1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bahasa dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa pada karya ilmiah. Bahasa karya sastra merupakan hasil ide atau kreativitas pengarang yang membutuhkan pemikiran yang mendalam, sedangkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terjadi secara spontan atau refleks yang bersifat praktis, mudah dimengerti, dan tidak mementingkan struktur karena lebih menekankan unsur komunikatif. Bahasa pada karya ilmiah bersifat denotatif, lebih terstruktur, langsung diarahkan ke objek sasaran, menghindarkan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Bahasa karya sastra mengutamakan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas.
Perbedaan
tersebut
tergantung
dalam
proses
seleksi,
memanipulasi,
mengombinasikan kata-kata (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 14-15). Têmbang merupakan salah satu bentuk karya sastra sebagai hasil penuangan ide atau gagasan yang dimanifestasikan ke dalam bahasa dan memiliki makna filosofis bagi kehidupan manusia. Têmbang -têmbang Jawa tersebut memiliki nilai-nilai ajaran yang adiluhung, sehingga tidak heran jika sering diabadikan dalam karya sastra yang berupa sêrat. Karya sastra yang berupa sêrat tersebut lazimnya menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya. Bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra cenderung menggunakan ragam bahasa literer dan memiliki nilai estetik. Sêrat banyak ditemukan pilihan kata yang arkhais dan penggunaan gaya bahasa yang memiliki makna konotatif. Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan dalam hal penggunaan bahasa. Masalahmasalah yang timbul dalam penggunaan bahasa sangatlah kompleks, dan di setiap masalah
2 kebahasaan dapat dikaji dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan mengkaji penggunaan bahasa dalam Sêrat Tripama. Berikut adalah unsur stilistika yang ditemukan dalam têmbang Dhandhanggula Sêrat Tripama. (1)
yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1) ‘seyogyanya para prajurit’ Pada data (1) di atas terdapat asonansi/ purwakanthi guru swara atau pengulangan huruf
vokal /a/ yang terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata ketiga dari belakang (anteapaenultima); kang ‘yang’ pada suku kata pertama; prajurit ‘prajurit’ pada suku kata pertama. Adapun asonansi/ purwakanthi guru swara atau perulangan bunyi huruf /O/ terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata terakhir; dan dalam kata para ‘para’ pada suku kata pertama dan suku kata terakhir. Di samping itu, asonansi /a/ dtemukan pada kata para yaitu pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima). Dengan adanya asonansi/ purwakanthi guru swara /O/ dan /a/ tersebut membuat lirik pada contoh data (1) menjadi lebih merdu. (2)
liré lêlabuhan tri prakawis (ST/B2/L1) ‘arti jasa bakti yang tiga macam’ Pada data (2) di atas terdapat aliterasi/ purwakanthi guru sastra yang berupa konsonan /r/,
yaitu dalam kata liré ‘arti’ pada suku kata terakhir; tri ‘tiga’ pada suku kata pertama; dan dalam kata prakawis ‘macam’ pada suku kata pertama. Adanya aliterasi/ purwakanthi guru sastra tersebut membuat lirik têmbang menjadi lebih indah dan juga untuk mempertegas makna têmbang. Selain purwakanthi guru swara dan purwakanthi guru sastra juga ditemukan purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa. Adapun contoh penggunan data yang mengandung purwakanthi umaksita sebagai berikut. (3)
guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2)
3 ‘memiliki kepandaian dan kemampuan dalam segala pekerjaan’ Data (3) menunjukkan adanya pemanfaatan purwakanthi lumaksita yang berupa perulangan suku kata kar pada kata saniskarèng ‘dalam segala’ dan pada kata karya ‘pekerjaan’. Perulangan suku kata kar pada kedua kata tersebut memberikan kesan estetis dalam pelafalannya, sehingga kedua kata tersebut terasa merdu. Sêrat Tripama merupakan karya sastra yang diciptakan oleh salah satu raja pujangga Mangkunegaran, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Sêrat Tripama berisi tentang ajaran keprajuritan yang ditujukan bagi prajurit Mangkunegaran pada masa itu. Sêrat tersebut berbentuk têmbang Dhandhanggula yang berjumlah tujuh bait. Karena bentuk Sêrat Tripama berupa têmbang, maka menjadi suatu kelaziman jika bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengandung ragam bahasa literer dan tidak mudah dipahami oleh orang awam pada umumnya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer, pemanfaatan diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang digunakan dalam Sêrat Tripama. Pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer berupa penambahan imbuhan yang meliputi prefiks, sufiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Kesan arkhais dan indah karena adanya diksi yang meliputi sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan, têmbung garba, têmbung camboran, têmbung saroja, dan penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskerta. Berikut akan diuraikan beberapa contoh pemanfaatan diksi dalam Sêrat Tripama. (4)
yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1) ‘seyogyanya para prajurit’ Data (4) menunjukkan pemanfaatan aspek penanda morfologis yang berupa akhiran atau
sufiks {-ira}. Pemanfaatan sufiks {-ira} tersebut masih termasuk rumpun bahasa Jawa Kuna, sehingga kata yang dilekati sufiks tersebut terkesan lebih arkhais.
4 (5)
binudi dadi unggulê (ST/B2/L3) ‘diusahakan menjadi yang unggul’ Imbuhan yang berupa infiks {-in-} pada kata binudi ‘diusahakan’ merupakan salah satu
contoh pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer. Infiks {-in-} pada konteks data (5) di atas terasa lebih indah dibandingkan dengan afiks lain yang berarti sama, misalnya prefiks {di}. (6)
tur iku warna diyu (ST/B3/L4) ‘meskipun itu berwujud raksasa’ Data (6) menunjukkan adanya diksi yang berupa pemanfaatan bahasa Jawa Kuna atau
bahasa Sanskerta. Kata diyu ‘raksasa’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti raksasa. Pemilihan kata diyu dalam konteks kalimat tersebut menjadikan tuturan lebih arkhais, sehingga menimbulkan kesan keindahan. (7)
katri mangka sudarsanèng Jawi (ST/B7/L1) ‘ketiganya merupakan teladan bagi orang Jawa’ Kata sudarsanèng ‘teladan bagi’ pada data (7) di atas merupakan diksi yang berupa
têmbung garba, yaitu gabungan dua kata yang mengalami persandian di dalamnya. Kata sudarsanêng ‘teladan bagi’ berasal dari kata sudarsana ‘teladan’ dan kata ing ‘di’. Pertemuan vokal /O/ pada akhir kata sudarsana dengan vokal /i/ pada awal kata ing ‘di’ menjadikan kedua kata tersebut mengalami persandian, sehingga menjadi vokal /è/. Adanya pemanfaatan têmbung garba tersebut berfungsi untuk menjadikan tuturan lebih indah, dan juga untuk memenuhi konvensi tembang yang berupa jumlah guru wilangan pada setiap barisnya. Selain pemanfaatan bunyi bahasa dan pemanfaatan aspek penanda morfologis serta diksi, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya pemanfaatan gaya bahasa. Aspek gaya bahasa dalam Sêrat Tripama meliputi gaya bahasa simile, epilet, anastrof, eponim, hiperbola, metonimia, dan
5 inuendo. Pemanfaatan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama betujuan untuk memberikan kesan yang tidak lazim atau arkhais sehingga bahasa yang digunakan di dalamnya tidak monoton dan memiliki fungsi keestetisan suatu tembang. Adapun contoh penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama adalah sebagai berikut. (8)
duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5) ‘ketika berperag membantu negeri Manggada’ Frasa Manggada nagri ‘negeri Manggada’ pada data di atas merupakan salah satu contoh
pemanfaatan gaya bahasa yang berupa gaya bahasa anastrof. Gaya bahasa anastrof merupakan pemanfaatan gaya bahasa dengan cara pembalikan susunan kata. Pembalikan kata Manggada nagri ‘negeri Manggada’ seperti yang ditunjukkan oleh data (8) bertujuan untuk memenuhi konvensi sastra yang berupa jatuhnya guru lagu /i/ pada têmbang dhandhanggula, yakni di akhir kalimat pada baris ke lima. Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji Sêrat Tripama dengan kajian stilistika. Alasan pemilihan topik penelitian ini yaitu peneliti ingin mengetahui dan mengkaji: (1) aspekaspek penanda bunyi yang terkait dengan fungsi purwakanthi guru swara, purwakanthi guru sastra, dan purwakanthi lumaksita (2) aspek penanda morfologis literer dan diksi yang arkhais, dan (3) aspek pemanfaatan gaya bahasa yang berkaitan dengan keprajuritan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV. Dari berbagai pemanfaatan aspek bunyi yang bervariasi, penanda morfologis literer dan diksi yang arkhais, serta gaya bahasa yang relevan dengan dunia keprajuritan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV tersebut, adapun penelitian sejenis sebagai berikut: 1. Sêrat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara IV, skripsi oleh Priyanto, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2007). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek pemanfaatan
6 bunyi bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan gaya bahasa. Sumber datanya berupa Sêrat Paliatma, Sêrat Paliwara, dan Sêrat Yogatama. Sêrat Piwulang Warni-Warni dan Sêrat Tripama merupakan karya Mangkunegara IV, sehingga akan dapat diketahui adanya kesamaan gaya bahasa atau ciri khas pengarang. 2. Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tedjo, skripsi oleh Dewi Arum Sari, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2011). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek penanda bunyi, pilihan diksi, gaya bahasa, dan aspek pencitraan dalam lirik lagu berbahasa Jawa modern karya Sujiwo Tedjo. Penelitian ini sebagai referensi dalam hal penganalisisan aspek-aspek pemanfaatan bunyi bahasa, diksi, dan gaya bahasanya. 3. Kajian Stilistika Antologi Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto, skripsi oleh Dewi Untari, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2014). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek pemanfaatan bunyi bahasa, pilihan diksi, pemanfaatan gaya bahasa, dan aspek pencitraan dalam antologi geguritan Puser Bumi karya Gampang Prawoto yang sebagian besar berbahasa Jawa modern dan disisipi bahasa Indonesia serta bahasa Jawa Kuna. Penelitian Dewi Untari dijadikan sebagai referensi dalam penganalisisan aspek-aspek pemanfaatan bunyi bahasa, pilihan kata, dan gaya bahasanya. 4. Stilistika Syiir Berbahasa Jawa Bait Pengajian Akbar Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, skripsi oleh Erlyna Puspitasari, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS (2014). Penelitian tersebut mengkaji tentang aspek-aspek bunyi, pemilihan diksi, penggunaan bahasa, dan aspek pencitraan dalam syiir berbahasa Jawa pada pengajian akbar bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
7 Kajian ini sebagai referensi penentuan metode penelitian dan dalam aspek-aspek penanda bunyi bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan gaya bahasa atau majas. Perbedaan penelitian (1) Sêrat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara IV, (2) Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tedjo, (3) Kajian Stilistika Antologi Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto, dan (4) Stilistika Syiir Berbahasa Jawa Bait Pengajian Akbar Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf tersebut dengan penelitian ini adalah adanya pemilihan kata-kata arkhais yang berfokus dalam hal keprajuritan. Kata-kata arkhais yang termasuk dalam keprajuritan tersebut misalnya: prajurit, satriya, jurit, aprang, tandhing, jinêmparing, dan prawira yang digambarkan melalui tiga tokoh pewayangan yaitu Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna. B. Pembatasan Masalah Dalam sebuah penelitian, perlu adanya pembatasan permasalahan dengan tujuan agar permasalahan yang dikaji tidak meluas. Dalam penelitian ini, pengkajian masalah dibatasi pada aspek pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa, penanda morfologis dan diksi, serta penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV. C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV?
8 (Permasalahan ini dikaji untuk mendeskripiskan ritme persajakan yang berupa purwakanthi guru swara (asonansi), purwakanthi guru sastra (aliterasi), dan purwakanthi lumaksita dalam Sêrat Tripama). 2. Bagaimanakah aspek penanda morfologis dan diksi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA
Mangkunegara IV? (Permasalahan ini dikaji untuk mendeskripsikan aspek penanda morfologis ragam literer yang berupa penggunaan prefiks, sufiks, infiks, konfiks, dan simulfiks. Permasalahan ini juga dikaji untuk mendeskripsikan diksi yang berupa sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan, têmbung garba, têmbung camboran, têmbung saroja, penggunaan bahasa Jawa krama dan penggunaan bahasa Sanskerta dalam Sêrat Tripama). 3. Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek bunyi bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV.
2.
Mendeskripsikan aspek morfologis dan diksi dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV.
3.
Mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat penelitian teoretis dan
manfaat penelitian praktis.
9 1. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan teori stilistika, terutama yang berkaitan dengan kajian stilistika têmbang Jawa. Penelitian ini diharapkan juga mampu memperkuat teori stilistika yang sudah ada. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini: 1. Untuk menambah hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang stilistika têmbangtêmbang Jawa. 2. Untuk menambah materi ajar yang ada kaitannya dengan bidang stilistika, terutama dalam têmbang-têmbang Jawa. 3. Sebagai model penelitian stilistika berikutnya.
10 F. 1.
LANDASAN TEORI
Pengertian Stilistika Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993),
menjelaskan bahwa makna dari stilistika yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Secara singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Menurut Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2009: 42). Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 253). Stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 13). Stilistika adalah ilmu tentang gaya (style). Gaya (style) adalah cara penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai keindahan tertentu (Aminuddin, 1995: 31 dalam Untari, 2014: 11). Gaya tersebut menjadi ciri khas pengarang dalam menciptakan karangannya. Sutejo (2010: 4-5 dalam Puspitasari: 11) style merupakan gaya bahasa termasuk di dalamnya pilihan gaya pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan sesuatu yang dimaksudkan yang bersifat individu atau kolektif. Kasnadi dan Sutejo (2010: 82 dalam Puspitasari: 12) mengelompokkan fokus perhatian teori stilistika pada bunyi, kata, kalimat yang digunakan oleh pengarang dalam menciptakan karya sastra. Bunyi-bunyi dalam karya sastra meliputi pola rima dan irama, kata meliputi pemilihan kata atau diksi, sedangkan kalimat meliputi kalimat pendek, kalimat yang kompleks, kalimat pasif, kalimat aktif, kalimat interogatif, kalimat yang ritmis dan puitis.
11 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa definisi stilistika ialah kekhasan penggunaan bahasa oleh seseorang dalam menciptakan suatu karya sastra, sehingga dapat menjadi karya yang indah dan unik karena setiap pengarang memiliki ciri khas tersendiri. Dalam penelitian ini, penulis cenderung mengacu pada teori yang disampaikan oleh Panuti Sudjiman dan teori yang disampaikan oleh Kasnadi serta Sutejo. Hal itu dikarenakan teori yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut relevan dengan penelitian stilistika dalam Sêrat Tripama ini. Penelitian yang berjudul Kajian Stilistika dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV ini menganalisis tentang aspek-aspek bunyi bahasa (meliputi pola rima dan irama), aspek-aspek penanda morfologi dan diksi, serta satuan lingual yang mengandung gaya bahasa yang puitis. 2.
Pengertian Têmbang Têmbang adalah suatu karya sastra menyerupai syair atau puisi (geguritan) yang berirama
dan kata-kata yang digunakan lazimnya memiliki nilai keindahan. Dalam hal ini, têmbang juga memiliki makna filosofis yang kuat sebagai simbol pengingat bagi berbagai segi kehidupan manusia. Istilah têmbang biasanya sering dikaitkan dengan budaya Jawa. Dalam Ngéngréngan Kasusastran Djawa I (Padmosoekotjo, 1955: 12-14) dijelaskan bahwa têmbang macapat juga disebut sebagai têmbang cilik yang terdiri dari 9 macam. Masingmasing têmbang memiliki konvensi atau aturan, yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Penelitian ini membahas tentang têmbang macapat Dhandhanggula bait 1-7 yang terdapat dalam Sêrat Tripama. Têmbang Dhandhanggula terdiri dari 10 gatra (baris). Masing-masing gatra atau baris memiliki guru lagu (bunyi vokal di setiap akhir baris) dan guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris) yang berbeda. Jumlah guru lagu dan guru wilangan pada têmbang Dhandhanggula mulai dari baris pertama sampai baris ke sepuluh akan dijelaskan sebagai berikut:
12 1. Baris pertama terdiri dari 10 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi i 2. Baris kedua terdiri dari 10 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi a 3. Baris ketiga terdiri dari 8 suku kata dengan bunyi vokal terakhir berbunyi é 4. Baris keempat terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terakhir u 5. Baris kelima terdiri dari 9 suku kata dengan bunyi vokal terakhir i 6. Baris keenam terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terakhir a 7. Baris ketujuh terdiri dari 6 suku kata dengan bunyi vokal terakhir u 8. Baris kedelapan terdiri dari 8 suku kata dengan bunyi vokal terakhir a 9. Baris kesembilan terdiri dari 12 suku kata dengan bunyi vokal terkahir i 10. Baris kesepuluh terdiri dari 7 suku kata dengan bunyi vokal terkahir a Menurut Padmoesoekotjo (1955: 13), ḍanḍanggula awatak: luwes, rêsêp. Tumrap ing tjarita kang ngêmu surasa kepriyé baé bisa maṭuk, pantjén luwêsan. Kanggo ing bêbuka prajoga, kanggo meḍaraké piwulang ja kêna, kanggo tjarita kang isi gandrung-gandrungan uga kêna, kanggo panutuping karangan ja lumrah ‘dhandhanggula berwatak: fleksibel, menyenangkan. Di dalam cerita yang berisi apa saja bisa cocok, memang fleksibel. Untuk pembukaan juga baik, untuk memaparkan pelajaran juga bisa, untuk cerita yang berisi tentang percintaan juga bisa, untuk penutupan karangan juga suatu hal yang lazim’. 3.
Pengertian Sêrat Tripama Sêrat Tripama merupakan suatu karya sastra karya KGPAA Mangkunegara IV yang
bertahta sebagai raja pada tahun 1809-1881 di Pura Mangkunegaran Surakarta. Sêrat Tripama berbentuk têmbang Dhandhanggula sebanyak tujuh bait yang mengisahkan keteladanan tiga prajurit Pura Mangkunegaran, yaitu Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna, dan Suryaputra (Adipati Karna).
13 Kisah Patih Suwanda terdapat dalam bait satu dan dua. Patih Suwanda memiliki nama kecil Bambang Sumantri. Ia adalah putra dari pendeta Suwandahagni, salah seorang pendeta yang sangat tekun bertapa. Sejak kecil, Bambang Sumantri sudah diajarkan berbagai ilmu tentang kesaktian. Setelah beranjak dewasa, Bambang Sumantri mengabdikan dirinya sebagai prajurit kepada Harjunasasrabahu di Maespati. Ia dikenal sebagai prajurit yang gagah berani dan memiliki kesetiaan serta tanggung jawab yang besar terhadap Harjunasasrabahu. Hal itu dibuktikan dengan kerelaan untuk mengorbankan nyawanya ketika ia berperang melawan Dasamuka, hingga pada akhirnya ia gugur di medan perang. Kisah Kumbakarna terdapat dalam bait tiga dan empat. Di dalam bait tersebut dikisahkan bahwa Kumbakarna yang berwujud sebagai raksasa juga ingin mencapai keutamaan. Ia adalah adik dari Dasamuka. Meskipun bertubuh raksasa, tetapi jiwanya tidak seburuk raganya. Raden Kumbakarna memiliki sifat-sifat cinta tanah air dan watak ksatria. Kumbakarna rela mempertaruhkan jiwa raganya dan berperang melawan prajurit kera, semata-mata demi menjalankan kewajibannya sebagai ksatria dan warga negara. Kisah Suryaputra atau Adipati Karna terdapat dalam bait lima dan enam. Raden Suryaputra adalah seorang adipati di Ngawangga, yang masih memiliki hubungan saudara seibu lain ayah dengan Pandhawa. Sejak lahir hingga dewasa, Suryaputra tidak hidup dan tinggal bersama Pandhawa. Ia diasuh oleh kusir Adirata. Ketika beranjak dewasa, Suryaputra diangkat menjadi adipati oleh raja Ngastina, yaitu Prabu Duryudana. Menjelang perang Bharatayuda, Karna dibujuk oleh ibunya agar berperang di pihak Pandhawa. Namun, Karna bersikukuh bahwa walaupun Pandhawa masih saudaranya dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Karna ingin membalas budi kepada Prabu
14 Duryudana, sehingga ia rela berjuang di medan perang untuk melawan saudaranya sendiri. Hingga akhirnya, Karna gugur akibat terkena panah Raden Arjuna. Bait ketujuh merupakan kesimpulan dari keteladanan tiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut adalah teladan bagi orang Jawa. KGPAA Mangkunegara IV berpesan agar kita meneladani apa yang telah dicontohkan ketiganya. Secara ringkas, ajaran yang dapat dicontoh dari Patih Suwanda adalah keutamaan tri prakaranya, yaitu “guna, kaya, lan purun”, kepandaian, kecukupan, dan keberaniannya. Adapun keteladanan yang dapat dicontoh dari sosok Kumbakarna adalah sikap setia mengabdi kepada negara. Keteladanan yang dapat dipetik dan dijadikan contoh dari Adipati Karna adalah berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang ia bela berada di pihak yang salah (Jatmiko, 2012: 217-225). 4.
Pengertian Aspek Bunyi Pemanfaatan aspek bunyi meliputi purwakanthi swara (asonansi), purwakanthi sastra
(aliterasi), dan purwakanthi lumaksita. Purwakanthi secara etimologis berasal dari kata purwa dan kanthi. Purwa atêgês wiwitan, kanthi atêgês ganḍèng, kanca, nganggo, migunakaké. Purwakanthi yaiku pérangan kang buri ngganḍèng kang wis kasêbut ana ing pérangan ngarêp. Wondéné sing diganḍèng iku swarane utawa aksarané tarkaḍang têmbungé ‘kata purwa berarti permulaan dan kanthi berarti merangkai, teman, menggunakan. Purwakanthi yaitu bagian yang belakang merangkai yang sudah disebutkan di bagian awal atau depan, atau yang sudah disebutkan di bagian depan. Adapun yang dirangkai itu vokalnya, konsonannya, atau katanya’ (S. Padmosoekotjo, 1955: 118). Adapun penjelasannya sebagai berikut: a.
Purwakanthi Swara (Asonansi)
15 Purwakanthi swara têgêsé purwakanthi kang awêwaton utawa paugêran swara sabab sing dikanthi utawa sing diganḍèng swara ‘purwakanthi swara artinya purwakanthi yang berdasarkan persaman bunyi vokal, sebab yang digunakan atau yang dirangkai adalah bunyi vokalnya’ (S. Padmosoekotjo, 1955: 118). Secara singkat, purwakanthi swara adalah perulangan bunyi vokal yang sama. Contoh: (9)
Suwanda mati ngrana (ST/B2/L10) ‘(Patih) Suwanda gugur dalam peperangan’ Data (9) terjadi perulangan bunyi a jêjêg /O/ tertutup konsonan /n/ pada kata Suwanda di
suku kata kedua dari belakang (paénultima), dan perulangan bunyi a jêjêg /O/ terbuka di suku kata terakhir (ultima); pada kata ngrana terjadi pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima) terjadi perulangan bunyi a jêjêg /O/ terbuka. Adanya asonansi a jêjêg /O/ di atas untuk memperindah bunyi sekaligus untuk mempertegas arti dalam rangkaian kata tersebut. Adapun perulangan bunyi a miring /a/ terdapat dalam contoh: (10)
aprang tandhing lan sang Dananjaya (ST/B6/ L2) ‘perang bertanding melawan Sang Dananjaya’ Data (10) menunjukkan adanya perulangan bunyi a miring /a/ terbuka pada kata aprang
dan Dananjaya yang kesemuanya berealisasi di suku kata pertama. Dalam kata tandhing, kata lan, dan kata sang, perulangan bunyi /a/ tertutup konsonan /n/ dan konsonan /G/ terdapat di suku kata pertama. Kata Dananjaya mengalami perulangan bunyi /a/ tertutup konsonan /n/ pada suku kata ketiga dari belakang (antépaénultima). Adanya perulangan bunyi atau asonansi a miring /a/ tersebut menimbulkan bunyi khusus sehingga menimbulkan pola yang indah dalam têmbang. Dari data tersebut juga diketahui bahwa dominasi letak asonansi a miring /a/ terdapat di awal dan tengah kata.
16 Selain asonansi a jêjêg /O/ dan a miring /a/, ada pula asonansi yang berupa i jêjêg /i/; dan u jêjêg /u/. Adapun data-data yang mengandung memanfaatkan asonansi-asonansi tersebut adalah sebagai berikut. Data yang mengandung asonansi i jêjêg /i/: (11)
binudi dadi unggulé (ST/B2/ L3) ‘diusahakan menjadi yang unggul’ Data tersebut menunjukkan adanya asonansi i jêjêg /i/ yang terdapat dalam kata binudi
pada suku kata pertama dan suku kata terakhir (ultima); dalam kata dadi pada suku kata terakhir (ultima). Adanya asonansi i jêjêg /i/ tersebut membuat pola ritmis berbunyi di akhir kata binudi dan dadi. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi asonansi i jêjêg /i/ terletak di tengah dan di akhir kata. Data yang mengandung u jêjêg /u/: (12)
guna kaya puruné kang dènantêpi (ST/B1/L9) ‘pandai dan berani itulah yang ditekuninya’ Asonansi u jêjêg /u/ terdapat dalam kata guna ‘pandai’ pada suku kata pertama; dan dalam
kata puruné ‘keberaniannya’ pada suku kata pertama dan suku kata kedua dari belakang (paénultima). Timbulnya asonansi u miring /u/ pada paénultima dalam kata puruné ‘keberaniannya’ terjadi karena adanya akhiran (sufiks) é, sehingga kata purUn ‘berani’ yang semula vokal u miring /u/ menjadi puruné ‘keberaniannya’ u jêjêg /u/. Adanya asonansi u jêjêg /u/ tersebut juga untuk memberikan kesan estetis pada kalimat dengan memunculkan irama /u/ yang berdistribusi di tengah kata. b. Purwakanthi Sastra (Aliterasi) Purwakanthi sastra têgêsé purwakanthi kang awêwaton utawa paugêran sastra utawa aksara, sabab sing dikanthi utawa sing diganḍèng sastra utawa aksara ‘purwakanthi sastra
17 artinya purwakanthi yang berdasarkan persamaan sastra atau konsonan, sebab yang digunakan atau yang dirangkai adalah sastra atau konsonan’ (S. Padmosoekotjo, 1955: 18). Purwakanthi sastra atau aliterasi adalah bentuk perulangan konsonan yang sama. Contoh: (13)
mring raka amrih raharja (ST/B3/L8) ‘kepada kakandanya agar selamat’ Pada data di atas terjadi perulangan konsonan /r/, yaitu dalam kata mring ‘kepada’ terjadi
pada suku kata pertama; pada kata raka ‘kakak’ terjadi pada suku kata pertama; pada kata amrih ‘agar’ terjadi pada suku kata kedua; dan pada kata raharja ‘selamat’ terjadi pada suku kata pertama dan kedua. Perulangan konsonan /r/ yang berdistribusi di awal yaitu kata raka ‘kakak’ dan kata raharja ‘selamat’; aliterasi /r/ yang berdistribusi di tengah yaitu kata mring ‘kepada’; amrih ‘agar’ dan kata raharja ‘selamat’. Adanya aliterasi /r/ untuk mempertegas maksud dari kalimat tersebut dan untuk menambah nilai estetik dalam kalimat itu.
18 c. Purwakanthi Lumaksita Purwakanthi lumaksita disebut juga purwakanthi basa,, yaitu pengulangan satuan lingual yang berupa suku kata, kata, frasa, klausa atau kalimat pada satuan lingual berikutnya. Contoh: (14)
dé mung mungsuh wanara (ST/B3/L10) ‘karena hanya melawan barisan kera’ Data tersebut menunjukkan adanya purwakanthi lumaksita yaitu berupa perulangan kata
mung ‘hanya’ dan suku kata mungsuh ‘musuh’. Suku kata mung dan kata mungsuh pada dasarnya tidak memiliki keterkaitan makna, namun memunculkan adanya unsur keindahan yang berupa perulangan suku kata mung. Selain memunculkan kesan keindahan, perulangan suku kata mung tersebut juga berfungsi untuk mempertegas makna bahwa yang akan dilawan Patih Suwanda hanyalah barisan kera. 5.
Pengertian Aspek Penanda Morfologis Aspek penanda morfologis dalam Sêrat Tripama termasuk ke dalam ragam bahasa literer,
yakni yang berupa afiksasi dan reduplikasi. Berikut uraian lengkapnya. a. Afiksasi Afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan mengimbuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Afiks merupakan bentuk (Richards, 1992). Kridalaksana (1993) berpendapat bahwa afiks adalah bentuk terikat yang apabila ditambahkan ke bentuk lain akan mengubah makna gramatikalnya. Afiksasi yang terdapat dalam data meliputi prefiks, sufiks, infiks, konfiks, dan simulfiks. Berikut contoh afiksasi dalam data. 1. Prefiks Prefiks adalah imbuhan di depan kata dasar yang penulisannya disambung dengan kata dasarnya. Dalam bahasa Jawa, prefiks disebut dengan atêr-atêr. Menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu
19 Sasangka (2011: 41), atêr-atêr dalam bahasa Jawa yang meliputi unsur literer adalah sebagai berikut: 1.1.
Atêr-atêr PiAter-ater pi- bisa ndhapuk têmbung lingga dadi têmbung aran lan duwe têgês ‘sing di-
- aké ‘prefiks pi- bisa berperan sebagai kata dasar menjadi kata benda dan memiliki arti ‘yang di- (kata dasar) -kan ’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 54). (15)
déné sira pikantuk (ST/B6/L4) ‘dengan demikian yang didapatkan’
pikantuk => pi + antuk Kata pikantuk ‘yang didapatkan’ memiliki kata dasar antuk ‘dapat’ yang memperoleh afiksasi berupa prefiks pi, sehingga kata antuk ‘dapat’ yang berupa kata dasar menjadi kata benda. Hadirnya konsonan k pada kata pikantuk berfungsi sebagai cluster atau pelancar. 1.2.
Atêr-atêr PraTêmbung lingga atau kata dasar yang menapat atêr-atêr sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, dan ka-
termasuk salah satu jenis têmbung aran atau kata benda, kecuali yang berawalan tra (tar-). Data yang menunjukkan adanya prefiks atau atêr-atêr pra- adalah sebagai berikut. (16)
yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1) ‘seyogyanya para prajurit’ prajurit => pra + jurit Kata prajurit menurut Baoesastra Djawa memiliki arti wong kang maju pêrang ‘orang
yang maju berperang’. Kata dasarnya jurit ‘perang’, dan mendapatkan imbuhan berupa awalan atau prefiks pra-. Kata jurit ‘perang’ berkelas kata sebagai kata kerja atau verba. Setelah mendapatkan imbuhan pra-, kata jurit ‘perang’ berubah menjadi kata prajurit ‘orang yang maju
20 berperang’ yang berkelas kata sebagai kata benda atau nomina. Prefiks pra- berfungsi mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina). 2. Sufiks Sufiks adalah imbuhan yang diletakkan di bagian akhir suatu kata dasar. Dalam morfologi bahasa Jawa, sufiks disebut panambang. Sufiks atau panambang yang terdapat pada data: 2.1.
Panambang {-ipun} Panambang -ipun bisa ndhapuk sawijining tembung dadi têmbung aran (nomina). Yèn ing
basa krama panambang –é iku malih dadi -ipun. Panulise panambang kasêbut kudu kasambung. Têmbung lingga kang pungkasane awujud vokal lan dipanambangi –ipun, panambang –ipun bakal malih dadi –nipun. ‘sufiks –ipun yang bisa berperan sebagai salah satu kata menjadi kata benda (nomina). Jika dalam bahasa krama sufiks –é itu berubah menjadi –ipun. Penulisan sufiks tersebut harus dirangkai. Kata dasar yang akhirannya berupa vokal dan diberi sufik -ipun, sufiks –ipun tersebut akan menjadi –nipun’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 65). Adapun data yang menunjukkan adanya sufiks –ipun sebagai berikut: (17)
lêlabuhanipun (ST/B1/L7) ‘jasa-jasanya’ lêlabuhanipun => lêlabuhan + ipun Kata lêlabuhanipun berasal dari kata dasar labuh ‘jasa’ yang mengalami perulangan dwi
purwa menjadi lalabuh ‘jasa’ dan mendapatkan sufiks –ipun. Sufiks –ipun dipilih karena imbuhan tersebut mengacu kepada Patih Suwanda, sehingga terkesan lebih halus dan sopan. 2.2.
Sufiks atau Panambang {-ira} Sufiks atau panambang {ira-} merupakan imbuhan yang terletak di sebelah kanan atau di
akhir kata dasar. Sufiks {ira-} tersebut sama dengan sufiks {-é/-né}, yaitu sebagai kata ganti orang
21 ketiga. Kata dasar yang berakhiran vokal jika diberi imbuhan sufiks {-ira} maka penulisannya menjadi {-nira}, sedangkan kata dasar yang berakhiran konsonan jika diberi imbuhan sufiks {ira} tidak mengalami perubahan penulisan. (18)
yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1) ‘seyogyanya para prajurit’ yogya + ira => yogyanira Kata yogyanira ‘seyogyanya’ berasal dari kata dasar yogya ‘yogya’ yang mengalami proses
afiksasi berupa sufiks ira. Kata yogya merupakan kata dasar yang berakhiran dengan huruf vokal, sehingga imbuhan berupa sufiks ira akan berubah menjadi nira. Munculnya konsonan /n/ pada kata yogyanira ‘seyogyanya’ berfungsi sebagai cluster atau pelancar bunyi. Pemilihan kata yogyanira ‘seyogyanya’ sebagai suatu harapan kepada para prajurit dinilai lebih arkhais dibandingkan dengan lain yang memiliki makna yang sama, misalnya kata sayogyané ‘seyogyanya’. 2.3.
Sufiks atau Panambang {-ing} Sufiks atau panambang {ing-} merupakan imbuhan yang terletak di sebelah kanan atau di
akhir kata dasar. Sufiks {ing-} tersebut sama dengan sufiks {-é} namun termasuk dalam kata yang arkhais dan hanya digunakan dalam karya sastra. Kata dasar yang berakhiran vokal jika diberi imbuhan sufiks {-ing} maka penulisannya menjadi {-ning}, sedangkan kata dasar yang berakhiran konsonan jika diberi imbuhan sufiks {-ing} tidak mengalami perubahan penulisan. (19)
manggala golonganing prang (ST/B5/L8) ‘yang tergolong panglima di dalam perang’ golonganing => golongan + ing Kata golonganing ‘tergolong’ berasal dari kata dasar golongan ‘golongan’ yang
mengalami proses afiksasi berupa sufiks {-ing}, menjadi golonganing ‘tergolong’. Kata golongan
22 merupakan kata dasar yang tertutup konsonan /n/ di akhir katanya, sehingga imbuhan berupa sufiks {-ing} tidak mengalami perubahan menjadi {-ning}. Sufiks {-ing} pada kata golonganing ‘tergolong’ membentuk frasa benda. Pemilihan kata golonganing ‘tergolong’ lebih menonjolkan aspek keindahan jika dibandingkan dengan kata golongané ‘tergolong’ yang memiliki makna sama. 2.4.
Sufiks atau Panambang {-nta} Sufiks atau panambang {-nta} berarti para ‘para’. Sufiks atau panambang {-nta} lazimnya
terdapat dalam bahasa pedhalangan yang berfungsi sebagai sarana pengakraban dalam pergaulan. Pada têmbang Dhandhanggula ditemukan data yang menunjukkan adanya penggunaan sufiks atau panambang {-nta} yakni sebagai berikut. (20)
marmanta kalangkung (ST/B6/L7) ‘maka ia dengan rasa belas kasihnya’ marmanta => marma + nta Kata marma berarti ‘belas kasih’ mendapatkan imbuhan berupa sufiks atau panambang {-
nta} menjadi marmanta ‘belas kasihnya’. Penggunaan sufiks {-nta} memang sudah sangat jarang ditemui, karena sufiks {-nta} merupakan ragam bahasa kuna yang arkhais. Adanya penggunaan sufiks {-nta} dalam data dikarenakan Sêrat Tripama mengisahkan tiga tokoh pewayangan yang digambarkan sebagai prajurit teladan, sehingga hal ini sangat erat kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam sebuah pementasan wayang yang menggunakan ragam bahasa pedhalangan. Sufiks atau panambang {-nta} dalam data tersebut juga mempunyai arti menghormati. Sikap menghormati yang dimaksud adalah bentuk balas budi Adipati Karna kepada Prabu Duryudana yang bersedia diutus berperang melawan Pandhawa, meskipun Adipati Karna sadar bahwa ia berada di pihak yang salah. Namun, karena rasa belas kasih dan sikap hormat kepada
23 Prabu Duryudana, Adipati Karna rela untuk mempertaruhkan nyawanya di medan perang melawan saudaranya sendiri. 3. Infiks Infiks adalah afiks yang disisipkan di tengah kata dasar. Dalam bahasa Jawa, infiks disebut dengan sêsêlan. Sêsêlan dalam Jawa yang terdapat dalam penelitian ini adalah: 3.1.
Sêsêlan {–in-} Imbuhan {-in-} iku mung bisa sumambung ing têmbung lingga kang apurwa konsonan
sabab yèn sumambung ing têmbung kang apurwa vokal, imbuhan iku malih dadi {-ing} ‘infiks {– in-} itu hanya bisa disambungkan pada kata dasar yang berawalkan konsonan sebab jika disambungkan pada kata yang berawalkan vokal, imbuhan itu berubah menjadi {–ing-}’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 59). (21)
kang ginêlung tri prakara (ST/B1/L8) ‘yang dipadukan dalam tiga hal’ ginêlung => in + gêlung Pada data di atas terdapat infiks {–in-} yakni pada kata ginêlung ‘dipadukan’. Kata
ginêlung ‘dipadukan’ berasal dari kata gêlung ‘padu’ yang berkelas kata sebagai kata kerja aktif, dan dengan adanya infiks {–in-} tersebut kata gêlung berubah menjadi kata kerja pasif, yaitu ginêlung ‘dipadukan’. Pemilihan kata ginêlung ‘dipadukan’ lebih indah dibandingkan kata digêlung yang memiliki arti sama. 4. Konfiks Konfiks adalah imbuhan yang digabungkan secara serentak. Dalam bahasa Jawa, konfiks disebut sebagai imbuhan bebarêngan rumaket. Yang dimaksud serentak yaitu prefiks dan sufiks diimbuhkan pada kata dasar secara bersamaan. Konfiks meliputi: 4.1.
Imbuhan {ka- -an}
24 Imbuhan {ka- -an} kang sumambung ing tembung lingga bisa andhapuk tembung kriya utawa tembung aran ‘imbuhan {ka- -an} yang disambung pada kata dasar bisa berperan sebagai kata kerja atau kata benda’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 82). (22)
dènnya ngêtog kasudiran (ST/B6/L8) ‘mencurahkan segala keberaniannya’ kasudiran => ka-an + sudira Kata sudira ‘berani’ merupakan kata sifat atau ajektiva yang mengalami proses afiksasi
berupa konfiks {ka- -an}. Adanya konfiks {ka- -an} tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kelas katanya. Kata sudira ‘berani’ dan kata kasudiran ‘keberanian’ masing-masing berkelas kata sebagai ajektiva. Pemilihan kata kasudiran ‘keberanian’ menimbulkan kesan lebih indah dibandingkan dengan kata lain yang berarti sama, misalnya kata kêndêl yang juga berarti berani. 5. Simulfiks Simulfiks dalam bahasa Jawa disebut dengan imbuhan bêbarêngan rênggang. Simulfiks merupakan suatu proses afiksasi yang menggabungkan antara prefiks (atêr-atêr) dan sufiks (panambang) pada kata dasar secara bertahap. Salah satu contoh data yang mengandung simulfiks yaitu: (23)
kaya sayêktinipun (ST/B2/L4) ‘seperti kenyatannya’ sayêktinipun => sa + yêkti + ipun Simulfiks {sa- -ipun} pada kata sayêktinipun ‘kenyatannya’ pada data di atas mengalami
proses afiksasi sebagai berikut: sa + yêkti + ipun. Kata dasar yêkti ‘nyata’ lebih dahulu bergabung dengan prefiks {sa-} sehingga menjadi kata sayêkti ‘kenyataan’. Proses penggabungan selanjutnya, kata sayêkti ‘kenyataan’ bergabung dengan sufiks {-ipun} sehingga menjadi kata sayêktinipun ‘kenyatannya’. Kata yêkti merupakan kata dasar yang memiliki vokal akhir /i/,
25 sehingga jika diberi sufiks {-ipun} penulisannya menjadi {-nipun} yang berfungsi untuk membantu dalam pelafalannya. b. Reduplikasi Reduplikasi atau perulangan adalah proses pengulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi dalam Sêrat Tripama akan diuraikan dalam pembahasan. 6. Pengertian Diksi Diksi atau pilihan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam situasi-situasi (Keraf, 2004: 24, dalam Untari, 2014: 16). Diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide gagasan, yang meliputi persoalan frasaologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Teguh Supriyanto, 2014: 32). Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (contoh penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 233, dalam Untari, 2014: 16). Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat dalam suatu karya sastra agar menghasilkan efek tertentu, misalnya menjadikan karya sastra tersebut memiliki nilai estetis dan berbeda dari karya sastra yang lain. Penggunaan diksi dalam têmbang Dhandhanggula pada Sêrat Tripama ini meliputi sinonimi, antonimi,
26 protesis, têmbung plutan berupa aferesis, têmbung garba, penggunaan bahasa Jawa ragam krama, dan penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskerta. Selain itu, ada pula pemilihan kosakata yang meliputi afiksasi dan reduplikasi. a. Sinonimi Sinonimi yaiku rong têmbung utawa luwih kang wujud lan panulisé béda, nanging duwé têgês padha, utawa mèh padha ‘sinonimi yaitu dua kata atau lebih yang wujud penulisannya berbeda, tetapi memiliki arti yang sama, atau hampir sama’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 223). Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau hampir sama dengan bentuk bahasa lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 946, dalam Untari: 18). Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sinonimi adalah satuan lingual yang terdiri dari dua kata atau lebih yang memiliki arti yang sama atau hampir sama. Contoh: (24)
guna bisa saneskarèng karya (ST/B2/L2) ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’ Pada data di atas terdapat sinonim atau persamaan kata dengan kata, yaitu kata guna
‘pandai’ dan bisa ‘pandai’¸ yang terdapat pada bait kedua baris kedua. Kedua kata itu dipilih karena juga memilki kesamaan asonansi /O/ di setiap suku kata keduanya, sehingga kedua kata tersebut terasa berirama. b. Antonimi Antonimi yaiku têmbung, frasa utawa ukara kang duwé têgês walikan karo têmbung, frasa, utawa ukara liyane ‘antonimi yaitu kata, frasa, atau kalimat yang memiliki arti berkebalikan dengan kata, frasa, atau kalimat lainnya’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 225). Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain
27 (Abdul Chaer, 2003: 209). Berdasarkan sifatnya, (Sumarlam, 2013: 63) membedakan antonimi/ oposisi makna menjadi lima macam: (1)
Oposisi mutlak, yakni pertentangan makna secara mutlak. Satu kata beroposisi dengan satu kata. Misalnya, kata urip ‘hidup’ dengan kata mati ‘meninggal.
(2)
Oposisi kutub, yakni oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut. Misalnya, kata bungah ‘senang’ dengan kata susah ‘susah’.
(3)
Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Misalnya, kata yayah ‘ayah’ dengan kata ibu ‘ibu’.
(4)
Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Misalnya, kata millimeter >< sentimeter >< meter >< kilometer.
(5)
Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Misalnya, kata mlayu ‘berlari’ >< mlaku ‘berjalan’ >< mlangkah ‘melangkah’ >< mandheg ‘berhenti’. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa antonimi adalah satuan
lingual yang berbentuk kata, frasa, atau kalimat yang bertentangan makna. Antonimi yang terdapat dalam penelitian berupa antonimi hubungan yang sifatnya saling melengkapi. Contoh: (25)
lèn yayah tunggil ibu (ST/B5/L4) ‘lain ayah satu ibu’ Pada data di atas, terdapat antonimi hubungan antara kata yayah dan ibu. Antonimi atau
oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Yayah ‘ayah’ sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya dilengkapi oleh ibu ‘ibu’. c. Protesis
28 Protesis adalah penambahan suara di awal kata. Penambahan suara tersebut tidak mengubah arti dan makna kata (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011: 20). d. Têmbung Plutan Têmbung diplutan ateges: ana wandane têmbung iku loro (rong wanda, rong kecap) sing dirangkep, didadekake sidji, didadekake sawanda (sakecap).’Têmbung plutan artinya ada dua (dua suku kata, dua suara) yang disederhanakan, dijadikan satu suku kata (satu suara), (Padmasoekotjo, 1960: 46, dalam Untari 2014: 21). Têmbung plutan yang terdapat pada data berupa aferesis da sinkop. Aferesis adalah berkurangnya suara di awal kata, sedangkan sinkop adalah berkurangnya suara di tengah kata (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2013: 20-21). Adapun contoh têmbung plutan yang terdapat di dalam teks yaitu: (26)
duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5) ‘waktu membantu perang negeri Manggada’ Pada data di atas, terdapat têmbung plutan dalam kata prang ‘perang’. Kata prang berasal
dari kata pêrang ‘perang’ yang mengalami sinkop atau proses pengurangan suara di tengah kata, sehingga kata pêrang ‘perang’ disederhanakan menjadi kata prang ‘perang’ untuk mempermudah dalam pengucapannya dan mendapatkan tuturan sesuai dengan jumlah suku kata tiap guru wilangannya. e. Têmbung Garba Garba ateges: (1) weteng (guwa garba, ateges: weteng ing pérangan dunungé baji). (2) sesambungan, rerangkèn, geganḍéngan. Tjunduké karo têmbung sanḍi, ndêlênga katrangan kang kasêbut ana ing pérangan “sanḍi-asma” ‘garba berarti: (1) perut (rahim, berarti: perut di bagian adanya bayi. (2) sambungan, rangkaian, keterkaitan. Mengacu dengan kata sandi, lihatlah keterangan yang disebut ada di bagian “sandi asma”.
29 Nggarba têmbung, atêgês: ngganḍèng têmbung loro utawa luwih, prêlu kanggo njuda tjahtjahing wandané ‘menggabung kata, berarti: merangkai kata dua atau lebih, diperlukan untuk mengurangi jumlah suku katanya’. Têmbung garba, tegesé: têmbung rerangkèn, têmbung sesambungan, têmbung kang kadadéan saka ganḍèngé têmbung loro utawa luwih ‘kata gabung, artinya: kata rangkaian, kata gabungan, kata yang terjadi dari terangkainya dua kata atau lebih’. (Padmosoekotjo, 1955: 29). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa têmbung garba atau kata gabung yaitu satuan lingual yang terjadi sebagai akibat dari penggabungan dua kata atau lebih. Contoh: (27)
guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2) ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’ Pada data di atas terdapat têmbung garba atau kata gabung yaitu kata saniskareng
‘mengatasi di’, yang berasal dari gabungan kata saniskara ‘mengatasi’ dan ing ‘di’. Dalam penggabungan tersebut terjadi adanya suatu persandian, yaitu vokal /O/ pada akhir kata saniskara ‘mengatasi’ bertemu dengan vokal /i/ pada awal kata ing ‘di’ menyebabkan adanya persandian dalam, sehingga berubah menjadi vokal /è/ saniskarèng ‘mengatasi di’. Adanya têmbung garba tersebut untuk memenuhi jumlah guru wilangan dan memunculkan keindahan dalam lirik têmbang.
30 f. Têmbung Camboran Têmbung camboran ialah dua kata atau lebih disambung menjadi satu, adapun katakatanya ada yang utuh dan ada juga yang sudah disingkat. Adapun têmbung camboran tang terdapat pada data sebagai berikut. (28)
aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji (ST/B2/L9) ‘perang tanding melawan raja raksasa Ngalêngka’ Kata ditya ‘raksasa’ dan kata Ngalêngka ‘Ngalêngka’ merupakan dua kata yang memiliki
hubungan determinatif, karena kata Ngalêngka ‘Ngalêngka’ berkedudukan sebagai kata yang menerangkan kata ditya ‘raksasa’. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa yang dimaksud ditya Ngalêngka atau raksasa negeri Ngalêngka adalah Kumbakarna. (29)
suryaputra narpati Ngawangga (ST/B5/L2) ‘suryaputra raja Ngawangga’ Kata suryaputra ‘suryaputra’ merupakan dua kata yang disingkat menjadi satu kata. Kata
surya ‘surya’ pada kata di atas mengacu kepada Bathara Surya, dan kata putra ‘putra’ pada kata di atas berarti putra atau anak. Dengan demikian, kata suryaputra dimaknai sebagai seorang putra Bathara Surya yang mengacu kepada Adipati Karna. g. Têmbung Saroja Têmbung saroja atêgês têmbung rangkêp. Maksudé: têmbung loro kang paḍa têgêsé utawa mèh paḍa têgês, dianggo bêbarêngan ‘têmbung saroja berarti kata rangkap. Maksudnya: dua kata yang berarti sama atau hampir sama artinya, digunakan secara bersamaan’ (Padmosoekotjo, 1955: 25). Berikut têmbung saroja yang terdapat pada data. (30)
guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2) ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’ Kata guna ‘pandai’ dan kata bisa ‘pandai’ memiliki arti yang sama yaitu ‘pandai’. Data di
atas menunjukkan adanya penggunaan kata guna dan bisa secara bersisihan, yang bertujuan untuk
31 menekankan atau menyangatkan suatu tuturan. Adanya têmbung saroja pada data di atas juga membuat makna tuturan lebih mendalam. h. Penggunaan bahasa Jawa krama Penggunaan bahasa Jawa krama dalam Sêrat Tripama bertujuan untuk menghadirkan kesan keindahan dan kesopanan dalam tuturannya. Penggunaan bahasa Jawa krama ini berwujud imbuhan maupun kata yang utuh. Penggunaan bahasa Jawa krama yang berupa imbuhan misalnya akhiran ipun ‘nya’ pada kata lalabuhanipun ‘jasa-jasanya’, sedangkan penggunaan bahasa Jawa krama yang berupa kata yang utuh misalnya pada tuturan Sri Karna suka manahé ‘Sri Karna bahagia hatinya’. Meskipun demikian, penggunaan bahasa Jawa krama yang berupa imbuhan dalam penelitian ini dimasukkan ke dalam subbab afiksasi atau imbuhan. Penemuan data yang lebih lengkap diuraikan dalam pembahasan. i. Penggunaan bahasa Jawa Kuna/ Sanskêrta Têmbung Sanskêrta utawa têmbung Jawa Kuna kang tinemu sumêla ana ing karangankarangan ing jaman saiki, ing rêriptan-rêriptan kang nganggo basa Jawa anjar, ya basa Jawa ing jaman saiki ‘kata Sanskerta atau kata Jawa Kuna yang ditemukan pada karangan-karangan di zaman sekarang, di penciptaan-penciptaan yang menggunakan bahasa Jawa baru, ya bahasa Jawa di zaman sekarang’ (Padmosoekotjo, 1955: 17). Contoh: (31)
kang ginêlung tri prakara (ST/B1/L8) ‘yang diringkas dalam tiga perkara’ Pada data di atas terdapat kata berbahasa Kawi, yaitu kata tri ‘tiga’. Penggunaan kata
berbahasa Kawi atau bahasa Sanskerta tersebut berguna untuk memenuhi konvensi sastra yang berupa jumlah guru wilangan dan juga untuk menambah nilai arkhais pada têmbang. 7. Pengertian Gaya Bahasa
32 Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Keraf, 2004: 23). Gaya bahasa atau style dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2004: 112). Gaya bahasa adalah: (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; dan (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu (Kridalaksana, 2008: 70). Gaya bahasa adalah ekspresi linguistik, baik di dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel, dan drama) (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 22). Menurut Simpson (2004: 3, dalam Nyoman Kutha Ratna: 2009: 84) gaya bahasa baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa, khususnya bahasa yang digunakan. Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 67). Gaya bahasa tidak hanya dianggap sebagai pemakaian bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa biasa, tetapi mungkin juga dipahami sebagai pemakaian bahasa yang menyalahi tata bahasa (Teguh Supriyanto, 2014: 4). Menurut Pradopo (1993: 265, dalam Teguh Supriyanto, 2014: 22), gaya bahasa sebagai cara bertutur untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetis atau efek kepuitisan. Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa yang khas karena berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-hari dan dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang menyimpang dari penggunaan bahasa seharihari (Teguh Supriyanto, 2014: 23). Gaya bahasa merupakan sarana strategis yang banyak dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 46). Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2004: 115-145) antara lain:
33 a. Segi non bahasa, meliputi: berdasarkan pengarang, berdasarkan masa, berdasarkan medium, berdasarkan subjek, berdasarkan tempat, berdasarkan hadirin, berdasarkan tujuan. b. Segi bahasa 1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, meliputi: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, gaya bahasa percakapan. 2. Gaya bahasa berdasarkan nada, meliputi: gaya sederhana, gaya mulia, gaya bertenaga, dan gaya menengah. 3. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, meliputi: klimaks, antiklimaks, paraletisme, antitesis, dan repetisi. 4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: a. Gaya bahasa retoris, meliputi: aliterasi, asonansi, anastrof/ inversi, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemismus/ eufemisme, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tatutologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, oksimoron. b. Gaya bahasa kiasan, meliputi: persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel dan fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonoia, hipalase, ironi, sinisme dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paranomasia. Berdasarkan pengertian gaya bahasa di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa gaya bahasa adalah penggunaan bahasa yang tidak wajar untuk menimbulkan aspek keindahan atau estetika. Gaya bahasa yang dipakai setiap pengarang berbeda-beda, sesuai ciri khasnya masing-masing. Menurut Gorys Keraf, gaya bahasa terbagi menjadi: a. Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. b. Anastrof Anastrof adalah semacam gaya retorik yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Adapun contoh dalam data sebagai berikut. (32)
duk bantu prang Manggada nagri (ST/B2/L5) ‘ketika membantu perang di negeri Manggada’
34 Pada data di atas, terdapat gaya bahasa anastrof yang ditunjukkan pada frasa Manggada nagri ‘negeri Manggada’. Frasa tersebut disusun terbalik (DM atau diterangkan, menerangkan) yang fungsinya untuk memenuhi konvensi sastra yang berupa jatuhnya guru swara /i/ di akhir larik. c. Hiperbola Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Adapun penggunaan majas hiperbola yang terdapat di dalam têmbang sebagai berikut. (33)
guna bisa saniskarèng karya (ST/B2/L2) ‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’ Pada data di atas terdapat majas hiperbola dalam kalimat guna bisa saniskarèng karya
‘memiliki kepandaian dalam segala pekerjaan’. Hal itu berlebihan, karena Patih Suwanda digambarkan sebagai seorang manusia yang menjadi prajurit atau Patih, dan tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Begitu pun juga dengan Patih Suwanda, ia juga pasti memiliki kekurangan, sehingga kemungkinan kecil jika ia bisa melakukan segala hal pekerjaan. d. Simile Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Adapun penggunaan gaya bahasa simile dalam teks bait pertama larik pertama dan ke-2 sebagai berikut. (34)
yogyanira kang para prajurit (ST/B1/L1) lamun bisa samya anuladha (ST/B1/L2) kadya nguni caritané (ST/B1/L3) ‘seyogyanya para prajurit’ ‘bila dapat semuanya mencontoh’ ‘seperti masa dahulu’
35 Pada data di atas terdapat penggunaan gaya bahasa simile, yang ditunjukkan dengan penanda kata kadya ‘seperti’. Perbandingan tersebut ditujukan antara para prajurit masa dahulu dan para prajurit sekarang. e. Eponim Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Adapun penggunaan gaya bahasa eponim yang ditemukan di dalam teks pada bait enam larik kedelapan dan kesembilan sebagai berikut. (35)
aprang ramé Karna mati jinêmparing (ST/B6/L9) sumbaga wirotama (ST/B6/L10) ‘dalam perang ramai Karna mati dipanah’ ‘mahsyur sebagai perwira utama’ Pada data di atas nama Karna dihubungkan dengan sifat keteladanannya, yaitu ia memiliki
sifat sebagai wirotama atau perwira utama. f. Epilet Epilet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Pengunaan gaya bahasa dalam teks bait 3 larik ke-3 dan ke-4 sebagai berikut. (36)
sang Kumbakarna namané (ST/B3/3) tur iku warna diyu (ST/B3/L3) ‘sang Kumbakarna namanya’ ‘padahal ia berwujud raksasa’ Pada data di atas, terdapat penggunaan majas eponim yaitu ditunjukkan dalam nama
Kumbakarna yang dikenal sebagai adik dari Dasamuka dan berwujud sebagai raksasa. g. Metonimia
36 Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Adapun penggunaan gaya bahasa metonimia yang terdapat di dalam teks terdapat dalam bait 3 larik kedua dan ketiga sebagai berikut. (37)
satriya gung nagari Ngalengka (ST/B3/L2) sang Kumbakarna namané (ST/B3/L3) ‘satriya besar Negeri Alengka’ ‘sang Kumbakarna namanya’ Pada data di atas terdapat penggunaan gaya bahasa yang berupa metonimia, yaitu satriya
gung nagari Ngalengka ‘satriya besar Negeri Alengka’ mengacu kepada Sang Kumbakarna.
5. METODE PENELITIAN Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, yaitu: (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4) metode dan teknik pengumpulan data, (5) metode analisis data, dan (6) metode peyajian hasil analisis data. 1. Jenis Penelitian Berdasarkan fenomena kebahasaan yang terdapat dalam sebuah karya sastra, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami tentang fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010: 6 dalam Puspitasari, 2014: 37).
37 Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskiptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan kata, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian (Lexy J Moleong, 2010: 44). Jadi, penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan data-data kebahasaan yang berupa kata-kata, bukan angka atau statistik. Dalam penelitian ini, datadata kebahasaan meliputi aspek-aspek penanda bunyi, aspek penanda morfologis dan diksi, dan aspek gaya bahasa dalam Sêrat Tripama. 2. Data dan Sumber Data Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Edi Subroto, 1992: 34). Data dalam penelitian ini berupa data tulis yang meliputi semua satuan bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat) yang terdapat pada teks têmbang Dhandhanggula bait 1-7 dalam Sêrat Tripama, yang di dalamnya terdapat aspek bunyi, aspek penanda morfologis dan diksi, serta gaya bahasa. Sumber data adalah asal muasal diperolehnya data (Edi Subroto, 1992: 34). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari Sêrat Tripama karya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV yang berisi teks têmbang Dhandhanggula yang dikutip dari laman buku elektronik oleh Dimas Hendri. Alasan pemilihan sumber data dari laman buku elektronik oleh Dimas Hendri dikarenakan sumber data Sêrat Tripama yang berbentuk têmbang dhandhanggula dalam laman buku elektronik tersebut lebih bisa dipahami dan lebih familiar dibandingkan dari sumber lain. 3. Alat Penelitian
38 Alat penelitian adalah alat yang mendukung terjadinya penelitian ini. Alat penelitian adalah peneliti sendiri, artinya ketentuan sikap peneliti mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36). Dengan ketajaman intuisi kebahasaan/ lingual peneliti mampu membagi data secara baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993: 31-32). Dengan intuisi lingual peneliti bisa bekerja secara serta merta mengahayati terhadap bahasa yang diteliti secara utuh (Edi Subroto, 199: 23). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bolpoin, kertas catatan, dan alat elektronik yang berupa komputer jinjing, telepon genggam, dan mesin cetak (printer). 4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993: 9). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak, dengan cara menyimak data-data yang diperlukan untuk penelitian. Data-data yang disimak tersebut berupa fonem, morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat yang berupa teks têmbang Dhandhanggula bait 1-7 dalam Sêrat Tripama. Di dalam metode simak, teknik yang digunakan adalah teknik dasar dan teknik lanjutan. Adapun teknik dasar yang digunakan adalah teknik pustaka. Teknik pustaka yaitu pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakaian bahasa sinkronis (Edi Subroto, 1992: 45). Teknik pustaka adalah mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik lanjutannya yaitu teknik catat, dengan cara mencatat beberapa bentuk yang relevan dilakukan dalam penelitian antara lain mengenai aspek bunyi, diksi atau pilihan kata, dan aspek gaya bahasanya. Teknik catat yaitu pencatatan data kebahasaan yang relevan dilakukan dengan transkripsi tertentu menurut kepentingan (Edi Subroto, 1992: 42). Setelah data berhasil disimak secara cermat, tepat, dan teliti kemudian dilakukan pencatatan dan diklasifikasikan.
39 Pengklasifikasian atau pengelompokan tersebut didasarkan atas karakteristik yang sama mengenai aspek bunyi, aspek penanda morfologis ragam literer dan diksi, serta gaya bahasa yang terdapat dalam têmbang Dhandhanggula Sêrat Tripama. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data adalah cara yang digunakan peneliti dalam mengolah dan menganalisis data penelitian. Dalam penelitian ini data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode distribusional. Metode distribusional adalah metode analisis data yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode ini digunakan untuk menganalisis aspek bunyi, aspek penanda morfologis ragam literer, dan aspek diksi atau pilihan kata yang terdapat dalam têmbang Dhandhanggula pada Sêrat Tripama. Teknik yang digunakan adalah teknik interpretasi, yaitu dengan cara menginterpretasi atau menafsirkan data yang disesuaikan dengan pemahaman dalam berpikir berdasarkan satuan lingual yang ada. Contoh penerapan metode distribusional sebagai berikut. (38)
tur iku warna diyu (ST/B3/L4) ‘dan itu berwujud raksasa’ Dalam data di atas terdapat kosakata bahasa Jawa Kuna, yaitu kata diyu ‘raksasa’. Kosakata
tersebut digunakan untuk memenuhi konvensi sastra têmbang Dhandhanggula pada baris keempat, yaitu vokal terakhir berbunyi /u/. Di samping itu, penggunaan kata diyu yang merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuna tersebut memberi kesan estetik dalam karya sastra daripada kata buta, raseksa, ataupun raseksi yang memiliki arti yang sama. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Alat penentunya ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa (Sudaryanto, 1993: 13). Alat penentu adalah kenyataan atau segala sesuatu (yang bersifat luar bahasa) yang ditunjuk bahasa
40 (tindakan, peristiwa, kejadian, dan lain-lain) berada di luar bahasa terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa. Metode padan diterapkan untuk menganalisis pemanfaatan aspek pilihan kata dan aspek gaya bahasa. Penerapan metode padan di dalam data sebagai berikut. (39)
yogyanira kang para prajurit lamun bisa samya anuladha kadya nguni caritané andêlira sang Prabu sasrabahu ing Maèspati aran Patih Suwanda lêlabuhanipun kang ginêlung tri prakara guna kaya purunné kang dênantêpi nuhoni trah utama (ST/B1/L1-10) ‘seyogyanya para prajurit’ ‘bila dapat semua meneladani’ ‘seperti masa dahulu’ ‘andalan sang raja ‘sasrabahu di Maespati’ ‘bernama Patih Suwanda’ ‘jasa-jasanya’ ‘yang dicerminkan dalam tiga hal’ ‘pandai mampu dan berani yang ditekuninya’ ‘menepati sifat keturunan orang yang utama’ Pada data di atas dapat terdapat gaya inuendo, yaitu gaya bahasa yang berupa sindiran.
Dalam teks di atas, KGPAA Mangkunegara IV secara tersirat menginginkan prajurit-prajuritnya untuk mencontoh keteladanan dari Patih Suwanda yang menjadi andalan sang Prabu. Seorang prajurit atau Patih seyogyanya memiliki sifat-sifat seperti Patih Suwanda, yaitu guna, kaya, dan purun yang seharusnya ditiru dan diteladani oleh prajurit-prajurit zaman sekarang. 6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data yang diperoleh berupa temuan penelitian sebagai jawaban atas masalah yang akan dipecahkan. Dalam penyajian hasil temuan, terdapat dua metode, yaitu metode penyajian informal dan metode penyajian formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya; sedangkan penyajian
41 formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud di antaranya tanda dua garis miring sejajar (/ /), tanda tambah (+), tanda sama dengan (=), tanda kurung runcing ke kanan (>), tanda kurung biasa (( )), dan tanda kurung kurawal ({ }). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya lambang huruf sebagai singkatan nama (Sudaryanto, 1993: 145).