BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanaman obat saat ini telah banyak digunakan masyarakat Indonesia sebagai upaya penanggulangan masalah kesehatan di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu bidang teknologi yang sedang dikembangkan yaitu pemanfaatan tanaman obat sebagai sediaan obat. Tanaman obat yang terdapat di Indonesia sangat beragam, salah satunya yaitu kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.). Kemangi di Indonesia umumnya dimanfaatkan untuk sayur atau lalap sebagai pelengkap makanan. Manfaat lain tanaman kemangi dalam pengobatan sudah banyak diteliti sebagai antioksidan dan antibakteri (Patil dkk., 2011). Daun kemangi juga telah digunakan sebagai obat untuk infeksi kulit, menghilangkan bau badan dan penyakit jerawat (Martin & Ernst., 2004). Jerawat merupakan penyakit kulit yang biasanya di derita para remaja atau pada masa pubertas yang umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, hormonal, makanan, dan infeksi bakteri. Salah satu bakteri penyebab jerawat adalah bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini biasa ditemukan pada saluran nafas, permukaan kulit, dan jaringan kulit bagian dalam dari bisul bernanah, serta infeksi luka (Jawetz dkk., 2001). Pengobatan jerawat di klinik kulit biasanya menggunakan antibiotik yang umumnya memiliki efek samping iritasi sebagai anti jerawat, selain itu penggunaan jangka panjang dapat
1
2
menimbulkan resistensi dan kerusakan organ (Wasitaatmadja, 1997). Oleh karena itu dicari alternatif lain mengobati jerawat yaitu dengan menggunakan bahan-bahan dari alam guna meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan seperti yang terjadi pada pengobatan jerawat dengan antibiotik. Kandungan ekstrak daun kemangi sebagai antibakteri antara lain flavonoid dan tanin. Menurut Adi (2010) ekstrak daun kemangi (Ocimum basilicum L.) sebagai antibakteri memiliki KHM dan KBM terhadap S.aureus pada konsentrasi sebesar 16,33% dan 50%. Penelitian lain membuktikan ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum L.) dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan zona hambat 9 mm dan 3 mm pada konsentrasi 100 mg/mL dan 50 mg/mL (Khalil, 2013). Sediaan gel secara topikal dapat meningkatkan efektivitas dan kenyamanan dalam penggunaannya, antara lain mampu menyampaikan bahan obat dengan baik, dan menyebabkan jerawat cepat kering karena sifat gel yang mudah menguap, keuntungan lain sediaan gel antara lain mudah merata apabila dioleskan pada kulit, memberikan sensasi dingin, tidak menimbulkan bekas dikulit, dan mudah digunakan (Yulia dkk., 2012). Pada formulasi sediaan gel, komponen gelling agent merupakan faktor kritis yang dapat mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. Salah satu gelling agent yang dapat digunakan adalah hidroksipropilmetilselulosa (HPMC). Dibandingkan gelling agent yang lain, HPMC dapat memberikan stabilitas kekentalan yang baik di suhu ruang walaupun disimpan pada jangka waktu yang lama, selain itu HPMC merupakan bahan yang tidak beracun dan non iritasi (Rowe dkk., 2009). Penelitian
3
Nursiah dkk. (2011) menunjukkan bahwa gelling agent HPMC memiliki kestabilan fisik paling optimal pada sediaan gel dibandingkan dengan karbopol. HPMC mempunyai resistensi yang baik terhadap serangan mikroba dan penggunaan HPMC sebagai basis yang bersifat hidrofilik juga memiliki kelebihan diantaranya menghasilkan daya sebar pada kulit yang baik, efeknya mendinginkan, tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan pelepasan obatnya baik, selain itu HPMC juga mengembang terbatas dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel yang baik sangat cocok digunakan sebagai basis sediaan topikal dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor penyebab jerawat (Voigt, 1984). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian tentang formulasi gel antijerawat dari ekstrak etanolik daun kemangi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan daun kemangi sebagai antibakteri terhadap pengobatan jerawat dalam bentuk sediaan gel dengan variasi kadar HPMC sebagai gelling agent serta melihat pengaruh masing-masing kadar HPMC terhadap kualitas sifat fisik dan aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh variasi kadar HPMC sebagai gelling agent terhadap sifat fisik sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.)? 2. Bagaimanakah pengaruh variasi kadar HPMC sebagai gelling agent terhadap aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.)?
4
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC sebagai gelling agent terhadap sifat fisik sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.) 2. Mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC sebagai gelling agent terhadap aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.)
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi ilmiah dan pengetahuan kepada masyarakat tentang manfaat daun kemangi yang dapat diandalkan sebagai salah satu bentuk sediaan antibakteri yang berasal dari alam. Penelitian ini juga diharapkan mampu mendorong mahasiswa untuk terus mencari tahu kekayaan alam Indonesia yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kesehatan. Selain itu, penelitian terhadap formulasi dalam bentuk sediaan gel ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan memberikan kenyamanan dalam penggunaan secara topikal.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tanaman
Gambar 1. Daun kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.)
a. Klasifikasi tanaman kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.) yaitu sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Lamiales
Suku
: Lamiaceae
Marga
: Ocimum
Jenis
: Ocimum basilicum L. forma citratum Back. (Van Steenis, 2008)
b. Deskripsi tanaman Tanaman kemangi merupakan herba tegak yang mempunyai bau seperti sereh dan sangat harum. Tinggi tanaman kemangi 0,3-0,6 m. Batangnya berwarna hijau. Tangkai daun mempunyai panjang 0,5-2 cm, helaian daun berbentuk bulat telur elips, elips atau memanjang, dengan ujung runcing, dan berukuran 3,5-7,5 x 1,5-2,5 cm. Daun kemangi mempunyai tulang cabang
6
berjumlah 3-6 buah. Daun pelindung berbentuk elips (bulat telur), panjangnya 0,5-1 cm (Van Steenis, 2008). c. Penyebaran Kemangi tumbuh di tepi jalan dan tepi ladang, di sawah kering dan dalam hutan jati. Kemangi seringkali disemaikan di kebun-kebun. Kemangi terdapat di seluruh Jawa dari dataran rendah hingga kurang lebih 450 meter di atas permukaan air laut, bahkan dibudidayakan hingga 1100 meter. Kemangi di Indonesia dikenal dengan berbagai nama, yaitu Solaseh di Sunda, Selasih di Jawa dan Madura. (Heyne, 1987). d. Khasiat Daun kemangi berkhasiat sebagai peluruh air susu ibu, obat penurun panas, obat sariawan, dan obat mual (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991). Selain itu, daun kemangi juga digunakan untuk pengobatan diare, penghilang bau keringat, bau nafas, dan bau mulut (Anonim, 1999). e. Kandungan kimia Senyawa yang terkandung dalam daun kemangi adalah vitamin C, vitamin A, vitamin B, beta karoten, kalsium, fosfor, magnesium, protein, lemak, karbohidrat, besi, boron, asam askorbat, histidin, magnesium, rutin, dan ßsitosterol (Anonim, 2014b). Daun kemangi di samping mengandung minyak atsiri juga mengandung senyawa saponin, flavonoida, dan polifenol (Hutapea & Syamsuhidayat, 1991).
7
2. Uraian kandungan kimia tanaman Polifenol merupakan senyawa yang mempunyai lebih dari satu gugus fenol. Senyawa fenol tersebar luas di alam (Robinson, 1995). Ciri-ciri dari senyawa fenol yaitu ditandai dengan adanya inti benzene yang mengikat gugus hidroksi. Menurut Harbone (1987) fenol yang sederhana hanya memiliki satu cincin benzene sedangkan polifenol memiliki lebih dari satu cincin benzene. Deteksi senyawa fenol sederhana dapat digunakan dengan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang dapat menimbulkan perubahan warna menjadi hijau, merah, ungu, biru, atau larutan hitam yang kuat. a. Tanin Tanin merupakan senyawa polifenol yang disebut juga asam tanat atau asam galonat. Senyawa tanin mudah larut dalam pelarut organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar seperti benzene dan kloroform (Robinson, 1995). Tanin yang terdapat dalam jumlah besar pada tanaman biasanya disimpan atau terdapat pada bagian yang spesifik seperti daun, buah, kulit batang, atau batang. Secara kimia, tanin ada dua jenis yaitu tanin yang terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Harborne, 1987). Tanin memberikan warna biru gelap atau hijau kehitaman dalam larutan garam feri, warna merah muda dengan campuran Natrium ferisianat dan ammonia, membentuk endapan dengan garam tembaga (Claus dkk., 1961).
8
b. Flavonoid Senyawa flavonoid mempunyai kerangka karbon yang terdiri dari 2 gugus C6 (Cincin benzene tersubstitusi) yang dihubungkan oleh 3 atom karbon sehingga membentuk senyawa dengan deret C6-C3-C6 (Robinson, 1965). Flavonoid di dalam tumbuhan terdapat sebagai campuran dan mencakup banyak pigmen. Fungsi flavonoid bagi tumbuhan antara lain sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, antimikroba, dan sebagai antivirus (Robinson, 1995). Identifikasi flavonoid memberikan perubahan warna menjadi merah tua, kuning, atau jingga apabila ditambahkan larutan HCl pekat dan serbuk logam magnesium (Harborne, 1987) 3. Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu peristiwa penarikan massa zat aktif ke dalam cairan penyari. Tujuannya agar massa zat aktif yang semula berada dalam sel dapat ditarik oleh cairan penyari dan terlarut dalam cairan penyari. Zat aktif dapat berupa bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Semakin luas permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari, maka penyarian akan berlangsung baik. Pertimbangan pemilihan metode penyarian yang baik adalah wujud dan bahan uji yang disari. Pemilihan pelarut perlu mempertimbangkan sifat kelarutan senyawa dalam pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau pelarut lain. Penggunaan air sebagai pelarut perlu ditambahkan pengawet untuk mencegah timbulnya kapang (Anonim, 1986).
9
Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain: a. Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Mekanismenya adalah pelarut menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, memungkinkan zat aktif yang terlarut dalam pelarut terdesak ke luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Anonim, 1986). Pengadukan dan penggantian cairan penyari perlu dilakukan selama proses maserasi. Biasanya maserasi dilakukan selama tiga hari sampai bahan melarut dan dilakukan pada suhu kamar, temperature 15-200C (Ansel, 1989). Endapan hasil maserasi dipisahkan, dan filtrat yang diperoleh diuapkan, sehingga didapat filtrat pekat. b. Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Penyari dimasukkan secara kontinyu dari atas kolom, mengalir lambat melintasi simplisia berupa serbuk. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Ansel, 1989).
10
c. Infundasi Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum dilakukan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair. Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat halus dan air secukupnya, dipanaskan di penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 900C sambil sesekali diaduk. Infus diserkai melalui kain flanel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika tidak dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000). d. Soxhletasi Soxhletasi
merupakan
salah
satu
metode
ekstraksi
yang
berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). Kekurangan dari metode ini adalah suhu yang digunakan cukup tinggi, sehingga tidak baik digunakan untuk senyawa yang tidak stabil dalam panas. 4. Antibakteri Antibakteri adalah obat atau senyawa kimia yang dihasilkan suatu mikroorganisme yang dalam konsentrasi kecil dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme (Jawetz dkk., 2005). Berdasarkan sifat toksisitas
11
selektif, ada bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) dan ada yang bersifat membunuh bakteri (bakterisida). Kadar minimal yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Menurut Ganiswarna dkk. (1995) berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain: a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri b. Menganggu metabolisme sel bakteri c. Merusak membran sel bakteri d. Menghambat sintesis protein sel bakteri e. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri 5. Jerawat a. Definisi jerawat Jerawat adalah kondisi abnormal kulit yang terjadi akibat gangguan produksi kelenjar minyak berlebih yang menyebabkan penyumbatan saluran folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga menyebabkan kulit memerah dan meradang serta mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada saluran kelanjar minyak dan pembentukan komedo. Jerawat biasanya tumbuh di muka, dada (depan dan belakang) dan atas lengan (Ayu, 2009). Jerawat sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya genetik, psikis, hormon, infeksi bakteri, dan keaktifan kelenjar sebasea. Jerawat dapat
12
terjadi karena penyumbatan pada polisebasea dan peradangan yang umumnya dipicu oleh bakteri Staphylococcus aureus (Ayu, 2009). b. Penyebab jerawat Mengetahui penyebab terjadinya jerawat, maka akan dengan mudah untuk mencari penanganan dalam pegobatan jerawat. Sehingga dapat dipilih teknik pengobatan yang tidak akan memperparah keadaan jerawat. Penyebab jerawat atau faktor-faktor timbulnya jerawat antara lain : 1). Faktor genetik Faktor genetik atau keturunan merupakan faktor yang sangat sulit untuk diobati. Hal ini dikarenakan, gen jerawat telah mengalir deras dalam darah, dan akan terus ada walaupun telah melakukan berbagai macam upaya pencegahan. Jadi, penanganan yang paling tepat untuk masalah jerawat yang disebabkan oleh gen yang diwariskan oleh orang tua ialah dengan berobat ke dokter (Anonim, 2014a). 2). Produksi minyak berlebih Penyakit jerawat umumnya terjadi pada seorang anak yang sedang mengalami masa pubertas dimana kondisi pada masa tersebut produksi minyak sangat drastis apabila dibandingkan sewaktu masih kecil. Minyak pada prinsipnya dapat menjaga kelembaban dari kulit, namun apabila produksi minyak tersebut berlebih dapat memicu timbulnya jerawat. Pemicu lain produksi minyak atau kelenjar sebasea berlebih karena pembentukan hormon testosteron (androgen) yang juga berlebih. Produksi hormon androgen dalam jumlah banyak terjadi pada masa pubertas. Pada wanita, selain hormon
13
androgen produksi lipid kelenjar sebasea (minyak) dipacu oleh hormon liteinizing yang meningkat saat menjelang menstruasi (Mitsui,1997). 3). Faktor serangan bakteri Tubuh manusia memiliki sifat flora normal dan bakteri yang hidup pada kondisi tersebut salah satunya adalah Staphylococcus aureus. Bakteri S.aureus ini sebenarnya adalah bakteri yang tidak membahayakan untuk kesehatan kulit, namun apabila bagian kulit terkena iritasi maka bakteri ini akan menginfeksinya. Salah satu hasil kulit yang terinfeksi adalah jerawat. Salah satu cara
menghilangkan
jerawat
yang
disebabkan
oleh
serangan
bakteri Staphylococcus aureus ialah dengan menggunakan bahan-bahan alami yang mengandung senyawa anti bakteri (Anonim, 2014a). 4). Makanan Beberapa contoh makanan yang dapat memicu timbulnya jerawat seperti karbohidrat, lemak dan makanan berkalori tinggi. Meskipun tidak semua ahli sependapat dengan adanya hubungan antara makanan dan jerawat, tetapi banyak pengalaman ditemukan adanya hubungan ini (Wasitaatmadja, 2007). 5). Penggunaan obat Obat-obatan kortikosteroid, narkotika, stimulansia susunan saraf pusat dapat memicu timbulnya jerawat, karena obat-obatan ini dapat memicu sekresi kelenjar lemak yang berlebihan (Wasitaatmadja, 2007). 6). Psikososial Stress psikis secara tidak langsung dapat memicu timbulnya jerawat karena peningkatan stimulasi kelenjar sebasea (Wasitaatmadja, 2007).
14
c. Jenis-jenis jerawat antara lain : 1). Jerawat komedo Komedo adalah nama ilmiah dari pori-pori yang tersumbat, komedo bisa terbuka atau tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead comedo yang awalnya berwarna putih pucat, terlihat seperti pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi dengan udara. Sedangkan komedo yang tertutup atau whitehead comedo yang warnanya berubah menjadi kehitaman. Jerawat jenis komedo ini disebabkan sel-sel kulit mati dan kelenjar minyak yang berlebihan pada kulit (Ayu, 2009). 2). Jerawat Radang Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil berwarna pink atau kemerahan. Hal ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat di permukaan kulit. Stress, hormon, dan udara yang lembab dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan
kulit
memproduksi
minyak
yang
merupakan
tempat
berkembang-biaknya bakteri. Jerawat yang disebabkan hormon biasanya muncul di sekitar rahang dan dagu (Ayu, 2009). 3). Jerawat Batu atau Jerawat Konglobata Biasanya jerawat ini besar dengan tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul di seluruh wajah. Biasanya penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki kelenjar minyak yang over aktif dan pertumbuhan sel-sel kulit yang tidak normal, tidak bisa regenerasi secepat kulit
15
normal. Kulitnya juga memiliki respon yang berlebihan terhadap peradangan sehingga meninggalkan bekas di kulit (Ayu, 2009). 6. Gel a. Definisi gel Gel adalah sistem dua komponen berbentuk setengah padat yang banyak mengandung air. Pada gel yang bersifat polar (berasal dari polimer atau sintetik) akan membentuk matriks tiga dimensi pada keseluruhan masa hidrofilik. Karena zat pembentuk gel tidak larut sempurna atau karena membentuk agregat yang dapat membiaskan cahaya maka sistem ini dapat bersifat jernih atau keruh. Polimer gel ini terdiri atas : gom alam, tragakan, karagen, pektin, agar, asam alginate; bahan semisintetik antara lain metil selulosa, hidroksiletil selulosa, CMC; polimer sintetik seperti karbopol (Agoes & Darijanto, 1993). Definisi lain menyebutkan gel merupakan suatu sediaan semipadat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun dari partikel anorganik kecil maupun molekul organik besar dan mengandung cairan. Umumnya, gel merupakan sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid yang memiliki kekuatan oleh adanya jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989). b. Karakteristik Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah: inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen farmasi lain. Pemilihan bahan pembentuk gel dalam setiap formulasi bertujuan membentuk sifat seperti padatan yang cukup baik selama penyimpanan yang dengan mudah
16
dapat dipecah bila diberikan gaya pada sistem. Misalnya, dengan pengocokan botol, memencet tube atau selama aplikasi topikal. Gel seharusnya hanya menunjukkan perubahan viskositas yang relatif kecil pada variasi normal temperatur kamar dan pemakaian (Agoes & Darijanto, 1993). Penggunaan gel dapat diberikan secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh. Kelebihan sediaan gel antara lain mudah digunakan, tidak menimbulkan bau tengik, mampu memberikan efek topikal yang baik, menimbulkan sensasi nyaman di kulit karena rasa dingin yang dihasilkan dan memiliki daya sebar yang baik sehingga dapat bekerja langsung pada lokasi yang sakit. Selain itu, gel mampu membuat lapisan film sehingga mudah dicuci dengan air (Ansel, 1989). Berdasarkan komposisinya, gel digolongkan menjadi dua yaitu gel hidrofilik dan gel hidrofobik. Gel hidrofilik umumnya terdiri dari fase organik yang besar. Basis gel ini dapat larut dengan molekul pada fase pendispersinya. Sistem koloid hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar dibanding hidrofobik (Ansel, 1989). Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi yang sedikit antara basis gel dan fase pendispersi. Basis gel hidrofobik tidak secara spontan menyebar (Ansel, 1989). Keuntungan lain gel hidrofilik antara lain daya sebar pada kulit baik, mudah dicuci dengan air, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, pelepasan obatnya baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, tidak melapisi kulit secara kedap, dan menimbulkan efek dingin akibat lambatnya penguapan air (Voigt, 1984).
17
c. Senyawa pembentuk gel Sejumlah polimer digunakan dalam pembentukan struktur berbentuk jaringan (jala) yang merupakan bagian penting dari sistem gel. Termasuk dalam kelompok ini adalah: gom alam, turunan selulosa, dan karbomer. 1). Gom alam Gom yang digunakan sebagai pembentuk gel dapat mencapai sasaran yang diinginkan dengan cara dispersi sederhana dalam air (misal tragakan) atau melalui cara interaksi kimia (misal Na alginat dan kalsium). Secara keseluruhannya, keberadaan gel disebabkan karena ikatan sambung silang yang mengikat molekul polisakarida sesamanya, sedangkan sisanya tersolvasi. Beberapa gom alam yang digunakan sebagai pembentuk gel antara lain: alginat, karagen, tragakan, pektin, gom xantan, dan gelatin (Agoes & Darijanto, 1993). 2). Carbomer Carbomer membentuk gel pada konsentrasi 0,5%. Dalam media air, yang diperdagangkan dalam bentuk asam, pertama-tama terlebih dahulu didispersikan. Sesudah udara terperangkap keluar sempurna, gel akan terbentuk dengan cara netralisasi dengan basa yang sesuai (Agoes & Darijanto, 1993). 3). Turunan selulosa Turunan selulosa mudah terurai karena reaksi enzimatik dan karena itu harus terlindung dari kontak dengan enzim. Sterilisasi dari sistem di dalam air atau penambahan pengawet merupakan cara yang lazim untuk mencegah
18
penurunan viskositas yang disebabkan karena terjadi depolimerisasi akibat pengaruh enzim yang dihasilkan oleh mikroba. Turunan selulosa yang dapat digunakan untuk
membentuk gel
adalah
metilselulosa, Na
CMC,
hidroksietilselulosa, hidroksipropilselulosa (larut dalam cairan polar organik), dan hidroksi propil metil selulosa (basis hidrofilik) (Agoes & Darijanto, 1993; Kibbe, 2004). 7. Monografi bahan a. Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC) Hydroxypropyl Methylcellulose merupakan suatu polimer glukosa yang tersubstitusi dengan hidroksipropil dan metil pada gugus hidroksinya. Nama lain dari Hydroxypropyl Methylcellulose adalah Hypromellose, hypromellosum, Metolose, methylcellulose propylene glycol ether, Benecel MHPC, methyl hydroxypropylcellulose, Methocel, Pharmacoat, MHPC, Tylopur, Tylose MO. HPMC berupa serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%) dan eter (Rowe dkk., 2009).
Gambar 2. Struktur HPMC (Rowe dkk., 2009)
HPMC pada sediaan gel berguna sebagai gelling agent. Hidroksi propil metil selulosa dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, stabil pada pH 3
19
hingga 11, tidak berasa dan punya resistensi yang baik terhadap serangan mikroba serta memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit (Rowe dkk., 2009). b.
Metil Paraben Metil paraben memiliki nama lain metil ester asam 4-hidroksibenzoat,
metil p-hidroksibenzoat, Nipagin M, Uniphen P-23. Metil paraben berupa serbuk tidak berwarna atau kristal putih, tidak berbau atau berbau khas lemah yang mudah larut dalam etanol dan eter, larut dalam 400 bagian air, dan praktis tidak larut dalam minyak. Metil paraben memiliki berat molekul sebesar 152,15 dengan rumus molekul C8H8O3 (Rowe dkk., 2009). Struktur metil paraben dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Metil Paraben (Rowe dkk., 2009)
Pada sediaan topikal umumnya metil paraben digunakan dengan konsentrasi antara 0,02-0,3%. Metil paraben digunakan secara luas sebagai bahan pengawet antibakteri dalam sediaan farmasi, kosmetik, dan produk makanan. Golongan paraben paling efektif melawan kapang dan jamur, akan tetapi pada rentang pH yang luas golongan paraben juga mempunyai aktivitas antibakteri pada spektrum yang luas (Rowe dkk., 2009).
20
c.
Propilen glikol Propilen glikol memiliki rumus molekul C3H8O2. Nama lain dari
propilen glikol antara lain1,2-dihidroksipropana, metil glikol, metil etilenglikol, 2-hidroksipropanol, dan propan-1,2-diol. Struktur dari propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Propilen Glikol (Rowe dkk., 2009)
Propilen glikol memiliki berat molekul sebesar 76,09. Bentuk propilen glikol berupa larutan jernih atau sedikit berwarna, kental, dengan rasa agak manis. Propilen glikol larut dalam kloroform, etanol, glierin, dan air. Larutan ini disimpan dalam wadah tertutup baik pada suhu rendah. Pada sediaan topikal umumnya propilen glikol digunakan pada konsentrasi 15% sebagai humektan dan 5-80% sebagai pelarut (Rowe dkk., 2009). Propilen glikol berfungsi sebagai pelarut, humektan, pengawet desinfektan, stabilizer untuk vitamin dan water-miscible cosolven. Pada sediaan gel propilen glikol bersifat dapat menahan lembab, memungkinkan kelembutan, dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, serta melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984). d. Akuades Akuades memiliki nama resmi purified water (air murni) dan berat molekul 18,02. Pemerian dari air murni adalah cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Air murni memiliki kisaran pH antara 5,0
21
dan 7,0. Penyimpanan untuk bahan ini adalah dalam wadah tertutup rapat. Air murni diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik (reverse osmosis), atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum dan tidak mengandung zat tambahan lain (Anonim, 1995). Air murni biasa digunakan sebagai pelarut. Air dapat bereaksi dengan logam alkali dan oksidannya, seperti kalsium oksida dan magnesium oksida. Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada suhu tinggi. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu (Anonim, 1979). 8. Uji sifat fisik gel a. Organoleptis Pemeriksaan organoleptis biasa dilakukan secara makroskopis dengan mendeskripsikan warna, kejernihan, transparansi, kekeruhan, dan bentuk sediaan (Paye dkk., 2001). b. pH pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH idealnya sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan untuk menghindari iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5–6,5 (Draelos & Lauren, 2006).
22
c. Homogenitas Pemeriksaan homogenitas dapat dilakukan secara visual. Homogenitas gel diamati pada kaca objek di bawah cahaya, diamati apakah terdapat bagianbagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel yang stabil harus menunjukkan susunan yang homogen (Paye dkk., 2001). d. Viskositas Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir. Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya, pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan kelembaban. Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik dan ketersediaan hayatinya (Paye dkk., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun. Viskositas juga menentukan lama lekatnya sediaan pada kulit, sehingga obat dapat dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan menambahkan polimer (Donovan & Flanagan, 1996). e. Daya sebar Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Sediaan yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal. Menurut Garg dkk. (2002) daya sebar sediaan semipadat berkisar pada diameter 3 cm-5 cm.
23
f. Daya lekat Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. Daya lekat dari sediaan semipadat sebaiknya adalah lebih dari 1 detik (Zats & Gregory, 1996). 9. Uji aktivitas antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri bertujuan untuk menetapkan potensi aktivitas antibakteri. Beberapa metode yang umum digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri antara lain, a.
Metode difusi Suatu kertas saring (suatu silinder) tak beralas yang mengandung zat
antibakteri dalam jumlah tertentu, ditempatkan pada media padat yang telah ditanami dengan bakteri uji. Kemudian diinkubasi. Setelah inkubasi, diameter daerah hambatan jernih yang mengelilingi zat antibakteri tersebut dianggap sebagai kekuatan hambatan zat tersebut terhadap bakteri uji. b. Metode dilusi Sejumlah bakteri tertentu dicampurkan dengan media bakteri cair/padat, kemudian media tersebut ditanami dengan bakteri uji dan diinkubasi. Titik akhir yang diamati adalah jumlah zat antibakteri yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan/ mematikan bakteri uji (Jawetz dkk., 2005).
24
F. Landasan Teori Tanaman kemangi yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia sebagai sayuran atau lalapan untuk menambah selera makan, saat ini sudah banyak diteliti terkait mengenai efektivitas di dalam pengobatannya. Tanaman
kemangi
bermanfaat
dalam
pengobatan
sebagai
antiseptik,
antirematik, dan antibakteri, selain itu daun kemangi juga telah banyak digunakan sebagai obat untuk infeksi kulit, dan penyakit jerawat (Martin & Ernst., 2004). Dalam penelitian sebelumnya membuktikan ekstrak daun kemangi ternyata memiliki aktivitas antibakteri terkait dengan beberapa senyawa yang ditemukan di dalamnya yaitu flavonoid dan tanin. Pada penelitian Setiani (2014) dikatakan bahwa flavonoid dan tanin bekerja sama untuk menyerang gugus polar membran sel bakteri, dan menyebabkan fosfolipid bakteri terurai, sehingga mengakibatkan membran sel bakteri mengalami kebocoran dan bakteri akan mengalami kematian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Khalil (2013) ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum L.) dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan zona hambat 3 mm dan 9 mm pada konsentrasi 50 mg/mL dan 100 mg/mL. Pemanfaatan daun kemangi sebagai antibakteri dalam pengobatan jerawat akan lebih mudah dan nyaman penggunaannya apabila diformulasikan dalam bentuk sediaan gel. Dengan harapan sediaan gel dari ekstrak daun kemangi akan lebih mudah diabsorbsi dan cepat menimbulkan efek karena sediaan bekerja secara lokal. Selain itu, pemilihan komponen gelling agent yang
25
digunakan merupakan faktor kritis dalam formulasi gel, karena gelling agent ini dapat mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. HPMC merupakan salah satu gelling agent yang termasuk dalam golongan polimer semi sintetik dan secara luas digunakan sebagai suatu eksipien di dalam formulasi sediaan topikal seperti gel dan salep. HPMC dapat mengembang terbatas dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel yang baik sangat cocok digunakan sebagai basis sediaan topikal dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor penyebab jerawat. Berdasarkan penelitian Arikumalasari dkk. (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar HPMC maka semakin tinggi pula nilai viskositas dan nilai daya lekatnya, akan tetapi peningkatan kadar HPMC tersebut menyebabkan penurunan nilai daya sebar suatu sediaan gel. Selain itu, penelitian lain menyebutkan terjadi penurunan aktivitas daya hambat bakteri yang di uji pada sediaan gel karena pengaruh peningkatan variasi kadar HPMC (Jaelani, 2012). Oleh sebab itu, berdasarkan pertimbangan di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik sediaan gel dan juga aktivitas daya hambat bakteri sebagai salah satu uji tambahan suatu sediaan gel antibakteri.
G. Hipotesis Berdasarkan landasan teori diatas dapat diambil suatu hipotesa bahwa variasi kadar HPMC yang diformulasikan dengan ekstrak etanolik daun kemangi dalam sediaan gel akan berpengaruh terhadap sifat fisik sediaan gel tersebut
26
yaitu semakin tinggi kadar HPMC maka akan terjadi peningkatan nilai viskositas, nilai daya lekat dan penurunan nilai daya sebar. Selain itu peningkatan kadar HPMC juga berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan pelepasan zat aktif dalam aktvitas penurunan daya hambat bakteri yang di uji pada sediaan gel ekstrak etanolik daun kemangi.