BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdagangan perempuan dan anak (traficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Dimasa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemidanaan secara paksa keluar negeri untuk tujuan prostitusi. Jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefenisikan sebagai pemidanaan, khususnya perempuan dan anak dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau keluar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.1 Permasalahan perdagangan perempuan dan anak memang merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagian dari kebijakan politik perburuhan cheap Labour yang dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung dieksploitasi. Trafiking merupakan salah satu jalur terjadinya perdagangan orang yang korbannya rata-rata dibawah garis kemiskinan, khususnya perempuan dan anak. Apalagi saat ini posisi 1
Chairul Bariah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan Anak), (USU press, Medan, 2005), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.2 Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafiking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjual belikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat. Jika ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 UU NO. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pemeritahan Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right on the Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Lembaran Negara Nomor 57. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah selangkah lebih maju dengan membuat Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak .3 Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohami, jasmani, maupun sosial. Anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki
2 3
Ibid., hal. 1-2. Ibid., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada dan merupakan ujung tombak perubahan dari setiap zaman.4 Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencangkup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau peraktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan,
penggunaan
kekerasan,
penculikan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetuajuan dari orang yang memegang kendali atas korban.5 Kejahatan dapat timbul dimana saja dan kapan saja, bahkan dapat dikatakan bahwa kejahatan itu terjadi hampir pada setiap masyarakat. Namun kerena sifatnya yang merugikan, maka adalah wajar pula bilamana setiap masyarakat berusaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan. Namun demikian hampir setiap hari masyarakat, dihadapkan dengan berita dengan pembicaraan yang menyangkut masalah kejahatan.
4
Aminah Azis, Aspek Hukum Perlindungan Anak (USU press, Medan, 1998) hal. 11. Dikutip dari: http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-pidana/294-tindak-pidana/perdaganganorang-di-indonesia-sebuah-catatan-kritis / [Diakses pada hari Jumat, Tanggal 31 Maret 2017, Pukul 22.32 WIB]. 5
Universitas Sumatera Utara
Usahah menanggulangi kejahatan perdaganagan orang memerlikan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan kejahatan trasnasisional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara unsur-unsur penyelanggaraan negara dan juga kerja sama dengan masyarakat luas agar upaya-upaya penaggulangan perdagangan orang dapat bekerja secara efektif. Dengan berusaha bersama telah tercapainya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdanganan Orang dan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindunga Anak sebagai salah satu legitimasi agar perdaganga oarang yang pada umumnya perempuan dan anak sebagai korban. Dengan semangkin menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, diikuti dengan modus operandi yang semangkin beragam dan kompleks, sehingga
dibutuhkan
Berlangsungnya
lalu
penanganan lintas
secara
perdagangan
komprehensif orang
menjadi
dan
inergi.
semangkin
memperhatinkan dan menyedihkan ketika akibatnya telah terbelengguh hakhak asasi serta kemerdekaan diri korban yang mayoritas perempuan dan anak atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak yang bersangkutan. Maraknya perdangan orang ini diawali dengan semangkin meningkatnya pencari kerja baik itu laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk berimigrasi keluar daerah sampai keluar negeri guna untuk mencari perkejaan. Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak pada perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut di atas, di
Universitas Sumatera Utara
antaranya yang mendominasi adalah faktor kemiskinan, tidak tersedianya lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang berkepanjangan. Perdagangan orang yang mayoritasnya terjadi pada perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern saat ini dan merupakan dampak krisis dari multidimensional yang di alami Indonesia. Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan di anggap rentan. Korban perdagangan orang bisanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan di eksploitasi. Bentuk-bentuk
eksploitasi
itu
sendiri
diantaranya
dengan
cara
memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern lainnya, perbuatan eksploitasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan untung sebesar-besarnya bagi pelaku perdagangan orang. Perdagangan orang pula bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, kecurangan, kebohongan, dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asasi manusia.6
6
Dikutip dari: http//repository.unhas.ac.id/bitstream/handel/123456789/6441/SKRIPSI%20LENGKAPPIDANA-ARFAN.pdf?sequence=1 / [Diakses pada hari Senin, 03 April, 2017, Pukul 22.19 WIB].
Universitas Sumatera Utara
Bentuk praktek trafficking yang ditangani di Sumatera Utara diantaranya adalah trafficking untuk prostitusi atau pelacuran, perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal, dan penipuan buruh mingran. Namun dari sejumlah data dan bentuk praktek trafficing yang berkembang sebagian besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafficking domestik maupun lintas negara. Modus atau alibi sebagian besar adalah bujukan atau imingiming, yang merupakan pembohongan dan penipuan serta menebar perangkap kezona-zona publik, seperti stasiun KA, terminal bus, pelabuhan, kedesa atau kelurahan, pinggiran kota bahkan di pusat kota dan tempat-tempat liannya.7 Kini perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan di seluruh dinia. Laporan servei Dunia IV tentang perempuan dan pembangunan (1999) menyebutkan bahwa banyak negara berkembang di Asia seperti Vietnam, Srilangka, Thailand dan Pilipina mengalai hal yang sama sebagai akibat ketidakpastian dan ketidakmampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak cukup kompleks terutama terhadap peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasioal maupun internasional. Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modren ini merupakan dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah
7
Emy Suryana, Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Trafficking Perempuan dan Anak, (Medan, 2009), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku.8 Di Indonesia merupakan salah satu lumbung traffcking dari negra-negara Asia. Dalam sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau perhambaan. Masa kerajan-kerajaan di Jawa, perdagangan orang terjadi dikalangan perempuan yang pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada saat itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekusaan raja tidak terbatas, hal ini tercermi dari banyaknya selir yang dimilikinya.9 Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahkan merupakan tunas bangsa, generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu memdapat kesempatan untuk berkembang dan tumbuh secara optimal baik fisik, mental maupun sosial sehingga diperlukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban kehidupan
8
Rachmad Syafaat, Dagang Manusia, cet. 1, (Lamppera Pustaka Utama, Jakarta, 2003),
hal. 1. 9
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2010), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
manusia menimbulkan berbagai bentuk kriminal baru ataupun perkembangan tindak kriminal. Akibat dari perubahan yang terjadi adalah menjadikan seorang anak menjadi salah satu korban dari tindak kriminal dimana seseorang tidak lagi memandang seorang anak sebagai sebagai sebuah subjek yang sama dengan dirinya akan tetapi lebih pada sebagai sebuah objek yang bisa diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi. Dan hal tersebut yang juga melatar belakangi mengangkat masalah tindak pidana perdagangan orang yang berjudul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Anak Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor 101/Pid.B/2014/PN Rap)’’ B. Rumusan Masalah Perlunya rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi merupakan
hal
penting
guna
membatasi
permasalahan
yang
akan
diangkatsebagai topik pembahasan didalam penulisan ini. Adapunn yang menjadi rumusan masalah didalam penulisa skripsi ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang? 3. Bagaimana Analisis Yuridis Tindak Pidana Perdagangan Anak Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor 101/Pid.B/2014/PN Rap) ?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam rangka pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada didalam skripsi ini, adapun tujuannya sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang. b. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. c. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang khususnya terhadap anak. Penulisan skripsi ini juga dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut : a. Secara Teoritis Pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan akan memberikan informasikan dan gambaran tentang ketentuan hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan anak. Juga bagimana penerapan dari ketentuan yang berlaku terhadap tindak pidana perdagangan anak tersebut. Selain itu, penulisan ini bermanfaat sebagai kiontribusi pemikiran dan pemandangan yang baru mengenai hukum pidana Indonesia. Terutama bagi nkalangan akademisi dan perguruan tinggi. b. Secara Praktis Secara peraktis penulisan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tetang kasus-kasus tindak pidana perdaganagan orang yang terjadi dan bagaimana
Universitas Sumatera Utara
upaya
penanggulangan
korban
TPPO
sehingga
kasus-kasus
pidana
perdagangan orang tidak akan terjadi lagi. Pembahasan terhadap masalah yang diangkat dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya bagi para pelaku tindak pidana perdagangan yang dilakukan terhadap anak, agar mengetahui ancaman pidana yang akan dikenakan apabila ia melakukan tindak pidana tersebut, dan juga dapat dijadikan pedoman lagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam
pemberantasan tindak
pidana
perdagangan
orang,
khususnya
perdagangan terhadap anak. D. Keaslian Penulisan Tulisan yang membahas tentang tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan terhadap anak yang diangkat dengan judul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Perdagangan Orang yang Dilakukan Terhadap Anak Secara Berlanjut (Studi Putusan Nomor 101/Pid.B/2014/PN Rap)”, ini merupakan penulisan asli yang berasal dari pemikiran murni tanpa adanya suatu proses penjimplakan atas suatu karya tulis manapun. Jikapun ada judul penulisan yang hampir sama dengan judul penulisan skripsi ini, namun isi dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah berbeda dan juga merupakan penulisan yang ditulis melalui proses dan upaya pemikiran sendiri.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tidak pidana yang dimuat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, pristiwa pidana, serta delik.10 Beberapa pendapat para ahli mengenai istilah tindak pidana, yakni sebagai berikut : 1. Sudarto berpendapat bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).11 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.12
10
Chazawi Adami, Stelsel Pidana. Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batasan Berlakunya Hukum Pidana, ( Rajawali Press, Jakarta, 2010), hal. 53. 11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Rajawali Press, Jakarta, 2010), hal. 48. 12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
3. Menurut HJ. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat di persalahkan. 4. Menurut Simons, merumuskan strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.13 5. J. Bauman berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.14 6. Menurut Pompe pembagian elemen strafbaarfeit yaitu Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum). Schuld (unsur kesalahan) Subsociale (unsur bahaya/ unsur gangguan/ unsur merugikan).15 Di dalam praktik hukum, untuk dapat memidanakan seorang terdakwa dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu, maka diisyaratkan harus terpenuhinya semua unsur yang terdapat didalam tindak pidana tersebut. a. Harus ada suatu kelakuan (gedraging).
13
Dikutip dari : http://jualbeliforum.com/pendidikan/214589-pengertian-indakpidana.html, [Diakses pada hari Minggu,Tanggal 9 April 2017, Pukul 17.20 WIB]. 14 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (UMMpress, Malang, 2009), hal. 106. 15 Muhammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana ke-2, (USU Press, Medan, 2013), hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
b. Kelakuan tersebut harus sesuai dengan uraian Undang-Undang (wettelijke omschrijving). c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak. d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku. e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.16 b. Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagaimana kita ketahui pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang dikategorikan sebagai transnational organized crime yaitu tindak pidana yang terorganisir dan lintas negara, tindak pidana perdagangan orang juga merupakan tindak pidana perdagangan khusus yang bukan kejahatan biasa tetapi tergolong kejatan luar biasa (extra ordinary crime). Tujuan trafiking di Indonesia ialah perdagangan antarderah/pulau dan antarnegara. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai ribuan pulau-pulau dan bermacam suku-suku, sehingga sangat memudahkan terjadinya trafiking dalam lingkup domestik, dari beberapa provinsi dimana khusus trafiking domestik terjadi, tempat-tempat wisata yang berbatasan dengan negara lain, seperti Sumatera Utara, Riau, kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Jakarta, Bali, dan Jawa Timur merupakan daerah tujuan.17 Berbagai pengertian tentang tindak pidana perdaganga orang yang diatur, baik dalam hukum Konstitusi Nasional maupun Instrumen hukum Internasional. Adapun pengertian tersebut antara lain :
16
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana Untuk Tiap Orang), (PT. Pradnya Pramita, Jakarta, 2007), hal. 37. 17 Chairul Bariah Moasa, Op.Cit. hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
a. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan diatur secara eksplisit
yang mengatikan perdagangan orang adalah
“perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun’’ 18 , namun bunyi pasal tersebut tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat dirumuskan unsur-unsur tidak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdaganga wanita dan anak laki-laki dibawah umur. Pasal tersebut menyebutkan wanita dan anak laki-laki dibawah umur berarti hanya perempuan dewasa karena wanita sama dengan perempua dewasa dan anak laki-laki yang masih dibawah umur yang dapat perlindungan hukum dalam pasal tersebut. Adapun laki-laki dewasa dan anak-anak perempuan tidak mendapat perlindungan hukum.19 b. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyebutkan yang dimaksud dengan TPPO adalah : “Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini’’.20 Dimana selanjutnya unsur-unsur tersebut meliputi :
18 19 20
Pasal 297 KUHP. Farhana, Op.Cit, hal. 7. Pasal 1 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 Tentang PTPPO.
Universitas Sumatera Utara
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat atupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi’’.21 Kata “untuk tujuan’’ sebelum kata mengeksploitasi orang tersebut menunjukan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil. Dengan demikian yang harus dipahami dalam pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur penbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang dan tidak dibutuhkan lagi harus mensyaratkan adanya akibat dieksploitasi atau tereksploitasi yang timbul. c. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012 Bab XXI Mengenai Tindak Pidana Terhadap Kemerdekaan Orang Bagian Kesatu Perdagangan Orang Rancangan
Undang-Undang
KUHP
menyebutkan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang adalah : “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat atupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi orang tersebuat di wilayah Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Katagori IV”.22
21 22
Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 Tentang TPPO Pasal 552 RUU KUHP 2012
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan rumusan diatas terdapat tiga elemen yakni :23 1) Setiap orang yang melakukan pengrekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang. 2) Dengan
menggunakan
kekerasan
atau
ancaman
kekeraan,
penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang. 3) Untuk tujuan mengeksploitasi, ataun perbutan yang dapat tereksploitasi orang tersebut. d. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan suatu tindak pidana perdagangan orang ialah : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak.”24 “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”25 e. Berdasarkan Trafficking Victims Protection Act (TVPA) Undang-Undang Perlindungan Korban
Perdagangan Orang Amerika
Serikat, menyebutkan tindak pidana perdanganan orang adalah : 23
Dikutip dari : http://bagashera.wordpress.com/2012/06/27/buku-kesatu-rancangankuhp-2012/ [Diakses pada hari Senin, Tanggal 10 April 2017, Pukul 20.55]. 24 Pasal 76 huruf (f) UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. 25 Pasal 83 UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Universitas Sumatera Utara
1) Perdaganan seks, dimana tindakan seks komersil diberlakukan secra paksa dengan cara penipuan, atau kebohongan atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan sesuatu tindakan sedemikian, belum mencapai usia 18 tahun atau 2) Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan seseorang, untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjerataan hutang atau perbudakan.26 2. Defenisi Anak Berbicara mengenai anak, maka banyak kita liat beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak dan batasan umur seseorang. Oleh karena itu, umur menentukan apakah seseorang tersebut dikategorikan anak-anak atau tidak. Beberapa pengertian anak menurut hukum dapat dilihat dari beberapa sumber, antara lain sebagai berikut : Menurut Convention on the right of the child (Konvensi Hak Anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam Pasal 1 pengertian anak adalah: “Semua orang yang dibawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”.27 Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didalam Pasal 1 menyatakan bahwa : 26
ACILS-IMC-USAID, Paduan Penanganan Anak Korban Perdagangan Manusia, (Lembaga Advokasi Hak Anak, Bandung, 2003), hal. 1. 27 Chairul Bariah Mozasa, Loc.Cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
“Anak adalah seseorang yang belum 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kaandungan’’. Oleh karena itu telah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, semestinya Undang-Undang tersebut telah dapat dikategorikan sebagai lex spesialist, semua ketentuan lainnya tentang defenisi anak harus disesuikan, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak. Beberapa undang-undang tersebut antara lain, sebagai berikut : 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin. 3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. 4) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dinotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.28 a. Perdaganan Anak Perdagangan orang berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat atupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, atau tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sedangkan anak berdasarkan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah seseorang yang belum betusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan. Dari pengetian-pengetian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perdagangan anak adalah suatu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampunagan, pengiriman, pemindahan, atau penerimanaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi abayaran atau manfaat walaupun memperoleh 28
Adi Supeno, Kriminalisasi Anak (Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak tanpa Pemidanaan), (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
persetujuan dari orang yang memegang kendali terhadap seseorang anak yang belum berusia 18 tahun untuk tujian eksploitasi atau mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Sesuai dengan defenisi tersebut diatas bahwa istila “perdagangan’’ mengandung unsur-unsur sebagai betikut : 1. Rekrutmen dan/ transportasi manusia; 2. Diperuntukkan bekerja atau jasa / melayani; 3. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan. Menurut Rebecca Surtees dan Martha Wijaya perdagangan manusia adalah merupakan suatu “sindikat kriminal’’, yaitu merupakan perkumpulan dari sejumlah orang yang berbentuk untuk melakukan aktivitas kriminal.29 Menurut KA-ESKA30, perdagangan anak adalah suatu proses pemidahan seorang manusia yang dibawah umur dengan adanya perjanjian materi.31 3. Tinjauan Umum Tentang Perbarengan atau Concursus 32 a. Defenisi Perbarengan (Concursus) Dalam kasus hukum, perbarengan juga disebut semenloop (Belanda) atau disebut juaga concursus. Prodjodikoro (2003:49) menerjemahkan semenloop dengan gabungan tindak pidana. Maka dalam pengambilan keputusan kita menjumpai keadaan bahwa ada beberapa orang dan satu peristiwa pidana, dan 29
Chairul Bariah Mozasa, Loc.Cit, hal. 11. KA-ESKA adalah singkatan dari Konsorsium Anti-Esploitasi yang didirikan oleh delapan LSM yang mempunyai kepedulian terhadap anak dan perempuan di Sumatera Utara. 31 Ahmad Sofian, Misran Lubis, Rustam, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak (Kasus Sumatera Utara), 2004, Kerjasama Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, hal. 40. 32 Dikutip dari : http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handel/13456789/22379/SKRIPSI%20LENGKAPPIDANA-AIDIR%20ALI%20SAID.pdf?sequence=1 [Diakses pada hari Selasa, Tanggal 11 April 2017, Pukul 18.44 WIB]. 30
Universitas Sumatera Utara
dalam keadaan bersamaan ada beberapa peristiwa dan seorang. Yang terakhir ini juga menjadi recidive adalah bahwa dalam hal recidive terjadi peristiwa pidana itu dihentikan oleh putusan hakim. Walaupun begitu, siterhukum masih melakukan beberapa peristiwa tanpa ada kesempatan bagi hakum untuk memberi peringatan. Adanya perbarengan apabila ada beberapa tindak pidana yang dilakukan, dan diantara beberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian salah satu perbuatan pidana yang dilakukan. Sedangkan recidive apabila ada beberapa perbuatan pidana. Setelah si pelaku diadili, ia melakukan perbuatn pidana lagi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya suatu gabungan adalah : a. Adanya dua/lebih tindak pidana yang dilakukan. b. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan). c. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut belum ada yang memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsek); dan d. Bahwah dua/lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus. b. Sistem Pemidanaan Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukam pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal empat sistem atau stelsel pemidanaan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Sistem Absorpsi Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik. b. Sistem Kumulasi Apabila seseorang melakukan beberapa perbuaatan yang merupakan beberapa delik yang masih-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delikdelik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan. c. Sistem Absorpsi Diperberat Apabilas seserang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendirisendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan satu pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah sepertiga (1/3). d. Sistem Kumulasi Terbatas Apabila
seseorang
melakukan
beberapa
jenis
perbuatan
yang
menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya, jumla pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlah yang tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
Universitas Sumatera Utara
c. Klasifikasi Concursus Concursus diklasifikasikan menjadi dua yaitu concusus idealis dan concursus realis. Adapun pengertian dari kedua concursus tersebut adalah sebagai berikut : a. Concursus Idealis Concursus idealis (eendaadsche semenloop) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan yakni satu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuaan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Concursus idealis diatur dalam pasal 63 KUHP. Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan: 1) Jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok terberat. 2) Jika satu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Menurut Pasal 63 Ayat (1) digunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dijatuhi satu pidana pokok yang terberat. Namun demikian dalam praktik pemidanaan ada kemungkinan :
Universitas Sumatera Utara
1) Apabila hakim menghadapi pilihan antara dua pilihan pidana pokok yang sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS dijatuhkan pidana pokok dengan pidana tembahan yang paling berat. 2) Apabila menghadapi pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana yang terberat didasarkan urut-urutan jenis pidana yang terberat didasarkan urut-urutan jenis pidana seperti dalam Pasal 10. Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem aborsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341. Berdasarkan rumusan Pasal 63 KUHP tersebut, para pakar beruhasa membuat pengertian tentang berbuatan (feit). Prof, Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut : “perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena melakukan, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah di lindungi oleh undang-undang lain”.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Hoge Raad, Concursus idealis yakni suatu perbutan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya paling berat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan. Begitu juga dengan VOS membuat pula satu perumusan jelas tentang feit sebagi satu perbuatan fisik. Perbuatan Materil atau perbuatan fisik adalah perbuatan yang terliahat terlepas akibat yang ditimbulkan oleh perbuata itu, terlepas dari unsur-unsur subjektif (kesalahan) dan terlepas pula dari semua hal lain yang menyertai. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan dijalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun mennurut pasal 285 tentang pemerkosaan perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281 kerena melanggar kesusilaan dimuka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. b. Concursus Realis Concusus realis (meerdaadse semenloop) terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbutan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Concursus realis diatur dalam Pasal 65-71 KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukuan. Tindakan pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis. Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem
Universitas Sumatera Utara
pemidanaannya juga menggunakan absorbsi diperberat. Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletakm pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbutan-perbutannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkan itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa pebuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran. Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan, Pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kejahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendirisendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan. 1) Sistem peberian pidana bagi concursus realis Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana
Universitas Sumatera Utara
terberat ditambah sepertiga, sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. c. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. d. Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan),373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan. e. Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi : “jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama”. 2) Pertanggungjawaban terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana concursus realis Concursus realis yang merupakan perbarengan tindakan jamak atau perbarengan dua atau lebih tindakan. Apabila tindakan-tindakan itu berdiri sendiri dan termasuk dua atau lebih ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga bagi pelaku yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dia harus
Universitas Sumatera Utara
dikenakan pidana yang berbeda dengan pelaku yang melakukan tindak piidana secara umum. Dilihat dari bunyi rumusan Pasak 65 KUHP maka dapat disimpulkan bahwa bagi pelaku hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat di tambah sepertiga Pasal 65 KUHP : a) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka yang dijatuhan hanya satu pidana. b) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. c) Concursus berlanjut, perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan beberapa perbutan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Teolichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah : 1. Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan. 2. Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya. 3. Tenggang waktu diantara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
Universitas Sumatera Utara
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 65 ayat (2) merupakam ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan). Pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian hukum normatif atau yuridis normatif yaitu dengan melakukan kajian terhadap norma hukum dan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas atau analisis approach.33 2. Jenis Data Data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Dalam penulisan ini memakai berbagai bahan hukum, mulai dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan dan literatur, bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan terkait kasus yang dibahas, dan bahan hukum tersier berupa bahan yang didapat melalui elektronik/ atau internet, surat kabar dll. 33
Ibrahim Jhony, Theory & Metedeologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayu Media Publising, Malang, 2005), hal 4.
Universitas Sumatera Utara
3. Sumber Data Data yang ada didalam penulisan skripsi ini dikumpul melalui cara kepustakaan (library research) yang berarti mempelajari dan menganalisa buku-buku, peraturan perundang-undangan, juga sumber-sumber bacaan lain yang terkait dalam penulisan ini. 4. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dengan metode kualitatif, yang berarti dengan menganalisa data-data dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal yang terkait dalam penulisan skripsi ini atau dengan kata lain menghasilkan data deskripstif analisia dan data sekunder yang ada kemudian dianalisa secara kualitatif. G. Sistemnatika Penulisan Sistematika penulisan ini adalah terbagi dalam beberapa bab sebagai berikut : Bab I :
Bab ini terdiri dari sub-bab yang dimulai dari latar belakang malasah, permasalahan, tujuan penulisan dan keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab II :
Dalam bab ini terdapat sub-bab yang membahas tentang pengaturan tindak pidana perdagangan orang menurut undangundang RI no 21 tahun 2007, faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan terutama anak, serta peraturan ILO dan masalah perdagangan manusia terutama anak.
Universitas Sumatera Utara
Bab III :
Bab ini terdiri dari sub-bab yang membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pada perdagangan orang, sejarah perkembangan perdagangan anak, pengaturan hukum perlindungan anak, serta akibat bagi anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial.
Bab IV :
Bab ini merupakan bab yang terdiri dari beberapa sub-bab yang berisi tentang analisis yuridis tindak pidana perdagangan anak secara perlanjut (studi putusan no 101/Pid.B/2014/PN Rap), tentang kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, fakta hukum, pertimbangan hakim, serta putusan dan menganalisa kasus perdagangan anak secara berlanjut dengan register perkara nomor : 101/Pid.B/2014/PN Rap.
Bab V :
Bab penutup ini berisi 2 (dua) sub-bab yaitu mengenai kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara