BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Gaharu adalah hasil hutan bukan kayu berupa resin yang telah digunakan sebagai pewangi dengan nilai komersial tinggi, yang terbentuk akibat pohon terinfeksi oleh fungi yang masuk ke dalam pohon atau akibat perlukaan (Adelina dkk., 2004). Ada berbagai pohon penghasil gaharu, salah satunya yang paling banyak ditemui adalah jenis Aquilaria malaccensis Lam. yang termasuk keluarga Thymelaeaceae. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Thailand (Moosa, 2010). Resin gaharu yang benilai ekonomi tinggi menyebabkan pohon gaharu banyak ditebang sembarangan tanpa adanya penanaman kembali untuk diambil resin dan dijual hingga ke mancanegara, sehingga jumlahnya jauh berkurang dan terancam punah. Resin terbentuk sebagai eksudat tanaman baik diperoleh secara alami ataupun akibat kondisi patogenik, berupa senyawa amorf solid atau semisolid yang tidak larut dalam air, tetapi kebanyakan larut dalam alkohol atau pelarut organik lain, umumnya berbentuk keras, transparan, dan dapat melebur (Kar, 2007). Oleh karena itu, pohon gaharu masuk dalam Appendix II CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) sehingga penebangan dan perdagangannya dibatasi (CITES, 2009). Kini pohon gaharu telah banyak dibudidayakan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di berbagai wilayah untuk menjaga
2
kelestarian alam, keberlanjutan ekspor, dan menuju produksi gaharu yang lestari di Indonesia. Kayunya telah digunakan sebagai obat, dupa, dan parfum baik di negaranegara Asia maupun Timur Tengah. Pohon yang terinfeksi memproduksi resin mulai dari umur 20 tahun dan paling baik diperoleh pada umur 50 tahun ke atas, sedangkan pada pohon yang dibudidaya gaharu dapat diproduksi paling cepat umur 3 tahun (Barden dkk., 2000). Dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar diperoleh gaharu yang siap dijual, sedangkan daunnya belum dimanfaatkan. Perlu diketahui kandungan dan manfaat daun gaharu sehingga dapat dimanfaatkan terutama bagi kesehatan selagi menunggu resinnya dapat dipanen. Daun gaharu ini berpotensi sebagai bahan produksi industri kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT) apalagi saat ini masyarakat mulai banyak memanfaatkan bahan alam untuk perawatan, pencegahan, dan pengobatan. Ekstrak metanol dan air daun gaharu mengandung alkaloid, flavonoid, tritepenoid, steroid, saponin, dan tanin (Wil dkk., 2014). Adapun senyawasenyawa tersebut dapat berperan sebagai antioksidan alami. Antioksidan alami dinilai lebih aman daripada antioksidan sintetik yang dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan mutagenik dan karsinogenik (Amarowicz dkk., 2000). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan, yang mampu menginaktivasi
berkembangnya
reaksi
oksidasi,
dengan
cara
mencegah
terbentuknya radikal dan mengikat radikal bebas maupun molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Radikal bebas yang berasal dari lingkungan maupun dalam tubuh (Winarsi, 2007) akan terlibat
3
langsung dalam proses degeneratif tubuh seperti penuaan, kanker, penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, kelainan saraf, iritasi kuit, dan peradangan (Winarsi, 2007). Oleh karena itu, diperlukan antioksidan untuk menetralisir kelebihan senyawa radikal di dalam tubuh guna mencegah terjadinya penyakitpenyakit degeneratif yang dapat diperoleh dari daun gaharu sebagai sumber antioksidan alaminya. Penelitian sebelumnya menyebutkan daun gaharu memiliki aktivitas antioksidan baik pada ekstrak air (Wil dkk., 2014), ekstrak metanol maupun pada fraksi n-heksana, diklormetan, etil asetat, dan n-butanol (Moosa, 2010). Dari penelitian Wil dkk. (2014) sebelumnya hanya dapat diketahui aktivitas antioksidan dan kandungan fenol total dari ekstrak etanol dan airnya, tetapi belum diketahui kandungan flavonoid totalnya. Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan karena dalam struktur senyawanya terdapat sistem yang dapat mereduksi radikal bebas dengan cara memberi elektron sehingga mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur aktivitas antioksidan serta kadar flavonoid total ekstrak alkoholik dan ekstrak air beserta fraksinya yang diperoleh dengan metode ekstraksi yang berbeda. Diperlukan suatu metode yang sederhana dengan peralatan dan larutan penyari yang aman dan mudah diperoleh bagi suatu IKOT. Metode ekstraksi dan larutan penyari yang digunakan menentukan kandungan zat aktif dalam ektrak yang dibuat. Maserasi dan infundasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana karena metodenya mudah dan peralatan yang diperlukan juga sederhana. Larutan
4
penyari yang diperlukan pada maserasi umumnya alkohol dan air, sedangkan infundasi menggunakan air (Depkes., 1986). Penelitian ini menggunakan pelarut etanol pada ekstraksi secara maserasi dan air pada infundasi, kedua pelarut ini berbeda polaritasnya sehingga senyawa-senyawa yang terlarut akan berbeda pula. Jenis pelarut yang digunakan pada kedua metode ini aman untuk digunakan selama proses pengolahan apabila diaplikasikan pada IKOT dan IOT dibandingan pelarut lainnya seperti metanol yang mengakibatkan efek toksik pada mata hingga menyebabkan kebutaan maupun menyebabkan kerusakan organ tubuh yang lainnya apabila terlalu lama terpapar oleh metanol (Anonim, 2005). Selain ekstrak daun gaharu pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan dan penetapan kadar flavonoid total pada fraksinya. Fraksinasi ekstrak dilakukan untuk memperoleh senyawa dengan kadar zat aktif yang lebih tinggi ataupun untuk mengeliminasi senyawa-senyawa yang tidak diharapkan ada dalam ekstrak yang dibuat (Depkes., 2000).
Pelarut yang
digunakan dalam fraksinasi akan menarik senyawa-senyawa yang kepolarannya mirip dengan polaritas pelarutnya. Fraksinasi ini dilakukan secara sederhana sehingga dapat diterapkan pada industri kecil dan diharapkan dapat meningkatkan kadar senyawa aktifnya. Fraksinasi secara padat-cair dengan n-heksana dilakukan pada ekstrak etanol daun gaharu yang dipekatkan, sehingga senyawa-senyawa yang tidak diperlukan seperti klorofil dapat terlarut dalam n-heksana dan senyawa flavonoidnya banyak tertinggal dalam fraksi tak larut n-heksana. Sedangkan fraksinasi secara padat-cair dengan etanol dilakukan pada ekstrak air daun gaharu yang dipekatkan, sehingga
5
senyawa-senyawa flavonoid dalam ekstrak banyak yang terlarut dalam etanol dan senyawa yang tidak diperlukan seperti sakarida dan protein tetap tertinggal dalam ekstrak airnya (Pramono, 2015a). Flavonoid umumnya banyak terlarut dalam pelarut etanol, kecuali dalam bentuk flavonoid poliglikosida, misalnya naringenin 4’-β-D-glukosil-7-β-rutinosida yang akan mudah larut dalam air. Ekstrak dan fraksinya ini lalu diuji aktivitas antioksidan dan ditentukan kadar flavonoid totalnya. Kemudian akan diketahui pula keterkaitan kadar flavonoid total yang ada dengan besarnya aktivitas antioksidan yang dihasilkan.
B. Rumusan Masalah 1. Ekstrak atau fraksi apakah yang memiliki aktivitas antioksidan paling besar diantara ekstrak etanol, fraksi tak larut n-heksana, ekstrak air, dan fraksi larut etanol daun gaharu ? 2. Apakah fraksinasi yang dilakukan efektif meningkatkan kadar flavonoid total ekstrak daun gaharu yang diperoleh secara maserasi dan infundasi ? 3. Apakah kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi tak larut n-heksana, ekstrak air, dan fraksi larut etanol daun gaharu berkorelasi dengan aktivitas antioksidan? C. Tujuan 1. Mengetahui fraksi atau ekstrak daun gaharu yang memiliki aktivitas antioksidan paling besar. 2. Mengetahui efektivitas fraksinasi pada ekstrak daun gaharu secara maserasi dan infundasi dalam meningkatkan kadar flavonoid total.
6
3. Mengetahui korelasi antara kadar flavonoid total ekstrak etanol, fraksi tak larut n-heksana, ekstrak air, dan fraksi larut etanol daun gaharu terhadap aktivitas antioksidan.
D. Manfaat Penelitian ini dapat melengkapi informasi aktivitas antioksidan beserta kandungan flavonoid total ekstrak daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.) pada metode ektraksi secara infundasi dan maserasi beserta fraksi, sehingga dapat menjadi dasar untuk penggunaannya dalam industri obat tradisional dan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan antioksidan dan flavonoid dalam daun gaharu terutama dalam bidang kesehatan.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Radikal bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki elektron bebas tidak berpasangan pada elektron terluarnya. Elektron bebas yang tidak berpasangan memiliki sifat sangat reaktif untuk berpasangan dengan elektron bebas lain membentuk molekul nonradikal (Birben dkk., 2012). Reaksi pembentukan radikal bebas secara umum melalui 3 tahap reaksi, yaitu:
Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, misalnya: Fe++ + H2O2 Fe+++ + OH- + •OH R1-H + •OH R1• + H2O
7
Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. R2-H + R1• R2• + R1-H R3-H + R2• R3• + R2-H
Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkapan radikal, sehingga potensi propagasinya rendah R1• + R1• R1- R1 R2• + R1• R2- R1 R2• + R2• R2- R2 dst. (Winarsi, 2007) Radikal bebas dapat menyebabkan modifikasi DNA dengan berbagai
cara, diantaranya dapat mendegradasi basa, pemutusan rantai DNA, modifikasi, mutasi, delesi, atau translokasi ikatan purin, pirimidin, atau gula, dan cross-linking dengan protein. Kebanyakan modifikasi DNA ini sangat berhubungan dengan terjadinya karsinogenesis, penuaan, neurodegeneratif, kardiovaskuler, dan penyakit autoimun (Birben dkk., 2012). Radikal bebas dapat berasal dari lingkungan seperti polusi udara, asap kendaraan, asap rokok, sinar ultraviolet, dan sebagainya. Radikal bebas dapat terbentuk di dalam tubuh, misalnya proses metabolisme yang melibatkan reaksi reduksi-oksidasi dapat menjadi sumber produksi radikal bebas yang berkelanjutan, radikal bebas atau oksidan yang berlebihan dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan sel (Packer dkk., 2004). Selain itu radikal bebas juga berperan dalam reaksi enzim katalisis, transfer elektron dalam mitokondria, transduksi sinyal dan ekspresi gen, aktivasi faktor transkripsi nukleus (Packer dkk., 2004). Proses metabolisme ini sering kali terjadi kebocoran elektron
8
yang menyebabkan mudahnya terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain (Winarsi, 2007). Bila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital terluarnya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, polisakarida maupun asam nukleat (DNA). Molekul yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Apabila ukuran biomolekul yang diserang semakin besar maka akan semakin besar kerusakannya (Winarsi, 2007). Bila dua senyawa radikal bebas bertemu, maka elektron-elektron tidak berpasangan tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang stabil, ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi : - Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas. - Radikal bebas menerima elektron dari senyawa bukan radikal bebas. - Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Halliwell & Gutteridge, 2000).
2.
Antioksidan Apabila senyawa radikal bebas diproduksi atau berada dalam jumlah berlebihan dalam tubuh, maka tubuh memerlukan senyawa yang dapat bersifat
9
sebagai antioksidan, yaitu senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, menangkap, menahan pembentukan atau meniadakan efek senyawa oksigen reaktif. Antioksidan bekerja dengan cara menghentikan pembentukan radikal bebas yang baru, menetralisir, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat radikal bebas (Lestariana, 2003), menginaktivasi atau menangkap radikal, dan memotong propagasi (pemutusan rantai) (Winarsi, 2007). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan yang mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal dan mengikat radikal bebas maupun molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A, dan βkaroten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin, dan lain-lain). Berdasarkan perannya terdapat 3 kelompok antioksidan di dalam tubuh yaitu: a. Antioksidan primer, adalah antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas untuk menghasilkan produk yang memiliki kestabilan termodinamis lebih baik dan mencegah terbentuknya radikal bebas baru. Contohnya enzim-enzim antioksidan yang aktivitasnya bergantung dengan adanya ion logam, seperti enzim superoksida dismutase (SOD) bergantung pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase yang bergantung pada Fe, enzim glutation peroksidase (GPx) bergantung pada Se, dan mentalbinding protein lainnya (Winarsi, 2007).
10
b. Antioksidan sekunder, dikenal juga sebagai antioksidan nonenzimatik yang diperoleh dari makanan, dapat memperlambat reaksi inisiasi dengan cara memutus rantai hidroperoksida (Wijaya, 1996), menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007). Contohnya vitamin A, vitamin E, vitamin C, β-karoten, asam urat, bilirubin, glutation, flavonoid, polifenol, asam lipoat, karotenoid (Packer dkk., 2004). c. Antioksidan tersier, yang digunakan untuk meperbaiki DNA, yaitu enzim metionin sulfoksida, reduktase (Wijaya, 1996). Untuk mencegah atau menghambat reaksi oksidatif dari makanan, antioksidan banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam lemak dan minyak maupun dalam proses pengolahan makanan. Adapun tipe antioksidan dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
Antioksidan sintetik Kebanyakan berupa senyawa fenolik seperti BHA (Butil Hidroksi Anisol),
BHT
(Butil
Hidroksi
Toluen),
TBHQ
(Tertiary
Butylhydroquinone), dan ester asam galat (misalnya propil galat (PG)) (gambar 1). Penggunaan antioksidan sintetik ini memiliki batasan yaitu 0,02% dari kandungan lemak atau minyak dalam makanan. Beberapa antioksidan dikombinasikan untuk mendapatkan efek yang sinergis seperti BHA dan BHT atau BHA dan PG. Namun antioksidan ini setelah penggunaan yang lama dapat memberikan efek toksik. Misalnya BHA yang pada dosis konsumsi berlebihan dapat memacu terjadinya kanker
11
(Amarowicz dkk., 2000), BHT dapat menyebabkan perubahan dalam tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA, dan induksi enzim (Farago, 1989), PG
dan
TBHQ
dapat
meningkatkan
terjadinya
karsinogenesis
(Amarowicz dkk., 2000).
Gambar 1. Senyawa antioksidan sintetik (a) BHA, (b) BHT, (c) TBHQ, (d) PG
Antioksidan alami Sebagai produk bahan alam, antioksidan jenis ini lebih sehat dan aman untuk digunakan serta telah menjadi alternatif dari antioksidan sintetik. Antioksidan alami banyak ditemukan dalam
berbagai tanaman,
mikroorganisme, jamur, dan jaringan hewan (Pokorny dkk., 2001). Adapun golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah golongan fenolik, flavonoid, asam fenolat, lignin, asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan tanin (Kahkonen dkk., 1999). Aktivitas antioksidan senyawa fenolik memiliki mekanisme sebagai berikut: a. Menangkal radikal seperti senyawa oksigen/nitrogen reaktif.
12
b. Menekan pembentukan senyawa oksigen/nitrogen reaktif dengan menghambat beberapa enzim atau senyawa pengkhelat logam yang berperan dalam produksi radikal bebas. c. Melindungi pertahanan antioksidan (Dai & Mumper, 2010).
3.
Analisis Antioksidan Metode yang banyak digunakan secara in vitro untuk menentukan kapasitas antioksidan kandungan suatu ekstrak atau makanan adalah sebagai berikut : a. Analisis berbasis HAT (hydrogen atom transfer / transfer atom hidrogen) Mengukur suatu antioksidan dalam meredam radikal bebas dengan mendonorkan
atom
hidrogen.
Mekanisme
HAT
dalam
aktivitas
antioksidannya adalah adanya atom H dari fenol (Ar-OH) yang ditransfer ke radikal ROO•, seperti pada reaksi berikut: ROO• + AH/ArOH ROOH + A•/ArO• Radikal ariloksi (ArO•) yang terbentuk dari reaksi antioksidan fenol dengan radikal peroksil tersebut kemudian distabilisasi dengan adanya resonansi (Apak dkk., 2013). Kapasitas antioksidan total sampel dihitung sebagai ekivalen Trolox berdasarkan kurva standar (Dai & Mumper, 2010). Analisis ini meliputi analisis ORAC (Oxygen Radical Absorbance Capacity), analisis TRAP menggunakan hidroklorida seperti 2,2’-azobis (2-amidinopropan) dihidroklorida (AAPH) sebagai generator radikal, dan analisis Pemudaran atau Pemutihan β-karoten (Apak dkk., 2013).
13
b. Analisis berbasis ET (Electron Transfer / Transfer Elektron) Kebanyakan analisis ini aksi antioksidan dipicu dengan suatu senyawa (pereaksi) potensial-redoks yang sesuai, senyawa antioksidan akan mereduksi senyawa (pereaksi) oksidan berwarna atau berfluoresensi sehingga dapat berubah warnanya, sebagai pengganti radikal peroksil. Tingkat perubahan warna berkorelasi dengan konsentrasi antioksidan dalam sampelnya (Apak dkk., 2013). Analisis ini meliputi :
Analisis Trolox-equivalent antioxidant capacity (TEAC) dengan pereaksi oksidan berupa 2,2'-Azinobis-(3-ethylbenzothiazoline-6sulfonic acid) kation radikal (ABTS+)
Analisis 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) DPPH● (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) merupakan radikal stabil yang memiliki panjang gelombang maksimum 515 nm (Apak dkk., 2013). DPPH merupakan metode yang cepat dan sederhana (tanpa memerlukan banyak step dan pereaksi) serta lebih murah dibandingkan metode lain (Alam dkk., 2013). Adanya senyawa antioksidan menyebabkan perubahan warna pada DPPH dari ungu menjadi kuning. Aktivitas antioksidan dihitung sebagai penurunan aktivitas DPPH sebesar 50% yang disebut efisien konsentrasi (EC50) atau dikenal juga dengan konsentrasi penghambatan (IC50) (Molyneux, 2004).
FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) dengan pereaksi oksidan Fe3+(2,4,6-tripiridil-s-triazin)2Cl3
14
CUPRAC (Cupric Reducing Antioxidant Capacity), menggunakan pereaksi oksidan berupa bis(neocuproine) Cu2+Cl2 (Dai & Mumper, 2010).
Meskipun kapasitas mereduksi sampel tidak berhubungan langsung dengan kemampuan menangkal radikal bebas, hal ini tetaplah menjadi parameter yang penting untuk antioksidan (Apak dkk., 2013).
4.
Senyawa Flavonoid
Gambar 2. Struktur flavonoid (Pokorny dkk., 2001)
Menurut Harborne (1987), flavonoid mempengaruhi sistem biologis pada manusia, seperti mempengaruhi kerja otot polos, sistem enzim, hepatoprotektif, memodulasi fungsi imun dan sel inflamasi, serta memiliki aktivitas antivirus dan antitoksik. Flavonoid memiliki rangka khas karbon penyusunnya yaitu C6-C3-C6 seperti pada gambar 2. Struktur dasarnya terdiri
15
dari 2 cincin aromatik yang terhubung oleh 3 rantai karbon alifatik, yang biasanya terkondensasi membentuk cincin piran atau furan. Flavonoid meliputi flavan, flavon, flavonol, isoflavon, flavonon, dan khalkon berada pada berbagai tipe jaringan tanaman tingkat tinggi (Pokorny dkk., 2001) (gambar 2). Flavonoid memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat dengan menangkal radikal anion superoksida, radikal lipid peroksil, dan radikal hidroksil. Selain itu, flavonoid mampu bekerja melalui berbagai macam reaksi diantaranya
menghambat
aktivitas
enzim
seperti
ksantin
oksidase,
myeloperoksidase, lipooksigenase, dan siklooksigenase. Flavonoid juga mampu mengkhelat ion logam, mengkhelat dengan substansi antioksidan lain seperti askorbat (Pokorny dkk., 2001). Sekitar 90% flavonoid dalam tanaman berada dalam bentuk glikosidanya (Pokorny dkk., 2001). Namun bentuk glikosida memiliki efektivitas antioksidan yang lebih rendah daripada bentuk aglikonnya (Pokorny dkk., 2001). Untuk mendapatkan aktivitas penangkalan radikal yang maksimal molekul flavonoid memerlukan kriteria berikut dengan ilustrasi seperti pada gambar 3: a. Memiliki struktur 3’,4’-dihidroksi (orto-dihidroksi) pada cincin B, sebagai pendonor elektron yang terbaik, sehingga meningkatkan stabilitas bentuk radikal dan berperan dalam delokalisasi elektron. b. Ikatan rangkap di posisi 2,3 dengan gugus 4-okso pada cincin C, yang memungkinkan delokalisasi elektron dari cincin B.
16
c. Adanya gugus 3-hidroksil pada cincin C dan gugus 5-hidroksil pada cincin A dengan gugus 4-okso, yang esensial untuk memaksimalkan potensi penangkapan radikal. d. Adanya gugus 3-hidroksil penting dalam aktivitas antioksidan. Glikosilasi pada posisi tersebut akan menurunkan aktivitasnya bila dibandingkan dengan aglikonnya (Pokorny dkk., 2001; Dai & Mumper, 2010). Flavonoid dengan gugus hidroksil bebas berperan dalam menangkal radikal bebas dan banyaknya gugus hidroksil, khususnya pada pada cincin B, akan meningkatkan aktivitas antioksidannya (Pokorny dkk., 2001). Gugus hidroksil pada cincin B merupakan sisi aktif yang utama dalam memutus rantai oksidasi (Pokorny dkk., 2001).
Gambar 3. Struktur flavonoid yang berhubungan dengan aktivitas antioksidan (Pokorny dkk., 2001) (a) 3’,4’-dihiroksiflavon; (b) senyawa flavon; (c) 5-hidroksiflavonol
Ekstraksi flavonoid dari dalam simplisia dapat dilakukan dengan pelarut polar, semi polar maupun nonpolar sesuai dengan kelarutan flavonoid yang diekstraksi. Kelarutan flavonoid berbeda-beda sesuai dengan golongan dan subtituennya (Robinson, 1985). Pelarut yang kurang polar akan mengekstraksi aglikon flavonoid, sedangkan pelarut yang lebih polar akan mengekstraksi glikosida flavonoid atau antosianin (Markham, 1988).
17
Gambar 4. Reaksi flavonoid dengan AlCl3 (Mabry dkk., 1970)
Metode yang digunakan untuk penetapan kadar flavonoid total salah satunya adalah metode yang ada pada Farmakope Herbal Indonesia Suplemen III (2013). Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya kompleks AlCl3 dengan gugus orto-dihidroksi atau ketohidroksi yang ada pada flavonoid sehingga menghasilkan warna (gambar 4). Oleh karena itu, senyawa flavonoid yang dapat bereaksi dengan pereaksi AlCl3 adalah semua senyawa flavonoid dengan gugus orto-dihidroksi atau ketohidroksi. Metode penetapan kadar flavonoid ini hanya spesifik pada flavonoid yang memiliki gugus ketohidroksi dan ortodihidroksi saja, sedangkan senyawa flavonoid yang tidak memiliki gugus tersebut tidak dapat bereaksi dan tidak termasuk dalam kadar flavonoid total yang diperoleh. Terdapat metode pengukuran
kolorimetri
lain
yaitu
menggunakan
pereaksi
2,4-
dinitrofenilhidrazin yang spesifik untuk senyawa flavanon, sehingga dengan menggunakan kedua metode tersebut diperkirakan hasil kedua pengukuran dapat memberikan kadar flavonoid total yang lebih realistis (Chang dkk., 2002).
18
5.
Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.) a. Klasifikasi daun gaharu (gambar 5) adalah sebagai berikut Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Myrtales
Keluarga
: Thymelaeaceae Gambar 5. Daun Aquilaria malaccensis Lam. (MPBD, 2016)
Marga
: Aquilaria
Jenis
: Aquilaria malaccensis Lam.
Sinonim
: Aquilaria agallocha Roxb. (IUCN, 1998)
b. Morfologi Aquilaria malaccensis Lam. adalah salah satu dari 15 jenis pohon gaharu yang ada di Indonesia, yang termasuk keluarga Thymelaeaceae. A. malaccensis tergolong pohon yang umumnya dapat tumbuh dengan tinggi hingga 40 m dan diameter batang 1,5-2,5 m. Tumbuhan gaharu mempunyai daun sederhana, dengan panjang tangkai daun 4-6 mm; bentuk daun bulat telur, hingga lonjong sampai lanset 7,5-12 cm x 2,5-5,5 cm, berwarna hijau mengkilap pada permukaan atas, dasar daun menipis atau tumpul, ujung meruncing, panjang ketajaman hingga 2 cm; vena daun di 12-16 pasang, tidak teratur, dan sering bercabang, pinggir daun tergolong rata (CITES, 2009). Batang A. malaccensis biasanya lurus, kadang-kadang bergalur; kulit batang halus, berwarna keputihan, dan percabangan yang ramping. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun.
19
A. malaccensis mulai berbunga dan menghasilkan buah pada umur 7-9 tahun dan pohon berukuran sedang dilaporkan dapat menghasilkan sekitar 1,5 kg benih pertahun saat musim normal. Buah berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 3-4 cm dan lebar 2,5 cm. Biji bulat telur yang ditutupi bulu halus berwarna kemerahan (CITES, 2009). c. Habitat Umumnya jenis ini tumbuh di wilayah barat Indonesia. Biasanya tumbuh di daratan rendah dan lereng gunung dengan ketinggian 200-750 m, iklim Koeppen tipe A-B dengan temperatur 14-320C dan curah hujan tahunan 2000-4000 mm. Tumbuhan ini tumbuh di tanah lempung berpasir (Adelina dkk., 2004). d. Status konservasi Utamanya kayu gaharu digunakan sebagai incense, parfum, dan obat tradisional. A. malaccensis merupakan jenis gaharu yang paling bernilai dan berkualitas dibandingkan jenis gaharu lainnya di Indonesia sehingga permintaan pasar dunia terhadap gaharu menjadi tinggi. Hal ini telah menarik minat masyarakat baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi
gaharu
secara
besar-besaran.
Akibatnya,
populasi
A.
malaccensis di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat terancam punah. Guna mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke–IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, A. malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting
20
telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak 2004, seluruh anggota genus Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES (CITES, 2009). e. Kandungan kimia (metabolit sekunder) daun gaharu Berdasarkan kemotaksonomi, daun gaharu yang termasuk jenis Aquilaria dan keluarga Thymelaeaceae mengandung senyawa-senyawa sebagai berikut (Hegnauer, 1973; Sheng-zhuo dkk., 2013) : 1) Diterpenoid dan triterpenoid Terdapat dua jenis senyawa diterpenoid yaitu jenis tigliane dan abietane. Jenis tigliane berupa senyawa 12-hidroksilforbol-13-asetat (gambar 6) dan 12-O-n-deka-2,4,6-trienoilforbol-13-asetat. Jenis abietane berupa senyawa metil abieta-8,9,12-trien-19-oat, metil-7oksodehidroabietat, asam 7α-hidroksipodokarpen-8-en-13-on-18-oat, 8-norisopimara-8,15-dien-4β-ol, kriptotansinon, dihidrotansinon I, tansinon I, tansinon IIA. Selain senyawa diterpenoid juga terdapat senyawa triterpenoid, berupa triterpen tertrasiklik dan pentasiklik. Jenis triterpen tetrasiklik, seperti dihidrocucurbitasin F, cucurbitasin I (gambar 6), heksanorcucurbitasin I, cucurbitasin D, isocucurbitasin D, neocucurbitasin B. Sedangkan jenis triterpen pentasiklik, seperti 22hidroksihopan-3-on, hederagenin, 2α-hidroksiursan (gambar 6), asam 2α-hidroksiursolat.
21
12-hidroksilforbol-13-asetat
Hederagenin
2α-hidroksiursan Cucurbitasin I Gambar 6. Senyawa diterpenoid dan triterpenoid daun gaharu
2) Seskuiterpen dan minyak atsiri
α-agarofuran β-agarofuran Agarospirol Gambar 7. Senyawa penyusun minyak atsiri daun gaharu
Umumnya senyawa ini berasal dari resin gaharu, meliputi senyawasenyawa seperti jenis agarofuran, cadinan, selinan, valencan, eremofilan, guaian, prezizan, vetispiran, dari minyak atsiri batangnya terisolasi senyawa aquilarin B. Komponen minyak atsiri meliputi agarol,
α-agarofuran,
β-agarofuran,
agarospirol
(gambar
7),
dihidroagarofuran, noroksoagarofuran, 4-hidroksidihidroagarofuran, dan 3,4-dihidroksiagarofuran.
22
3) Senyawa fenolik, flavonoid, tanin Meliputi senyawa coumarinolignan (aquillochin), flavan, 2-(2feniletil) kromon, dan tanin (gambar 8). Tidak ditemukan adanya senyawa kumarin lain selain aquillochin pada jenis Aquilaria. Senyawa jenis flavan diantaranya adalah senyawa 7-β-D-glikosida dari 5-O-metilapigenin, mangiferin, 5-O-xilosilglikosida dari 7-Ometilapigenin, 5-O-xilosilglikosida dari 7,4’-di-O-metilapigenin, 5-βD-glikosida
dari
7,3’-di-O-metilluteolin,
luteolin,
hidroksigenkwanin,
apigenin-7,4’-dimetileter,
trimetoksiflavon,
7,4’-dimetil-luteolin,
genkwanin,
5-hidroksil-7,3’,4’4’,5-dihidroksi-3’,7-
dimetoksiflavon, lethedioside A, lethedoside A, 7-hidroksi-4’metoksi-5-O-glukosa flavon, 7,3’-dimetoksi-4’-hidroksi-5-O-glukosa flavon, 7,4’-dimetoksi-5-O-glukosa flavon, luteolin-7,3’,4’ metileter, acacetin, formononetin, genkwanin 5-O-β-primeverosida, hesperetin, homoeriodiktiol. Pada minyak atsiri daun gaharu diperoleh sejumlah kecil senyawa difenil keton dan senyawa fenolik lainnya seperti aquilarinosida A, iriflofenon, 7-β-D-glukosida dari 5-O-metilapigenin, mangiferin,
2-O-α-L-ramnopiranosi-1,4,6,4’-trihidroksibenzofenon,
iriflofenon 2-O-α-ramnosida, iriflofenon 3,5C-α-ramnosida, serta 3,3’(3-hidroksipropan-1,2-diil) difenol. Selain itu, terdapat pula senyawasenyawa tanin seperti justisidin A, justisidin F, ciwujiaton, (+)siringaresinol,
glukopiranosida,
siringaresnol-4’-β-O-D-glukopiranosida.
siringaresinol-4,4’-di-O-β-D-
23
Ciwujiaton
Iriflofenon
(+)-siringaresinol
Justisidin A
Genkwanin
Aquillochin
Acacetin Herperetin Luteolin Gambar 8. Senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin daun gaharu
4) Senyawa lain-lain Terdapat pula senyawa sterin, lilin, asam sinamat, asam kelidonat, serta senyawa toksin seperti forbol, dafnetoksin, mezerein, huratoksin. Ekstrak metanol dan air daun gaharu mengandung alkaloid, flavonoid, tritepenoid, steroid, saponin, dan tanin (Wil dkk., 2014). Adapun senyawa kimia yang telah teridentifikasi dalam ekstrak metanol daun gaharu yang belum diinokulasi adalah asam n-heksadekanoat, gliserin, 2-propanon, 1,3 dihidroksi, 3,7,11,15-tetrametil-2-heksadesen-1ol (Phytol), dodesil akrilat, 2,3-dihidro-3,5-dihidroksi-6-metil - 4H piran-4-on, skualen (C30H50), 1-tetradekanol, 6-etil-5-hidroksi-2,3n,7trimetoksinaftokuinon, oktaetilen glikol monodesil eter (Khalil dkk.,
24
2013). Selain itu, juga telah diisolasi senyawa-senyawa 5-hidroksi-4’,7dimetoksi-flavon,
luteolin-7,3’,4’-trimetil
eter,
5,3’-dihidroksi-7,4’-
dimetoksiflavon (gambar 9), metilparaben, asam vanilat, asam phidroksibenzoat, asam siringat, asam isovanilat, β-sitosterol, stigmasterol, β-sitostenon, dan stigmasta-4,22-dien-3-on dari ektrak metanol daun gaharu (Li dkk., 2015). Fraksi n-heksana ekstrak metanol daun gaharu mengandung stigmasterol, β-sitosterol, 3-friedelanol (Moosa, 2010).
Gambar 9. Struktur senyawa flavonoid pada ekstrak metanol daun gaharu (1) 5-hidroksi-4’,7-dimetoksi-flavon, (2) luteolin-7,3’,4’-trimetil eter, (3) 5,3’dihidroksi-7,4’-dimetoksiflavon
Ekstrak metanol daun gaharu kering yang diperoleh dengan metode maserasi memiliki kadar fenolik total sebesar 176,17 ± 1,16 mg/g Ekuivalen asam galat (EAG) dan ekstrak airnya sebesar 181,11 ± 0,61 mg/g EAG (Wil dkk., 2014). Senyawa-senyawa folatil yang terkandung dalam daun gaharu antara lain berupa senyawa alkil (31,64%), ester (5,81%), keton (5,4%), asam (4,79%), aldehid (2,63%), alkohol (1,51%), kinolin (1,23%), fenol (0,62%), naftalen (0,51%), alkena (0,48%), philippines (0,36%), furan (0,33%), 1,8-sineol (0,23%), dan indol (0,16%) (Zheng dkk., 2015).
25
f. Kegunaan Pada penelitian sebelumnya daun gaharu berpotensi sebagai antioksidan (Moosa, 2010), antidiabetika (Yunus dkk., 2015), hepatoprotektif terhadap hepatotoksik yang diinduksi parasetamol pada tikus (Alam dkk., 2016), antimikroba terhadap bakteri S. flexneri dan P. aeruginosa pada ektrak airnya dan terhadap B. subtilis
pada ekstrak metanolnya (Dash dkk.,
2008), antikanker terhadap sel kanker serviks HeLa (Fatmawati dan Hidayat, 2016). Ekstrak metanol daun gaharu memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 1938 µg/mL, sedangkan ekstrak air daun gaharu memiliki IC50 1091 µg/mL (Wil dkk., 2014). 6.
Metode Penyarian Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari suatu bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisanlapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Peristiwa osmosa dan difusi berperan dalam proses penyarian (Depkes., 1986). Metode ekstraksi meliputi ekstraksi dengan pelarut secara panas dan secara dingin serta destilasi uap. Ekstraksi dengan pelarut cara dingin termasuk maserasi dan perkolasi. Ekstraksi dengan pelarut cara panas menggunakan refluks, alat soxhlet, dan infundasi (Depkes., 2000). Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut disertai beberapa kali penggojogan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes., 2000). Adanya pengadukan berfungsi untuk menghilangkan
26
atau memecah profil konsentrasi yang terbentuk akibat jenuhnya cairan penyari disekitar butir serbuk simplisia yang direndam yang perlu diganti dengan pelarut yang masih rendah konsentrasinya sehingga perbedaan konsentrasi tetap terjaga. Cairan penyari yang digunakan akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut, dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar, proses ini terus terjadi berulang-ulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi di dalam dan di luar sel (Depkes., 1986). Infundasi adalah metode pembuatan sediaan cair dengan cara menyari simplisia menggunakan air pada suhu 900 C selama 15 atau 30 menit (Depkes., 1986). Banyaknya bahan yang digunakan umumnya sebesar 10% dari infusa yang akan dibuat, kecuali bahan-bahan tertentu yang disebutkan dalam Farmakope. Selain itu juga, dalam menyari diperlukan air ekstra sebanyak dua kali bobot bahannya, kecuali dinyatakan lain (Duin, 1954). Panci infusa dan dekokta terdiri atas dua bagian, yaitu panci A yang berisi simplisia dan air; panci B yang berisi air berfungsi sabagai penangas air. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terekstraksi sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau pengumpulan ekstrak). Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa mudah menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air, berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa
27
tersebut dengan fase uap air dari ketel secara berkelanjutan sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa mudah menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Depkes., 2000). Penyarian yang biasanya digunakan pada perusahaan obat sampai saat ini masih terbatas pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau etanol-air. Pertimbangan dalam pemilihan air dikarenakan air mudah diperoleh, murah, stabil, tidak mudah menguap dan terbakar, serta tidak beracun. Namun air bukan penyari yang selektif, sarinya dapat ditumbuhi kapang dan kuman, cepat rusak, dan untuk pengeringan memerlukan waktu lama. Sedangkan pertimbangan dalam pemilihan penyari etanol karena lebih selektif, kapang dan kuman lebih sulit tumbuh, tidak beracun, netral, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, pemanasan yang digunakan untuk pemekatan lebih sedikit, tapi etanol lebih mahal. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air dengan perbandingan tertentu tergantung bahan yang akan disari (Depkes., 1986). Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan kandungan senyawa tertentu (Depkes., 2000). Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda, tergantung pada kandungan senyawa dan kesesuaian polaritas senyawa dan pelarutnya. Senyawa polar akan selalu memiliki ikatan kovalen polar, tetapi ada senyawa nonpolar yang juga memiliki ikatan kovalen polar. Ikatan kovalen polar adalah ikatan antara dua atom yang memiliki elektronegativitas yang
28
cukup berbeda untuk dapat menyebabkan terjadinya perbedaan densiti elektron antar kedua atom. Perbedaan elektronegativitas ini menyebabkan terbentuknya molekul polar, dengan satu sisi memiliki muatan yang lebih positif dan sisi lainnya lebih negatif. Ikatan kovalen polar menimbulkan interaksi intermolekular dipol-dipol. Sedangkan molekul nonpolar terjadi akibat adanya ikatan kovalen nonpolar, yaitu ikatan kovalen di mana kedua atom pembentuk ikatan mempunyai elektronegativitas sama atau hampir sama menyebabkan elektron yang digunakan bersama pada ikatan tersebut sama. Ada keseimbangan elektronegativitas antaratom sehingga molekul nonpolar akan bersifat netral (McMurry, 2008; Sardjiman, 2011). Tabel I. Daya melarutkan cairan penyari terhadap kandungan kimia tumbuhan (Pramono, 2015a) Cairan Penyari Golongan Kandungan Kimia Heksan, Petroleum Eter, Toluen, Benzen Terpenoid (minyak atsiri), diterpen, triterpen, steroid, polimetoksi flavon, lipid, resin, klorofil, xantofil Semua diatas dan aglikon kumarin, Kloroform, Diklormetan antrakinon, alkaloid bebas, kurkuminoid, fenol bebas Semua diatas dan aglikon flavonoid Dietileter polihidroksi, asam fenolat, glikosida triterpen dan steroid Semua diatas dan flavonoid monoglikosida, Etil asetat, Aseton glikosida kumarin dan antrakinon, quasinoid Semua diatas dan flavonoid diglikosida, tanin Etanol, Metanol, Alkohol lain Semua yang diatas mulai dari yang larut Air panas dalam dietil eter, dan flavonoid poliglikosida, garam alkaloid, mono dan disakarida, asam amino. Poliosa dan protein menggumpal
Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi dapat disesuaikan dengan kandungan senyawa yang diinginkan. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada
kandungan
senyawa
aktif
(Depkes.,
2000).
Tabel
I
dapat
29
menggambarkan senyawa-senyawa yang tersari pada cairan penyari yang digunakan.
7.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) telah dikenal sebagai metode yang sederhana, cepat, murah, serta dapat digunakan untuk analisis kualitataif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis kuantitatif, dan isolasi skala preparatif. KLT juga memberikan teknik yang
mudah
pada
pemisahan
multidimensi
(misalnya
2
dimensi)
(Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). KLT merupakan salah satu metode kromatografi cair dengan cara mengaplikasikan sampel sebagai sebuah bercak atau totolan kecil pada sebuah lapisan tipis penjerap pada lapisan planar dari bahan gelas, plastik atau pelat logam. Fase gerak berjalan melalui fase diam secara sistem kapilaritas, kadangkala diiringi gaya gravitasi atau gaya tekan. Pemisahan KLT terjadi secara terbuka dan tiap komponen mempunyai total waktu migrasi yang sama namun berbeda jarak migrasinya. Komponenkomponen dalam sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda seiring pergerakan fase gerak melewati fase diam, dan disebut pengembangan kromatogram (Sherma, 1996). Fase gerak KLT terdiri dari solven tunggal maupun campuran solven organik dan atau solven yang mengandung air (aqueous) (Fried & Sherma, 1994). Beragam sistem fase gerak yang digunakan dalam pemisahan flavonoid menggunakan KLT. Seperti glikosida flavonon, glikosida isoflavon dapat menggunakan fase gerak n-butanol-asam
30
asetat-air (4:1:5 fase atas) dengan fase diam silika gel (Andersen dan Markham, 2006). Beberapa penjerap yang telah digunakan pada lempeng KLT antara lain, adsorben anorganik (silika atau silika gel dan alumina), lapisan organik (selulosa, poliamida), senyawa organik polar yang terikat secara kovalen pada matriks silika gel modifikasi (diol, sianopropil, dan aminopropil), dan senyawa organik nonpolar yang terikat pada fase diam (RP2, RP8, RP18) dengan densitas berbeda yang menutupi matriks silika gel (WaksmundzkaHajnos dkk., 2008). Fase diam yang biasa digunakan dalam pemisahan flavonoid adalah silika gel, selulosa, dan poliamida (Andersen dan Markham, 2006) Tabel II. Penafsiran senyawa flavonoid berdasarkan fluoresensi di bawah sinar UV 366 nm pada fase diam kertas atau lempeng selulosa (Pramono, 2015b) Fluoresensi bercak tanpa Perkiraan Flavonoid pereaksi penampak bercak a. Flavon dengan 5-OH bebas Ungu Gelap b. Flavonol dengan 5-OH bebas dan 3-OH tersubstitusi a. Flavon tanpa 5-OH bebas b. Flavon dengan 5-OH tersubstitusi Biru c. Flavonol tanpa 5-OH bebas dan dengan 3-OH tersubstitusi d. Flavonol dengan 3-OH dan 5-OH tersubstitusi Kuning Flavonol dengan 5-OH bebas a. Flavonol tanpa 5-OH bebas Hijau-kuning b. Flavonol dengan 5-OH tersubstitusi
Deteksi menjadi sangat sederhana saat komponen-komponen yang dianalisis secara alami mempunyai warna, fluoresensi atau mengabsorbsi sinar ultraviolet (UV). Umumnya senyawa flavonoid mampu meredam lempeng yang berfluoresensi pada lampu UV 254 nm dan berfluoresensi pada UV 366 nm yang nampak sebagai bercak yang terang dengan latar belakang gelap (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Fluoresensi flavonoid pada UV 366 nm
31
tergantung strukturnya sehingga dapat berfluoresensi kuning, hijau, atau biru seperti pada tabel II, yang intensitas dan perubahannya dapat dipengaruhi oleh pereaksi semprot (Andersen dan Markham, 2006). Visualisasi menggunakan pereaksi semprot biasanya dibutuhkan untuk memproduksi warna atau fluoresensi pada sebagian besar komponen (Sherma, 1996). Deteksi menggunakan uap iodin pada lempeng KLT akan memberikan bercak berwarna kuning-coklat pada senyawa flavonoid dengan latar belakang putih (Andersen dan Markham, 2006). Gugus orto-dihidroksi yang terdapat pada cincin B flavon dan flavonol serta pada cincin A (pada C-6,7 atau C-7,8) dapat dideteksi dengan asam borat/natrium asetat (Mabry dkk., 1970). Penampakan bercak setelah elusi menjadi data penting untuk menentukan golongan senyawa. Setiap golongan senyawa memiliki warna bercak yang khas. Parameter dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan migrasi dalam KLT adalah nilai Rf. Nilai Rf adalah 𝑅𝑓 =
jarak bercak dari titik penotolan jarak total yang dicapai fase gerak dari titik penotolan
Nilai Rf berkisar antara 1 hingga 0, atau dari 100 hingga 0 jika dikalikan 100 atau sering disebut hRf (Sherma, 1996). Harga Rf dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur kimia senyawa yang dipisahkan, sifat penyerap dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penyerap, kemurnian fase gerak, tingkat kejenuhan uap di dalam bejana pengembangan, teknik percobaan (elusi secara menaik; menurun ataupun cara elusi 2 dimensi), jumlah cuplikan, suhu, dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 2002).
32
8.
Spektrofotometri UV-Visibel
Gambar 10. Transisi elektronik (Pavia, 2001)
Spektrofotometri
UV-Visibel
memiliki
daerah
dengan
panjang
gelombang 190-800 nm. Ketika suatu radiasi dilewatkan melalui suatu materi yang transparan, sebagian dari radiasi dapat diserap. Radiasi yang tidak diserap ketika melewati prisma, selisih spektrumnya disebut dengan spektrum serapan. Sebagai akibatnya atom atau molekul dari energi rendah (ground state) akan menuju ke energi yang lebih tinggi (kondisi tereksitasi) (gambar 10). Radiasi elektromagnetik yang diserap memiliki energi yang tetap equal atau setara dengan perbedaan energi pada kondisi terkesitasi dan ground state (Pavia, 2001). Suatu molekul ditetapkan dengan spektrofotometer UV-Visibel. Interaksi antara senyawa yang mempunyai gugus kromofor dan gugus auksokrom sebagai pendukung untuk meningkatkan probabilitas transisinya. Gugus kromofor adalah gugus yang terdiri atas ikatan rangkap terkonjugasi dan dapat menyerap sinar UV. Sedangkan gugus auksokrom adalah atom atau gugus fungsional yang memiliki elektron bebas tidak berpasangan, tidak menunjukkan absorbsi sendiri tetapi dapat mempengaruhi panjang gelombang atau intensitas suatu pita absorpsi dari suatu kromofor (Sastrohamidjojo, 1991).
33
Jumlah serapan radiasi elektromagnetik akan sebanding dengan jumlah molekul penyerapnya, sehingga spektra absorbansi dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Spektra absorbansi umumnya terekam sebagai suatu plot serapan terhadap panjang gelombang. Kuantitas serapan energi oleh suatu senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi (Fessenden & Fessenden, 1995). Gugus auksokrom yang terikat pada gugus kromofor akan meningkatkan absorbansinya dan menggeser puncak serapan ke panjang gelombang lebih tinggi. Peningkatan intensitas absorbansi dinamakan efek hiperkromik, sedangkan penurunan intensitas absorbansi dinamakan dengan efek hipokromik. Pergeseran yang diakibatkan oleh auksokrom dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu : a.
Pergeseran batokromik, yaitu pergeseran merah atau pergeseran ke panjang gelombang yang lebih tinggi.
b.
Pergeseran hipsokromik, yaitu pergeseran biru atau pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek (Sastrohamidjojo, 1991).
Gambar 11. Struktur dasar flavonoid (Mabry dkk., 1970)
Analisis flavonoid dengan spektoskopi UV dapat digunakan pereaksi natrium metoksida, alumunium klorida (AlCl3), natrium asetat, asam borat (H3BO3). Spektra metanol dari flavon dan flavonol menunjukkan ada 2
34
puncak absorbsi pada daerah 240-400 nm. Kedua puncak ini biasa disebutkan sebagai pita I (biasanya pada 300-380 nm) dan pita II (biasanya pada 240-280 nm). Pita I berhubungan dengan absorbsi oleh sistem sinamoil cincin B sedangkan pita II berhubungan dengan absorbsi sistem benzoil cincin A seperti pada gambar 11. Penggunaan pereaksi tertentu dapat untuk mengidentifikasi letak gugus hidroksi pada struktur flavonoid. Natrium metoksida yang merupakan basa kuat dapat mengionisasi gugus hidroksil pada posisi 3’ atau 4’ yang menyebabkan pergeseran batokromik pada kedua pita. Natrium asetat yang merupakan basa lemah hanya dapat mengionisasi gugus hidroksi yang lebih asam pada flavon dan flavonol, seperti ionisasi pada gugus 7’-hidroksi yang menyebabkan pita II mengalami pergesaran batokromik 5-20 nm. Keberadaan asam asetat menyebabkan asam borat mengkhelat gugus orto-dihidroksi pada semua lokasi kecuali C-5,6, sehingga cincin B yang memiliki gugus ortodihidroksi akan mengalami pergeseran batokromik pada pita I 12-30 nm. Reaksi dengan alumunium klorida menyebabkan flavon dan flavonol yang memiliki gugus hidroksi pada C-3 atau C-5 membentuk kompleks yang stabil terhadap asam dan membentuk kompleks yang labil pada flavonoid dengan sistem orto-dihidroksi, hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran batokromik pada pita I 35-60 nm (Mabry dkk., 1970).
35
F. Landasan Teori Daun
gaharu
mengandung
senyawa
golongan
fenolik,
terpenoid,
diterpenoid, tanin, seskuiterpen, steroid, lilin, saponin, alkaloid, serta flavonoid yang berupa aglikon polihidroksi, aglikon polimetoksi, maupun mono dan diglikosida (Hegnauer, 1973; Sheng-zhuo, 2013; Wil dkk., 2014; Li dkk., 2015). Selain itu kandungan fenolik total dan aktivitas antioksidan ekstrak metanol maupun air daun gaharu telah diketahui (Wil dkk., 2014). Senyawa fenolik dan flavonoid terhidroksilasi yang terkandung di dalam daun gaharu diduga berpotensi sebagai antioksidan. Maserasi menggunakan etanol dapat melarutkan senyawa-senyawa seperti terpenoid, klorofil, polimetoksi flavon, fenol, aglikon flavonoid polihidroksi, flavonoid mono dan diglikosida, dan tanin, sedangkan infundasi dengan air panas dapat melarutkan senyawa-senyawa seperti aglikon flavonoid polihidroksi, asam fenolat, flavonoid mono, di, dan poliglikosida, tanin, garam alkaloid, mono dan disakarida, dan asam amino (Pramono, 2015a). Komponen-komponen aktif dan komponen yang tidak dibutuhkan dalam ekstrak daun gaharu yang diperoleh secara maserasi dan infudasi diharapkan mampu dipisahkan dengan metode ekstraksi partisi bertingkat (fraksinasi). Tahap partisi ini akan menyari senyawa yang kepolarannya sesuai dengan pelarut (Harborne, 1987), sehingga fraksi yang diinginkan akan bebas dari komponen yang tidak dibutuhkan. Fraksinasi dengan n-heksana dilakukan pada ekstrak etanol daun gaharu, sehingga senyawa-senyawa seperti klorofil, terpenoid (minyak atsiri), polimetoksi flavon dari daun gaharu dapat terlarut dalam n-heksana dan senyawa flavonoid lainnya banyak tertinggal
36
dalam fraksi tak larut n-heksana. Sedangkan fraksinasi dengan etanol dilakukan pada ekstrak air daun gaharu, sehingga senyawa-senyawa flavonoid selain bentuk poliglikosida dalam ekstrak banyak yang terlarut dalam etanol, sedangkan senyawa seperti flavonoid poliglikosida, garam alkaloid, mono dan disakarida, asam amino, dan protein tetap tertinggal dalam ekstrak airnya (Pramono, 2015a). Adanya fraksinasi dengan n-heksana pada ekstrak etanol hasil maserasi dan fraksinasi dengan etanol pada ekstrak air hasil infundasi diharapkan dapat meningkatkan kadar flavonoid total ekstrak hasil fraksinasi. Golongan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan adalah golongan fenolik, flavonoid, asam fenolik, lignin, asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan tanin (Kahkonen dkk., 1999). Senyawa-senyawa tersebut mudah larut dalam etanol seperti telah disebutkan sebelumnya (Pramono, 2015a). Etanol dapat mengekstraksi lebih banyak aglikon flavonoid daripada glikosida, sedangkan air akan lebih banyak mengekstraksi bentuk glikosidanya. Bentuk aglikon flavonoid memiliki efektivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada bentuk glikosida (Pokorny dkk., 2001). Fraksinasi yang dilakukan pada ekstrak dapat meningkatkan kadar senyawa aktif seperti flavonoid terhidroksilasi dan fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan. Oleh karena itu, diperkirakan fraksi tak larut n-heksana yang diperoleh dari ekstrak etanol berpotensi memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada ekstrak dan fraksi lainnya. Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, menangkap, menahan pembentukan atau meniadakan efek senyawa oksigen reaktif (Lestariana, 2003) dengan cara memberi elektron atau reduktan, yang
37
mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi (Winarsi, 2007). Adanya golongan senyawa flavonoid terhidroksilasi dalam suatu tanaman seringkali dihubungkan dengan aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan pada flavonoid diakibatkan dengan adanya gugus hidroksil bebas (Pokorny dkk., 2001). Kadar flavonoid total pada ekstrak maupun fraksi daun gaharu diperkirakan berkorelasi atau berhubungan dengan aktivitas antioksidan yang dihasilkan.
G. Hipotesis 1. Fraksi tak larut n-heksana dari ekstrak etanol hasil maserasi memiliki aktivitas antioksidan paling besar dibandingkan ekstrak etanol, fraksi larut etanol, dan ekstrak air hasil infundasi daun gaharu. 2. Fraksinasi yang dilakukan pada ekstrak daun gaharu dapat meningkatkan kadar flavonoid totalnya. 3. Kadar flavonoid total dan aktivitas antioksidan yang diperoleh memiliki korelasi.