BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang memadai, hal ini tidak terlepas dari proses pendidikan yang merupakan bagian yang hakiki dalam pembentukan karakter seorang manusia, terutama dalam masa pertumbuhan dan perkembangan ke tingkat dewasa. Makna pendidikan sendiri telah tercantum dalam UUR.I. No. 2 Tahun 1989, Bab I, Pasal 1: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan adalah meningkatkan kemampuan dalam bidang matematika. Seperti yang tercantum dalam UUSPN No. 20 tahun 2003, menyatakan isi kurikulum pendidikan dasar wajib memuat 10 mata pelajaran salah satu diantaranya adalah matematika. Matematika merupakan salah satu bidang/disiplin ilmu pengetahuan yang perlu ditingkatkan penguasaannya, karena matematika merupakan dasar dari ilmu pengetahuan yang lain, khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Belajar matematika berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar serta berpikir, karena karakteristik matematika merupakan suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa manusia adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang
1
2
didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat (Sabandar, 2008:1). Sehingga seringkali tujuan utama dari mengajarkan matematika tidak lain untuk membiasakan agar anak didik mampu berpikir logis, kritis dan sistematis. Khususnya berpikir kritis, sangat diperlukan bagi kehidupan mereka, agar mereka mampu menyaring informasi, memilih layak atau tidaknya suatu kebutuhan, mempertanyakan kebenaran yang terkadang dibaluti kebohongan, dan segala hal yang dapat saja membahayakan kehidupan mereka. Syahbana (Nisa, 2015). Salah satu masalah dalam pembelajaran matematika di SMA adalah rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (soal cerita). Hasil penelitian Siswono (2005) menunjukkan bahwa beberapa kelemahan siswa, antara lain: memahami kalimat-kalimat dalam soal, tidak dapat membedakan informasi yang diketahui dan permintaan soal, tidak lancar menggunakan pengetahuan-pengetahuan atau ide-ide yang diketahui, mengubah kalimat cerita menjadi kalimat matematika, menggunakan cara-cara atau strategistrategi yang berbeda-beda dalam merencanakan penyelesaian suatu masalah, melakukan perhitungan-perhitungan, dan mengambil kesimpulan atau mengembalikan ke masalah yang dicari. Siswono
(2005)
juga
menambahkan
kemungkinan
penyebab
kelemahan siswa tersebut, antara lain: (1) Selama ini dalam mengajarkan pemecahan masalah (soal cerita) mereka tidak melatihkan secara khusus bagaimana memahami informasi masalah. Guru mengajarkan dengan memberi contoh soal dan menyelesaikannya secara langsung, serta tidak
3
memberi kesempatan siswa menunjukkan ide atau representasinya sendiri. (2) Pola pengajaran selama ini masih dengan tahapan memberikan informasi tentang materi-materi (termasuk memotivasi secara informatif), memberikan contoh-contoh dan berikutnya latihan-latihan, tetapi jarang soal cerita. Hal ini karena anggapan bahwa soal cerita pasti akan sulit untuk dipahami siswa , sehingga
tidak
diprioritaskan
untuk
diajarkan/diberikan.
(3)
Dalam
merencanakan penyelesaian masalah tidak diajarkan strategi strategi yang bervariasi atau yang mendorong ketrampilan berpikir kreatif untuk menemukan jawaban masalah. Memperhatikan akar masalah itu, maka perlu dipikirkan cara-cara mengatasinya. Apalagi Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan, pola pikir, dan keterampilan, kemampuan matematika yang dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang metodemetode
pembalajaran
matematika,
dilanjutkan
dengan
keterampilan
menyajikan suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Oleh karena itu, kemampuan berpikir siswa melalui matematika diperlukan siswa dari jenjang rendah (Sekolah Dasar) sampai siswa itu menjadi mahasiswa pada
4
jenjang selanjutnya (Perguruan Tinggi) agar memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Untuk membekali proses tersebut, siswa harus sering dilatih untuk proses pemikiran tinggi salah satunya berpikir kritis. Menurut Fisher (2008) critical thinking (berpikir kritis) merupakan jenis berpikir yang tidak langsung mengarah ke kesimpulan, atau menerima beberapa bukti, tuntutan atau keputusan begitu saja, tanpa sungguh-sungguh memikirkannya dan critical thinking (berpikir kritis) dengan jelas menuntut interprestasi dan evaluasi terhadap observasi, komunikasi dan sumber-sumber informasi lainnya. Ia juga menuntut keterampilan dalam memikirkan asumsi-asumsi, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, dalam menarik implikasi-implikasi. Berdasarkan pentingnya siswa dalam berpikir kritis, sehingga hendaknya menjadi salah satu aktivitas yang harus dikembangkan dan dilatih di setiap mata pelajaran. Sedangkan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan salah satunya adalah guru. Karena seorang guru memiliki keleluasaan untuk membuat rancangan pembelajaran sebelum proses pembelajaran dilakukan. Untuk membuat sebuah rancangan pembelajaran yang sesuai dalam mengembangkan dan melatih berpikir kritis, hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah melihat profil berpikir kritis yang dimiliki oleh siswa. Hal ini dimaksudkan agar setiap pembelajaran matematika yang dilakukan selalu memperhatikan kemampuan berpikir kritis siswa.
5
Krulik & Rudnick (1995) membuat tingkatan penalaran yang merupakan bagian berpikir menjadi 3 tingkatan di atas pengingatan (recall). Tingkatan hirarkhis itu adalah berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif. Kategori tersebut tidak diskrit dan sulit sekali untuk mendefinisikan dengan tepat. Tingkat terendah dari berpikir adalah ingatan (recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat berikutnya adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir
yang melibatkan menguji, menghubungkan
dan
mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau termasuk dalamnya adalah mengumpulkan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan menentukan konsistensi dan kontradiksinya. Berpikir kritis bersifat analitis dan refleksif (tanpa disadari/disengaja). Melalui matematika, berpikir kritis yang merupakan berpikir tingkat tinggi dapat diciptakan agar seorang individu memiliki kemampuan berpikir kreatif, sekaligus menjadi pemecah masalah yang unggul, pembuat keputusan yang tepat dan bermanfaat, serta mampu meyakinkan pendapat-pendapatnya,
6
menganalisis asumsi-asumsi, dan melakukan penyelidikan ilmiah. Karena begitu banyak dan besarnya manfaat-manfaat ketika siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, maka diharapkan nantinya melalui berpikir kritis dapat mencetak siswa-siswa yang mampu menghadapi perkembangan IPTEK dunia dan memecahkan masalah-masalah yang timbul karenanya, dengan pola terefektif. Pemecahan masalah berawal dari kita di hadapkan pada suatu situasi yang menunjukkan adanya kesukaran untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Kebanyakan situasi yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya mempunyai situasi pemecahan masalah. Meskipun banyak siswa senantiasa berusaha dan berharap dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya, namun kenyataan tidak demikian. Kadang-kadang siswa berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya, kadang-kadang juga tidak berhasil menyelesaikannya. Untuk dapat memecahkan masalah (soal cerita) dalam situasi nyata secara matematika, maka soal cerita ini perlu dimodelkan. Pembentukan model ini adalah perubahan informasi dari dunia konkret yang perlu menjadi suatu bentuk atau model matematika dalam dunia abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkret ke abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan tidak mustahil ada yang lambat. Bagi yang cepat tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang lambat tidak mustahil perlu melalui banyak tahapan. Dengan memperhatikan cara berpikir yang berbeda-beda yang akan ditempuh anak, perlu disiapkan kondisi nyata atau kondisi real yang dikenal
7
anak. Sekaligus juga memberikan masalah yang perlu dipecahkan atau perlu dicari jalan untuk menjawabnya sesuai dengan potensi yang dimiliki anak (Soedjadi. 2007: 29). Dalam menyelesaikan masalah, siswa akan menggunakan berbagai macam strategi. Strategi pemecahan masalah ternyata banyak dipengaruhi oleh kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbedabeda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (Siswono, 2008: 35). Siswa yang berkemampuan tinggi memiliki cara berpikir berbeda dengan siswa yang berkemampuan matematika sedang dan sebaliknya dalam menyelesaikan soal. Dengan demikian, guru perlu mengetahui kemampuan siswa agar dapat memetakan mereka dan memilih model atau strategi yang tepat dalam belajar mengajar di kelas. Dari permasalahan diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana kemampuan berpikir kritis siswa kelas X dalam menyelesaikan soal matematika. Peneliti mengambil jenjang SMA kelas X karena berpijak pada teori yang dikemukakan para ahli (khususnya Piaget) yang menyatakan bahwa berpikir kritis sudah dapat diterapkan pada anak SMA, karena anak usia SMA (14 tahun ke atas) sudah masuk dalam kategori tahap operasi formal sehingga sudah mampu berpikir kritis. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik mengambil judul “Profil Berpikir Kritis Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah”.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana profil berpikir kritis siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari kemampuan matematika?
C. Tujuan Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: Profil berpikir kritis siswa SMA dalam memecahkan masalah
D. Batasan Istilah Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda terhadap istilahistilah yang dipakai, maka peneliti mendefinisikan istilah-istilah sebagai berikut. 1. Profil adalah gambaran alami dan utuh tentang sesuatu atau seseorang dalam bentuk kata-kata atau gambar yang memuat informasi bermanfaat. 2. Berpikir kritis adalah berpikir untuk menuju suatu kesimpulan dengan dilandasi bukti-bukti, sumber-sumber informasi yang valid, serta mampu memberikan penjelasan yang masuk akal menggunakan kerangka IDEALS (Identify, Define, Enumerate, Analyze, List Reason, SelfCorrect).
9
3. Soal Cerita Matematika adalah soal matematika yang disajikan dalam bentuk cerita atau rangkaian kata-kata (kalimat) yang berkaitan dengan kehidupan dunia nyata. 4. Kemampuan matematika adalah kemampuan intelektual yang dimiliki anak dalam pembelajaran matematika berdasarkan tes kemampuan matematika. 5. Pemecahan Masalah matematika yang dimaksud adalah kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberikan kontribusi teori tentang berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika ditinjau dari kemampuan matematika. 2. Memberikan informasi bagi guru matematika tentang perbedaan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika ditinjau dari kemampuan matematika. 3.
Sebagai pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran dengan memperhatikan kemampuan matematika siswa.
4.
Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang melaksanakan penelitian berkaitan dengan profil kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah ditinjau dari kemampuan matematika.