BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk sikap seseorang. Pengetahuan yang tinggi tentang DM tipe 2 menimbulkan sikap yang positif, sedangkan jika pengetahuannya rendah akan menimbulkan sikap yang negatif. Keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 tergantung dari pengetahuan dan perubahan sikap yang diwujudkan dalam perilaku pasien. Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan formal di bidang tertentu, semakin tinggi pendidikan, semakin mudah menerima pengaruh luar yang positif, obyektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesehatan, sehingga pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pengetahuannya. Tingkat pengetahuan yang bervariasi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik seseorang seperti umur, pengalaman, persepsi dan motivasi serta faktor lingkungan, kebudayaan dan informasi yang didapatkan oleh individu tersebut. Dalam penanggulangan penyakit DM, seorang penderita DM harus memiliki pengetahuan yang baik sehingga akhirnya dapat mencegah penderita DM dari mortalitas dan morbiditas penyakit. Oleh karena itu peranan pengetahuan merupakan hal yang penting. Banyak pasien diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan penyakit gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya
1
2
informasi dan pengetahuan pada masyarakat tentang diabetes terutama gejalagejala dan penyebabnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan sekali pengetahuan tentang Diabetes Melitus, dimana pengetahuan itu memiliki 6 domain tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan tentang obat sangat diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar, tujuannya agar pasien memperoleh terapi yang maksimal dengan efek samping yang minimal. Pengetahuan juga diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi dari penyakit yang sedang diderita oleh pasien tersebut (Notoatmodjo, 2007). Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau gula darah tinggi, merupakan efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO, 2015a). Prevalensi diabetes melitus di dunia menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan 9% di antara orang dewasa berusia 18 tahun ke atas (WHO, 2015b). Pada tahun 2012, sekitar 1,5 juta kematian secara langsung disebabkan oleh diabetes. Lebih dari 80% kematian diabetes terjadi pada berpenghasilan rendah dan negara berkembang (WHO, 2014). Pada tahun 2013, proporsi penduduk Indonesia yang berusia ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di D.I. Yogyakarta (2,6%),
3
DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Kemenkes, 2013). Dalam pengelolaan diabetes, selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain, peran pasien sendiri dan keluarganya juga sangat penting dan diperlukan kerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang DM melalui pengembangan pengetahuan ketrampilan dan sikap menuju kemandirian penyandang DM. Dalam hal ini, perawatan sehari-hari harus dilakukan secara mendiri oleh pasien dengan dukungan perawat atau dokter, tenaga kesehatan lain, keluarga dan teman-temannya (Soegondo., 2008). Pusat Kesehatan Masyarakat Srandakan terletak di pusat kecamatan, tepatnya berada di Jalan Raya Srandakan nomor 96, Dusun Srandakan, Desa Trimurti Kecamatan Srandakan, Bantul. Wilayah Kecamatan Srandakan merupakan dataran yang berada pada ketinggian 8 meter di atas permukaan laut. Suhu maksimum 37 ºC dan suhu minimum 22 ºC. Curah hujan pertahun adalah 1.500 mm/tahun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul dilaporkan bahwa jumlah penduduk Kecamatan Srandakan tahun 2013 sebanyak 28.935 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 14.340 jiwa dan perempuan 14.599 jiwa (BPS Bantul, 2014). Berdasarkan data periode Januari hingga September 2012, Diabetes Melitus termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas Srandakan (Puskesmas Srandakan,2015a). Pada bulan Oktober 2012, Diabetes Melitusmenduduki peringkat pertama pada kelompok sepuluh besar penyakit diikuti oleh hipertensi esensial, Acute Upper Respiratory Infection Unspesified, dyspepsia, myalgia, luka
4
terbuka mengenai berbagai daerah tubuh, demam tanpa sebab yang jelas, ginggivitis dan penyakit-penyakit peridontal, sakit kepala, dan asma (Puskesmas Srandakan, 2015b).
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah pengetahuan pasien DM tipe 2 mengenai penyakit dan pengobatannya di Puskesmas Srandakan, Bantul?
C. Tujuan Tujuan dari penelitian iniyaitu untuk mengetahui pengetahuan pasien DM tipe 2 di Puskesmas Srandakan, Bantul mengenai penyakit dan pengobatannya.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Srandakan: Sebagai informasi mengenai gambaran pengetahuan pasien DM tipe 2 terkait penyakit dan pengobatannya di Puskesmas Srandakan. 2. Bagi Pemerintah Republik Indonesia: Sebagai sumber informasi dalam mengambil keputusan kebijakan terkait dengan pelayanan kesehatan.
5
3. Bagi peneliti: Diharapkan dapat meningkatkan pengalaman dan mengembangkan wawasan peneliti dalam melakukan suatu penelitian ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka 1. DiabetesMelitus Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup ataudapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin merupakan hormon yang berfungsi dalam regulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel saraf dan pembuluh darah (WHO, 2015a). Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok
penyakit
metabolik
dengan
karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2011). Klasifikasi etiologis Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (2009) meliputi: a. Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 1 atau Isulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) terjadi akibat dari kerusakan autoimun sel beta pankreas (Triplitt et al., 2005). Infeksi virus menimbulkan reaksi autoimun yang
6
membuat
sistem
imun
bekerja
secara
berlebihan.Hal
tersebut
menyebabkan sel-sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi merusak dan memusnahkan sel-sel beta pankreas sehingga sel-sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin. Bila insulin tidak dapat diproduksi, maka sel tidak dapat menyerap glukosa dari darah sehingga kadar gula meningkat. b. Diabetes Melitus tipe 2 Diabetes Melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) terjadi karena proses penuaan pada pasien sehingga terjadipenyusutan sel-sel beta pankreas secara progresif. Sel beta pankreas yang telah menyusut tersebut umumnya masih aktif tetapi sekresi insulinnya berkurang. Penyusutan sel beta pankreas dan juga resistensi insulin mengakibatkan kadar gula darah meningkat. Pasien Diabetes Melitus tipe 2 sering mengalami komplikasi seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan infeksi (Triplitt et al., 2005). c. Diabetes Melitus tipe Spesifik Diabetes Melitus tipe spesifik meliputi individu dengan defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit endokrin pankreas (pankreatitis, cystic fibrosis), endokrinopati (akromegali, Sindrom Cushing), Diabetes Melitus karena obat atau bahan kimia, infeksi dan sindrom genetik (Triplitt et al., 2005).
7
d. Diabetes Melitus Gestasional Diabetes Melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul selama kehamilan. Diabetes Melitus gestasional terjadi 7% dari seluruh kehamilan. Terapi untuk Diabetes Melitus gestasional memiliki tujuan untuk menurunkan kecacatan dan kematian pada ibu dan janin (Triplitt et al., 2005). Diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan melalui gejala khas poliuri, polifagi, dan polidipsi, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Terapi farmakologi yang dapat digunakan dalam pengobatan diabetes antara lain sebagai berikut: a. Metformin Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” danmenurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Secara umum metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek tidak diinginkan yang sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes.
Efek
nonglikemik
dari
metformin
yaitu
tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan penurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik, komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan et al, 2008).
8
b. Sulfonilurea Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonilurea generasi kedua
yang
lain.
Sulfonilurea sering menyebabkan
penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari (Nathan et al, 2008). c. Glinide Glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek daripada sulfonilurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5 %. Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonilurea, akan tetapi risiko hipoglikemia lebih kecil (Nathan et al, 2008). d. Penghambat α-glukosidase Penghambat
α-glukosidase
bekerja
dengan
menghambat
pemecahan polisakarida di usus halus sehingga monosakarida yang
9
dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat αglukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Peningkatan karbohidrat di kolon mengakibatkan peningkatan produksi gas dan keluhan gastrointestinal(Nathan et al, 2008). e. Thiazolidinedione (TZD) Thiazolidinedione bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik endogen maupun eksogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (Nathan et al, 2008). f. Insulin Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maksiimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al, 2008).
10
g. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor) Dipeptidyl peptidase four inhibitor merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun. Dipeptidyl peptidase four inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucosemediated insulin secretion” dan menekan sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi (Nathan et al, 2008). Penderita diabetes diharapkan dapat mengontrol kadar glukosa darah secara teratur dan mempertahakan berat badan yang normal. Hal ini dikarenakan pada penderita diabetes dengan berat badan berlebih, kadar glukosa darah sulit dikendalikan. Penurunan berat badan dapat mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensivitas sel terhadap insulin. Adapun terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk memperoleh berat badan dan kadar glukosa darah yang normal adalah: a. Diet Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang sesuai kebutuhan gizi. Makanan tersebut terbagi menjadi tiga porsi besar yaitu pagi (20%), siang (30%) dan malam (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10%-15%) disetiap porsinya (Soebardi, 2007). Rencana diet diabetes dihitung secara individual bergantung pada kebutuhan pertumbuhan, rencana penurunan berat, dan tingkat
11
aktivitas. Pada dasarnya diet ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang ideal. Sebagian pasien DM tipe 2 karena faktor kegemukan mengalami pemulihan kadar glukosa darah mendekati normal hanya dengan diet. Dari sisi makanan, penderita diabetes lebih dianjurkan mengonsumsi karbohidrat berserat dan menghindari konsumsi buah-buahan yang terlalu manis. Selain itu tingginya serat dalam sayuran akan menekan kenaikan kadar glukosa dan kolesterol darah. b. Olahraga Olahraga yang disertai dengan diet dapat meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel sehingga dapat menurunkan kadar glukosa dan berat badan yang pada akhirnya akan meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin. Pola olahraga yang disarankan setiap 3-4 per minggu dengan tiap kali olahraga tidak kurang dari 30 menit dan dianjurkan untuk jalan sehat. Latihan jasmani selain untuk meningkatkan kebugaran juga bertujuan untuk menurunkan berat badan serta memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Olahraga yang disarankan adalah olahraga yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging atau berenang dan sebaiknya kegiatan jasmani juga disesuaikan dengan umur dan kemampuan (Soebardi, 2007).
12
c. Berhenti merokok Berhenti merokok merupakan salah satu terapi nonfarmakologi untuk penderita Diabetes Melitus. Nikotin yang terdapat pada rokok dapat mempengaruhi secara buruk penyerapan glukosa oleh sel. Merokok juga banyak menghasilkan radikal bebas. Banyak indikasi menunjukkan bahwa pada penderita diabetes, metabolisme glukosa yang terganggu menimbulkan kelebihan radikal bebas, yang memegang peranan penting pada terjadinya komplikasi lambat (Tjay & Rahardja, 2007). d. Perawatan kaki Luka kaki diabetes terjadi pada pasien diabetes yang melibatkan gangguan
saraf
perifer
dan
otonom
sehingga
menyebabkan
terganggunya integritas jaringan kulit diakibatkan oleh neuropati sensori, neuropati motorik, dan terganggunya aliran darah ke tungkai bawah. Luka kaki diabetes dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak terkontrolnya kadar gula darah, neuropati, trauma jaringan kulit, gangguan pembuluh darah arteri dan vena, saraf motorik dan saraf sensorik.
Perawatan
kaki
yang
bisa
dilakukan
antara
lain
menggunakan alas kaki yang nyaman dan sesuai dengan ukuran kaki, mengeringkan kaki dan sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi, menjaga kaki selalu dalam keadaan bersih, dan periksa ke dokter apabila kulit kaki terkelupas, kemerahan, atau luka.
13
Komplikasi yang terjadi pada penyakit Diabetes Melitus meliputi komplikasi akut dan juga komplikasi kronik. Komplikasi akut meliputi dehidrasi hipovolemi, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan reaksi imun, ketoasidosis, gangguan penyembuhan luka, dan hiperlipidemia. Komplikasi kronik meliputi komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati. Komplikasi makroangiopati meliputi stroke, penyakit jantung aterosklerosis koroner (angina pectoris dan infark miokard), dan penyakit kaki diabetik (gangrene dan ulkus). Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati diabetik dan rentan terhadap infeksi (Asdie, 2000). 2. Pengetahuan Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah untuk menerima informasi sehingga semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera mata dan indera telinga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sendiri merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya suatu tindakan. Dengan demikian terbentuknya perilaku terhadap seseorang karena adanya pengetahuan yang ada pada dirinya. Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama yang ada pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut:
14
a. Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Tingkatan pendidikan meliputi SD, SMP, SMA, dan PerguruanTinggi. b. Usia Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Menurut Hurlock (2003), pembagian usia berdasarkan tahapan dewasa terdiri dari dewasa awal 20-40 tahun, dewasa madya 41-60 tahun dan dewasa lanjut 61-75 tahun. c. Pengalaman Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, pengalaman pribadi ataupun dapat digunakan sebagi upaya memperoleh pengetahuan. d. Sumber informasi Merupakan informasi tentang cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya. Dengan pengetahuan itu akan menyebabkan seseorang berperilaku sesuai dengan yang dimilikinya. 3. Wawancara Menurut Moleong (1990), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang
15
akan mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Kelebihan dari wawancara adalah: a. Nonverbal behavior Pewawancara dapat mengobservasi perilaku nonverbal, misalnya rasa suka, tidak suka atau perilaku lainnya pada saat pertanyaan diajukan dan dijawab oleh responden. b. Question Order Pertanyaan dapat diajukan secara berurutan sehingga responden dapat memahami maksud penelitian secara baik, sehingga responden dapat menjawab pertanyaan dengan baik. c. Completeness Pewawancara
dapat
memperoleh
jawaban
atas
seluruh
pertanyaan yang diajukan. Kelemahan dari wawancara antara lain mengadakan wawancara dengan individu satu persatu memerlukan banyak waktu dan tenaga, keberhasilan wawancara sangat tergantung dari kepandaian pewawancara dalam melakukan hubungan antar manusia, dan wawancara tidak selalu dilakukan di tempat yang kondusif, misalnya di lokasi yang ramai. 4. Puskesmas Srandakan Pusat Kesehatan Masyarakat Srandakan terletakdi pusat kecamatan, tepatnya berada di Jl. Raya Srandakan No. 96, Dusun Srandakan, Desa Trimurti Kecamatan Srandakan, Bantul. Luas wilayah Kecamatan Srandakan adalah 18,3 km2 yang sebagian besar lahan merupakan tanah kering dan areal
16
persawahan. Puskesmas Srandakan mempunyai wilayah kerja seluruh wilayah Kecamatan Srandakan.Kecamatan Srandakan terdiri dari dua desa, yaitu Desa Trimurti dan Desa Poncosari. Desa Trimurti terdiri dari 19 dusun dan Desa Poncosari terdiri dari 24 dusun (Puskesmas Srandakan, 2015c).
F. Landasan Teori Pengetahuan tentang DM dapat membantu pasien untuk menjalankan penanganan diabetes. Penanganan tersebut yaitu minum obat, olahraga teratur, konsumsi makan rendah karbohidrat dan lemak serta harus rajin mengonsumsi sayur dan buah sehingga mereka mengerti tentang penyakitnya dan dapat mengubah perilakunya (Waspadji, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Gustriawanto (2013) menunjukkan bahwa konseling di rumah dapat memberikan peningkatan pengetahuan terkait penyakit DM Tipe 2 dan pengetahuan obat antidiabetika oral.Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman dan tindakan yang dilakukan adalah melihat kondisi responden sebelum dilakukan home pharmacy care, diberi intervensi berupahome pharmacy care, baru dievaluasi perubahan yang terjadi setelahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2009), didapatkan adanya hubungan antara pengetahuan tentang penyakit dengan motivasi dalam mencegah terjadinya komplikasi pada penderita Diabetes Melitus di Puskesmas Kartasura.
17
G. Konsep Penelitian Konsep penelitian pada penelitian ini adalah mengetahui pengetahuan pasien DM tipe 2. Pengetahuan pasien dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan terkait penyakit dan pengetahuan terkait obat ADO. Pengetahuan Diabetes Melitus tipe 2 Nama obat Fungsi obat Pengetahuan penyakit
Pengetahuan obat Aturan pakai obat
Gejala, penyebab, kadar normal gula
Pola makan
Pemeriksaan rutin
Pentingnya Olahraga
Komplikasi
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
H. Keterangan Empiris Keterangan empiris pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 mempunyai pengetahuan terkait penyakit dan obat antidiabetika oral.