BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah homo socius atau makhluk sosial (Berger & Luckmann, 1966). Berger & Luckmann (1966) menjelaskan bahwa sejak kelahirannya, manusia telah memiliki dorongan alamiah untuk lekat terhadap sesama manusia dan bersosialisasi dengan sesama manusia selama seseorang tidak menjelani hidupnya sepenuhnya dalam kondisi terisolasi. Kontak dengan individu lain sejak kelahiran akan membentuk identitas primer seseorang sebagai manusia dan membentuk unconscious bond yang menjadi motif paling mendasar seseorang berinteraksi dan bersosialisasi nanti bahwa kita adalah sesama manusia. Kontak dan sosialisasi dalam hal ini tidak berhenti sampai dengan berinteraksi dengan sesamanya, sosialisasi nantinya akan membuka pintu untuk membangun hubungan yang berdasarkan afeksi dan bersifat mendalam (Baumeister & Bushman, 2008). Keinginan akan ikatan emosional ini bisa dibilang merupakan kebutuhan universal dari semua manusia, setingkat dengan kebutuhan untuk makan, minum, dan seks (Baumeister & Leary, 1994 dalam Taylor, Papleau & Sears, 2006). Seiring dengan perkembangan seseorang, individu akan mengalami berbagai macam kontak dan sosialisasi dengan sesamanya, baik itu dengan orang tua, saudara, ataupun orang lain diluar keluarga inti mereka. Kontak dengan manusia lain ini akan membawa satu konsep baru dalam konsep diri seseorang yang disebut sebagai diri sosial (the social self) (Mead, 1913). Diri sosial berbicara tentang bagaimana seiring dengan interaksi, diri sosial tumbuh dengan evaluasi dan refleksi orang lain terhadap diri individu. Proses ini dikenal dengan istilah looking glass self (Cooley, 1902). Sehingga social self bukanlah satu yang terpisah melainkan satu objek
integral dalam konsep diri (self) seseorang dan bersifat saling mempengaruhi. 1
2
Dalam kehidupan sehari-hari, individu nantinya dihadapkan pada banyak konteks relasi dengan berbagai macam konsep diri sosial. Individu dapat menjadi seorang suami, seorang ayah, seorang atasan, seorang rekan kerja, seorang teman, seorang anak, bahkan seorang musuh. Relasi-relasi tersebut dikarakterisasi oleh perpaduan kepentingan, ketertarikan, afeksi, maupun ketergantungan antara masing-masing pribadi yang menghasilkan definisi relatif tentang diri sosial seseorang. Perspektif inkrimental pada sisi yang lain, memandang relasi sebagai sesuatu yang dapat berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu, contohnya relasi anak dan orang tua akan bergerak ke arah yang lebih setara seiring bertambah dewasa dan mandirinya anak. Sehingga anak mulai mengembangkan ketertarikan di luar keluarga dan membangun relasi yang lebih dekat dengan teman sebayanya. Relasi tidak hanya bersifat expanding seperti yang dicontohkan di atas, di sisi lain relasi juga memiliki fungsi in-depth di mana individu-individu yang terlibat dalam sebuah konteks relasi seperti pertemanan berpotensi untuk memperdalam relasi mereka lebih jauh, sehingga menjadi bentuk relasi lain seperti pertemanan dekat / persahabatan dan hubungan romantis. Berbicara tentang persahabatan, dalam sebuah petuah lama, Aristoteles (dalam Laërtius, 1925) pernah mengatakan “Sahabat adalah satu jiwa yang bernaung dalam dua raga”. Begitupun seorang filusuf negeri timur jauh (Cina), Mencius, juga mengatakan hal yang serupa “Sahabat adalah satu pikiran yang berada dalam dua raga”. Kata-kata dan petuah tersebut tidaklah berlebihan, karena persahabatan memang sebuah bentuk aktivitas manusia yang penting dan penuh makna (Caroline, 1993). Fenomena persahabatan menjadi menarik untuk dieksplorasi untuk mengungkap apa yang menyebabkan seorang yang awalnya asing, bisa menjadi bagian dari jaringan relasi dekat seseorang bahkan memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupannya.
3
Pengaruh teman dekat sebagai figur signifikan semakin terasa ketika seseorang beranjak menjadi seorang remaja. Collins & Steinberg (2006) dan Perlman (1988) sama-sama menyatakan bahwa seiring dengan beranjaknya seseorang menjadi remaja, ia akan memindahkan pola ketergantungan untuk dukungan dan interaksi dari orang tua ke jaringan yang lebih besar, jaringan pertemanan. Hubungan pertemanan kemudian semakin menjadi okupasi sentral di dalam diri seorang remaja (Brown & Klute, 2003),
dan berusaha
melepaskan diri dan berusaha mandiri dari orang tuanya (Arnett, 1977 dalam Rice & Dolgin, 2008). Sehingga menurut Studi Hartup & Stevens (1997) seorang remaja akan menghabiskan sepertiga waktunya dalam sehari dengan teman-temannya. Maka dari itu, peran seorang teman dekat menjadi salah satu buffer krusial bagi remaja menghadapi masa transisi di mana seseorang berubah baik secara fisik maupun psikologis. Fase remaja merupakan fase yang penuh dengan storm and stress (Rice & Dolgin, 2008) sehingga remaja membutuhkan figurfigur pendukung yang berperan sebagai buffer atau pelindung dari efek negatif fase tersebut. Akan tetapi studi mengenai dinamika relasi persahabatan sendiri masih jarang ditemukan. Jersild (1965) secara khusus menyebutkan bahwa faktor yang menarik dua orang remaja untuk bersama-sama membentuk relasi persahabatan sangatlah kompleks dan belum dipahami secara baik. Pendapat Jersild (1965) tersebut tidaklah berlebihan. Kompleksitas dalam memahami dinamika relasi interpersonal khususnya relasi persahabatan disebabkan karena bahasan mengenai relasi tidak pernah lepas dari konteks-konteks yang mengikat individu yang berinteraksi seperti konteks budaya, konteks sosial dan konteks lingkungan. Apabila dinamika relasi pada kultur budaya barat dibandingkan dengan dinamika relasi pada kultur budaya timur maka kemungkinan besar akan terdapat perbedaan. Sementara budaya barat lebih menganut pada budaya individualistik, budaya timur dikatakan lebih menganut budaya kolektivistik (Triandis, 2001). Budaya individualistik
4
merupakan budaya yang dikarakterisasi dengan kuatnya fokus terhadap ego atau ke-diri-an. Pencapaian individu, pengembangan diri serta kebebasan individu merupakan cita-cita individu yang tumbuh besar dalam budaya individualistik. Budaya kolektivistik pada sisi yang lain, lebih menekankan harmoni sosial serta masyarakat yang solid sebagai cita-cita kolektif mereka (Muluk & Murniati, 2007). Perbedaan core kebudayaan tersebut akan berpengaruh pada perbedaan cara berpikir dan cara berperilaku, termasuk pola relasi interpersonal yang dalam hal ini dikhususkan pada relasi persahabatan. Pengalaman Peneliti mengenai pola relasi di Barat, khususnya negara Norwegia menunjukkan hal yang menarik. Tidak ada aktivitas nongkrong pada waktu-waktu senggang setelah aktivitas sehari. Sementara pemandangan yang berbeda nampak di negara-negara Asia dimana malam tidak menjadi pembatas interaksi antar individu. Tempat-tempat seperti kafe, taman, atau pingir jalan sekalipun selalu ramai dengan orang-orang yang berinteraksi, bersosialisasi antara satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan aktivitas relasional merupakan suatu okupasi sentral dalan keseharian individu yang berasal dari kultur kolektivistik apabila dibandingkan dengan individu yang memiliki latar belakang kultur individualistik. Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang menganut kolektivisme sebagai core budayanya. Nilai-nilai seperti guyub (bersatu; rekat) dan rukun (harmonis) adalah spirit yang selalu ada dalam diri orang Jawa (Koentjaraningrat, 1994). Memahami hal yang demikian, maka dapat dipahami apabila isu persahabatan menjadi bahasan sentral dalam teori mainstream psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Karena network relasi individu yang berasal dari budaya Barat tidak seluas network relasi individu dalam budaya Timur. Kebutuhan untuk membangun relasi yang dalam dengan membangun kelekatan menjadi besar akibat sempitnya network relasi. Sementara itu kebutuhan relasi dekat seperti persahabatan bagi individu dari kultur budaya Timur seharusnya tidak sebesar kebutuhan individu dari kultur budaya barat karena kebutuhan untuk berinteraksi dengan
5
intens dapat dipenuhi dengan mudah berkat luasnya network relasi mereka, akan tetapi studi yang membuktikan hal tersebut masih belum ada. Studi yang mencoba memahami bagaimana orang dari kultur budaya timur memandang sebuah relasi dekat seperti persahabatan akan sangat menarik untuk dilakukan. Mengingat seharusnya persahabatan bagi individu yang memiliki latar belakang budaya timur memiliki makna dan urgensi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan individu dari kultur budaya barat berkat kekayaan network relasi dan mudahnya mengakses interaksi interpersonal dalam budaya timur.
B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dua hal, yang pertama adalah definisi dan ciri-ciri sahabat menurut remaja SMA yang memiliki latar belakang budaya Jawa. Kedua adalah dinamika relasi persa habatan yang diambil dari pengalaman remaja SMA yang memiliki latar belakang budaya Jawa.
C. 1.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis a.
Hasil penelitian ini didedikasikan untuk pengembangan kajian relasi interpersonal yang menggunakan perspektif Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki kultur kolektif.
b.
Hasil penelitian ini juga didedikasikan untuk memperkaya hasil penelitian dan pengembangan paradigma indigenous psychology khususnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
6
c.
Hasil penelitian ini juga berfungsi sebagai kajian empirik mengenai salah satu dimensi relasi, relasi pertemanan dan pertemanan dekat yang menjadi salah satu poin bahasan dalam psikologi sosial dan psikologi perkembangan.
2.
Manfaat Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan yang secara khusus menangani remaja seperti SMP dan SMA. Penelitian ini ditujukan juga agar untuk mengembangkan intervensi pada remaja melalui agen teman dekat.