1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam
kehidupan
sehari-hari,
manusia
menggunakan
bahasa
untuk
berkomunikasi. Bahasa menjadi alat komunikasi utama yang berperan sangat penting. Saat berkomunikasi, manusia selalu bertindak tutur melalui ucapanucapan mereka untuk mengungkapkan suatu maksud, perasaan, pendapat, dan pikiran mereka. Melalui ujaran tersebut, penutur dapat mempengaruhi mitra tuturnya untuk melakukan apa yang ia maksud. Suatu makna atau maksud tuturan tersebut dapat terjadi ialah karena adanya penutur, situasi tutur, dan struktur dalam bahasa itu sendiri. Ketika seseorang berbicara, mereka tidak hanya menghasilkan ujaran yang mengandung kalimat gramatikal (kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat pernyataan) saja, tetapi juga melakukan tindakan melalui ucapan mereka. Bahkan pada tataran kata pun mampu mengungkapkan suatu maksud di dalamnya. Ujaran-ujaran yang demikian itu disebut dengan tindak tutur (speech act). Tindak tutur adalah cara untuk berkomunikasi. Dalam ujaran tersebut mengandung suatu tindakan. Tindak tutur membahas tentang makna tutur atau maksud (intention) yang terkandung dalam suatu tuturan. Menurut Yule (1996:47) “Actions performed through utterances are called speech acts”. Selain
2
itu, menurut Griffiths (2006:148) “These basic units of linguistic interaction – such as give a warning to, greet, apply for, tell what, confirm an appointment – (the acts, not the labels) are called speech acts”. Dengan kata lain, tindak tutur merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan seseorang, atau tuturan yang dimaksudkan agar mitra tutur atau pendengar melakukan sesuatu. Dengan melakukan tindak tutur, penutur mencoba untuk menyampaikan maksud dan tujuan berkomunikasi kepada lawan tuturnya dengan harapan lawan tuturnya memahami apa yang dimaksud. Tindak tutur tidak hanya berfungsi sebagai pembentuk kata-kata, tetapi juga memiliki makna lain dibalik kata-kata yang diucapkan oleh penutur, seperti yang dikatakan oleh Austin (1962) dalam bukunya How to Do Things with Words. Tindak tutur dibedakan menjadi berbagai aspek, yaitu maksud penutur dan bagaimana penutur mencoba mempengaruhi mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu. Situasi saat ucapan tersebut diucapkan akan mempengaruhi penafsiran yang berbeda oleh mitra tutur atau pendengarnya. Selanjutnya, Austin (1962) membedakan tindak tutur menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusi (an act of saying something), tindak ilokusi (an act of doing something), dan tindak perlokusi (an act of affecting something). Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Ilokusi adalah hal tertentu yang dimaksudkan atau ingin dicapai dari suatu tindak tutur. Perlokusi mengacu pada efek yang ditimbulkan
3
oleh tindak tutur yang dihasilkan. Lebih lanjut Searle (1979:21), membagi tindak ilokusi berdasarkan fungsinya menjadi 5 kategori, yaitu assertives (asertif), directives
(direktif),
commissives
(komisif),
expressives
(ekspresif)
dan
declarations (deklarasi). Asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Direktif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran. Komisif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam ujaran. Ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan sikap psikologis penutur. Yang terakhir deklarasi ialah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (termasuk di dalamnya status dan keadaan) yang baru. Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada salah satu tindak tutur, yaitu tindak tutur asertif menjawab (answering). Penerjemahan tindak tutur selalu menjadi kajian penelitian yang menarik untuk diteliti. Yule (1996:93) menjelaskan bahwa tindak tutur asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan dan bertujuan untuk memberikan informasi kepada mitra tutur. Dengan kata lain, tindak tutur asertif merupakan tindak tutur yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tuturnya bahwa mereka mengetahui atau mempercayai sesuatu dan sesuatu tersebut ialah suatu fakta atau berkaitan dengan fakta. Yang termasuk verba asertif antara lain yaitu menyatakan (stating), menjawab (answering), menyarankan (suggesting),
4
membual (boasting), mengeluh (complaining), mengklaim (claiming), dan sebagainya. Tindak tutur menjawab (answering) merupakan salah satu tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk merespon suatu pertanyaan dari mitra tuturnya. Namun terkadang dalam prakteknya, penutur merespon pertanyaan mitra tuturnya tidak selalu tepat atau apa adanya. Mereka terkadang memberi jawaban yang kurang, lebih, atau bahkan tidak ada hubungannya. Dalam hal ini, peneliti juga tertarik untuk meneliti pelanggaran maksim kerjasama (cooperative principle) yang terdapat dalam tuturan menjawab (answering). Grice (dalam Birner 2013:41) mengungkapkan bahwa “The Cooperative Principle: make your conversational contribution such as is required, at the stage at which occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged”. Selanjutnya, Grice menjelaskan bahwa di dalam Prinsip Kerjasama penutur harus mematuhi empat maksim. Maksim ialah prinsip yang harus ditaati oleh peserta tutur dalam berinteraksi dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Prinsip Kerjasama yang diungkapkan oleh Grice terdiri atas empat maksim, yaitu maksim kuantitas (quantity), maksim kualitas (quality), maksim relevansi (relation), dan maksim pelaksanaan (manner). Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya atau pembicara memberikan informasi yang cukup, relatif dan seinformatif mungkin. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan
5
pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang relevan (sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Selain itu, ada empat cara mitra tutur menanggapi Prinsip Kerjasama tersebut. Birner (2013:42) menjelaskan empat cara itu ialah observe the maxims, violate a maxim, flout a maxim, dan opt out of the maxims. Dewasa ini, penerjemahan karya sastra sudah banyak dinikmati oleh pembaca di seluruh dunia, terutama novel terjemahan. Novel terjemahan ialah novel yang dibuat berdasarkan pengalihan bahasa dari novel berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Banyak penerbit yang berlomba-lomba untuk menerbitkan novel terjemahan dengan kualitas terjemahan yang baik. Mereka biasanya menerbitkan novel-novel terlaris di seluruh dunia. Salah satu contoh novel yang terkenal dan laris di pasaran adalah novel Pride and Prejudice. Pride and Prejudice merupakan karya sastra yang memberikan gambaran kehidupan masyarakat di Inggris sekitar abad ke-19. Selain mengandung cukup banyak tindak tutur di dalamnya, novel populer karangan Jane Austen ini juga sudah banyak terjemahannya dengan berbagai versi bahasa di seluruh dunia. Novel ini mengisahkan tentang persoalan klasik perempuan, antara lain masalah keuangan keluarga, perkawinan, dan hak-hak perempuan. Jane Austen mulai aktif menulis
6
dan menghasilkan karyanya sejak tahun 1790-an. Beberapa novel populernya adalah Sense and Sensibility, Pride and Prejudice, dan Emma. Beberapa karyanya tersebut masih melegenda hingga sekarang. Semakin pesatnya perkembangan karya sastra saat ini, penerjemah sangat berperan penting dalam mentransfer cerita dari suatu bahasa ke bahasa tertentu. Seorang penerjemah akan berperan sebagai jembatan antara teks dari novel tersebut dengan pembaca sasaran. Hal ini tidak lain bertujuan agar pembaca sasaran dapat menikmati suatu karya sastra tertentu, tanpa harus dibingungkan dengan bahasa yang tidak mereka mengerti. Dengan begitu, penerjemah harus dapat menerjemahkan suatu karya sastra tersebut dengan baik, yaitu tidak menambah atau pun mengurangi pesan yang ada dari bahasa sumber. Dalam menerjemahkan karya sastra, seorang penerjemah tidak hanya memiliki kompetensi dalam dua bahasa (bilingual), tetapi juga kemampuan dalam bidang ilmu lain. Nababan (2003: 12-13) memaparkan bahwa ilmu penerjemahan termasuk ilmu interdisipliner, karena ilmu ini juga menerima banyak sumbangan dari ilmu-ilmu lain seperti: linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik, pragmatic, ilmu
komunikasi,
filologi,
leksikografi,
dan
lain
sebagainya.
Dalam
menerjemahkan tindak tutur, suatu maksud (intention) yang terkandung dalam BSu tidak boleh berubah jenis maupun fungsinya di BSa, sehingga makna yang terkandung dalam tindak tutur tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca sasaran. Salah satu kategori terjemahan yang baik ialah bentuk BSu dan BSa sama, artinya yaitu tidak mengalami perubahan ketika diterjemahkan dalam
7
BSa. Tidak berubah maksudnya ialah misalnya dalam BSu berupa tuturan direktif memerintah, maka terjemahannya juga harus berupa tuturan direktif dengan fungsi memerintah. Dalam novel Pride and Prejudice, ditemukan beberapa data yang dikategorikan sebagai tindak tutur asertif menjawab (answering). Di bawah ini adalah beberapa contoh data yang mematuhi dan melanggar maksim kerjasama. Contoh pertama di bawah ini menunjukkan tuturan menjawab (answering) yang mematuhi atau tidak melanggar maksim Prinsip Kerjasama (observing). Contoh (1) BSu (asking) BSu (answering) BSa1 (pertanyaan) BSa1 (jawaban) BSa2 (pertanyaan) BSa2 (jawaban)
: "When is your next ball to be, Lizzy?" : "To-morrow fortnight." : “Kapan pesta dansa berikutnya, Lizzy?” : “Dua minggu lagi.” : “Kapan pesta dansa yang selanjutnya, Lizzy?” : “Dua minggu lagi.”
Pada contoh di atas, Kitty bertanya kepada Elizabeth (Lizzy) tentang pesta dansa yang akan diadakan oleh pemuda pendatang kaya raya tersebut, Mr.Bingley. Pada dua versi novel terjemahannya, Elizabeth menjawab pertanyaan Kitty dengan tepat, sesuai dengan porsinya, tidak ditambah atau pun dikurang. Hal ini menunjukkan bahwa data tersebut mematuhi maksim kerjasama (observe the maxim). Sebaliknya, banyak data yang melanggar maksim Prinsip Kerjasama dalm novel Pride and Prejudice. Penutur tidak menjawab pertanyaan dari mitra tuturnya dengan jawaban yang tepat dan apa adanya. Hal tersebut dapat melanggar empat maksim yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu maksim
8
kuantitas (quantity), maksim kualitas (quality), maksim relevansi (relation), dan maksim pelaksanaan (manner). Salah satu tuturan menjawab (answering) yang melanggar maksim kuantitas (quantity) adalah sebagai berikut: Contoh (2) BSu (asking) BSu (answering)
: "Is he married or single?" : "Oh! Single, my dear, to be sure! A single man of large fortune; four or five thousand a year. What a fine thing for our girls!" BSa1 (pertanyaan) : “Sudah menikah atau masih bujangan?” BSa1 (jawaban) : “Oh! Tentu masih bujangan, suamiku sayang! Pemuda lajang kaya raya; berpenghasilan empat atau lima ribu pound setiap tahun. Berita bagus untuk putriputri kita.” BSa2 (pertanyaan) : “Dia sudah menikah atau masih lajang?” BSa2 (jawaban) : “Oh, aku yakin dia lajang, sayangku! Seorang bujangan kaya raya; penghasilannya empat atau lima ribu setahun. Sungguh hal yang menguntungkan bagi anak-anak gadis kita!” Tuturan jawaban (answering) di atas diucapkan oleh Mrs.Bennet kepada suaminya, Mr.Bennet. Mr.Bennet menanyakan apakah pria yang akan menyewa Netherfield Park itu masih bujangan atau tidak. Secara sigap Mrs.Bennet menjawab bahwa pria tersebut masih lajang. Namun pada data tersebut, terjadi pelanggaran maksim kuantitas (quantity). Hal tersebut dapat dilihat bahwa Mrs.Bennet menjawab pertanyaan suaminya dengan berlebihan, tidak sesuai dengan pertanyaan Mr.Bennet. Selain itu, terdapat juga contoh yang menunjukkan pelanggaran maksim relevansi (relation) dalam tuturan menjawab (answering), seperti contoh berikut: Contoh (3)
9
BSu (asking) BSu (answering)
: "How so? How can it affect them?" : "My dear Mr. Bennet," replied his wife, "how can you be so tiresome! You must know that I am thinking of his marrying one of them." BSa1 (pertanyaan) : “Kenapa begitu? Bagaimana itu bisa mempengaruhi mereka?” BSa1 (jawaban) : “Sayangku Mr.Bennet,” sahut istrinya, “bagaimana bisa kau begitu menyebalkan! Kau harusnya paham bahwa aku sedang memikirkan cara agar dia menikahi salah satu anak kita.” BSa2 (pertanyaan) : “Bagaimana mungkin? Apa pengaruhnya bagi mereka?” BSa2 (jawaban) : “Suamiku sayang,” jawab istrinya, “jangan menyebalkan begitu! Kau pasti tahu aku berpikir dia akan menikahi salah seorang dari mereka.” Contoh 2 di atas adalah tuturan menjawab (answering) yang diucapkan oleh Mrs.Bennet kepada suaminya. Contoh di atas menunjukkan bahwa jawaban Mrs.Bennet melanggar maksim relevansi, mengingat bahwa maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang relevan atau sesuai dengan sesuatu yang sedang dituturkan. Namun pada contoh di atas, Mrs.Bennet tidak menjawab secara relevan sesuai pertanyaan yang dituturkan. Ia memberi jawaban yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan. Setelah menganalisis prinsip kerjasama yang ada pada tindak tutur menjawab (answering), peneliti juga meneliti teknik apa sajakah yang penerjemah gunakan dalam menerjemahkan tuturan menjawab (answering) dalam dua versi novel terjemahan tersebut. Banyak ditemukan perbedaan pengaplikasian teknik dalam beberapa data yang digunakan oleh penerjemah pada dua versi novel terjemahan tersebut. Dalam menerjemahkan, penggunaan teknik penerjemahan sangatlah penting dan harus diperhatikan. Menurut Molina dan Albir (2002), ada 18 teknik
10
penerjemahan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menerjemahkan, yaitu: adaptation, amplification, borrowing, calque, compensation, description, discursive
creation,
amplification,
established
linguistic
equivalent,
compression,
literal
generalization, translation,
linguistic modulation,
particularization, reduction, substitution, transposition, dan variation. Teknik penerjemahan adalah keputusan yang diambil oleh penerjemah dalam proses menerjemahkan suatu teks. Berikut adalah salah satu contoh tindak tutur menjawab (answering) dan analisis terjemahannya dalam novel: BSu (asking)
: "Did you not think, Mr. Darcy, that I expressed myself uncommonly well just now, when I was teasing Colonel Forster to give us a ball at Meryton?" BSu (answering) : "With great energy; but it is always a subject which makes a lady energetic." BSa1 (pertanyaan) : “Apa menurutmu, Mr.Darcy, aku bertingkah berlebihan tadi ketika merayu Kolonel Forster untuk mengadakan pesta dansa di Meryton?” BSa1 (jawaban) : “Kau merayu dengan semangat berapi-api kurasa, tapi pesta dansa memang selalu membuat seorang perempuan berapi-api.” BSa2 (pertanyaan) : “Menurutmu, Mr.Darcy, apakah aku bertingkah berlebihan tadi, saat aku merayu Kolonel Forster untuk menyelenggarakan pesta dansa di Meryton?” BSa2 (jawaban) : “Kau berbicara dengan semangat berapi-api, tapi pesta dansa memang topik pembicaraan yang selalu membuat seorang gadis bersemangat.” Dalam tuturan tersebut Charlotte menantang teman-temannya untuk mengobrol dengannya, saat itu juga ia mendorong Elizabeth untuk berbalik menatap Mr.Darcy, dan bertanya kepada Elizabeth mengenai apakah Mr.Darcy berlebihan ketika merayu Kolonel Forster untuk mengadakan pesta dansa di
11
Meryton. Pada terjemahan di atas, penerjemah menggunakan teknik amplifikasi (amplification). Pada contoh di atas, penerjemah berusaha memperjelas detail informasi yang ada dalam BSu yang dilakukan dengan mengeksplisitkan atau memparafrasekan BSu, maupun dengan menambah informasi yang relevan. Selanjutnya, contoh berikutnya di bawah ini menunjukkan bahwa penerjemah menggunakan teknik kesepadanan lazim (established equivalent), reduksi (reduction), dan peminjaman murni (pure borrowing) dalam menerjemahkan teks BSu ke BSa. BSu (asking)
: "Yes, indeed, and received no inconsiderable pleasure from the sight. Do you often dance at St. James's?" BSu (answering) : "Never, sir." BSa1 (pertanyaan) : “Ya, tentu, dan saya sangat senang dengan yang saya lihat. Apakah Anda sering berdansa di rumah St.james?” BSa1 (jawaban) : “Tidak pernah.” BSa2 (pertanyaan) : “Ya, betul, dan saya sangat senang melihatnya. Apa kau sering berdansa di St.James’s?” BSa2 (jawaban) : “Tidak pernah, Sir.” Pada contoh di atas, penerjemah menggunakan teknik kesepadanan lazim (established equivalent) dan reduksi (reduction) dalam menerjemahkan novel 1 (BSa1), sedangkan pada BSa2, penerjemah menggunakan teknik kesepadanan lazim (established equivalent) dan peminjaman murni (pure borrowing). Dalam terjemahan 1, penerjemah menghilangkan “sir” dari BSu. Hal ini membuktikan bahwa penerjemah mengaplikasikan teknik reduksi dalam teks tersebut. Walaupun tidak mengubah makna atau pesan dari BSu, namun kata “sir” di BSu merupakan elemen penting yang seharusnya juga diterjemahkan oleh penerjemah.
12
Pada teks terjemahan 2, selain menggunakan teknik kesepadanan lazim (established equivalent), penerjemah juga mengaplikasikan teknik peminjaman murni (pure borrowing) dalam terjemahannya. Dari dua contoh di atas, terlihat jelas bahwa tiap-tiap penerjemah memiliki konsekuensi masing-masing dalam mengaplikasikan teknik-teknik tersebut. Data-data yang ada pada dua versi terjemahan novel Pride and Prejudice akan menghasilkan teknik dan kualitas yang berbeda pula. Karena hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti teknik apa saja yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan novel Pride and Prejudice dan dampaknya terhadap kualitas penerjemahan. Beberapa penelitian tentang tindak tutur sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Putranti, 2007; Keylli, Muhartoyo 2012; Lailiyah, 2013; Shera, 2014). Di samping itu, di dalam penelitian mereka masih menekankan pada maksud, jenis dan fungsi tindak tutur saja dalam film American Beauty, film Sleeping Beauty, rubrik majalah Bobo, dan rubrik reader’s forum di The Jakarta Post. Selain itu, mereka tidak membahas teknik apa saja yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan tindak tutur tersebut. Penelitian lain (Limyana, 2011; Widianingsih, 2015) sudah terfokus pada tindak tutur asertif dan sudah cukup menjabarkan dan menjelaskan jenis-jenis tindak tutur asertif secara menyeluruh. Limyana (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur asertif, penggunaan teknik penerjemahan, dan dampaknya terhadap kualitas terjemahan. Sementara itu, penelitian Widianingsih (2015) lebih spesifik lagi, yakni membahas mengenai tuturan asertif predicting
13
pada percakapan dalam novel The Serpent’s Shadow. Ia juga meneliti penggunaan teknik penerjemahan, dan dampaknya terhadap kualitas terjemahan terhadap temuan datanya. Penelitian lain yang merupakan analisis perbandingan pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Nuraeni, 2008; Pratama, 2014; Prananta 2015). Mereka juga telah fokus pada satu tindak tutur saja. Penelitian mereka merupakan analisis perbandingan tindak tutur mengeluh, strategi kesantunan dalam tuturan memerintah, dan implikatur dalam percakapan yang dianalisis menggunakan teori penerjemahan. Ketiga peneliti di atas menggunakan film sebagai sumber data mereka. Penelitian mereka merupakan penelitian yang berorientasi pada produk, yaitu memfokuskan pada teknik dan kualitas terjemahan. Selanjutnya, Panuntun (2012) mengkaji mengenai “Tindak Tutur dan Pelanggaran Maksim Percakapan Pada Novel Harry Potter and The Sorcerer’s Stone”. Ia memfokuskan penelitiannya hanya pada percakapan-percakapan yang melanggar prinsip maksim kerjasama. Namun ia tidak membatasi tindak tutur apa yang digunakan dalam penelitiannya tersebut. Selain itu, ia juga meneliti penggunaan teknik penerjemahan, dan dampaknya terhadap kualitas terjemahan terhadap temuan datanya. Dengan mereview beberapa tesis dan jurnal di atas, peneliti dapat menemukan beberapa gap penelitian yang belum diteliti oleh peneliti sebelumnya, gap tersebut meliputi:
14
1. Belum ada penelitian yang membahas tentang tindak tutur asertif menjawab (answering). Dalam hal ini, peneliti hanya memfokuskan pada tuturan asertif menjawab (answering) yang merupakan respon dari sebuah tuturan pertanyaan. 2. Belum ada penelitian yang membandingkan tindak tutur asertif menjawab (answering) dari dua versi novel terjemahan. 3. Belum ada penelitian yang membahas tentang perbandingan tindak tutur menjawab
(answering)
yang
dikaitkan
dengan
Prinsip
Kerjasama
(Cooperative Principle) dari dua versi novel terjemahan. Dengan melihat gap di atas, peneliti lalu memutuskan untuk membahas tentang kalimat yang mengandung tindak tutur menjawab (answering) pada percakapan dalam dua versi terjemahan novel Pride and Prejudice.
B. Batasan Masalah Agar penelitian ini menjadi fokus, penelitian ini hanya akan mengkaji pada analisis kalimat yang mengandung tindak tutur menjawab (answering) pada percakapan dalam dua versi terjemahan novel Pride and Prejudice. Satuan lingual yang dikaji dalam penelitian ini adalah kalimat yang mengandung tuturan menjawab (answering). Selain itu, peneliti akan melihat dan mengidentifikasi bagaimana cara yang digunakan penutur saat menjawab terkait maksim Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle). Dalam hal ini, peneliti menggunakan teori Grice (1975) untuk mengidentifikasi penggunaan Prinsip Kerjasama. Selanjutnya,
15
penelitian ini akan mengkaji lebih dalam dengan pendekatan penerjemahan. Peneliti akan mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan dua versi novel terjemahan tersebut, dan juga kualitas terjemahannya. Akan terlihat perbedaan hasil penggunaan teknik dari dua versi novel terjemahan Pride and Prejudice. Peneliti menggunakan teori Molina & Albir (2002) untuk mengidentifikasi teknik yang digunakan dan teori dari Nababan, dkk (2012) dalam menilai kualitas terjemahan. Analisis kualitas terjemahan hanya dibatasi pada keakuratan (accuracy) dan keberterimaan (acceptability) saja. Peneliti melibatkan rater untuk menilai kualitas terjemahan.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah cara maksim Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle) yang terjadi pada tiap tuturan menjawab (answering) yang dilakukan oleh penutur? 2. Teknik penerjemahan apa sajakah yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan tindak tutur menjawab (answering) dalam dua versi novel yang berjudul Pride and Prejudice beserta terjemahannya? 3. Bagaimanakah kualitas terjemahan tindak tutur menjawab (answering) dalam dua versi novel terjemahan Pride and Prejudice berdasarkan tingkat keakuratan dan keberterimaannya?
16
4. Bagaimanakah dampak teknik penerjemahan yang digunakan di setiap tuturan menjawab (answering) terhadap kualitas terjemahan tuturan menjawab dalam dua versi novel Pride and Prejudice?
D. Tujuan Penelitian Dengan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis ada dan tidaknya pelanggaran maksim Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle) dalam tindak tutur asertif menjawab (answering) yang digunakan tokoh-tokoh dalam dua versi novel terjemahan yang berjudul Pride and Prejudice. 2. Mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan tindak tutur asertif menjawab (answering) yang digunakan tokoh-tokoh dalam dua versi novel Pride and Prejudice. 3. Menilai kualitas terjemahan tuturan menjawab (answering) dalam dua versi novel terjemahan Pride and Prejudice, yang mencakup keakuratan dan keberterimaannya. 4. Menjelaskan dampak teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas terjemahan tuturan menjawab (answering) dalam dua versi novel Pride and Prejudice.
17
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis. 1. Maanfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas, berkaitan dengan penggunaan tindak tutur menjawab (answering) dalam dua versi novel terjemahan Pride and Prejudice.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa,
khususnya
mahasiswa
linguistik
minat
utama
penerjemahan yang tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai prinsip kerjasama (cooperative principle) yang ada pada tuturan menjawab (answering) dalam kajian ilmu penerjemahan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memberikan
penilaian
tentang
tingkat
keakuratan
dan
keberterimaan hasil terjemahan dengan digunakannya beberapa teknik dalam novel Pride and Prejudice.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini nantinya dapat digunakan dan diterapkan oleh penerjemah karya sastra agar lebih teliti dalam menerjemahkan tindak tutur. Setidaknya, penelitian ini dapat memberikan referensi
18
bagi para penerjemah agar lebih memperhatikan suatu konteks situasi yang merupakan aspek penting dan tidak dapat dipisahkan dengan tindak tutur. Dalam hal ini, terjemahan akan lebih berkualitas jika penerjemah memiliki background ilmu linguistik, khususnya pragmatik.
Peneliti lain dapat mengembangkan penelitian yang lebih mendalam di bidang karya sastra, khususnya novel terjemahan.