BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semakin meningkatnya teknologi, pengetahuan dan taraf hidup manusia di era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia. Keadaan sosialekonomi dan pendidikan masyarakat yang semakin tinggi menjadikan masyarakat lebih kritis dalam menilai kualitas rumah sakit (Rahasasti & Zulkarnain, 2013). Semua orang akan semakin kritis dalam memilih fasilitas dan pelayanan kesehatan yang secara tidak langsung menjadikan persaingan antara penyedia layanan kesehatan. Mereka dituntut untuk memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik jika ingin memenangkan persaingan ini. Pencapaian keberhasilan dalam kompetisi dapat diperoleh jika rumah sakit sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan kesehatan tidak hanya sekedar untuk menampung orang sakit tetapi ada hal utama yang harus diperhatikan yaitu kepuasan konsumen atau pelanggan (khususnya para pasien). Oleh karena itu, selain disebut sebagai institusi sosial yang memiliki tanggung jawab dalam hal perawatan, pengobatan dan kesehatan bagi masyarakat rumah sakit juga disebut sebagai ekonomi yang merupakan industri jasa yang harus dikelola untuk mendapatkan hasil yang optimal dan memiliki keunggulan untuk bersaing (Mustofa, 2008).
1
2
Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik bukanlah sesuatu yang mudah bagi pengelola rumah sakit karena pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit menyangkut kualitas hidup para pasiennya sehingga bila terjadi kesalahan dalam tindakan medis dapat berdampak buruk bagi pasien. Dampak tersebut dapat berupa sakit pasien bertambah parah, kecacatan bahkan kematian (Jacobalis, S. 1995). Peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit tidak hanya didasarkan pada kebijakan internal manajemen saja, tetapi juga harus memikirkan jaminan kualitas tersebut benar-benar telah dirasakan oleh penguna jasa. Tingkat keberhasilan rumah sakit dalam memberikan layanan dapat diketahui dengan adanya monitoring dan perbaikan yang berkelanjutan (Sari & Harmawan, 2012). Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya. Pasien menginginkan fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit serta ketanggapan, kemampuan dan kesungguhan para petugas rumah sakit. Dengan demikian, pihak rumah sakit dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien (Utama, 2003). Pasien akan merasa puas bila ada persamaan antara harapan dan kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh. Kepuasan pengguna pelayanan kesehatan mempunyai kaitan yang erat dengan hasil pelayanan kesehatan, baik secara medis maupun nonmedis seperti kepatuhan terhadap pengobatan, pemahaman terhadap informasi medis dan kelangsungan perawatan.
3
Terciptanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya hubungan antara perusahaan dan pelanggannya menjadi harmonis. Adanya kualitas pelayanan yang baik di dalam suatu perusahaan akan menciptakan kepuasan bagi konsumennya. Setelah konsumen merasa puas dengan produk atau jasa yang diterimanya, konsumen akan membandingkan pelayanan yang diberikan. Apabila konsumen merasa benar-benar puas, mereka akan membeli ulang serta memberi rekomendasi kepada orang lain untuk membeli di tempat yang sama. Oleh karena itu, perusahaan harus memulai memikirkan pentingnya pelayanan pelanggan secara lebih matang melalui kualitas pelayanan karena kini semakin disadari bahwa pelayanan (kepuasan pelanggan) merupakan aspek vital dalam rangka bertahan dalam bisnis dan memenangkan persaingan. Hal ini berlaku pula untuk suatu rumah sakit yang harus memperhatikan kualitas pelayanannya kepada pasien. Pelayanan kesehatan merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan pasien. Alasan kepuasan perlu disurvei adalah kepuasan pasien mengandung informasi yang bermanfaat mengenai struktur, proses dan pelayanan. Selain itu tingkat kepuasan pasien menjadi sifat prediktif mengenai bagaimana pasien akan berperilaku di masa yang akan datang (Diyah, 2005). Pelayanan obat di rawat inap merupakan salah satu faktor yang sangat penting, meskipun pelayanan obat dilakukan oleh perawat. Pasien perlu mengetahui pengetahuan tentang pengobatan yang digunakannya baik nama obat, efikasi, efek samping dan lain-lain agar pasien dapat mengerti yang seharusnya diperoleh
4
(outcome) dari terapinya, sehingga pasien dapat menilai kepuasan yang dirasakan. Selain itu, pelayanan obat di rawat inap dikontrol oleh pihak rumah sakit sehingga dapat memberikan keuntungan yang berlebih untuk rumah sakit jika dapat mengelola dengan optimal. Jika pasien merasa puas dengan pelayanan obat yang diberikan di rumah sakit tersebut maka pasien akan cenderung kembali ke rumah sakit tersebut untuk mendapatkan pelayanan yang sama sehingga dapat memberikan keuntungan bagi pihak rumah sakit. Adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menuntut tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kepada pasien peserta JKN baik di Rumah Sakit Negeri ataupun Rumah Sakit Swasta yang telah ditunjuk. Tujuan Jaminan Kesehatan secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Masalah yang sering dijumpai pada pengguna BPJS adalah keluhan asuhan keperawatan yang diberikan dan pengobatan yang diberikan. Pelayanan yang diberikan cenderung tidak memenuhi kepuasan pasien (Anonim, 2014) Diperlukan teknik peningkatan kualitas pelayanan yang harus menggabungkan antara aspek ekonomis dan pharmacheutical care untuk dapat memenangkan persaingan. Salah satu caranya dengan melakukan survei kepuasan pelanggan yang dilanjutkan dengan peningkatan mutu pelayanan (Nuraini, 2010). Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang tingkat kepuasan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional terhadap pelayanan obat di bangsal
5
penyakit dalam RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016. Kepuasan dapat diketahui setelah pasien membandingkan antara harapan dengan hasil pelayanan yang diterima. Hasilnya diharapkan dapat menjadi masukan untuk perbaikan kualitas pelayanan di masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat kepuasan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional di bangsal penyakit dalam terhadap kualitas pelayanan obat yang diberikan RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016? 2. Bagaimana kesesuaian harapan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional terhadap kinerja pelayanan obat di bangsal penyakit dalam RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016 ditinjau dari dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty? 3. Bagaimana pengaruh karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan, dan jarak rumah dengan rumah sakit) terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional di bangsal penyakit dalam RSUD Sleman?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional di bangsal penyakit dalam terhadap kualitas pelayanan obat yang diberikan RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016.
6
2. Mengetahui kesesuaian harapan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional terhadap kinerja pelayanan obat di bangsal penyakit dalam RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016 ditinjau dari dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. 3. Mengetahui pengaruh karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan, dan jarak rumah dengan rumah sakit) terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional di bangsal penyakit dalam RSUD Sleman.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Penelitian ini merupakan proses pembelajaran untuk dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh dan diharapkan dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan mengenai pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien di RSUD Sleman, sehingga hasil penelitian ini dapat menerangkan dan mempunyai pengetahuan teoritis dalam kasus nyata di lapangan.
2. Bagi rumah sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi RSUD Sleman berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan rawat inap yang diberikan sesuai dengan harapan dan keinginan pasien sehingga jumlah pasien dapat terus meningkat.
7
3. Bagi pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan bagi pemerintah dalam kepedulian di bidang kesehatan bagi masyarakat serta sebagai evaluasi terhadap program pemerintah tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 yang dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Anonim, 2008). Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat penting dan diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain. Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi rumah sakit, yaitu:
8
a. Melaksanakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik. b. Melaksanakan pelayanan medik tambahan, pelayanan penunjang medik tambahan. c. Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman. d. Melaksanakan pelayanan medik khusus. e. Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan. f. Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi. g. Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial. h. Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat inap (Anonim, 2008).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
a. Rumah sakit umum, memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. Rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya (Anonim, 2008).
Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat.
9
a. Rumah sakit publik sebagaimana dimaksud dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero (Anonim, 2008).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan (Anonim, 2008).
Dalam rangka penyelenggaraan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit umum diklasifikasikan sebagai berikut (Anonim, 2008):
a. Rumah Sakit umum kelas A. Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
10
b. Rumah Sakit umum kelas B. Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. c. Rumah Sakit umum kelas C. Adalah Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. d. Rumah Sakit umum kelas D. Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud terdiri atas (Anonim, 2008):
a. Rumah Sakit khusus kelas A. Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. b. Rumah Sakit khusus kelas B. Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. c. Rumah Sakit khusus kelas C. Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.
11
2. Konsep kepuasan dalam pemasaran Memuaskan kebutuhan konsumen merupakan hal yang sangat penting untuk suatu bisnis, termasuk rumah sakit. Perencanaan pemasaran haruslah dimulai dari konsumen bukan organisasi atau pemasaran. Organisasi harus mempelajari kebutuhan, keinginan, persepsi dan kepuasan konsumen secara sistematis (Kotler, 1995). Organisasi yang dimaksud disini adalah rumah sakit. Adapun aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain (Kotler, 1993): a. Sikap pendekatan staf pada pasien, yaitu sikap staf kepada pasien ketika pertama kali datang ke rumah sakit. b. Kualitas yang diterima oleh pasien, yaitu hal yang telah dilakukan oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan kelangsungan perawatan pasien selama berada di rumah sakit. c. Prosedur administrasi, yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi dimulai dari masuk rumah sakit, selama perawatan berlangsung hingga keluar dari rumah sakit. d. Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh rumah sakit, yaitu fasilitas ruang inap, kualitas makanan, privasi dan waktu kunjungan pasien.
3. Definisi kepuasan Kotler (2005), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara harapan-harapannya
12
terhadap kinerja atau hasil suatu produk. Jika kinerja di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas. Sedangkan menurut Zeithaml dan Bitner (2003) kepuasan pelanggan adalah evaluasi kesesuaian pelanggan terhadap produk atau jasa yang diterima dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Kegagalan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dan harapan yang diasumsikan sebagai ketidakpuasan dengan produk atau jasa, lebih lanjut dikatakan bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh ciri-ciri produk atau jasa secara spesifik dan persepsi terhadap kualitas. Selain itu kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh respon emosional pelanggan dan atribut-atribut pelanggan. Oliver (dalam Koentjoro, 2007) mendefinisikan kepuasan merupakan respon seseorang terhadap dipenuhinya kebutuhan dan harapan. Respon tersebut merupakan penilaian seseorang terhadap pelayanan pemenuhan kebutuhan dan harapan, baik pemenuhan yang kurang ataupun pemenuhan yang melebihi kebutuhan dan harapan. Kepuasan pasien merupakan perasaan yang dimiliki pasien dan timbul sebagai
hasil
dari
kinerja
layanan
kesehatan
setelah
pasien
membandingkannya dengan apa yang diharapkan (Pohan, 2007). Kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian dapat diukur dengan membandingkan antara harapan pasien terhadap kualitas pelayanan kefarmasian yang diinginkan dengan kenyataan yang diterimanya (Baroroh, 2014)
13
Kepuasan pelanggan (pasien) terjadi bila yang menjadi kebutuhan, keinginan atau harapannya dapat terpenuhi. Harapan tersebut dapat terpenuhi melalui jasa (pelayanan kesehatan) yang diterima olehnya. Oleh karena itu, kepuasan pasien adalah selisih (gap) antara layanan yang diterima oleh pasien dengan harapan pasien pada layanan tersebut (Supriyanto & Ernawati, 2010). Kepuasan merupakan selisih antara persepsi dengan harapan, artinya terdapat dua unsur penting dalam menimbulkan suatu kepuasan pada pasien antara lain: a. Persepsi pasien/pelanggan. Persepsi merupakan proses seseorang memilih, merumuskan dan menafsirkan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran. Persepsi terbentuk dari harapan dan adanya suatu pengalaman (Potter & Perry, 2005). Gunarsa (2002) menyatakan bahwa persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dapat mempengaruhi kepuasan pasien terhadap
suatu
pelayanan,
kepuasan
tersebut
akan
timbul
bila
perbandingan nilai persepsi atau kenyataan yang dirasakan tersebut lebih besar daripada harapan pelanggan. b. Harapan pasien/pelanggan. Olson dan Dover menyatakan bahwa harapan merupakan keyakinan seseorang sebelum mencoba atau membeli suatu produk yang dapat dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja suatu produk tersebut (Tjiptono, 2000).
14
Beberapa model konseptual dan teori kepuasan pelanggan diantaranya sebagai berikut: a. Expectancy disconfirmation model. Model konsep ini mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai penilaian yang dirasakan sesuai dengan harapan. Jika pelayanan yang diterima pelanggan lebih rendah dari harapan pelanggan maka akan menghasilkan ketidakpuasan emosional (negative disconfirmation). Sebaliknya, jika pelayanan yang diterima pelanggan lebih tinggi dari harapan pelanggan maka akan menghasilkan kepuasan emosional (positive disconfirmation). Pelayanan yang diterima pelanggan sama dengan harapan pelanggan, hasilnya bukan kepuasan ataupun ketidakpuasan. Berdasarkan model ini, kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh karakteristik pelanggan itu sendiri (pengalaman) dan pelayanan itu sendiri (harga dan karakteristik pelayanan) (Tjiptono, 2004). b. Equity theory. Perbandingan hasil yang diterima oleh pelanggan A harus sama dengan dengan hasil yang diterima pelanggan B. Apabila kedua keadaan tersebut tidak sama maka pelanggan yang melakukan evaluasi terhadap pelayanan akan merasakan ketidakpuasan akibat ketidakadilan dari pemberi pelayanan (Tjiptono, 2004). c. Atribution theory. Pelanggan akan melakukan identifikasi terhadap pelayanan
yang
didapatkan
dan
pelayanan
yang
mempengaruhi
kepuasannya. Apabila pelayanan tidak sesuai harapan pelanggan maka pelanggan akan berusaha menentukan penyebab ketidaksesuaian tersebut. Penyebab ketidaksesuaian pelayanan diduga akibat dari kelalaian pemberi
15
pelayanan maka perasaan tidak puas pasti muncul. Sebaliknya, penyebab ketidaksesuaian pelayanan dengan harapan pelanggan berasal dari pelanggan sendiri maka rasa tidak puas akan menurun levelnya (Tjiptono, 2004). d. Experientally-based afective feelings. Model ini berpendapat bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh dimensi respon afektif (perasaan positif dan perasaan negatif) pada pelayanan (Tjiptono, 2004). e. Assimilation-contrast theory. Apabila pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan tidak terlalu berbeda dengan harapan pelanggan maka pelayanan tersebut akan diterima dan dievaluasi secara positif oleh pelanggan yakni dalam bentuk kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2004). f. Opponent process theory. Model ini berusaha menjelaskan penyebab pengalaman konsumen yang awalnya sangat memuaskan cenderung kurang memuaskan setelah dievaluasi pada kejadian berikutnya. Apabila ada stimulus positif atau negatif yang mengganggu keseimbangan konsumen maka proses sekunder akan berlangsung dan akhirnya pelanggan tersebut akan kembali ke kondisi semula. Emosi awal pelanggan terhadap pelayanan disebut proses primer dan proses berikutnya adalah proses adaptif (opponent process). Respon awal terhadap suatu pelayanan tidak mungkin meningkat seiring adanya pengulangan, opponent process akan menjadi semakin kuat sehingga ketertarikan pelanggan pada pelayanan tersebut akan melemah pada pengalaman berikutnya (Tjiptono, 2004).
16
g. Model anteseden dan konsekuensi pelanggan. Anteseden pelanggan meliputi ekspektasi pelanggan (sebagai antisipasi kepuasan), diskonfirmasi ekspektasi (ekspektasi berperan sebagai standar pembanding untuk pelayanan), kinerja atau pelayanan (performance), afect, dan equity. Konsekuensi pelanggan ada tiga kategori, yaitu perilaku komplain, negativeword-of-mouth, dan minat pembelian ulang (Tjiptono, 2004). Pengukuran kepuasan pengguna jasa kesehatan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan. Kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan atas produk akan mempengaruhi pola perilaku selanjutnya seperti minat beli ulang produk. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasien yang merasa puas atas pelayanan kesehatan berminat melakukan kunjungan ulang (Prastiwi & Ayubi, 2008). Terdapat beberapa teknik mengukur kepuasan, diantaranya sebagai berikut: a. Teknik rating. 1) Teknik pengukuran langsung. Teknik ini mengukur respon pelanggan secara subjektif dan objektif terhadap pelayanan yang diterima menggunakan skala. Skala standar ditentukan terlebih dahulu berdasarkan nilai skala tengah dari pengukuran dan dapat ditentukan oleh peneliti sendiri. Hasil jawaban dari individu dihitung nilai rataratanya dengan cara menjumlahkan nilai skala individu yang diamati
17
dibagi jumlah individu. Apabila nilai rata-rata lebih besar dari nilai standar maka pelanggan puas terhadap pelayanan. 2) Metode ranking sederhana. Pelanggan menentukan rangking dari obyek yang ditanyakan dalam urutan pilihan bobot kepentingan. 3) Metode berpasangan. Tersedia beberapa objek yang harus dinilai, kemudian pelanggan dianjurkan memilih pasangan dari objek tersebut saat itu juga (Supriyanto, 2010). b. Pengukuran
kesenjangan.
Kepuasan
pelanggan
merupakan
hasil
kesenjangan antara harapan dan kenyataan pelayanan yang diterima. Dua hal tersebut dibandingkan kemudian dianalisis. Harapan (E=expectation) pelanggan dapat dinyatakan dengan skala 1 sampai 4 (skala 1=tidak berharap (TH), skala 2=kurang berharap (KH), skala 3=berharap (H), dan skala 4=sangat berharap (SH)). Kenyataan (A=actual) dinyatakan dengan skala 1 sampai 4 (skala 1= tidak setuju (TS), skala 2=kurang setuju (KS), skala 3=setuju (S), dan skala 4=sangat setuju (SS)). Hasil analisis apabila didapatkan nilai A>E adalah pelanggan sangat puas, nilai A=E adalah puas dan nilai A<E adalah pelanggan tidak puas. Berikut beberapa metode pengukuran kesenjangan: 1) Satisfaction feeling (evaluation overall) a) Tidak langsung b) Langsung 2) Satisfaction feeling (emotional feeling) 3) Satisfaction outcome (word of mouth)
18
4) Satisfaction outcome (inention) (Supriyanto, 2010). c. Indeks kepuasan. Kepuasan diukur menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, yakni product, service, dan value. Tahap awal diukur terlebih dahulu rata-rata tingkat kepuasan product (QSS=Quality Satisfaction Score), PBS (Perceived Best Score), dan VSS (Value Satisfaction Score). Kemudian menentukan bobot ketiga faktor dengan melakukan multiple regression. Setelah menentukan bobot, langkah selanjutnya adalah menentukan indeks TSS (Total Satisfaction Score). Indeks = WqSq + WvSv + WpSp (Supriyanto & Ernawati, 2010). Kotler (2005) menyatakan terdapat empat metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu: a. Sistem keluhan dan saran. Perusahaan yang memberikan kesempatan penuh bagi pelanggannya untuk menyampaikan pendapat atau bahkan keluhan merupakan perusahaan yang berorientasi pada konsumen (costumer oriented). b. Survei kepuasan pelanggan. Sesekali perusahaan perlu melakukan survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas jasa atau produk perusahaan tersebut. Survei ini dapat dilakukan dengan penyebaran kuesioner oleh karyawan perusahaan kepada para pelanggan melalui survei tersebut, perusahaan dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan produk atau jasa perusahaan tersebut sehingga perusahaan dapat melakukan perbaikan pada hal yang dianggap kurang oleh pelanggan (Kotler, 2005).
19
c. Ghost Shopping. Metode ini dilaksanakan dengan mempekerjakan beberapa orang perusahaan (ghost shopper) untuk bersikap sebagai pelanggan diperusahaan pesaing dengan tujuan para ghost shopper tersebut dapat mengetahui kualitas pelayanan perusahaan pesaing sehingga dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap kualitas pelayanan perusahaan itu sendiri (Kotler, 2005). d. Analisis pelanggan yang hilang. Metode ini dilakukan perusahaan dengan cara menghubungi kembali pelanggannya yang telah lama tidak berkunjung atau melakukan pembelian lagi di perusahaan tersebut karena telah berpindah ke perusahaan pesaing. Selain itu, perusahaan dapat menanyakan sebab-sebab berpindahnya pelanggan ke perusahaan pesaing (Kotler, 2005).
4. Indikator kepuasan Hawkins dan Lonny dikutip dalam Tjiptono (2001) atribut-atribut pembentuk kepuasan terdiri dari : a. Kesesuaian harapan. Merupakan gabungan dari kemampuan suatu produk atau jasa dan promosi yang diandalkan sehingga suatu produk yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan produsen, meliputi : 1) Produk atau jasa yang didapat sesuai dengan promosi. 2) Pelayanan yang didapat sesuai dengan promosi. 3) Fasilitas yang didapat sesuai dengan promosi.
20
b. Kemudahan dalam memperoleh. Produk atau jasa yang ditawarkan oleh produsen tersedia di outlet-outlet dan toko yang dekat dengan pembeli potensial, meliputi : 1) Lokasi perusahaan yang strategis sehingga memudahkan pasien untuk datang. 2) Tersedia pelayanan kesehatan yang lengkap sehingga pasien mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan (Tjiptono, 2001). c. Kesediaan
untuk
merekomendasi.
Kesediaan
pelanggan
untuk
merekomendasikan produk atau jasa kepada teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting untuk dianalisis dan ditindak, meliputi : 1) Menyarankan teman atau kerabat untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan karena pelayanan yang memuaskan 2) Menyarankan teman atau kerabat untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan karena memiliki peralatan medis yang lengkap 3) Menyarankan teman atau kerabat untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan karena fasilitas yang memadai (Tjiptono, 2001). Kepuasan pasien menurut Pohan (2007) diukur dengan indikator berikut: a. Kepuasan terhadap akses layanan kesehatan. Dinyatakan oleh sikap dan pengetahuan tentang: 1) Sejauh mana layanan kesehatan itu tersedia pada waktu dan tempat saat dibutuhkan.
21
2) Kemudahan memperoleh layanan kesehatan, baik dalam keadaan biasa ataupun dalam keadaan gawat darurat. 3) Sejauh mana pasien mengerti sistem layanan kesehatan, keuntungan dan tersedianya layanan kesehatan. b. Kepuasan terhadap mutu layanan kesehatan.
Dinyatakan oleh sikap
terhadap: 1) Kompetensi teknik dokter dan atau profesi layanan kesehatan lain yang berhubungan dengan pasien. 2) Keluaran dari penyakit atau perubahan yang dirasakan oleh pasien sebagai hasil dari layanan kesehatan (Pohan, 2007). c. Kepuasan terhadap proses layanan kesehatan, termasuk hubungan antar manusia. Ditentukan dengan melakukan pengukuran: 1) Sejauh mana ketersediaan layanan rumah sakit menurut penilaian pasien. 2) Persepsi tentang perhatian dan kepedulian dokter dan atau profesi layanan kesehatan lain. 3) Tingkat kepercayaan dan keyakinan terhadap dokter. 4) Tingkat pengertian tentang kondisi atau diagnosis. 5) Sejauh mana tingkat kesulitan untuk dapat mengerti nasehat dokter dan atau rencana pengobatan (Pohan, 2007). d. Kepuasan terhadap sistem layanan kesehatan. Ditentukan oleh sikap terhadap: 1) Fasilitas fisik dan lingkungan layanan kesehatan.
22
2) Sistem perjanjian, termasuk menunggu giliran, waktu tunggu, pemanfaatan waktu selama menunggu, sikap mau menolong atau kepedulian personil, mekanisme pemecahan masalah dan keluhan yang timbul. 3) Lingkup dan sifat keuntungan layanan kesehatan yang ditawarkan (Pohan, 2007).
5. Faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan Muninjaya (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna pelayanan kesehatan, diantaranya adalah: a. Pemahaman pasien tentang jenis pelayanan yang akan diterima b. Sikap peduli petugas kesehatan terhadap pasien c. Biaya d. Penampilan fisik petugas kesehatan, kondisi kebersihan dan kenyamanan ruangan e. Jaminan keamanan dari petugas kesehatan f. Keandalan dan keterampilan petugas kesehatan dalam memberikan perawatan g. Kecepatan petugas dalam menanggapi keluhan pasien Faktor-faktor yang berpengaruh tehadap kepuasan pelanggan menurut Simamora (2003) terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal: a. Faktor umur,
internal. jenis
Faktor kelamin,
penentu
internal
kepribadian
kepuasan
pasien,
pasien
harapan
yaitu pasien,
23
komorbiditas fisik dan psikologis (Choi dan Ra, 2016). Faktor internal merupakan factor yang berasal dari dalam diri individu sendiri, diantaranya adalah: 1) Karakteristik individu a) Usia Kebutuhan seseorang terhadap suatu barang atau jasa akan semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Faktanya kebutuhan terhadap pelayanan kuratif atau pengobatan semakin meningkat saat usia mulai meningkat dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pelayanan preventif (Trisnantoro, 2006). b) Jenis kelamin Menurut Trisnantoro (2006), tingginya angka kesakitan pada perempuan daripada angka kesakitan pada laki-laki menyebabkan perempuan membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih banyak. c) Tingkat pendidikan Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran akan status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Trisnantoro, 2006). Perbedaan tingkat pendidikan akan memiliki kecenderungan yang berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. d) Pekerjaan Secara langsung pekerjaan akan mempengaruhi status ekonomi seseorang. Seseorang yang berpenghasilan di atas rata-rata
24
mempunyai minat yang lebih tinggi dalam memilih pelayanan kesehatan (Trisnantoro, 2006). 2) Sosial Interaksi seseorang dengan orang lain akan mempengaruhi seseorang dalam memilih pelayanan kesehatan, seperti mendapatkan saran dari keluarga atau teman dalam memilih pelayanan kesehatan yang berkualitas (Simamora, 2003). 3) Faktor emosional Seseorang yang telah yakin bahwa orang lain puas pada pelayanan yang ia pilih maka orang tersebut cenderung memiliki keyakinan yang sama. Pengalaman dari orang lain terhadap pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada pendapatnya dalam hal yang sama (Simamora, 2003). 4) Kebudayaan Perilaku pasien sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan kebudayaan yang mereka miliki sehingga pemberi pelayanan kesehatan harus memahami peran pasien tersebut (Simamora, 2003).
b. Faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen menurut Moison dalam Prafitri (2012) yaitu: 1) Karakteristik produk Karakteristik produk yang dimaksud adalah karakteristik dari pelayanan kesehatan secara fisik, seperti kebersihan ruang perawatan
25
beserta perlengkapannya. Pasien akan merasa puas dengan kebersihan ruangan yang diberikan oleh pemberi pelayanan. 2) Harga Faktor harga memiliki peran penting dalam menentukan kepuasan pasien karena pasien cenderung memiliki harapan bahwa semakin mahal biaya pelayanan kesehatan maka semakin tinggi kualitas pelayanan yang diterima. 3) Pelayanan Pelayanan
merupakan
hal
terpenting
dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kepuasan pasien. Pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan harus kompeten dan memperhatikan kebutuhan pasien serta menghargai pasien. Pelayanan yang memberikan kesan baik akan meningkatkan kepuasan pasien. 4) Lokasi Lokasi pelayanan kesehatan misalnya jarak ke pelayanan kesehatan, letak kamar dan lingkungan. Pasien akan mempertimbangkan jarak dari tempat tinggal pasien ke pelayanan kesehatan, transportasi yang dapat menjangkau pelayanan kesehatan dan lingkungan pelayanan kesehatan yang baik. 5) Fasilitas Suatu pelayanan kesehatan harus memperhatikan sarana prasarana dalam memberikan fasilitas yang baik pada pasien. Hal tersebut
26
dilakukan untuk menarik minat pasien dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. 6) Image Reputasi suatu pelayanan kesehatan merupakan hasil interpretasi dan penilaian dari pasien. Pasien akan menerima dan memberikan informasi tentang pelayanan yang pernah ia terima. Informasi yang bersifat positif akan memberikan citra positif bagi pelayanan kesehatan tersebut. 7) Desain visual Pasien yang menjalani perawatan membutuhkan rasa nyaman saat dalam ruang perawatan. Ruangan yang memberikan rasa nyaman harus memperhatikan tata ruang dekorasi yang indah. Pasien merasa puas bila mendapat kenyamanan saat menjalani perawatan. 8) Suasana Suasana pelayanan kesehatan yang nyaman dan aman akan memberikan kesan positif bagi pasien dan pengunjung. Tidak hanya kenyamanan suasana secara fisik, namun suasana keakraban antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan akan mempengaruhi kepuasan pasien. 9) Komunikasi Interaksi antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan dapat terjalin baik dari komunikasi yang baik pula. Setiap keluhan pasien harus cepat diterima oleh pemberi pelayanan kesehatan agar pasien merasa
27
dipedulikan. Perasaan dipedulikan oleh pemberi pelayanan kesehatan akan memunculkan kesan positif bagi pelayanan kesehatan tersebut. Menurut Kotler dalam Hufron dan Supratman (2008) mutu atau kualitas pada umumnya dapat diukur, namun mutu jasa pelayanan sulit diukur karena umumnya bersifat subjektif sebab menyangkut kepuasan seseorang, bergantung pada persepsi, latar belakang, sosial ekonomi, norma, pendidikan, budaya, bahkan kepribadian seseorang.
6. Kualitas pelayanan Kualitas adalah keseluruhan ciri dan sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat (Kotler, 2005). Menurut Azwar (2004) kualitas pelayanan bersifat multidimensional, yaitu kualitas menurut pemakai pelayanan kesehatan dan menurut penyedia jasa layanan kesehatan. a. Pelayanan dari segi pemakai jasa. Kualitas pelayanan terutama berhubungan dengan ketanggapan dan kemampuan petugas dalam memenuhi kebutuhan pasar dan komunikasi pasien termasuk di dalamnya sifat ramah dan kesungguhan. b. Pelayanan dari pihak penyedia jasa. Kualitas pelayanan terkait pada pemakaian yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Aspek mutu yang dapat dipakai sebagai indikator penilaian mutu pelayanan suatu rumah sakit, yaitu (Suryawati, 2004): a. Penampilan keprofesian yang ada di rumah sakit.
28
b. Efisiensi
dan
efektivitas
penyelenggaraan
pelayanan
berdasarkan
pemakaian sumber daya. c. Aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. d. Aspek kepuasan pasien yang dilayani. Menurut Azwar (2004) secara umum dapat dirumuskan bahwa batasan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai kode etik dan standar yang telah ditetapkan. Kualitas pelayanan kesehatan merupakan suatu fenomena unik sebab dimensi dan indikatornya dapat berbeda diantara orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Perbedaan diatasi dengan memakai suatu pedoman yaitu hakikat dasar dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan dapat dicapai dengan menetapkan dan mengendalikan karakteristik mutu pelayanan serta karakteristik penghantaran pelayanan. Karakteristik mutu pelayanan adalah ciri pelayanan yang diidentifikasi diperlukan untuk mencapai kepuasan konsumen. Ciri tersebut dapat berupa psikologis, orientasi waktu, etika dan teknologi (Siregar, 2004). Sedangkan pendapat lain diungkapkan oleh Reid dan Bojanic (2001) “Service quality is perception resulting from attitudes formed by customers long term overall evaluations of performances”. Arti dari definisi tersebut kualitas pelayanan adalah hasil persepsi dari bentuk tingkah laku pelanggan secara keseluruhan terhadap penampilan suatu barang atau jasa.
29
Menurut Lewis & Booms, kualitas layanan adalah ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi konsumen (Tjiptono dan Chandra, 2005). Kualitas pelayanan merupakan salah satu strategi bisnis yang ditekankan pada pemenuhan keinginan konsumen. Di sisi lain, kinerja perusahaan dan kepuasan konsumen merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Kinerja berpengaruh langsung terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, suatu unit bisnis diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya, dimulai dengan mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen. Parasuraman, et. al. (1988) menyebutkan kualitas pelayanan dapat diukur dengan menggunakan lima indikator dimensi kualitas pelayanan (SERVQUAL) sebagai berikut: a. Tangibles. Yaitu tentang representasi fisik dari pelayanan, fasilitas fisik, peralatan yang digunakan penyedia pelayanan dan penampilan personil. b. Reliability. Yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan dengan segera, akurat dan memuaskan sesuai dengan yang dijanjikan. Hal ini berarti perusahaan memberikan pelayanannya secara tepat sejak pertama kalinya c. Responsiveness. Yaitu keinginan dan kesigapan dari para karyawan untuk membantu pelanggan dalam memberikan pelayanan dengan sebaikbaiknya d. Assurance. Yaitu kemampuan para karyawan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan terhadap perusahaan berupa kompetensi (memiliki
30
keterampilan dan pengetahuan yang berhubungan dengan perusahaan); kesopanan (sikap sopan santun, perhatian dan keramahtamahan yang dimiliki oleh para contact personel); kredibilitas (sifat jujur dan dapat dipercaya yang mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan dan karakteristik pribadi. e. Emphaty. Yaitu perhatian yang tulus dan bersifat pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya untuk memahami keinginan pelanggan
7. Pelayanan kesehatan yang bermutu Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Hal ini telah disadari sejak berabad-abad yang lalu, sampai saat ini para ahli kedokteran dan kesehatan senantiasa berusaha meningkatkan mutu dirinya, profesinya, maupun peralatan kedokterannya, kemampuan manajerial kesehatan, khususnya manajemen mutu pelayanan kesehatan juga ditingkatkan (Wijono, 1999). Kotler (2004), kualitas (mutu) adalah keseluruhan ciri serta sifat suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Lewis dan Booms yang dikutip dalam Tjiptono (2008) menyatakan kualitas pelayanan adalah ukuran seberapa baik tingkat pelayanan yang diberikan mampu dan sesuai dengan ekspektasi pelanggan.
31
Pelayanan kesehatan dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan memenuhi
berbagai
syarat,
diantaranya:
tersedia
(available),
wajar
(appropriate), berkesinambungan (continue), dapat dijangkau (affordable), dan bermutu (quality) (Kotler, 2000). Mutu pelayanan dapat dipersepsikan baik dan memuaskan pasien jika jasa yang diterima sesuai atau melebihi dari yang diharapkan dan sebaliknya mutu pelayanan dipersepsikan jelek atau tidak memuaskan jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan (Supranto, 2006).
8. Program Jaminan Kesehatan Nasional Pemerintah telah menjamin kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional
(JKN)
bagi
kesehatan
perorangan
dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali (Anonim, 2015). Pengatasan hal tersebut pada Tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk
32
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan badan hukum publik milik Negara yang bersifat nonprofit dan bertanggung jawab kepada presiden (Anonim, 2015). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 menetapkan Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014 (Anonim, 2015). Pesertanya meliputi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai berikut: a. Peserta PBI jaminan kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas: 1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri SipiL, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai negeri, pegawai swasta. 2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya. 3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja yang tidak termasuk di atas yang mampu membayar iuran. 4) Penerima pensiun
33
Setiap peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta dan manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dan berkewajiban untuk membayar iuran dan melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja (Anonim, 2014).
9. Profil RSUD Sleman Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman merupakan Satuan Kerja Organisasi Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman yang berlokasi di jalur strategis Jalan raya Yogjakarta–Magelang atau Jalan Bhayangkara 48, Murangan, Triharjo, Sleman. Sebagai RSUD pertama yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sleman dan memiliki sejarah panjang sejak jaman penjajahan Belanda, Jepang hingga masa kemerdekaan (Anonim, 2016). Tahun 1977 dinyatakan berdiri secara resmi sebagai Rumah Sakit Umum Pemerintah dengan tipe D berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 01065/Kanwil/1977, tanggal 5 November 1977. Perubahan kelas D ke kelas C diperoleh pada tanggal 15 Februari 1988. Sedangkan kenaikan kelas C ke kelas B Non-Pendidikan diperoleh sejak Tahun 2003 hingga saat ini (Anonim, 2016).
34
Kedudukan Rumah Sakit Umum Daerah Sleman berdasarkan Peraturan Bupati nomor 48 Tahun 2009, tentang uraian tugas, fungsi dan tata kerja Rumah Sakit Umum Daerah Sleman merupakan unsur pendukung pemerintah daerah yang dipimpin oleh direktur yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati melalui sekretaris daerah. RSUD Sleman mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang
pelayanan
kesehatan
masyarakat.
RSUD
Sleman
dalam
melaksanakan tugas tersebut, menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis bidang pelayanan kesehatan masyarakat. b. Pelaksanaan tugas bidang pelayanan kesehatan masyarakat. c. Penyelenggaraan
pelayanan
umum
bidang
pelayanan
kesehatan
masyarakat. d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya (Anonim, 2016).
Visi RSUD Sleman. Visi merupakan gambaran (mimpi) mengenai masa depan yang hendak diwujudkan. David Osborne & Gaebler (1992) menyatakan bahwa kekuatan organisasi pemerintah yang digerakkan oleh visi dan misi adalah lebih baik daripada digerakkan oleh aturan-aturan formal. Adapun visi RSUD Sleman yang telah dicanangkan adalah: “Menjadi Rumah Sakit Andalan Kabupaten Sleman” (Anonim, 2016).
Misi RSUD Sleman. Adapun misi menjelaskan jalan yang dipilih untuk menuju masa depan yang akan diwujudkan itu. Untuk mewujudkan visi
35
tersebut, maka telah pula dirumuskan dua pernyataan misi RSUD Sleman yaitu:
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas, paripurna dan terjangkau
dengan
dukungan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
kedokteran/kesehatan (iptekdokkes) yang memadai. Misi ini meliputi: 1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagai produk inti (core business) selalu diupayakan dengan mengedepankan standar kualitas, yakni: ISO 9001:2000 dan Standar Akreditasi Rumah Sakit atau standar lain yang baku baik secara administratif, yuridis maupun substantif. 2) Penyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilakukan dengan total care dan tuntas/paripurna sehingga atas setiap pasien yang membutuhkan pelayanan harus diupayakan untuk dilayani seoptimal mungkin dalam batas kemampuan sumber daya manusia dan peralatan yang dimiliki. 3) Penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
dipungut
tarif
dengan
memperhatikan aspek keterjangkauan/kemampuan masyarakat (ability to pay (ATP)/willingness to pay (WTP) tanpa meninggalkan prinsip full cost recovery prices agar rumah sakit tidak merugi tetapi juga tidak mengutamakan keuntungan (nonprofit oriented). Besaran tarif pada dasarnya sama dengan unit cost pelayanannya.
36
4) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan diarahkan agar lebih banyak memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan (iptekdokkes) yang optimal baik sarana, prasarana maupun terapi untuk memperoleh validitas hasil dan jaminan akurasi serta kecepatan pelayanan. 5) Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui pengembangan sumber daya manusia dan upaya pengembangan jejaring (networking) pelayanan dan kemitraan (Anonim, 2016). b. Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui pengembangan sumber daya manusia dan upaya pengembangan jejaring (networking) pelayanan dan kemitraan. Misi ini meliputi: 1) Melaksanakan pengelolaan pengembangan sumber daya manusia RSUD Sleman secara terencana, objektif dan berorientasi pada peningkatan skill, komitmen dan loyalitas. 2) Meningkatkan kerjasama antar lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan seperti puskesmas, dokter/bidan praktek, dan rumah sakit lain. 3) Membangun kerjasama dengan para supplier/penyedia barang dan jasa sehingga terdapat jaminan ketersediaan logistik rumah sakit seperti bahan makan, obat, alat kesehatan, bahan medis, jasa servis dan pemeliharaan serta barang/jasa lain.
37
4) Pelaksanakan pengelolaan pendidikan dan pelatihan bagi mahasiswa program Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana dari Perguruan tinggi yang telah bekerja sama dengan RSUD Sleman (Anonim, 2016).
10. Landasan teori Program jaminan kesehatan nasional dari pemerintah diharapkan dapat mempermudah masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan, salah satunya adalah pelayanan obat. Kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan obat merupakan salah satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan. Kepuasan dapat diukur dengan membandingkan antara harapanharapan dari pasien terhadap kinerja pemberi pelayanan kesehatan. Jika kinerja di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas (Kotler, 2005). Pengukuran kualitas pelayanan dapat menggunakan lima indikator dimensi kualitas pelayanan (SERVQUAL) yaitu bukti langsung (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (emphaty) (Parasuraman, dkk., 1988). Menurut penelitian Sri Yuniarti (2015) terdapat hubungan antara kualitas pelayanan rumah sakit dengan tingkat kepuasan pasien BPJS di Ruang Perawatan RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak sehingga
38
penting bagi pihak rumah sakit untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan yang ada untuk mencapai kepuasan pasien yang lebih maksimal. Penelitian Alamri, dkk. (2015) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara mutu pelayanan dengan kepuasan pasisen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Yesi Nurhayati (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara mutu pelayanan kesehatan terhadap kepuasan pasien peserta BPJS di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2015. Penelitian Sinurat & Zulkarnain (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik responden (jenis kelamin, usia, pendidikan akhir, pekerjaan, penghasilan tiap bulan, dan jarak tempat tinggal) dengan tingkat kepuasan pasien. Faktor – faktor yang mempengaruhi demand pasien terhadap pelayanan kesehatan (Anonim, 2004) adalah a. Insiden penyakit yang menggambarkan kejadian penyakit b. Karakteristik demografi dan sosial budaya yang meliputi status perkawinan, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan sistem nilai budaya yang ada pada keluarga atau masyarakat c. Faktor ekonomi antara lain pendapatan, harga pelayanan medis dan nilai waktu yang dipergunakan untuk mencari pengobatan. Menurut Lumenta (1989) kelompok umur produktif cenderung lebih banyak menuntut dan berharap banyak terhadap kemampuan pelayanan kesehatan dasar dan cenderung mengkritik sesuai dengan penelitian. Hal
39
tersebut sesuai dengan penelitian Abdillah dan Ramdan (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kepuasan pasien. Laki-laki lebih banyak menuntut dan berharap terhadap kemampuan pelayanan kesehatan dasar dan cenderung mengkritik daripada perempuan. Laki-laki juga cenderung lebih mempengaruhi perempuan dalam memberikan pendapat atau pertimbangan untuk melakukan sesuatu (Lumenta,1989). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung banyak menuntut atau mengkritik terhadap pelayanan yang diterimanya jika memang menurutnya kurang puas. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung lebih banyak menerima karena tidak tahu apa yang dibutuhkannya, asal sembuh saja itu sudah cukup baginya (Lumenta,1989). Kelompok masyarakat yang bekerja cenderung dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan juga lingkungan keluarga. Hal ini ada hubungannya dengan teori yang menyatakan bahwa seseorang yang bekerja cenderung lebih banyak menuntut atau mengkritik terhadap pelayanan yang diterimanya jika memang tidak merasa puas bagi dirinya dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Akan tetapi faktor tidak mutlak demikian karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi (Lumenta, 1989). Menurut Benyamin Lumenta (1989), sumber dana sangat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Tingkat tercapainya pelayanan medis juga ditentukan biaya yang meningkat sehingga faktor ekonomi sebenarnya menjadi penyebab utama naik dan turunnya tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Semakin tinggi penghasilan yang diperoleh
40
maka semakin tinggi pula harapan atau keinginan yang lebih. Akan tetapi, faktor ini tidak mutlak demikian adanya, tidak terlepas dari sesuatu hal yang mempengaruhinya. Kombinasi dari kebutuhan normatif dengan kebutuhan yang dirasakan untuk konsumsi pelayanan kesehatan, konsumen sering tergantung kepada informasi yang disediakan oleh institusi pelayanan kesehatan ditambah dengan preferensinya. Faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain adalah pendapatan, harga, lokasi dan mutu pelayanan (Bennet, 1987). Penelitian Sudibyo, dkk. (2008) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lokasi tempat tinggal dengan tingkat kepuasan pasien.
11. Kerangka konsep penelitian RSUD Sleman
Kualitas Pelayanan Obat
Tangibles
Reliability
Responsiveness
Assurance
Kepuasan Pasien Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Emphaty
41
12. Hipotesis a. Pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional di bangsal penyakit dalam tidak puas terhadap kualitas pelayanan obat yang diberikan RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016. b. Terdapat ketidaksesuaian antara harapan pasien rawat inap pengguna jaminan kesehatan nasional terhadap kinerja pelayanan obat di bangsal penyakit dalam RSUD Sleman pada Bulan November 2015-Januari 2016 ditinjau dari dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. c. Karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan, dan jarak rumah dengan rumah sakit) berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien.