BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mahasiswa di perguruan tinggi membutuhkan kemampuan secara mandiri untuk mengarahkan dirinya dalam belajar, dimana mereka mentransformasi kemampuan mental ke dalam performa akademik atau keterampilan yang terkait dengan tugas-tugasnya. Zimmerman (2008) menyebutnya sebagai belajar berdasar regulasi diri. Hal ini didukung oleh pemikiran bahwa pada level perguruan tinggi mahasiswa dituntut untuk dapat mengatur, mengontrol waktu belajar, dan menentukan pendekatan apa yang mereka gunakan dalam pembelajaran dan kegiatan lainnya yang tentu saja menuntut kemandirian dibandingkan level pendidikan lainnya (Turingan & Yang, 2009). Miller dan Brickman (2004) menyatakan bahwa mahasiswa harus dimotivasi agar memiliki komitmen terhadap tujuan pendidikan yang bermakna, berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman pendidikan mereka, memonitor kemajuan menuju tujuan mereka, membuat penyesuaian dalam upayanya ketika diperlukan, dan menetapkan tujuan yang baru dan lebih menuntut karena ketercapaian tujuan sebelumnya. Belajar berdasar regulasi diri tidak hanya mempengaruhi kinerja, tetapi semua aspek mendasar lainnya di universitas seperti keteguhan dan ketekunan. Secara umum, kompetensi tersebut memungkinkan mahasiswa untuk mandiri sambil belajar bermakna dan konstruktif sepanjang kehidupan mereka (Núñez, Cerezo, Bernardo, Rosário, Valle, Fernández,& Suárez, 2011). Zimmerman (2002) menyatakan bahwa belajar berdasar regulasi diri adalah penting karena fungsi utama pendidikan adalah berkembangnya keteram1
2
pilan belajar seumur hidup. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Ifenthaler (2012), bahwa regulasi diri dalam belajar dianggap sebagai salah satu keterampilan yang sangat penting dan dibutuhkan untuk proses belajar sepanjang masa, dan tujuan utama pendidikan tinggi adalah menghasilkan pemelajar seumur hidup (lifelong learner), karena hanya pemelajar seperti ini yang akan mampu bersaing dengan perkembangan pengetahuan yang pesat dan keterampilan dalam karir mereka. Karena peranannya yang penting, maka belajar berdasar regulasi diri telah menjadi salah satu prioritas penelitian psikologi pendidikan (Villach & Llanos, 2007). Berkembangnya kemampuan mahasiswa dalam mengarahkan dirinya atau kemampuan untuk meregulasi diri dalam belajar dapat menentukan daya saing mereka di era globalisasi di masa depan dan menjadi prediktor kesuksesan individu dalam mencapai tujuan. Hal ini dikarenakan mahasiswa dengan potensi ini dikarakteristikkan sebagai pemelajar strategik, mampu mengontrol dan bertanggung jawab terhadap pembelajarannya (Arabzadeh, Kadivar, & Dlavar, 2012), memiliki motivasi yang superior, metode belajar yang adaptif, sukses secara akademik, dan memandang masa depannya secara optimis (Zimmerman, 2002). Dukungan terhadap belajar berdasar regulasi diri mahasiswa diperguruan tinggi merupakan kepentingan pendidikan yang harus terakomodasi di dalam kurikulum. Dimana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mencapai penguasaan akademik, akan tetapi juga menuntut tercapainya kemampuan untuk menguasai hakikat belajar secara berkelanjutan yang dapat diperoleh melalui kemandirian dalam belajar mencakup keterampilan mengarahkan atau meregulasi diri.
3
Dengan
demikian,
pencapaian
kedua
hal
tersebut
adalah
perwujudan
implementasi kurikulum yang utuh (Pusat Penelitian UPI, 2010). Cohen (2012) menyatakan bahwa kemampuan untuk meregulasi diri sangat penting untuk pemelajar pada level manapun, khususnya pada tingkat perguruan tinggi, Ini disebabkan karena mahasiswa harus berkonfrontasi dengan banyaknya materi yang harus dikuasai dan banyaknya tugas yang harus dikerjakan
dalam
waktu
yang
terbatas.
Lebih
detail
Cohen
(2012)
menggambarkan kecemasan tertinggi yang mungkin dihadapi oleh mahasiswa disebabkan oleh besarnya tantangan yang harus mereka hadapi seperti banyaknya informasi yang mereka harus kuasai dan banyaknya makalah yang harus mereka tulis, melakukan presentasi, mempersiapkan diri dalam ujian dan di samping itu mereka juga dituntut harus tetap memelihara hubungan sosial yang baik. Mahasiswa juga harus dapat memonitor cara mereka berpikir tentang materi yang mereka pelajari, karena pengetahuan saja tidak cukup bagi mahasiswa, mereka juga harus secara akurat menilai pengetahuan mana yang harus mereka miliki dan strategi apa yang efektif mereka gunakan dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Zimmerman (2002) menyatakan bahwa pemelajar harus memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap perilaku, motivasi, dan kognisi mereka khususnya dalam era yang ditandai dengan adanya distraksi, stres, dan tuntutan yang banyak. Oleh karena itu, jelaslah bahwa untuk dapat beradaptasi dengan semua tantangan dan tuntutan dalam belajar tersebut dibutuhkan kemampuan mengarahkan diri dengan baik. Pintrich (dalam Chung, 2000) juga menegaskan bahwa belajar berdasar regulasi diri secara khusus cocok bagi mahasiswa,
4
karena mereka memiliki kontrol yang besar terhadap waktu belajar, dan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap belajar mereka. Dalam perspektif yang lebih luas, mahasiswa yang sukses digambarkan sebagai mahasiswa yang meregulasi diri dalam belajar (Núñez dkk., 2011). Hal ini menurut Pintrich (dalam Nunez, dkk., 2011), karena mahasiswa yang meregulasi
diri
dalam
belajar
mengarahkan
belajar
mereka
dengan
menggunakan sejumlah strategi kognitif, metakognitif, motivasional, dan supportif yang mengizinkan mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan, dapat meregulasi dan mengontrol keseluruhan proses belajar secara intensional, yaitu mereka mengetahui keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki, memahami apa yang harus mereka lakukan untuk belajar, belajar untuk memonitor perilaku belajarnya, mencocokkan perilaku dan aktivitas dengan tuntutan studi, termotivasi untuk belajar, dan mampu meregulasi motivasi. Selain itu menurut Zimmerman dan Bandura (dalam Nunez, dkk., 2011), mahasiswa yang meregulasi diri teridentifikasi dengan inisiatif personalnya, persistensi atau ketekunan terhadap tugas, dan kemampuannya. Aspek yang terpenting dalam pencapaian tujuan ini menurut McMahon & Luca (2001) adalah membantu peserta didik mengatur belajarnya dengan membantu mereka menjadi pemelajar yang lebih strategik. Montalvo & Torres (2004) mengemukakan ide yang dikembangkan oleh Schunk dan Zimmerman, bahwa untuk membantu peserta didik secara signifikan meregulasi diri, pendidikan seharusnya membantu mereka menyadari cara berpikirnya, menjadi pemelajar yang strategik dan mengarahkan motivasi mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang bermakna. Tujuannya adalah peserta didik belajar menjadi guru bagi diri sendiri. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah adanya kebutuhan
5
untuk beralih dari kegiatan dosen mengajar menjadi praktek refleksi diri bagi mahasiswa. Boekaerts dan Niemivirta (2000) menyatakan bahwa pada masa lalu (traditional class), kemampuan regulasi diri peserta didik kurang ditekankan karena mereka cenderung bergantung sepenuhnya pada pengajar dalam mendapatkan informasi. Ketergantungan tersebut dapat terlihat dimana peserta didik mengharapkan pengajar untuk menyiapkan materi, memotivasi, dan bertanggung jawab penuh terhadap proses belajar mereka. Bahkan suatu hal yang lazim dan bahkan diharapkan agar pengajar menentukan apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, kapan harus dipelajari dan sejauh mana harus dipelajari. Jadi kesimpulannya pengajar yang mengontrol semua yang terjadi di kelas sementara peserta didik sama sekali tidak membuat keputusan bagaimana proses belajar yang sebenarnya mereka inginkan dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Proses belajar yang demikiaan ini tentu saja tidak memaksimalkan keterlibatan dalam belajar, tidak meningkatkan rasa kepemilikan dan hasil belajar yang tidak maksimal. Dalam dunia pendidikan khususnya dewasa ini, kemampuan regulasi diri merupakan hal yang sangat dibutuhkan, yaitu kemandirian peserta didik dalam proses belajarnya sangatlah dituntut karena didasarkan pada paradigma baru pembelajaran, yaitu perubahan dari pengajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke bentuk pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered), karena diyakini bahwa peserta didik bukanlah penerima informasi yang pasif dari pengajar dan orang dewasa lainnya tetapi secara aktif mengkonstruksi dan memberi makna terhadap belajarnya (Wolters, Pintrich, dan Karabenick, 2003). Chonko (dalam Young, 2005) menyarankan bahwa peserta
6
didik harus diyakinkan untuk mengambil tanggung jawab mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar karena pembelajaran yang bermakna melibatkan proses aktif mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi, mengkonstruksi makna, dan memonitor pemahaman untuk meningkatkan penguasaan terhadap materi pelajaran. Dukungan terhadap pembelajaran aktif ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Alsa, Widhiarso, & Susetyo (2010) bahwa gaya pembelajaran aktif berkorelasi secara signifikan dengan efikasi regulasi diri dan efikasi kesuksesan belajar baik pada indeks gaya belajar dan inventori gaya belajar pada kelas yang berbasis SCL (Students Centered Learning). Hal serupa dinyatakan oleh Paris dan Paris (2001) dan Ross, Salisbury-Glennon, Guarino, Reed, dan Marshall (dalam Sungur & Gungoren, 2009) bahwa lingkungan belajar yang mengakomodir keterampilan berpikir kompleks dan partisipasi aktif, memberikan kesempatan dan pilihan peserta didik dalam mengontrol belajarnya, menggunakan berbagai strategi, berinteraksi dengan temannya, dan dapat mempromosikan perkembangan regulasi diri mereka. Oleh karena itu, Menyadari pentingnya partisipasi aktif peserta didik dalam proses belajar, maka proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 telah semakin menekankan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran. Hasil penelitian tentang pentingnya peranan regulasi diri dalam belajar menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi akademik (Kosnin, 2007; Valle, Núñez, Cabanach, Pienda, Rodríguez, Rosário, Cerezo & Cadavid, 2008; Núñez, Dkk., 2011); penundaan kepuasan akademik siswa (Arabzadeh, dkk., 2012); penurunan pada gaya atribusi pesimis, dan meningkatkan dimensi atribusi internal pada siswa (Tavakolizadeh & Qavam, 2011), peningkatan
7
penggunaan pendekatan belajar mendalam (deep learning) dan penurunan penggunaan pendekatan belajar surface learning (Magno, 2009; & Núñez. dkk, 2011), Pentingnya pengembangan kemampuan regulasi diri sebenarnya bukan saja karena merupakan prasyarat keberhasilan kesuksesan belajar individu, akan tetapi yang terpenting adalah bahwa regulasi diri pada dasarnya adalah sifat manusia yang khas dan sangat adaptif yang memungkinkannya untuk mengganti dan mengubah respon mereka, termasuk mengubah diri sehingga memenuhi standar sosial dan yang lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Bandura (1986) bahwa teori sosial kognitif beranggapan bahwa manusia tidak hanya dibentuk dan diarahkan oleh lingkungan eksternalnya, akan tetapi mereka memiliki potensi untuk mengorganisasikan diri, proaktif, dapat merefleksikan dan meregulasi diri. Manusia memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tindakan mereka sendiri untuk menghasilkan hasil tertentu. Kapasitas untuk melakukan kontrol terhadap proses berpikir seseorang, motivasi, pengaruh, dan tindakan beroperasi melalui mekanisme agen pribadi. Pada kenyatannya, menurut Valle, dkk., (2008) sebagian besar dari siswa yang mencapai studi yang lebih tinggi tidak cukup siap untuk menghadapi tuntutan atau tantangan di tingkat universitas karena mereka tidak mampu untuk meregulasi diri dalam proses belajar. Pernyataan ini didukung oleh fakta di lapangan sebagaimana yang dilaporkan oleh Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya bahwa pada tahun 2012, 70 mahasiswa drop out dengan jumlah mahasiswa tahun pertama yang paling banyak (33 orang). Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat memenuhi kualifikasi akademik yang diharapkan. Penyebab tingginya angka drop out menurut laporan
8
tersebut disebabkan oleh faktor internal mahasiswa, yaitu minat belajar yang rendah, kegagalan beradaptasi secara akademik dan sosial, serta kurangnya kemampuan mereka dalam mengarahkan diri atau belajar mandiri (Ashar, 2012). Hal yang sama juga terjadi di UIN makassar, dimana pada pada tahun 2014, sekitar tujuh ratus lebih mahasiswa drop out. Salah satu alasan pemutusan studi mereka adalah karena mereka tidak dapat mencapai standar minimal indeks prestasi akademik yang ditetapkan setelah menghabiskan masa studi dua semester (Biro Akademik UIN Makassar, 2014). Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa mahasiswa tidak mampu meregulasi diri dengan baik. Diantara penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan Peverly, Brobst, Graham dan Shaw (2003) pada 88 mahasiswa
yang
mengambil
mata
kuliah
pengantar
psikologi.
Mereka
menemukan bahwa bahwa mahasiswa bukanlah peregulasi diri yang baik dalam belajar. Selain itu, Danial (2007) juga melaporkan hasil surveinya terkait dengan kemampuan metakognisi (salah satu komponen penting belajar berdasar regulasi diri dalam area regulasi kognitif) pada mahasiswa jurusan Biologi FMIPA di salah satu universitas Negeri di Makassar. Dia menemukan bahwa tingkat kemampuan metakognisi mahasiswa masih rendah karena masih dalam kategori mulai berkembang atau belum berada pada tahapan sudah berkembangan dengan baik atau berkembang dengan sangat baik. Fakta tentang kurangnya kemampuan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa juga ditujunkkan oleh preliminary research yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan hasil FGD dengan 27 mahasiswa fakultas pendidikan dan keguruan di UIN Makassar pada tahun 2014, ditemukan bahwa mahasiswa belum menunjukkan secara optimal apa yang menjadi indikator belajar berdasar
9
regulasi diri, sebagaimana yang digambarkan oleh Zimmerman (1990), bahwa individu dianggap telah meregulasi diri jika menunjukkan partisipasi aktifnya yang bersifat metakognitif, termotivasi dan tergambar pada tingkah laku dalam proses belajarnya. Dimana dalam proses metakognitif, dia menentukan tujuan, membuat perencanaan, melakukan monitor diri sendiri, mengevaluasi berbagai hal dalam proses pemerolehan informasi dalam proses belajar. Dari berbagai indikator yang menunjukkan regulasi diri mahasiswa dalam belajar tersebut, hasil FGD menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya menunjukkan partisipasi aktifnya. Pertama, kebanyakan mahasiswa tidak melakukan identifikasi diri dengan melakukan analisis tugas dan keyakinan motivasi diri. Dimana hal tersebut merupakan proses awal dari belajar berdasar regulasi diri yang dikenal dengan forethought fase. Kegiatan yang ada dalam fase ini yang terkait dengan analisis tugas yaitu menentukan tujuan personal mahasiswa terkait dengan tugas yang diberikan, juga umumnya tidak dilakukan. Mereka termotivasi untuk membuat tujuan hanya jika dosen yang mengajar menarik minat mereka. Ini berarti sumber motivasi mereka sangatlah ekternal, padahal mahasiswa yang belajar berdasar regulasi diri memiliki sumber motivasi lebih bersifat internal, dan berorientasi pada pengarahan diri sendiri. Kedua, meskipun mahasiswa mencoba untuk membuat perencanaan dalam pencapaian tujuan pembelajarannya, kebanyakan dari mereka kurang memiliki motivasi yang mampu mengarahkan diri mereka sehingga komitment terhadap
pelaksanaan
rencana
tersebut
kurang
terlaksana.
Selain
itu
perencanaan yang mereka buat hanya didasarkannya pada tujuan yang telah ditetapkan oleh dosen dan tidak mencoba membuat sendiri standar atau target sendiri. Padahal menurut Boekaerts dan Cascallar (2006) salah satu karakteristik
10
belajar berdasar regulasi diri adalah bahwa pemelajar memiliki kontrol terhadap pembelajaran mereka dan melakukannya berdasarkan keinginan, minat dan harapannya. Jika ini tidak terjadi maka ketidakterlibatan dalam tugas (task disengagement) akan terjadi khususnya jika mereka mendapatkan halangan atau gangguan terhadap tindakan mereka (Ryan & Deci, 2000). Ketiga, dalam aspek kontrol dan evaluasi kebanyakan mahasiswa tidak meluangkan waktu untuk mempertanyakan penyebab kesulitan yang mereka hadapi atau mempertanyakan efektifitas strategi atau pengaturan waktu yang telah mereka gunakan. Padahal dalam proses belajar berdasar regulasi diri mahasiswa seharusnya memonitor, mengontrol dan melakukan evaluasi terhadap kegiatan dan pemilihan strategi belajar mereka. Keempat, mahasiswa juga melaporkan bahwa mereka masih sering melakukan prokrastinasi terhadap penyelesaian tugas karena kurangnya motivasi yang menjadi kekuatan pengarah dalam keterlibatan mereka dalam proses belajar. Worlters, dkk. (2003) menyatakan bahwa seorang mahasiswa yang belajar berdasar regulasi diri cenderung tidak melakukan prokrastinasi karena mereka memiliki tiga karakteristik penting yaitu memiliki pengetahuan kognitif tentang strategi belajar, keterampilan metakognitif, dan menunjukkan keyakinan motivasi yang adaptif dan sikap seperti efikasi diri yang tinggi, dan orientasi terhadap pencapaian tujuan. Hasil wawancara dengan dosen di perguruan tinggi yang sama pada 2014 menunjukkan bahwa umumnya mereka telah mencoba untuk membuat mahasiswa menjadi pemelajar yang aktif. Akan tetapi, usaha tersebut masih belum maksimal untuk mendukungan mahasiswa untuk dapat belajar berdasar regulasi diri. Belum maksimalnya dukungan tersebut dapat dilihat dari hasil
11
wawancara
dengan dosen.
Sebagai contoh,
dosen tidak
menstimulasi
mahasiswa untuk membuat tujuan sendiri terkait dengan tugas yang diberikan dan
tujuan
pembelajaran
yang
disampaikan
juga
terkadang
kurang
terkomunikasikan dengan baik sehingga menyulitkan mahasiswa untuk dapat menentukan atau menformulasikan tujuan sendiri. Selanjutnya, dalam pemberian umpan balik (feedback), dosen tidak memberikan umpan balik perkembangan siswa yang dapat dijadikan sebagai bahan refleksi karena umumnya mereka hanya berfokus pada aspek kognitif atau keakuratan pemahaman mahasiswa terhadap materi yang diberikan dan kurang memfokuskan pada aktivitas dalam proses penyelesaian tugas yang diberikan yang dapat menjadi bahan evaluasi bagi mahasiswa, khususnya ketika gagal menunjukkan performa yang diharapkan. Selain itu kedua hal tersebut di atas, dosen juga kurang menstimulasi mahasiswa untuk melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka terkait dengan manajemen waktu, dan penggunaan strategi selama penyelesaian tugas. Untuk meningkatkan tingkat belajar berdasar regulasi mahasiswa, perlu menginvestigasi faktor yang berkontribusi. Menurut Sierens, Vansteenkiste, Goossens, Soenens dan Dochy (2009), belajar berdasar regulasi diri tidak terjadi secara otomatis dan tidak mudah diinduksi. Meskipun regulasi diri telah menjadi sifat khas manusia, akan tetapi pada kenyataannya sebagian manusia mampu meregulasi diri dengan baik dan sebagian lainnya kurang menunjukkan perilaku tersebut. Winne (2005) menyatakan bahwa jika belajar berdasar regulasi diri itu sifatnya “ubiquitous” atau ada dimana-mana atau dimiliki setiap orang, maka mengapa tidak semua individu sukses menunjukkan perilaku tersebut dalam pembelajarannya dibandingkan dengan yang lainnya?.
12
Parson, Hinson, dan Brown (2001), menyatakan bahwa motivasi merupakan elemen yang sangat penting dalam proses belajar dan mempunyai korelasi positif dengan prestasi. Demikian pula dalam belajar berdasar regulasi diri, motivasi dan strategi merupakan komponen yang sangat penting. Arabzadeh, dkk (2012) menyatakan bahwa umumnya, belajar berdasar regulasi diri dipandang sebagai kombinasi dari keterampilan dan kemauan. Keterampilan mengacu kepada penggunaan strategi kognitif dan metakognitif yang mencakup penetapan tujuan, perencanaan dan pengorganisasian belajar, monitor diri, evaluasi diri, manajemen waktu, dan sumber daya. Sedangkan keinginan mengacu kepada orientasi motivasi individu dalam hal tujuan, nilai, dan pengharapan. Oleh karena itu, variasi tingkat belajar berdasar regulasi diri mahasiswa sebenarnya menunjukkan isyarat adanya perbedaan pada kondisi motivasi dan strategi mereka. Reeve (2012) menjelaskan bahwa keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas secara bervariasi merupakan produk gabungan dari motivasi peserta didik dan dukungan kelas. Sedangkan secara spesifik dalam hal regulasi diri dalam belajar, Boekaerts dan Cascallar (2006) menjelaskan bahwa ada dua hal yang dibutuhkan peserta didik untuk dapat mengarahkan proses belajar mereka sendiri atau meregulasi diri dalam belajar yaitu dengan menciptakan situasi belajar yang mendukung penggunaan strategi (meta) kognitif dan motivasi. Situasi mendukung yang dimaksudkan di sini adalah adanya orientasi
motivasi
personal
mahasiswa
yang
dapat
mestimulasi
atau
mengarahkan dirinya menunjukkan pola keterlibatan kognitif yang adaptif dan kondisi lingkungan yang memfasilitasi terbentuknya orientasi motivasi tersebut.
13
Teori kebutuhan dasar psikologis sebagai bagian dari teori determinasi diri dapat menjelaskan mengapa peserta didik terkadang menunjukkan keterlibatan yang aktif dalam kegiatan belajar dan diwaktu lain menunjukkan sikap pasif atau menunjukkan keterlibatan yang antagonis. Teori ini mendalilkan bahwa tiga kebutuhan dasar psikologis yang universal yaitu kompetensi, otonomi, dan keterkaitan sosial sangat penting untuk menjamin kesehatan psikologis dan kesejahteraan, mengembangkan dan memelihara motivasi intrinsik. Menurut Niemiec & Ryan (2009), ketika kebutuhan dasar psikologis peserta didik didukung di kelas, maka mereka akan menginternalisasi motivasi belajar mereka dan menjadi lebih terlibat dalam belajarnya secara otonomi. Pernyataan serupa dijelaskan oleh Reeve (2012) bahwa tiga kebutuhan dasar psikologis ini merupakan sumber tendensi motivasi intrinsik proaktif yang melekat pada individu untuk mencari hal-hal baru, mengejar tantangan yang optimal, melatih dan memperluas kemampuan, mengeksplorasi, dan belajar. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa siswa yang memandang dirinya memiliki rasa atonomi, kompetensi, dan keterkaitan sosial dalam proses belajar, memiliki kualitas motivasi yang tinggi. Sebaliknya, siswa yang tidak memandang dirinya tidak memiliki rasa ketiga hal tersebut akan merasa frustasi selama proses belajar dan memiliki kualitas motivasi yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kepuasan kebutuhan dasar psikologis berkorelasi positif dengan motivasi intrinsik (Barbara dkk. (2010). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kondisi yang mendukung kepuasan kebutuhan dasar psikologis menghasilkan motivasi yang optimal yang penting dalam dalam belajar berdasar regulasi diri. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan adanya
14
keterkaitan antara belajar berdasar regulasi diri dengan kepuasan kebutuhan dasar psikologis (Sungur & Gungoren, 2009; Jang, Reeve, Ryan & Kim, 2009). Selain karakteristik individu dengan kepuasan kebutuhan dasar psikologis yang dapat memfasilitasi belajar berdasar regulasi diri, teori orientasi tujuan juga berasumsi bahwa ada korelasi antara performa individu dan orientasi tujuannya. Menurut Weiner dalam Ames (1992), orientasi tujuan didefinisikan sebagai pola keyakinan
yang
terintegrasi,
atribusi,
dan
afek
yang
menghasilkan
kecenderungan perilaku. Jenis orientasi tujuan yang memiliki karakteristik keterlibatan kognitif dan profil motivasi yang adaptif adalah orientasi tujuan mastery approach (Pintrich & De Groot, 1990), dan beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara orientasi tujuan ini dengan belajar berdasar regulasi diri (Pintrich & De Groot, 1990; Pintrich, 1999; Somuncuoglu dan Yildirim, 1999; Nuevile, et.al., 2007; Shadegy & Mansouri, 2014). Dengan mempertimbangkan karakteristik individu dengan kedua variabel ini yang menfasilitasi prasyarat untuk belajar berdasar regulasi yang baik, maka penelitian
ini
bertujuan
untuk
menginvestigasi
peranan
kedua variabel
independen ini sebagai prediktor belajar berdasar regulasi diri B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, penelitian ini menginvestigasi peranan kepuasan kebutuhan dasar psikologis dan orientasi tujuan mastery approach dalam
menfasilitasi peningkatan belajar
dengan regulasi diri
mahasiswa. Adapun rumusan masalahnya adalah: Apakah kepuasan kebutuhan dasar psikologis dan orientasi tujuan mastery approach secara bersama-sama dapat secara signifikan memprediksi perilaku belajar berdasar regulasi diri mahasiswa?
15
C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah kepuasan kebutuhan dasar psikologis dan orientasi tujuan mastery approach dapat secara bersama-sama secara signifikan memprediksi belajar berdasar regulasi diri. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara praktis dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Bagi praktisi pendidikan di perguruan tinggi Secara umum, temuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi dosen dan praktisi pendidikan lainnya untuk dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam meningkatkan belajar berdasar regulasi diri yang sangat dibutuhkan bagi kesuksesan belajar mahasiswa. Adapun secara khusus, dengan memahami faktor-faktor determinan yang mempengaruhi belajar berdasar regulasi diri, dosen dapat mengembangkan desain pembelajaran yang mendukung peningkatan belajar berdasar regulasi diri, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengoptimalkan target pencapaian hasil belajar mahasiswa. 2. Bagi peneliti lainnya Bagi peneliti yang tertarik dengan belajar berdasar regulasi diri, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya dalam menentukan faktor-faktor determinan terhadap peningkatan belajar berdasar regulasi diri.
16
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang belajar berdasar regulasi diri telah dilakukan dengan mengaitkannya dengan berbagai macam variabel seperti prestasi belajar, motivasi berprestasi, atribusi, perilaku menyontek dan lain-lainnya. Salah satu penelitian yang dikaitkan dengan belajar dengan regulasi diri adalah penelitian yang dilakukan oleh Mursyidawati, Siswati, dan Widodo (2010) yang meneliti hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan perilaku mencari bantuan akademik dalam pembelajaran matematika di SMA. Penelitian lainnya dilakukan oleh Apranadyanti (2010) yang meneliti hubungan antara regulasi diri dengan motivasi berprestasi pada siswa SMK. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Alsa dkk. (2010) meneliti korelasi antara efikasi regulasi diri dan efikasi kesuksesan belajar baik pada indeks gaya belajar maupun pada inventori gaya belajar pada kelas yang berbasis SCL (Students Centered Learning). Pratama (2011) juga melakukan penelitian korelasional antara regulasi diri dalam belajar dan intensitas menyontek pada siswa SMA. Beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas adalah penelitian korelasional yang mencoba melihat hubungan belajar berdasar regulasi diri dengan berbagai variabel yang diasumsikan memiliki hubungan dengan belajar dengan regulasi diri. Penelitian lainnya adalah penelitian eksperimen untuk melihat pengaruh pelatihan belajar berdasar regulasi diri yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan belajar dengan regulasi diri dan efek terhadap variabel lain yang ditimbulkannya seperti penelitian yang dilakukan oleh Tavakolizadeh dan Qavam (2011) yang menguji pengaruh pelatihan regulasi diri terhadap gaya atribusi terhadap even negatif. Penelitian lainnya dilakukan oleh Arabzadeh, dkk. (2012) yang melihat pengaruh pelatihan strategi belajar
17
berdasar regulasi diri dalam meningkatkan penundaan kepuasan akademik siswa. Selain kedua penelitian eksperimen yang telah disebutkan di atas, Maulia (2011) juga telah menguji pengaruh pelatihan belajar berdasar regulasi diri dalam menurunkan prokrastinasi akademik penulis skripsi pada mahasiswa. Penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya di atas telah menguji hubungan antara belajar berdasar regulasi diri dengan berbagai variabel akademik lainnya dan telah menguji pengaruh yang signifikan dari pelatihan keterampilan belajar berdasar regulasi terhadap berbagai macam variabel seperti prestasi belajar, gaya atribusi, penangguhan kepuasan akademik dan variabel lainnya. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Jika penelitian sebelumnya menginvestigasi hubungan atau pengaruh pelatihan belajar berdasar regulasi terhadap berbagai macam variabel, penelitian ini lebih berfokus kepada faktor-faktor yang dapat memprediksi mahasiswa untuk meregulasi diri dalam belajar dan menjelaskan dinamika terjadinya perilaku tersebut. Dalam hal ini faktor yang dimaksudkan adalah variabel kepuasan kebutuhan dasar psikologis (otonomi, kompetensi dan keterkaitan) perspektif teori determinasi diri dan orientasi tujuan mastery approach. Selain itu, kedua variabel ini belum pernah secara bersama-sama diteliti sebagai variabel prediktor terhadap variabel belajar berdasar regulasi diri.