung untuk memperoleh pemecahan masalah kemudian disimpulkan menjadi generalisasi empiris (Tanudirjo 1988-1989,34). Berdasarkan metode yang telah dijelaskan diatas, tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan yaitu:
14
1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapangan, studi pustaka, dan wawancara. Observasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian yaitu di sepanjang saluran Kotta Leiding di Magelang dari hulu sampai hilir. Pengamatan dilakukan pada bentuk fisik dan jalur saluran serta kontur tanah di sepanjang jalur Kotta Leiding. Selain itu, pengamatan juga dilakukan dengan cara pengambilan foto sebagai dokumentasi. Studi pustaka digunakan untuk melihat data-data yang berasal dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Studi pustaka bersumber dari buku, arsip, artikel, atau laporan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dengan kondisi saluran Kotta Leiding dan kondisi lingkungan sekitar di sepanjang jalur aliran. Wawancara dilakukan dengan metode wawancara
terbuka
yaitu
dengan
memberikan
pertanyaan
yang
memungkinkan untuk mendapatkan jawaban dari informan secara luas. Wawancara dilakukan kepada pihak yang mengetahui berbagai hal tentang saluran Kotta Leiding antara lain Dinas Pekerjaan Umum Bidang Pengairan Kota Magelang, PSDA Progo-Bogowonto Luk Ulo Provinsi Jateng, Disbudpora kota Magelang, tokoh masyarakat, dan komunitas pecinta heritage di Kota Magelang (Komunitas Kota Toea Magelang).
15
2. Deskripsi data
Tahap deskripsi data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
memberikan gambaran data yang memuat informasi-informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan data. Selain deskripsi melalui tulisan, data-data yang diperoleh diinformasikan dengan gambar (foto,peta) untuk bisa menjelaskan: sejarah, topografi daerah, serta lokasi (keletakan) objek penelitian. 3. Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif yang mencoba menjabarkan dan menjelaskan persoalan atau masalah yang menjadi sasaran penelitian berdasarkan data yang tidak dapat diukur dengan angka-angka (Tanudirdjo 1988, 33). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan meliputi analisis keruangan (spasial), analisis arsitektural, dan analisis historis. Analisis spasial (spatial analysis) yang digunakan adalah analisis makro. Dalam analisis ini digunakan peta Kota Magelang, baik peta lama (tahun 1915 dan 1945) maupun peta sekarang yang terdapat dalam peta Rupa Bumi Indonesia tahun 2001, untuk mengetahui jalur Kotta Leiding dari hulu hingga hilir dan letak areal persawahan. Dengan mengamati perkembangan yang terjadi, maka akan didapatkan sebuah pola hubungan dalam kawasan jalur Kotta Leiding yang dapat mengungkapkan latar belakang pembangunan Kotta Leiding. Analisis arsitektural dititikberatkan pada saluran itu sendiri dan bangunan pelengkung yang menjadi salah satu komponen penting dari saluran ini. Analisis ini meliputi analisis bentuk dan fungsi bangunan. Selain itu, juga dilihat bahanbahan (material) yang digunakan untuk mengetahui teknik pembangunan dan kondisi fisik saluran dan pelengkung.
16
Selain itu, juga dilakukan analisis historis yang mengkaji tentang sejarah perkembangan Kota Magelang dan kondisi politik, ekonomi, dan sosial pada masa itu untuk mengetahui latar belakang keberadaan saluran Kotta Leiding. Hal lain yang tidak dapat ditinggalkan adalah sejarah saluran Kali Manggis (Manggis Leiding) yang merupakan saluran induk Kotta Leiding, sehingga keberadaannya perlu dikaji untuk menambah pengetahuan tentang riwayat saluran Kotta Leiding. 4. Kesimpulan Dari hasil analisis data, maka akan didapatkan suatu kesimpulan yang diharapkan bisa menjelaskan tentang saluran Kotta Leiding di Kota Magelang terutama tentang bentuk, jalur, dan latar belakang pembangunannya.
17
G. Bagan Alir Penelitian
Pengumpulan Data
Data Primer
Observasi wawancara
Kondisi Fisik Saluran dan Pelengkung Kotta Leiding
Analisis Arsitektural
Data Sekunder
Peta Kota Magelang
Studi Pustaka
Jalur Saluran Kotta Leiding dan Letak Persawahan
Analisis Spasial
Bentuk dan Jalur Saluran Kotta Leiding
Sejarah Kota Magelang
Analisis Historis
Sejarah dan Kondisi Politik ‐ Sosial Kota Magelang
Saluran Irigasi Kotta Leiding Kota Magelang (Tinjauan Bentuk, Jalur, dan Latar Belakang)
18
Kondisi Politik dan Sosial