BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perpindahan tempat yang dilakukan manusia ke tempat lainnya dilakukan dengan menggunakan moda transportasi seperti sepeda, kereta, bus, becak, motor, mobil ataupun dengan berjalan kaki. Dengan berbagai macam pilihan, masyarakat bebas memilih moda transportasi sesuai keinginan mereka. Pembangunan yang pesat membuat aspek transportasi menjadi penting. Dengan bermacam tingkat mobilitas, penduduk lebih memilih kendaraan pribadi dibandingkan transportasi umum. Dengan semakin padatnya jumlah penduduk dan tingginya mobilitas penduduk, kebijakan pemerintah lebih mengarah untuk pengadaan jalan bagi kendaraan pribadi yang semakin mendominasi. Efek yang ditimbulkan adalah kemacetan, ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dan emisi kendaraan yang tinggi. Transportasi telah menjadi salah satu kepentingan publik. Peran transportasi yang begitu besar terhadap ekonomi, sosial dan politik membuat kepentingan antar pemerintah, masyarakat dan swasta sering bentrok. Masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik membutuhkan angkutan umum yang layak, namun pemerintah tidak dapat menyediakan
1
2
angkutan umum yang layak. Kendaraan pribadi yang ditawarkan oleh swasta
menjadi
jawaban
akan
kebutuhan
masyarakat
mengenai
transportasi meskipun di sisi lain terdapat swasta yang menyediakan jasa angkutan umum dengan kualitas yang baik. Bentrokan kepentingan tersebut dalam transportasi sehingga memunculkan kepentingan yang mendominasi dan kepentingan yang terpinggirkan. Berjalan kaki sebagai salah satu moda transportasi yang murah, mudah dan sehat menjadi yang paling terpinggirkan akibat pembangunan yang semakin pesat dan konflik kepentingan dalam transportasi. Fasilitas bagi pejalan kaki seperti trotoar secara kuantitas dan kualitas sangat kurang. Pejalan kaki diatur dalam UU No 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan dalam pasal 131 bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain dan berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Realitanya pejalan kaki malah tergeser di atas jalan sebagai pihak yang terlemah dalam sistem transportasi karena kurang tegasnya pemerintah menjalankan peraturan yang telah dibuat. Trotoar sebagai salah satu fasilitas pejalan kaki konflik kepentingan. Trotoar sebagai ruang publik harusnya dapat menjadi tempat interaksi bagi masyarakat dengan segala aktivitasnya. Faktanya Pejalan kaki harus mengalah karena trotoar telah digunakan oleh pedagang kaki lima (PKL), parkir liar/parkir sembarangan ataupun pengendara kendaraan bermotor
3
yang
menyerobot
trotoar
sebagai
jalur
mengemudi.
Akibatnya,
aksesibilitas pejalan kaki dalam memakai fasilitas yang diberikan tersebut menjadi berkurang. Menurut Malik (2004:96) mengatakan trotoar harus bebas hambatan, sama seperti badan jalan yang digunakan oleh kendaraan. Artinya, para pengguna trotoar/pedestrian, harus merasa nyaman dengan perjalanannya. Berjalan kaki merupakan hak yang mendasar bagi warga negara. Jaminan kenyamanan pejalan kaki seharusnya dapat diberikan oleh pemerintah. Jaminan tersebut berupa fasilitas pejalan kaki yang layak sehingga dapat dengan aman dan nyaman untuk dilalui. Berjalan kaki bukanlah moda transportasi yang dapat dilakukan dengan jarak jauh. Pejalan kaki merupakan feeder (pengumpan) dan sebagian besar terintegrasi dengan moda transportasi lain khususnya transportasi umum, sehingga perlu adanya jaminan bagi pejalan kaki agar dapat berjalan kaki secara nyaman dalam sistem transportasi. Transportasi di Kota Yogyakarta belum dikatakan baik. Kemacetan yang terjadi disebabkan jumlah kendaraan pribadi yang tumbuh lebih cepat daripada jumlah jalan yang ada. Menurut data statistik 2008 menyebutkan bahwa transportasi di Jogja didominasi oleh kendaraan bermotor yang mencapai 83,5% di mana hanya 2,5% yang merupakan transportasi umum atau bus. Meskipun pada tahun 2008 telah diluncurkan Transjogja,
namun
perbandingannya
1:30
sepeda
motor
(bisnis-
jateng.com, 2012). Fakta tersebut menunjukkan pemerintah kota
4
Yogyakarta belum berkomitmen terhadap kepentingan pejalan kaki dan membuat pejalan kaki semakin terpinggirkan. Berdasarkan data WALHI Yogyakarta, kondisi trotoar di Kota Yogyakarta cukup memprihatinkan. Lebar trotoar yang memenuhi standar dan layak untuk berjalan dengan lebar lebih dari 2 meter hanya mencapai 32 %, sedangkan 14 % kondisi permukaan trotoar rusak atau tidak layak untuk berjalan. Di sepanjang trotoar juga terdapat penghalang bagi pejalan kaki meliputi tiang listrik, telepon, parkir kendaraan dan pot bunga dengan mencapai angka 60-90%. Akibat banyaknya trotoar yang tidak berfungsi selayaknya, jumlah pejalan kaki di Kota Yogyakarta semakin menurun hingga berkisar 10% dari jumlah penduduk, jauh lebih rendah dari penduduk Kota Jakarta yang mencapai 26% dari angka penduduk (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, 2012). Penurunan jumlah pejalan kaki juga ditambah dengan lunturnya budaya berjalan kaki sebagai salah satu moda transportasi. Akibat tidak adanya keseriusan mengatasi permasalahan pejalan kaki, untuk perjalanan dengan jarak pendek, masyarakat lebih sering menggunakan sepeda motor daripada berjalan kaki. Di sisi lain, penggunaan transportasi umum juga semakin berkurang akibat dominasi penggunaan kendaraan pribadi. Transportasi umum sebagai salah satu moda transportasi, yang lebih terintegrasi dengan pejalan kaki dalam jarak jauh, belum mampu menarik masyarakat untuk menggunakannya. Permasalahan jarak pendek dan jarak jauh dalam perjalanan pejalan kaki kurang dilihat oleh pemerintah kota sebagai hal
5
serius. Hal tersebut akan menjadi “bom waktu” dalam sektor transportasi nantinya yaitu peningkatan kendaraan pribadi dan jumlah jalan yang tidak mampu mengikuti peningkatan tersebut. Banyaknya permasalahan mengenai pejalan kaki di kota Yogyakarta membuat KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel) dan WALHI Yogyakarta mengusung gerakan “Jadikan Jogja Istimewa Bagi Pejalan Kaki” pada awal tahun 2012. Gerakan tersebut mendorong agar pemerintah kota menyediakan fasilitas pejalan kaki yang layak. Gerakan tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi dan menganalisa fasilitas pejalan kaki dan membangkitkan kesadaran kepada masyarakat mengenai pentingnya pejalan kaki di 14 kecamatan di Kota Yogyakarta. Hasil tersebut akan direkomendasikan kepada pemerintah Kota Yogyakarta. Melanjuti gerakan tersebut, Juni 2012 diluncurkan program “Kota Layak Pejalan Kaki (Walkability City)”. Tidak hanya dari kalangan masyarakat (society), swasta juga terlibat dalam pemecahan permasalahan pejalan kaki di Kota Yogyakarta. Keterlibatan swasta dalam sektor transportasi tampak dari adanya peluncuran bus Transjogja yang dioperasionalkan oleh PT Jogja Tugu Trans. Transjogja sebagai solusi transportasi umum perkotaan dan diharapkan dapat menopang pejalan kaki dalam melakukan perjalanan. Selain itu, terdapat GIZ SUTIP sebagai salah satu mitra pemerintah kota untuk menata transportasi kota dengan meningkatkan akses kepada transportasi umum dan pejalan kaki.
6
Masalah transportasi dan pejalan kaki yang semakin kompleks di Kota Yogyakarta membutuhkan kerja sama banyak pihak. Di era otonomi daerah, pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan tidak hanya bekerja sendiri tetapi juga melibatkan pihak lain seperti masyarakat dan swasta. Kerja sama tersebut akan mengakomodir setiap kepentingan dari banyak pihak sehingga keputusan dapat diambil pemerintah sebagai decision maker untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Kota seharusnya menyediakan prasarana pergerakan (transportasi humanis) yang mempertimbangkan faktor keselamatan, keamanan, kenyamanan, kemudahan aksesibilitas bagi seluruh pengguna jalan (Wunas, 2011:7). Untuk mencapai hal tersebut setidaknya ada tiga aktor yang harus terlibat yaitu pemerintah (state), swasta (private sector) dan masyarakat (society) yang merupakan bagian dalam governance. Pemerintah selaku pembuat kebijakan harus berinteraksi dengan dua domain lainnya dalam menciptakan transportasi yang nyaman, salah satunya jaminan kenyamanan pejalan kaki. Pejalan kaki memiliki posisi yang lemah dalam sistem transportasi jalan ataupun lalu lintas. Fasilitas pejalan kaki yang layak jarang diberikan oleh pemangku kepentingan. Kenyamanan pejalan kaki dapat dilihat dari bagaimana fasilitas pejalan kaki yang ada dapat berfungsi dengan baik dan dilalui tanpa hambatan. Peningkatan fasilitas pejalan kaki yang layak akan mendorong bertambahnya jumlah pejalan kaki. Hal tersebut akan berdampak terhadap pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan
7
dapat mendorong penggunaan kendaraan umum jika adanya sistem angkutan yang baik. Hal tersebut dikarenakan pejalan kaki sebagian besar menggunakan intermoda transportasi dalam beraktivitas. Selain itu, pemberian fasilitas pejalan kaki yang layak dan nyaman dapat mendorong penggunaan
lahan
lebih
untuk
ruang
publik
daripada
untuk
pengadaan/pelebaran jalan sehingga kota menjadi lebih humanis dan nyaman huni. Penelitian ini memfokuskan untuk melihat peran governance dalam tata kelola transportasi terutama dalam memberikan jaminan kenyamanan bagi pejalan kaki. Pemecahan masalah transportasi dan pejalan kaki di Kota Yogyakarta telah melibatkan interaksi antar pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan adanya governance, diharapkan tercipta solusi yang efektif. Tata kelola transportasi yang baik akan memberikan pelayanan yang baik pula termasuk memberikan fasilitas publik yang nyaman bagi pejalan kaki. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kenyamanan berjalan kaki di Kota Yogyakarta. oleh karena itu, penelitian berjudul “Jaminan Kenyamanan Pejalan Kaki dalam Tata Kelola Transportasi (Transportation Governance) di Kota Yogyakarta”. B. Identifikasi Masalah 1. Semakin terpinggirnya berjalan kaki sebagai salah satu moda transportasi yang murah, mudah dan sehat akibat pembangunan yang semakin pesat.
8
2. Tata Kelola Transportasi masih belum berpihak pada pejalan kaki. Terbukti pemerintah sebagai decision maker belum memberikan jaminan kepada pejalan kaki dalam kebijakannya. 3. Fasilitas pejalan kaki di Kota Yogyakarta masih buruk, ditandai dengan trotoar standar dan layak untuk berjalan hanya mencapai 32 %, sedangkan 14 % kondisi permukaan trotoar rusak atau tidak layak. 4. Jumlah pejalan kaki di Kota Yogyakarta semakin menurun hingga berkisar 10% dari jumlah penduduk. 5. Transportasi umum belum menarik masyarakat Kota Yogyakarta untuk menggunakannya dalam melakukan perjalanan. 6. Kurang adanya interaksi antara pemerintah (state), swasta (private sector) dan masyarakat (society) dalam menciptakan tata kelola transportasi yang nyaman. C. Batasan Masalah Pejalan kaki adalah bagian dalam sistem transportasi. Berjalan kaki dapat mendorong pengurangan penggunaan kendaraan bermotor dalam jarak dekat dan emisi yang berlebih. Agar hal tersebut tercapai, diperlukan kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Agar pembahasan tidak meluas dan penelitian lebih fokus dan mendalam, penelitian ini membatasi masalah pada kenyamanan pejalan kaki dalam tata kelola transportasi.
9
D. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana jaminan kenyamanan pejalan kaki dalam tata kelola transportasi (transportation governance) di Kota Yogyakarta?” E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang jaminan kenyamanan pejalan kaki dalam tata kelola transportasi (transportation governance) di Kota Yogyakarta. F. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu administrasi negara terutama mengenai studi governance dalam tata kelola transportasi khususnya kenyamanan pejalan kaki serta dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan terkait topik dalam penelitian ini. 2. Secara Praktis a. Bagi Peneliti Penelitian ini sebagai salah satu persyaratan kelulusan peneliti untuk memperoleh gelar sarjana. Selain itu, peneliti dapat menambah wawasan dan menerapkan ilmu yang telah diperoleh dalam proses kuliah serta dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan Ilmu Administrasi Negara.
10
b. Bagi Pemerintah Penelitian ini dapat menjadi masukan atau bahan evaluasi bagi pemerintah Kota Yogyakarta untuk lebih memberikan jaminan kenyamanan kepada pejalan kaki dalam tata kelola transportasi. c. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat mendorong masyarakat turut berpartisipasi baik dalam kegiatan berjalan kaki ataupun menjaga kenyamanan fasilitas pejalan kaki yang ada.