BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebaran penyakit dengue di dunia dalam 50 tahun terakhir menyebar dengan
cepat dan pesat. Peningkatan kasus meningkat 30 kali lipat dengan
sebaran geografis meluas ke berbagai negara dan memiliki kecenderungan menyebar dari daerah perkotaan menuju daerah pedesaan . Jumah kasus dengue pertahun ± 50 juta kasus dan 2,5 miliar penduduk hidup di negara endemi dengue (WHO, 2009). Tahun 2005 dalam Pertemuan Kesehatan Dunia,WHO mengeluarkan revisi terhadap aturan perjalanan internasional yang dikenal dengan nama International Health Regulation (IHR) 2005 dan memasukkan dengue sebagai salah satu penyakit PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) yang dapat berdampak pada gangguan keamanan kesehatan, menimbulkan epidemi secara cepat yang menyebar melewati perbatasan antar negara (WHO, 2009). Para wisatawan memiliki peranan utama dalam penyebaran penyakit dengue seperti viremik wisatawan dapat membawa berbagai macam serotype dan strain dengue memasuki wilayah yang terdapat nyamuk Aedes spp. sehingga dapat menyebabkan infeksi dengue ( Wilson, 2003). Berbagai macam serotype virus dengue dapat berpindah ke manusia melalui gigitan nyamuk terutama Ae. aegypti. yang terinfeksi. Nyamuk Ae. aegypti dapat menyebar secara luas dari daerah tropis maupun subtropis. Outbreak kasus dengue dapat disebabkan oleh Ae. albopictus, Ae. polynesiensis dan berbagai spesies Ae. scutellaris complek
1
2
(WHO, 2009). Penyebaran dengue secara cepat terjadi sejak tahun 1970an yang dipengaruhi dengan peningkatan urbanisasi, peningkatan penggunaan konteiner untuk keperluan sehari hari , perdagangn international, pembuangan ban kendaaan yang tidak tepat (menyediakan habitat larva) dan perjalanan internasional dengan pesawat menyebabkan perpindahan viraemik individu dan vektor menjadi jauh. Peningkatan perjalanan dan perdagangan internasional dapat membawa manusia yang terinfeksi virus dan vektor dengue sehingga sering terjadi pertukaran virus diantara negara endemik yang merupakan awal penyebaran dengue ke daerah baru dan menyebarkan vektor ke lingkungan yang baru ( WHO, 2009). Hasil kajian tren peningkatan kasus dengue per tahun/musimam mulai Oktober 1997 – Februari 2006
terhadap 522 wisatawan yang dilaporkan
GeoSentinel Surveillance Network pada saat puncak kasus di kawasan Asia Tenggara ( Juni-September), Asia Tengah (Oktober), Amerika Selatan (Maret), dan Karribia ( Agustus, Oktober) menunjukkan adanya hubungan antara perjalanan dengan beberapa kasus epidemi dengue,
68% setelah melakukan
perjalanan dari Asia, 15% dari Amerika Latin, 9% dari Karibia,5% dari Afrika dan 2% dari Oceania. Jumlah kasus terbanyak dilaporkan setelah melakukan perjalanan dari Thailan (154 kasus), India (66 kasus), Inodensia (38) dan Brazil (22 kasus). Di Asia Tenggara angka kesakitan tahunan naik dari 50 kasus dengue per 1000 wisatawan sakit setelah melakukan perjalanan di daerah non epidemik menjadi 159 kasus/1000 wisatawan selama epidemik ( Schwartz et al, 2008). Pos Karantina New Tokyo International Airport Narita,Chiba Prefercture Tahun 2000-2002 memeriksa 233 penumpang yang diduga terinfeksi virus
3
dengue, 1 kasus (4% ) dari 26 kasus ditemukan tahun 2000, 8 kasus (12%) dari 69 kasus ditemukan tahun 2001 dan 22 kasus (16%) dari 138 kasus ditemukan tahun 2002 terkonfirmasi positif terinfeksi dengue. Sebagian besar penumpang terinfeksi setelah melakukan perjalanan dari Asia Tenggara dan Asia Selatan, 1 dari Afrika,1 dari Amerika Tengah, 1 dari Amerika tengah dan Selatan,1 dari Amerika Selatan (Takahashi et al.,2002). Screening demam di Bandara Taiwan mulai Juli 2003 - Juni 2004 mengidentifikasi 40 kasus dengue, 33 orang (82.5%) pasien viremik ( Shu et al., 2005). Tahun 2007 - 2010 sentinel surveilans di Bandara Taiwan sebagian besar wisatawan terinfeksi dengue berasal dari daerah endemi di Asia tenggara seperti Indonesia (21.0-35.1%), Vietnam (20.1-32.0%), Thailan (5.0-13.0%), Philipina (9.0-12.3%), Kamboja (4.1-8.0%), Malaysia (2.04.1%), Singapore (1.1-3.4%), India (0–1.1%) dan Amerika Selatan (0–0.7%) (Kuan dan Chang., 2012). Di Jerman bulan September 2013 ditemukan wistawan postif virus dengue tipe 2 setelah kembali dari Jepang sehingga Ototritas Kesehatan Jerman melakukan pengawasan ketat terhadap riwayat perjalanan wisatawan untuk menilai potensi resiko wisatawan terinfeksi virus dengue (Schidt-Chanasit et al., 2014). WHO dalam International Health Regulations 2005 pasal 9 mengatur dan mengakomodasi tentang perjalanan internasional ( perpindahan manusia, vektor pembawa penyakit , barang terkontaminasi) yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit secara luas . Untuk daerah yang beresiko tinggi menerima dengue, kasus import tunggal dapat menjadi awal penyebab endemik dikarenakan viremik wisatawan dapat menyebabkan outbreak sehingga surveilans penderita dengue
4
sangat penting dilakukan untuk mencegah penyebaran lokal lebih luas. Setiap negara wajib melakukan penilaian resiko dengue sebagai rencana pencegahan penyebaran dengue antar negara dengan memperkuat surveilans dan pengawasan di pintu masuk ( pelabuhan laut/udara dan pos lintas batas) tiap negara (WHO, 2008). Pengendalian penyebaran penyakit DBD yang dilakukan saat ini adalah dengan cara pengendalian kepadatan vektor dan mencegah kontak dengan vektor. Tindakan pengendalian vektor ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah. Terselenggaranya pengendalian vektor secara terpadu untuk mengurangi habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan vektor, menghambat proses penularan penyakit, mengurangi kontak manusia dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dikendalikan secara lebih rasional, efektif dan efisien.
Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi
vektor setempat, dinamika penularan penyakit, habitat dan ekosistem vektor penyakit serta perilaku masyarakat yang bersifat spesifik lokal (Depkes RI, 2010). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara serta International Health Regulations (IHR) tahun 2005 pasal 2 menyatakan bahwa pelabuhan dan bandara harus bebas dari serangga penularan penyakit dan mencegah, melindungi terhadap pengendalian penyebaran penyakit sesuai dengan dan terbatas pada faktor risiko yang dapat mengganggu kesehatan dengan sedikit mungkin
5
menimbulkan hambatan pada lalu lintas perdagangan (WHO, 2008). Perimeter area pelabuhan (laut, udara dan pedalaman) harus bebas dari kehidupan Aedes aegypti baik stadium larva maupun dewasa. Sedangkan buffer area House Index (HI) tidak boleh > 1%, Breteau Index (BI) < 50, Bitting Rate < 2,5, Ovitrap Index < 15 % (Depkes RI , 2010). Perimeter area pelabuhan/bandara adalah wilayah dengan jarak 100 m dari kolam bandar/apron bandara yaitu tempat sandar kapal untuk menurunkan dan menaikkan penumpang maupun tempar parkir pesawat untuk menurunkan dan menaikkan penumpang yang meliputi seluruh bangunan sarana dan prasarana yang ada didalamnya. Buffer area pelabuhan/bandara adalah wilayah dengan jarak 400 m dari perimeter area yang merupakan daerah penyangga pelabuhan/bandara (Depkes RI, 1989). Terwujudnya bandara dan pelabuhan sehat merupakan salah satu bagian dari Pembangunan Kesehatan Nasional sesuai Permenkes No. 356 Tahun 2008 junto Permenkes No. 2348 Tahun 2011, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan,
Kantor
Kesehatan
Pelabuhan
mempunyai
tugas
melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial wabah, surveillans epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, pengawasan Obat Makanan Kosmetika dan Bahan Adiktif (OMKABA), serta pengamanan terhadap penyakit baru dan penyakit yang muncul kembali, bioterorisme, unsur biologi, kimia dan pengamanan radiasi di wilayah bandara, pelabuhan dan lintas batas darat negara. Untuk mendukung tugas tersebut di atas, salah satu fungsi dari kantor kesehatan
6
pelabuhan adalah melakukan pengamatan dan pengendalian vektor penyakit di bandara termasuk salah satunya adalah pengamatan dan pengendalian vektor nyamuk Aedes spp penyebab penyakit Demam Derdarah Dengue (DBD). Bandara harus bebas dari segala manivestasi vektor nyamuk Aedes spp. baik stadium jentik maupun nyamuk dewasa (Depkes RI, 2010). Di Indonesia, penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan yang selalu ada pada waktu-waktu tertentu terutama menjelang datangnya musin penghujan dan menjadi endemis hampir pada semua wilayalah provinsi di Indonesia. Penyakit DBD atau dengue hemorraghic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Virus dengue termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus group dari famili Flaviviridae dan mempunyai 4 serotipe yaitu Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4. Angka kejadian kasus DBD ( Inciden Rate/IR ) dan angka kematian ( Case Fatality Rate/CFR) di Indonesia sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya sampai tahun 2013 dari tahun ke tahun cenderung meningkat , bahkan mencapai puncaknya ditahun 2007-2010.
Hal ini
menunjukkan bawha sistem surveilan( penemuan dan penanganan) kasus DBD e berjalan dengan baik walaupun sempat naik pada tahun 2010 tapi kemudian menurun (Gambar 1).
80.00
CFR 1968: 41,3%
70.00 60.00 50.00
IR 1968: 0,05/ 100.000 penduduk
40.00 30.00
CFR 2013: 0,77%
20.00 10.00
Tahun
IR
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
1970
0.00
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
CFR (%)
IR 2013: 45,85/100.000 penduduk
1968
IR (Cases PER 100.000 inhabitants)
7
CFR
Gambar 1. Tren Inciden Rate dan Case Fatality Rate DBD di Indonesia Tahun 1968 - 2014 (Kemenkes RI, 2014) Pada tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang terus meningkat sehingga perlu dilakukan penanganan maupun pengendalian vektor nyamuk penyebab DBD (Kemenkes RI, 2014). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis DBD. Jumlah penderita DBD berturut-turut dari tahun 2007 sampai 2011 adalah sebagai berikut tahun 2007 jumlah pendertia 767 orang meninggal 3 orang, tahun 2008 jumlah penderita 768 orang meninggal 6 orang, tahun 2009 jumlah penderita 688 orang meninggal 5 orang, tahun 2010 jumlah penderita 1.517 orang meninggal 6 orang, tahun 2011 jumah penderita 460 orang meninggal 2 orang (Dinkes Kota Yogyakarta, 2012). Bandara Adisucipto yang masuk dalam wilayah DIY merupakan pintu keluar masuk dan berkumpulnya manusia dengan jumlah penumpang datang dan pergi rata-rata 7.500 orang/hari (DitBina Sarana Transportasi Perkotaan, 2009) sehingga risiko penularan dan penyebaran penyakit baik penyakit yang menular langsung antar manusia maupun penyakit yang
8
ditularkan oleh vektor/serangga penular penyakit seperti Demam Berdarah Dengue sangat besar dan dapat menimbulkan wabah atau KLB yang berpotensi menimbulkan
Kedaruratan Masalah Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan
Dunia (KKMD) atau Public Health Emergengy of International Concern (PHEIC). Pengamatan vektor nyamuk Aedes spp. di Bandara Adisucipto Yogakarta dilakukan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas IV Yogyakarta meliputi wilayah disekitar Bandara di luar bangunan induk (buffer area) dan pengamatan pada perimeter area bandara meliputi bangunan bandara dan sarana prasarana yang ada di dalamnya (KKP Kelas IV Yogyakarta , 2014 ). Pemetaan wilayah dan sebaran habitat vektor nyamuk Aedes spp. yang terdiri dari perimeter dan buffer area untuk mempermudah pengendalian dan menilai dampak risiko keberadaan vektor nyamuk . Pemetaan faktor risiko vektor nyamuk Aedes spp.
meliputi jenis dan sebaran tempat perindukan (habitat)
nyamuk, keberadaan jentik nyamuk di lingkungan bandara dan faktor lingkungan fisik yang mempengaruhinya serta analisis permasalahan yang mungkin dapat ditimbulkan oleh keberadaan vektor tersebut serta untuk memastikan bahwa lingkungan bandara bebas dari vektor nyamuk perlu dilakukan pemasangan ovitrap pada perimeter area bandara dan dilakukan analisis terhadap telur nyamuk yang ditangkap apakah mengandung virus penyebab DBD atau tidak (transmisi transovarial). Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis spasial dan sebaran habitat vektor nyamuk Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta.
9
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang ingin dikemukakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peta sebaran dan analisis spasial habitat vektor nyamuk Aedes spp di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta ? 2. Bagaimana analisis faktor risiko vektor nyamuk Aedes spp. berdasarkan indikator entomologis di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta? 3. Apakah perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah bebas dari vektor Aedes spp.? 4. Apakah perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah terjadi penularan virus Dengue secara vertikal (transmisi transovarial) dan bagaimana pola sebaran distribusi virus dengue di perimeter dan buffer area bandara Adisucipto Yogyakarta ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mendapatkan data awal sebaran habitat vektor Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta agar dapat dianalisis secara spasial. 2. Tujuan Khusus Tujuan penelitian secara khusus dilakukan untuk:
10
a. Melakukan pemetaan dan analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sebaran habitat vektor nyamuk Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta. b. Melakukan analisis dan pemeriksaan jentik nyamuk Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta dengan mengukur indeks kepadatan jentik yang meliputi House index (HI), Container index (CI), Bretau index (BI) yang dinyatakan dalam Density figure (DF). c. Melakukan analisis Maya indeks yang terdiri dari hygiene risk indicator (HRI) dan breeding risk indicator (BRI) serta analisis ovitrap index (OI). d. Melakukan analisis transovarial untuk mengetahui apakah vektor nyamuk Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta sudah mengandung virus dengue atau belum. D. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan yang diketahui penulis penelitian tentang analisis spasial dan sebaran habitat vektor Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian sejenis yang pernah dilakukan adalah: 1. Das et al (2000) , Prevalence of Aedes aegypti at the International Port and Airport, Kolkata (West Bengal), India. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Pelabuhan dan Bandara . Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah selain lokasi, pada penelitian ini juga dilakukan pemetaan dan analisis
11
terhadap Maya index yang terdiri hygiene risk indikator (HRI) dan breeding risk indikator (BRI) , transmisi transovarial dan faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap sebaran habitat vektor nyamuk Aedes spp. 2. Das et al (2004), Detection of dengue Virus in Wild Caught Aedes albopictus (Skuse) around Kozhikode Airport, Malappuram District, Kerala, India. Pada penelitian ini dilakukan penangkapan nyamuk Aedes albopictus disekitar Bandara untuk dilakukan pemeriksaan virus dengue dengan metode Eliza. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan selain lokasi, pada penelitian ini dilakukan penangkapan telur nyamuk Aedes spp dengan ovitrap untuk dilakukan deteksi virus dengue
dengan metode Imunositokimia
Imunoperoksidase Streptavidin Biotin Complex (IISBC) pada sediaan pencet kepala dengan menggunakan antibody monoclonal DSSC7 (Umniyati,2004). 3. Whelan et al (2003), Exotix mosquitoes detected in cargo at East Arm Port Area 19 March 2003. Pada penelitian ini dilakukan pemasangan ovitrap di dalam dan diluar Pelabuhan dalam radius 400 m dan ditemukan nyamuk Aedes albopictus . Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan selain pada lokasi, pada penelitian ini juga dilakukan pemetaan terhadap kepadatan indek jentik nyamuk Aedes spp dan analisis terhadap Maya index yang terdiri hygiene risk indikator (HRI) dan breeding risk indikator (BRI) dan transmisi transovarial dan faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap sebaran habibat vektor nyamuk Aedes spp. 4. Whelan et al (2013) Evidence in Australia for a Case of Airport Dengue. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap 1 orang penumpang yang
12
memiliki gejala dengue serta pemasangan ovitrap dan penangkapan nyamuk dewasa menggunakan Biogents dan CO2-baited trap di Bandara dan sekitar Bandara . Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan selain lokasi, pada penelitian ini juga dilakukan
pemetaan terhadap kepadatan indek jentik
nyamuk Aedes spp dan analisis terhadap Maya index yang terdiri hygiene risk indikator (HRI) dan breeding risk indikator (BRI) dan transmisi transovarial dan faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap sebaran habibat vektor nyamuk Aedes spp. E. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti tentang analisis spasial dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sebaran habitat vektor Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta. 2. Dapat memberikan gambaran dan masukan kepada pihak pengelola bandara, Kantor Kesehatan Pelabuhan Yogyakarta serta stakeholder terkait tentang peta sebaran habitat vektor Aedes spp. di perimeter dan buffer area Bandara Adisucipto Yogyakarta serta faktor risiko yang berpengaruh dalam rangka pengendalian faktor risiko lingkungan untuk mencegah penularan dan penyebaran penyakit tular vektor nyamuk Aedes spp. 3. Memberikan
masukan
tentang
penguatan
kapasitas
inti
di
bidang
kekarantinaan kesehatan dan surveilans penyakit di pintu masuk pelabuhan, bandara dan pos lintas batas darat dalam dalam rangka implementasi International Health Regulation (IHR 2005) serta untuk mengantisipasi masalah kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia (Public Health
13
Emergency of International Concern/PHEIC) maupun kegiatan rutin dalam melakukan deteksi dini dan respon cepat penanggulangan penyebaran penyakit PHEIC. 4. Dapat digunakan sebagai acuan dan data dasar sebaran vektor nyamuk Aedes spp. serta sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan terhadap pengendalian faktor risiko penyakit di bandara khususnya penyakit Demam Berdarah Dengue di Bandara.