BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Al Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap ribuan tahun yang lalu yang didalamnya mengandung hukum-hukum yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan duniawi dan ukhrawi. Namun, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia telah diatur secara detail oleh Al Qur’an maupun Al Hadist. Hal itu disebabkan karena hukum dalam Al Qur’an diturunkan secara global. Selain itu, ada perbedaan keadaan pada masa turunnya Al Qur’an dengan kehidupan modern, karena kebudayaan Islam terus berkembang dari waktu ke waktu dengan segala probematika dan masalahnya sesuai dengan perkembangan pikiran manusia. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah suatu fenomena yang akan terus terjadi yang tidak bisa dihindari oleh kaum muslimin.1 Dalam menyelesikan pertautan Hukum Islam dengan nilai pra Islam dan Hukum Islam dengan perubahan sosial di dalam mayarakat sudah lama dilancarkan apa yang dinamakan gerakan pembaharuan (bisa disebut dengan gerakan tajdid) baik untuk memurnikan hukum dan ajaran Islam maupun mengembangkan hukum dan ajaran Islam agar sesuai dengan kemajuan zaman.2
1
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fiqih Islam, (Bumi Aksara: Jakarta 2006) 2 Anshori, Abdul Ghofur, dan Harahab, Yulkarnain, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008.
1
2
Terkait dengan itu semua, maka diperlukanlah seorang atau sekelompok ahli agama yang berhak mengeluarkan sebuah fatwa dalam menghadapi sebuah permasalahan furu’iyah agama yang baru dan belum terdapat nashnya baik itu dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Majelis Ulama Indonesia berperan penting, karena kompleksititas masalah yang berkembang fatwapun dianggap perlu untuk dilembagakan, dan ijtihadnya dilakukanlah secara kolektif dengan mengundang ahli di bidang masalah yang dibahas. Lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia juga dipandang berperan sebagai lembaga kajian/penelitian yang berkaitan dengan hukum. Karena sangat pentingnya keberadaan fatwa dalam Islam, sampai-sampai beberapa ulama berpendapat, bahwa diharamkan tinggal disebuah tempat yang tidak terdapat seorang mufti yang bisa dijadikan tempat bertanya tentang persoalan agama. 3 Berdasarkan hal tersebut di atas, Beberapa tahun belakangan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang berkompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah sosial keagamaan di Indonesia, rajin mengeluarkan fatwa haram yang mendapat sorotan publik yang banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, yaitu tentang: pengharaman bunga bank, pengharaman mengemis dan lain sebagainya. Semua langkah-langkah yang dilakukan MUI adalah sebagai bagian dari upaya para ulama dan cendikiawan muslim dalam menjawab permasalahan permasalahan hukum yang berkembang dimasyarakat.
3
Dr. Sulton Ibrohim Bin Sulton Hasyim, Daaru al-Buhuts Dirasah al-Islamiyah wa Ihyai al-Turats: Lebanon, 2002
3
Fatwa pengharaman mengemis yang dikeluarkan oleh MUI Kabupaten Sumenep tidak datang dari ranah kosong. Setiap fatwa tentu dihasilkan dari ijtihad yang mendalam dan panjang. Untuk fatwa mengemis haram ini tentu saja juga telah didiskusikan dengan sangat mendasar dan berdasarkan pengamatan yang panjang tentang fenomena mengemis di kalangan masyarakat. Adakah mengemis telah disalahgunakan untuk kepentingan yang yang salah. Adakah mengemis telah menjadi profesi dan bukan karena kehidupannya miskin atau melarat. Dan tentu masih ada sederet pertanyaan tentang mengemis sebagai fenomena social. Masyarakat di Pragaan Daya, sebuah desa di Kabupaten Sumenep, yang jaraknya kira-kira 30 Km kearah utara dari Sumenep adalah desa di dataran tinggi yang tanahnya tandus dan hanya dapat didayagunakan untuk kepentingan perladangan. Di desa ini sebagian warganya adalah para pengemis yang memiliki pengalaman mengemis
cukup panjang. Menurut cerita, mengemis sudah
dilakukan semenjak zaman Belanda dan Jepang.4 Menurut penelitian Noer Abiyono, dkk., bahwa masyarakat di desa ini menjadi pengemis karena faktor: kemiskinan, pendidikan yang rendah dan rendahnya pemahaman agama.5 Bagi masyarakat ini bahwa mengemis memiliki landasan teologis, berangkat dari ayat al-Qur’an:
ö•pk÷]s? Ÿxsù Ÿ@ͬ!$¡¡9$# $¨Br&ur “Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya,” (QS. Ad-Dhuhaa/93:10).
4
Hasil observasi tgl 25 Oktober 2009. Noer Abiyono, dkk., ”Tradisi Mengemis Dalam Masyarakat Pragaan Daya”(dalam Jurnal Istiqro’, Ditpertais, Vol 01, Nomor 01, 2002). 5
4
Pola mengemis ternyata juga bervariasi, bahkan mengemis telah menjadi usaha produktif. Menurut penelitian Noer Abiyono, dkk.,6 bahwa ada tiga pola mengemis: 1. Mengemis dengan cara betul-betul mengemis. Model ini hanya bermodal keberanian dan tanpa rasa malu. Biasanya dilakukan door to door atau menetap. 2. Mengemis dengan cara barter. Model ini dilakukan dengan cara membawa barang dan kemudian dibarter dengan barang yang lain yang harganya jauh lebih tinggi. 3. Mengemis kolektif. Yaitu mengemis yang dilakukan dengan menggunakan proposal untuk pembangunan masjid, madrasah dan sebagainya. Siapapun boleh menjajakan proposalnya asal menyetor uang sebesar Rp. 30.000,kepada ketua yayasan. Mereka yang menjajakan proposal sebanyak 5-7 orang.
Respon masyarakat memang bervariasi. Sekurang-kurangnya ada dua pendapat. Ada sebagian masyarakat yang memandang bahwa mengemis adalah sebuah usaha atau pekerjaan, sehingga mengemis bukanlah merupakan suatu yang hina. Sebagian lainnya berpendapat bahwa mengemis adalah sesuatu yang menyalahi norma agama dan sosial. Mengemis merupakan perbuatan yang
6
Ibid.
5
melanggar norma agama dan sosial karena mengemis digunakan sebagai pekerjaan yang menguntungkan bahkan juga pembohongan publik. 7 Penelitian yang dilakukan oleh M. Ali Al Humaidy,8 banyak memaparkan tentang perubahan paradigma masyarakat di Pragaan Daya Madura dalam hal tradisi mengemis di komunitasnya. Studi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa mengemis bukan lagi merupakan solusi tentatif bagi problem ekonomi mereka, melainkan telah menjadi pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, kajian ini berupaya menjawab tiga persoalan utama, yakni persepsi masyarakat terhadap tradisi mengemis, proses internalisasi dan sosialisasi terhadap generasi mereka, serta strategi mengemis.
Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang Pragaan Daya menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan melalui anggota keluarga dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan strategi mengemis, ada dua cara, yakni, cara konvensional dan profesional. Yang disebutkan pertama adalah dengan mendatangi door to door, menggunakan anak kecil dan jalanan. Sedangkan yang kedua adalah dengan mengirimkan surat dan proposal ke orangorang penting dan sukses di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagai catatan akhir, studi ini menyimpulkan bahwa tradisi mengemis di Pragaan Daya dipertahankan oleh beberapa pihak, yakni keluarga, masyarakat dan pemerintah
7
Ibid. M. Ali Al Humaidy, “Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa Pragaan Daya Sumenep Madura”, (paper). 8
6
daerah. Dalam pandangan mereka, mengemis telah menjadi mata pencaharian yang menutupi kebutuhan hidup mereka.
Berdasarkan penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa mengemis bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang dilakukan oleh orang yang memang sangat miskin kaum fuqara’ dan masakin akan tetapi telah menjadi semacam profesi yang menguntungkan. Jika demikian, maka mengemis sudah menjadi bagian dari sesuatu yang menguntungkan. Apalagi dalam banyak hal mereka
melakukan
pembohongan,
misalnya
membuat
yayasan
fiktif,
pembangunan fiktif, pendanaan fiktif dan sebagainya. Mengemis bukan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari untuk kehidupan tetapi untuk memperkaya diri dengan cara yang salah. Jika demikian halnya, maka pantaslah jika MUI kemudian menyatakan hukumnya haram bagi para pengemis. dalam buku Dr. M. Hamdar Arraiyyah, MA, 9 banyak menjelaskan tentang sebab-sebab kemiskinan secara substantif yang menjadi salah satu faktor orang meminta-minta, dengan memfokuskan pada sudut pandang Al-Qur’an.
Belum adanya penelitian yang bersifat Tinjauan Hukum Islam terhadap Fatwa MUI tentang Mengemis/meminta-minta ini, sehingga sangat terbuka untuk di telusuri serta mendorong penyusun untuk menelitinya.
9
Hamdar Arraiyyah, MENEROPONG FENOMENA KEMISKINAN Telaah Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajara, 2007.
7
B. Rumusan Masalah.
Dengan melihat paparan latar belakang yang dideskripsikan diatas dapatlah dirumuskan pokok permasalahan dalam permasalahan ini yaitu : 1. Apa yang menjadi alasan dan dasar penetapan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten
Sumenep
dalam
mengeluarkan
Fatwa
tentang
Mengemis/meminta-minta sehingga berkesimpulan haram? 2. Apakah dasar-dasar penetapan fatwa MUI Kabupaten Sumenep No. 22/DPK-MUI/IX/2009 tentang Mengemis/meminta-minta tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip penemuan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengkaji dan mengetahui alasan penetapan serta landasan hukum yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sumenep Madura sehingga berkesimpulan bahwa mengemis/meminta-minta haram. 2. Untuk mengkaji dan mengetahui dasar-dasar penetapan yang digunakan oleh MUI kabupaten Sumenep dalam fatwa No. 22/DPK-MUI/IX/2009 tentang Mengemis/meminta-minta tersebut sudah sejalan dengan prinsipprinsip penemuan hukum Islam.
D. Tinjauan Pustaka.
Dalam perkembangan zaman dan peradaban
manusia,
Fatwa
diperlukan untuk penjelasan hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-
8
undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya. 10 Juga bisa di artikan sebagai pendapat yang dihasilkan oleh suatu penelitian ilmiah terhadap permasalahan syariat tentang sesuatu hukum setelah melalui proses ijtihad. Dr. Ibrahim Anis dkk. dalam Kamus Al-Mujam Al-Wasith memberikan arti tentang fatwa sebagai "Jawaban terhadap sesuatu yang musykil dalam masalah syariat dan perundang-undangan (Islam), memiliki persamaan dengan pengertian fatwa yang dikemukakan dalam Al-Munjid. Al-Munjid menyebutkan arti fatwa itu sebagai penjelasan tentang sesuatu masalah hukum".11 Menurut Oscar Lewis, kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran-ukuran kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya sehingga terciptalah “budaya kemiskinan” (Suparlan, 1993:29-48). Kebudayaan kemiskinan sebagai bagian dari kebudayaan dari masyarakat yang ditandai dengan rendahnya integrasi mereka dalam kehidupan masyarakat luas. Munculnya keadaan ini adalah sebagai reaksi terhadap kurangnya sumbersumber ekonomi, ketakutan dan kepercayaan pada orang lain, upah yang rendah, dan pengangguran.
10
Moh. Musthafa Shibly, Ahkamu al-Usroti Fi al-Islam, cet. Ke-2, (Beirut: Dar El-Nahdhatu al‘Arabiyah, 1977) 11 Louis Ma’ruf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, cet. Ke-29, (Beirut: Dar El-Mashreq Sarl Publishers, 1987), hlm. 568.)
9
Kondisi ini akan mengurangi kemungkinan individu/kelompok untuk berpartisipasi secara efektif dalam situasi ekonomi yang lebih besar. Akibatnya adalah masyarakat yang terpinggirkan, merasa tidak punya peran sosial dan kehilangan kepekaan solidaritas sosial, yang mengakibatkan sikap eksklusif individualis. Menurut Thelma Mendoza (1981:4-5), ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat berfungsi sosial yaitu: a. Personal in adequacies of some times pathologies which may make it difficult for man to cope with the demands of his environment. b. Situational in adequacies and other conditions which are beyond man’s coping capacities, and c. Both personal and situational in adequacies. Menurut Mendoza, ketidakmampuan individu dimungkinkan karena faktor-faktor psikologis seperti keadaan psikis yang miskin, sikap dan nilai-nilai yang salah, persepsi yang miskin dan tidak realistis, kebodohan dan kurang keahlian. Sedangkan situasi ketidakmampuan misalnya kurangnya sumber daya dan kesempatan di dalam masyarakat, seperti keterbatasan lapangan kerja. Paling tidak, keberadaan budaya kemiskinan sangat ditentukan oleh konteks di mana masyarakat miskin menjadi bagian dalam sistem sosial. Sementara itu Artijo Alkostar (1984: 120-121) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja,
10
mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. Jacob Rebong, Anthony Elena dan Masmiar Mangiang, 12 memperlihatkan perhatiannya pada sepak terjang ekonomi para gelandangan, yang ternyata tidak seburuk sebagaimana dilihat oleh para pejabat pemerintah sebagai sampah yang mengotori keindahan kota, dan menjadi pusat tindak kejahatan. Oleh para peneliti digambarkan bahwa di balik semua pandangan negatif, kaum gelandangan mempunyai mekanisme ekonomi sendiri yang cukup jelas dengan lapak sebagai pusatnya, yang dalam beberapa hal menguntungkan pabrik-pabrik tertentu. Mereka mencatat: “Lapak telah mempertemukan kepentingan modal besar yang datang dari dunia industri dengan kepentingan kaum gelandangan yang menjalani hidup bebas bagaikan tanpa tujuan”. Berbicara tentang halal atau haramnya sesuatu, atau boleh tidaknya sesuatu, maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah bagaimana prinsipprinsip Islam memandang tentang halal dan haramnya sesuatu itu. Prinsip Islam tentang halal-haram itu bukan didasarkan pada pikiran manusia, tetapi didasarkan pada firman-firman Allah dan atau sabda-sabda Rasulullah saw. Para ulama ushulfiqh mengatakan: 13
12
.ُاَﻟﺤَﻼَلُ ﻣَﺎ أﺣَﻠﱠﮫُ اﷲ ُوَرَﺳُﻮﻟَﮫُ وَاﻟﺤَﺮَامُ ﻣَﺎ ﺣَﺮﱠﻣَﮫُ اﷲ وَرَﺳُﻮﻟَﮫ
Jacob Rebong, Anthony Elena dan Masmiar Mangiang, Ekonomi Gelandangan: Armana Murah untuk Pabrik, 1984. 13 Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. ke-1, Jakarta: CV Artha Rivera, 2008. Hlm. 63.
11
“Yang halal itu adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan yang haram itu adalah apa-apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.”
Kaidah ushul-fiqih lain menyebutkan, 14
.ِاﻟﺘﱠﺤْﺮِﯾﻢ
ََاﻷَﺻْﻞُ ﻓﻲِ اْﻷَﺷْﯿَﺎءِ اﻹِﺑَﺎﺣَﺔ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾَﺪُلﱡ اﻟﺪﱠ ﻟِﯿﻞَ ﻋَﻠﻰ
“Pada prinsipnya segala sesuatu itu adalah boleh (mubah), kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” Haram ialah tuntutan yang tegas dari syar’i untuk tidak dikerjakan, dengan perintah secara pasti. Artinya bentuk permintaan larangan itu sendiri menunjukkan bahwa larangan itu adalah pasti, seperti firman Allah :
¾ÏmÎ/ «!$# ÎŽö•tóÏ9 ¨@Ïdé& !$tBur Í•ƒÌ“Yσø:$# ãNøtm:ur ãP¤$!$#ur èptGøŠyJø9$# ãNä3ø‹n=tæ ôMtB•Ìh ãm
$tB žwÎ) ßìç7¡¡9$# Ÿ@x.r& !$tBur èpys‹ÏܨZ9$#ur èptƒŠÏj uŽtIßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èps)ÏZy‚÷ZßJø9$#ur
3 î,ó¡Ïù öNä3Ï9ºsŒ 4 ÉO»s9ø—F{$$Î/ (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? br&ur É=ÝÁ‘Z9$# ’n?tã yxÎ/èŒ $tBur ÷LäêøŠ©.sŒ tPöqu‹ø9$# 4 Èböqt±÷z$#ur öNèdöqt±øƒrB Ÿxsù öNä3ÏZƒÏŠ `ÏB (#rã•xÿx. tûïÏ%©!$# }§Í³tƒ tPöqu‹ø9$#
4 $YYƒÏŠ zN»n=ó™M}$# ãNä3s9 àMŠÅÊu‘ur ÓÉLyJ÷èÏR öNä3ø‹n=tæ àMôJoÿøCr&ur öNä3oYƒÏŠ öNä3s9 àMù=yJø.r& ÒO‹Ïm§‘ Ö‘qàÿxî ©!$# ¨bÎ*sù 5OøO} \b 7#ÏR$yftGãB uŽö•xî >p|ÁuKøƒxC ’Îû §•äÜôÊ$# Ç`yJsù
Artinya : “ Diharamkan untuk kamu semua bangkai,darah dan daging babi serta yang disembelih atas nama selain Allah. Dan juga juga diharamkan untukmu hewan yang mati tercekik, karena dipukul atau mati karena jatuh. Dan juga yang karena mati ditanduk lawannya.
14
Ibid., hlm. 43.
12
Juga ternak yang dimangsa binatang buas, kecuali yang kamu sembelih. Juga diharamkan ternak yang disembelih untuk berhala. Diharamkan pula kamu mengundi nasib dengan anak panah. Tindakan yang demikan itu adalah fasik. Hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengganggu agamamu. Karena itu janganlah takut kepada mereka tapi takutlah kepada Aku. Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu. Dan juga Aku sempurnakan kenikmatan-Ku kepadamu. Dan Aku pun telah rela bahwa Islam menjadi agama bagimu. Barang siapa yang terpaksa karena lapar dan tidak bermaksud melakukan dosa, maka Allah sungguh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Maaidah : 3).
ÇÊÎÊÈ ……….( öNà6øŠn=tæ öNà6š/u‘ tP§•ym $tB ã@ø?r& (#öqs9$yès? ö@è% Artinya : Katakanlah : “marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,……….”.(Q.S. Al-An’am : 151). Dan firman-Nya :
ÇÊÒÈ …… ( $\dö•x. uä!$|¡iYÏ 9$# (#qèOÌ•s? br& öNä3s9 ‘@Ïts† Ÿw (#qãYtB#uä z`ƒÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak dibolehkan kamu mewarisi wanita-wanita secara paksa,…….” (Q.S. An Nisaa’ : 19). Atau larangan mengerjakan sesuatu yang dibarengi dengan dalil yang menunjukkan bahwa larangan itu adalah pasti,15 seperti :
ÇÌËÈ Wx‹Î6y™ uä!$y™ur Zpt±Ås»sù tb%x. ¼çm¯RÎ) ( #’oT“Ìh 9$# (#qç/t•ø)s? Ÿwur Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’ : 32). Atau perintah menjauhi yang dibarengi dengan dalil yang menunjukkan bahwa larangan itu adalah pasti,16 seperti : 15
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta : Rajawali 1989. Hal. 175. 16 Ibid.
13
Ó§ô_Í‘ 17 ã N»s9ø—F{$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur çŽÅ£øŠyJø9$#ur ã•ôJsƒø:$# $yJ¯RÎ) (#þqãYtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÒÉÈ tbqßsÎ=øÿè? öNä3ª=yès9 çnqç7Ï^tGô_$$sù Ç`»sÜø‹¤±9$# È@yJtã ô`BÏi Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Al-Maidah : 90). Atau terjadinya tertib hukuman, suatu perbuatan, seperti :
ó d O è r‰ ß =Î _ ô $$ ùs äu #! ‰ y kp à pÏ èy /t ‘ö 'r /Î #( q?è 'ù ƒt O ó 9s N § Oè M Ï »Yo Á | s ó J ß 9ø #$ b t qBã •ö ƒt û t ï% Ï !© #$ ru ÇÍÈ tbqà)Å¡»xÿø9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré&ur 4 #Y‰t/r& ¸oy‰»pky- öNçlm; (#qè=t7ø)s? Ÿwur Zot$ù#y_ tûüÏZ»uKrO Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik18 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. An Nur : 4). Keharaman itu diambil dari bentuk berita yang menunjukkan kepad haram, atau dari bentuk permintaan yang berupa perintah menjauhi, maka qorinah itu menentukan bahwa permintaan adalah untuk mengharamkan. 19
17
Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi. 18 Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah 19 Ibid, Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah…, hal. 176.
14
E. Metode Penelitian.
Setiap penelitian, termasuk didalamnya penyusunan sebuah skripsi selalu menggunakan metode. 1. Obyek Penelitian. yang dijadikan obyek penelitian dalam penelitian ini yaitu Fatwa MUI Sumenep Madura Nomor 22/DPK-MUI/XI/2009 tentang Mengemis/ Memintaminta yang dikeluarkan oleh komisi fatwa MUI Sumenep Madura Jawa Timur pada 22 Ramadhan 1430 H/12 September 2009. 2. Jenis Penelitian. Jenis penelitian ini adalah literer atau penelitian pustaka (library research) yaitu dengan cara mengkaji surat keputusan MUI Kabupaten Sumenep yang dikeluarkan oleh komisi fatwa MUI Kabupaten Sumenep pada 22 Ramadhan 1430 H/12 September 2009 tentang Mengemis/Meminta-minta dan literatur lain seperti Penelitian M. Ali Al Humaidy “Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa Pragaan Daya Sumenep Madura” juga penelitian Noer Abiyono dkk., “Tradisi Mengemis Dalam Masyarakata Pragaan daya” serta beberapa buku yang berkenaan dan literatur lain yang penulis dapatkan secara online. 3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum. Mengingat jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian pustaka, maka dalam mengumpulkan bahan hukum penyusun melakukan kajian terhadap literatur primer didukung literatur sekunder selanjutnya data diolah dan dianalisa.
15
4. Metode Pendekatan. Dalam skripsi ini digunakan suatu pendekatan masalah untuk memperoleh suatu kejelasan dan kemudahan dalam mengkaji permasalahan, yaitu pendekatan filosofis. Pendekatan ini digunakan untuk mendekati permasalahan dalam penyusunan skripsi dengan melihat dan mendasarkan pada dasar-dasar filosofi dikeluarkannya fatwa tentang mengemis/meminta. 5. Analisis Bahan Hukum. Seluruh bahan hukum dianalisis secara deskriptif kualitatif. Yaitu bahan hukum disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis). Dalam analisa ini sifatnya memberikan keterangan atas permasalahan yang dihadapi, serta dalam pembahasan mengarah kepada hal-hal yang bersifat teoritis, yaitu berupa uraian-uraian yang didasarkan pada literatur-literatur perpustakaan.