BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat-obatan dengan tujuan medis secara legal diresepkan oleh dokter atau tenaga medis untuk mengobati penyakit. Namun, pemakaian obat tanpa petunjuk medis merupakan suatu bentuk penyalahgunaan yang dapat berakibat fatal di kemudian hari apabila penggunaannya tak terkontrol. Masalah penyalahgunaan NAPZA kini telah menjadi ancaman nasional yang harus diperhatikan bersama dalam hal pencegahan dan penanganannya. Jumlah kasus NAPZA tahun 2007 – 2011 yang berhasil ditemukan oleh POLRI adalah 138.475 kasus. Sementara itu, hingga tahun 2011, BNN berhasil mengungkap kasus tindak pidana NAPZA dan prekursornya sebanyak 152 kasus sejak ditetapkannya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, September 2009 lalu (BNN, 2012). Berdasarkan data BNN (2012), jumlah tersangka kasus NAPZA yang berhasil diungkap tahun 2007 – 2011 adalah sejumlah 189.294 orang dengan jenis narkoba terbanyak yang disalahgunakan adalah ganja, shabu-shabu dan minuman keras. Dari total angka tersebut, 173.268 di antaranya adalah laki-laki dan sebanyak 16.026 wanita. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena berdasarkan temuan BNN tersebut, sebesar 47.5 % tersangka kasus NAPZA tersebut merupakan kalangan generasi muda yang berusia 16 – 29 tahun. Dilansir dari Badan Narkotika Nasional melalui pernyataan ketua umumnya, Gories Mere, total penyalahguna NAPZA di Indonesia tahun 2008
1
2
adalah 1,99%. Dan meningkat menjadi 2.2% dari total penduduk pada tahun 2011. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah penyalahguna NAPZA sudah meningkat menjadi 2.8% atau setara 5.8 juta jiwa (www.kompas.com, 2012). Dari penelitian yang dilakukan BNN dan Universitas Indonesia, prevalensi penyalahguna NAPZA adalah 2.44% yakni 4.32 juta jiwa penduduk Indonesia. Perkiraan peningkatan jumlah prevalensi penyalahguna NAPZA tahun 2013 bisa mencapai 2.56% atau 4.58 juta orang dan tahun 2014 sekitar 2.68% atau 4.85 juta orang. Jumlah tersebut diprediksi masih akan terus meningkat menjadi 5.1 juta orang pada tahun 2015 atau naik 34 persen dari total penyalahguna pada tahun 2011 (www.kompas.com, 2012). Di Yogyakarta sendiri, kepala Badan Narkotika Nasional wilayah Yogyakarta, Budi Harso mengatakan jumlah pengguna NAPZA pada 2008 diperkirakan mencapai 68 ribu orang atau 2,72 persen. Sedangkan pada 2011, pengguna NAPZA mencapai 69 ribu atau 2,8 persen. Ditilik dari angka yang cukup besar tersebut, diperkirakan pengguna NAPZA di Yogyakarta pada 2015 mencapai 109.675 orang (www.tempo.co, 2013). NAPZA kini bukan hanya menyerang kalangan ekonomi menengah ke atas, bahkan kalangan anak-anak jalananpun kini tak luput dari jerat kekang NAPZA. Berdasarkan temuan BNN, berbagai kalangan dan institusi yang banyak terlibat kasus NAPZA sejak 2007 - 2011 adalah PNS (0.7%), Polisi/TNI (0.7%), swasta (42.3%), wiraswasta (24.4%), buruh (10.4%), tani (2.3%), mahasiswa (1.7%) dan pelajar 1.7% kasus (BNN, 2012). Hal ini membuktikan bahwa dewasa ini, NAPZA
telah berhasil menjerat berbagai kalangan dan institusi. Apabila hal ini terus
3
dibiarkan luput dari perhatian, maka dalam hitungan waktu, Indonesia akan kehilangan generasi penerusnya. Martono (2006) mengatakan bahwa tergantung pada jenis dan cara pemakaiannya, penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis B/C, pengerasan hati, radang jantung, pikun, depresi, dan psikosis. Selain itu juga berakibat pada memburuknya hubungan dengan keluarga, masalah keuangan, terlibat perbuatan ilegal, kecelakaan atau bahkan kematian. Temuan
Profesor
Dadang
Hawari
menyebutkan
bahwa
alasan
menggunakan NAPZA pada umumnya adalah untuk menghilangkan rasa cemas, kesedihan, depresi, rasa tertekan dan ketakutan serta sulit tidur (Gunawan, 2006). Beratnya beban kehidupan yang dihadapi setiap orang menyebabkan timbulnya tekanan, konflik, kecemasan, maupun stres. Sekarang ini, tak jarang kaum intelektual yang tidak mampu mengelola stres dengan baik, sehingga berakibat dalam kesalahan pengambilan keputusan untuk mengatasi stres tersebut (Mahendra, 2010). Seringkali keputusan yang diambil justru membawa ke keadaan yang lebih terpuruk misalnya penyalahgunaan NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA erat kaitannya dengan stres karena stres muncul akibat
adanya
stresor
(Wulandari,
2006).
Kecanduan
berawal
dari
ketidakmampuan mengatasi kesulitan hidup, sehingga salah satu pelarian yang ditempuh adalah melupakan permasalahan tersebut dengan mengkonsumsi Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif berbahaya lainnya (Wulandari dkk, 2009).
4
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan Narkotika Golongan I, II atau III untuk diri sendiri baik dalam bentuk tanaman ataupun bukan tanaman merupakan tindak pidana. Hal ini selaras dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 yang mengatur mengenai Psikotropika. Dalam kedua Undang-undang tersebut juga telah jelas diatur mengenai hukuman pidana dan hukuman denda terkait penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika. Penanganan kasus penyalahgunaan ini tidak hanya dengan menjatuhkan pidana tetapi juga perlu direhabilitasi secara medik dan sosial. Narapidana yang telah terbukti menyalahgunakan NAPZA maupun yang sedang menunggu putusan sidang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan pembinaan. Yogyakarta sendiri telah memiliki sebuah lembaga pemasyarakatan Narkotika yang khusus memberikan pembinaan terhadap narapidana kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ini terletak di daerah Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Lapas Narkotika Yogyakarta ini dalam melaksanakan pembinaan warga binaan penyalahguna NAPZA bekerjasama dengan Rumah Sakit Ghrasia. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan tujuan dari Sistem Pemasyarakatan yaitu ReIntegrasi Sosial yang di implementasikan dalam pembinaan dan pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan termasuk rehabilitasi medis dan sosial sehingga dengan demikian terjadi penggabungan unsur pidana dan rehabilitasi (www.lapasnarkotika-yogya.com, 2013).
5
Meskipun telah menjalani rehabilitasi dan pembinaan, narapidana ataupun penyalahguna tersebut akan tetap mengalami stres akibat berbagai tekanan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan. Survei awal penelitian Siburian (2010) di Pusat Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Sehat Mandiri Semarang mendapatkan hasil bahwa dari 37 orang yang diikutsertakan dalam survei awal tersebut, 17 orang di antaranya menyatakan mengalami stres dan depresi selama menjalani proses rehabilitasi. Keadaan yang terisolasi, rasa bosan dan kemungkinan adanya kekerasan fisik menjadi stresor pervasif bagi warga binaan (Brown & Ireland, 2005). Distres akan meningkat pada minggu-minggu awal di lembaga pemasyarakatan dan menurun seiring dengan adaptasi. Namun tidak menutup kemungkinan warga binaan akan terus mengalami tingkat stres yang signifikan (Brown & Ireland, 2005). Stres kronis meningkat pada penyalahguna zat (Moos et al.,1989; Tate et al., 2006) dan hal ini erat kaitannya dengan kejadian relaps penggunaan zat (Brown et al., 1990; Tate et al., 2006, 2008 dalam Cole, 2010). Stres ini dapat menjadi pemicu terjadinya relaps meskipun mantan penyalahguna telah keluar dari pusat rehabilitasi atau lembaga pemasyarakatan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan mantan pecandu mengalami relaps adalah pasien mengalami stres atau frustasi yang akan membuatnya kembali melarikan diri pada narkoba (Hawari dalam Wulandari, 2009). Menurut hasil penelitian Ariskasuci (dalam Pantjalina, 2012) seorang mantan pecandu yang kembali ke lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal,
6
dan lingkungan kerja mengalami hambatan dalam berinteraksi akibat stigma negatif dalam masyarakat. Pantjalina (2012) menjelaskan lebih lanjut bahwa apabila pecandu dalam kondisi stres atau apabila menghadapi tekanan baik dari dalam dirinya maupun dari luar maka besar kemungkinan pecandu tersebut akan mengalami relaps. Menurut Ziyad (dalam Bayani&Hafizhoh, 2011) untuk sembuh dari ketergantungan, seorang pecandu harus memiliki kecerdasan adversitas, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengubah tantangan menjadi peluang (Stoltz, 2000). Penelitian Ekasari dan Hafizhoh (2009) menyebutkan bahwa rendahnya tingkat kecerdasan adversitas pengguna dihubungkan dengan alasan utama menggunakan NAPZA yaitu ketidakmampuan mengatasi masalah dan kesulitan hidup yang dihadapi, menyebabkan rendahnya intensi atau dorongan untuk sembuh dari pengaruh NAPZA. Sehingga apabila individu memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi, individu tersebut akan mampu menghadapi kesulitan atau hambatan yang ditemui. Berdasarkan studi pendahuluan berupa wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 29 April 2013 dengan Kasubsi BIMKEMASWAT yang menangani pembinaan dan perawatan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika diperoleh hasil bahwa kapasitas LP mampu menampung hingga 474 warga binaan. Sementara total warga binaan adalah 327 orang. Aktivitas pembinaan setiap hari dimulai pukul 7 pagi hingga 5 sore berupa piket membersihkan lingkungan LP dan pembekalan berbagai keterampilan hidup. Para warga binaan diberikan kebebasan untuk memilih keterampilan yang ingin dikuasai seperti
7
perbengkelan, salon, laundry, menjahit, dan berbagai keterampilan lainnya. Warga binaan juga mendapatkan hak untuk ditemui oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya pada hari kerja kecuali jumat selama 15 menit meskipun tidak dapat berinteraksi secara bebas karena dipisahkan oleh sekat. Warga binaan boleh ditemui secara bebas pada hari-hari besar seperti Lebaran, Hari Kemerdekaan dan Hari Ulang Tahun Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan juga dilengkapi dengan fasilitas poliklinik dengan 2 dokter umum dan 2 perawat serta dibantu oleh beberapa tahanan pendamping untuk menangani kasus ringan. Sementara untuk kasus yang perlu penanganan khusus akan dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai dengan pengawasan khusus oleh petugas. Sementara hasil studi pendahuluan berupa wawancara dengan salah seorang warga binaan pada tanggal 19 Juni 2013 diperoleh kesimpulan bahwa warga binaan merasakan tekanan dan stres meskipun tidak sampai mengganggu aktivitasnya dalam mengikuti pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Rasa tertekan dan stres tersebut dirasakan karena terbatasnya interaksi dengan dunia luar dan orang-orang terdekatnya. Warga binaan hanya bisa berinteraksi dengan sesama
warga
binaan
dan
petugas.
Rutinitas
pembinaan
di
lembaga
pemasyarakatan juga terkadang menimbulkan rasa bosan bagi warga binaan, meskipun pihak petugas lembaga pemasyarakatan telah berusaha melengkapi berbagai fasilitas di lembaga pemasyarakatan demi kenyamanan warga binaan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merasa perlu meneliti hubungan antara kecerdasan adversitas dengan tingkat stres
8
pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan terbesar seseorang menyalahgunakan NAPZA adalah karena mengalami stres atau tekanan akibat kurang mampu dalam mengatasi kesulitan hidupnya. Bahkan tekanan atau stres tersebut juga yang dapat menyebabkan seseorang mengalami relaps atau kekambuhan dan kembali menggunakan NAPZA. Sedangkan kecerdasan adversitas menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan tingkat stres pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasan adversitas dengan tingkat stres pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan adversitas pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta. b. Untuk mengetahui tingkat stres pada penyalahguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta.
9
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah ilmu kesehatan jiwa dan ilmu keperawatan jiwa, terutama mengenai hubungan antara kecerdasan adversitas dan tingkat stres pada penyalahguna NAPZA. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Perawat Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan
profesionalisme
dan
mutu
pelayanan
keperawatan,
khususnya perawatan psikologi dan kejiwaan untuk pasien penyalahguna NAPZA baik pasien baru maupun pasien relaps. b. Bagi Pusat Rehabilitasi terkait Memberikan masukan untuk perencanaan dan pengembangan kesehatan dalam memberikan pelayanan yang komprehensif khususnya bagi sisi psikologi pasien rehabilitasi NAPZA baik pasien baru maupun pasien relaps. Selain itu diharapkan dapat melihat pentingnya melatih komponenkomponen kecerdasan adversitas dan mekanisme pertahanan diri dari stres pada penyalahguna NAPZA supaya membantu proses pemulihan dan memberikan bekal kepada pasien agar tetap bertahan meskipun telah keluar dari pusat rehabilitasi maupun lembaga pemasyarakatan. c. Bagi Klien, Keluarga dan Masyarakat Sebagai informasi mengenai bahaya penyalahgunaan NAPZA dan meningkatkan
komponen-komponen
kecerdasan
adversitas
serta
10
mekanisme pertahanan diri dari stres atau tekanan akibat masalah hidup supaya mempercepat masa pemulihan dan tetap bertahan meskipun telah keluar dari pusat rehabilitasi maupun lembaga pemasyarakatan. d. Bagi Peneliti Meningkatkan keilmuan peneliti dalam penelitian selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan adversitas dengan tingkat stres pada penyalahguna NAPZA belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian tentang penyalahgunaan NAPZA dengan kecerdasan adversitas dan tingkat stres yang pernah dilakukan yaitu : 1. Wulandari et al., (2009) meneliti tentang kecerdasan adversitas dan intensi sembuh pada pengguna narkoba di panti rehabilitasi di Semarang. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik purposive sampling dalam pengambilan sampelnya. Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya hubungan yang signifikan antara kecerdasan adversitas dengan intensi sembuh. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pada variabel independen kecerdasan adversitas dan metode penelitian yang menggunakan pendekatan cross-sectional. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian Wulandari adalah variabel dependen, tempat penelitian dan teknik pengambilan sampel. Variabel penelitian ini adalah tingkat stres. Penelitian Wulandari dilakukan di pusat rehabilitasi di Semarang, sedangkan peneliti akan melakukan penelitian
11
di lembaga pemasyarakatan narkotika Yogyakarta dengan teknik simple random sampling. 2. Penelitian Wulandari (2006) mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan
stres
pada
narapidana
penyalahguna
NAPZA
di
lembaga
pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan stres. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah pada variabel dependen yaitu stres dan metode penelitian yang menggunakan pendekatan cross-sectional. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada variabel independen. Penelitian Wulandari menggunakan variabel independen dukungan sosial, sementara peneliti variabel penelitian ini adalah kecerdasan adversitas. Perbedaan lainnya terletak pada tempat dilakukannya penelitian. Wulandari melakukan penelitian di lembaga pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta sementara peneliti akan melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta dengan teknik simple random sampling. 3. Penelitian Hajidah (2009) meneliti hubungan antara emotional quotient dan adversity quotient dengan tingkat stres pada korban lumpur lapindo di Pengungsian Baru Desa Kedungsolo Porong Sidoarjo. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa Emotional Quotient dan Adversity Quotient secara bersama-sama mempengaruhi tingkat stres korban lumpur lapindo. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah pada variabel terikat tingkat stres. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan
12
peneliti adalah pada variabel bebas dan teknik pengambilan sampel. Penelitian Hajidah meneliti tentang variabel bebas Emotional Quotient dan Adversity Quotient sedangkan variabel bebas peneliti hanya kecerdasan adversitas. Selain itu, responden penelitian yang menjadi target peneliti adalah penyalahguna NAPZA di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan responden penelitian Hajidah adalah korban lumpur lapindo.