BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya penggunaan tanaman obat dalam kesehatan dengan semboyan “back to nature”, keingintahuan masyarakat terhadap khasiat dan manfaat tanaman obatpun semakin berkembang. Saat ini masyarakat mulai menyadari bahwa pemakaian bahan kimia sering menimbulkan efek samping sehingga lebih memilih menggunakan bahan alami yang berasal dari tumbuhan. Hal tersebut berdampak pada perkembangan teknologi produksi obat tradisional. Sebagian besar perusahaan obat tradisional tidak lagi memproduksi obat dalam bentuk-bentuk sediaan tradisional tetapi sudah mulai dalam bentuk sediaan obat modern yang menggunakan ekstrak sebagai bahan dasarnya. Salah satu kriteria ekstrak yang baik adalah mengandung senyawa aktif yang diharapkan, dalam kuantitas dan kualitas yang baik sehingga diharapkan memiliki aktivitas biologis paling tinggi (Anonim, 2000a). Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan selektif, optimalnya suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan melakukan pengujian terhadap aktivitas biologisnya. Untuk mendapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan suatu proses optimasi. Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang. Salah satu contoh pemanfaatan
1
2
SLD dalam bidang farmasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Aeni (2011) tentang optimasi komposisi pelarut pada ekstraksi herba sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.)Ness) dengan metode simplex lattice design berdasarkan respon penghambatan peroksidasi lipid. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk betina Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk secara kimiawi merupakan cara yang paling banyak digunakan saat ini karena dapat mengendalikan nyamuk dalam waktu yang relatif singkat. Dikarenakan efek samping yang ditimbulkannya cukup besar maka pemakaiannya juga harus berhati-hati. Banyaknya masalah yang dapat ditimbulkan oleh insektisida menjadi dasar pemikiran tentang cara apa yang lebih aman untuk membasmi nyamuk dalam hal ini bentuk larvanya. Sirih (Piper betle Linn) merupakan tanaman yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Row dan Ho (2009) menyebutkan bahwa minyak atsiri, ekstrak metanol dan ekstrak air daun sirih menunjukkan adanya aktivitas sebagai larvasida, anti mikroba, dan antioksidan. Berdasarkan hasil penelitian Tennyson dkk. (2012) diketahui bahwa ekstrak metanol daun sirih memiliki aktivitas terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 sebesar 313,58 ppm. Dari hasil penelitian tersebut ekstrak daun sirih memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai larvasida alami. Daun sirih dipilih karena keberadaannya yang mudah ditemukan di Indonesia sehingga diharapkan pemanfaatannya menjadi lebih mudah dan lebih ekonomis.
3
B. Rumusan masalah 1. Bagaimanakah komposisi pelarut etanol-air yang digunakan dalam menyari daun sirih, sehingga dapat dihasilkan ekstrak dengan aktivitas larvasida terhadap Aedes aegypti paling tinggi dengan menggunakan metode SLD? 2. Bagaimanakah profil senyawa yang tersari dalam tiap perbandingan cairan penyari? C. Tujuan penelitian 1. Menentukan komposisi pelarut etanol-air yang digunakan dalam menyari daun sirih sehingga dapat dihasilkan ekstrak yang memiliki aktivitas larvasida paling tinggi terhadap Aedes aegypti. 2. Mengetahui profil metabolit sekunder yang tersari dalam tiap perbandingan cairan penyari dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis. D. Manfaat Penelitian Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh suatu metode ekstraksi dengan pelarut yang optimal dalam penyarian daun sirih. Ekstrak daun sirih dari komposisi pelarut yang terbaik mampu menghasilkan aktivitas larvasida terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan mempertimbangkan faktor keekonomian sehingga dapat diaplikasikan untuk membuat ekstrak dau sirih sebagai larvasida alami yang ramah lingkungan serta lebih ekonomi.
4
E. Tinjauan pustaka 1. DAUN SIRIH (Piper betle L) Sirih (Piper betle) termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon lain. Menurut Anonim (2000b), tanaman sirih diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper betle L.
Deskripsi Tanaman sirih ini panjangnya mampu mencapai puluhan meter. Bentuk daunnya pipih menyerupai jantung dan tangkainya agak panjang. Permukaan daun berwarna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek (hijau agak kecoklatan) dan permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Daun sirih disamping untuk keperluan ramuan obat-obatan juga masih sering digunakan oleh ibu-ibu generasi tua untuk kelengkapan ‘nginang’ (Haryanto, 2009).
5
Ciri fisik Tanaman sirih tumbuh merambat, mirip tanaman lada. Tingginya mencapai 515 m, tergantung pertumbuhan dan tempat rambatnya. Batangnya berwarna hijau kecoklatan. Daun sirih berbentuk jantung dan berwarna kekuningan, hijau tua, atau hitam. Sirih kuning banyak dipakai untuk makan sirih karena rasanya yang kurang pedas. Rasa sirih hijau tua pedas sehingga banyak dipakai untuk obat karena kandungan minyak atsirinya lebih tinggi. Sirih berdaun hitam biasanya digunakan sebagai obat. Permukaan daun agak kasar jika diraba. Bunganya tersusun dalam bulir, merunduk, dan panjangnya 5-15 cm. Buahnya merupakan buah buni, berbentuk bulat, berdaging, dan berwarna kuning. Tanaman sirih menyukai tempat yang terbuka atau sedikit terlindung, yang penting ada rambatan (Fauziah, 2007) Nama lokal Betel (Prancis), Betel, Betelhe, Vitele, (Poertugal), Ju jiang (China), Sirih (Indonesia) (Haryanto, 2009). Ranub (Aceh), Sereh (Gayo), Belo (Batak), Burangir (Mandailing), Afo (Nias), Cabai (Mentawai), Siho (Kerinci), Sirih (Palembang), Sirieh (Minangkabau), Cambai (Lampung), Furukuwe (Enggano), Seureuh (Sunda), Suruh (Jawa tengah), Base (Bali), Leko (Sasak), Nahi (Bima), Kowak (Sumba), Mengi (Ende), Malu (Solor), Malo (Alor), Dontile (Gorontalo), Parigi ((Toli-toli), Gamnjeng (Makasar), Gies (Halmahera), Bido (Ternate) (Anonim, 2000b).
6
Kandungan kimia Minyak atsiri 1 % - 4,2 %, di dalamnya mengandung: golongan monoterpen (inocole 2,4-4,8% dan p. cymael 1,2-2,5%), seskueterpen (caryophyllene 3,0–9,8% dan cadinene 2,4–5,8%), phenylpropane (chavibetol 2,7–6,2%, eugenol 26,8–42,5%, eugenol metil eter 4,2–13,8%, kavikol 7,2-16,7% dan hidroksikavikol), fenol (karvakol 2,2-5,6%) (Moeljanto dan Mulyono, 2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Periyanayagam dkk (2012), menunjukkan senyawa yaitu saponin, karbohidrat, protein dan asam amino juga terkandung dalam daun sirih. Daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari betlefenol, kavikol, seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol, estragol, eugenol, dan karvakrol. Beberapa penelitian ilmiah menyatakan bahwa daun sirih juga mengandung gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Sementara itu, kandungan taninnya relatif sama. Selain itu sirih juga mengandung terpena, flavonoid dan saponin (Moeljanto dan Mulyono, 2003). Kegunaan Tanaman Daun sirih hijau telah lama dikenal oleh nenek moyang sebagai daun multi khasiat. Sirih selain untuk ramuan tradisional paling banyak dipakai untuk nyirih atau nginang (Jawa). Beberapa literatur menyebutkan bahwa daun sirih selain sebagai bahan utama untuk menginang, juga mempunyai kemampuan stypic (menahan pendarahan), vulnerary (menyembuhkan luka kulit), stomachic (obat saluran
7
pencernaan), menguatkan gigi dan membersihkan tenggorokan. Karvakol dan kavikol dalam minyak atsiri menimbulkan aroma yang harum. Dua bahan ini bisa bermanfaat sebagai antiseptis alami. Menurut Sastrohamidjojo (1988) derivat fenol (eugenol dan kavikol) yang terkandung dalam daun sirih berkhasiat sebagai antiseptik dan khususnya kavikol diketahui mempunyai daya pembunuh bakteri lima kali fenol. Kandungan minyak atsiri daun sirih hijau memiliki daya bunuh kuman (bakteriosidal) dan jamur (fungisidal) (Moeljanto dan Mulyono, 2003). Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Prakash dkk (2010) menunjukkan bahwa kandungan eugenol dalam minyak atsiri dapat memberikan efek anti fungal terhadap A. flavus, aflatoksin suppressor dan memberikan efek antioksida. Dalam penelitiannya, Row dan Ho (2009) menyebutkan bahwa ekstrak metanol, minyak atsiri dan ekstrak air daun sirih dapat memberikan aktivitas sebagai larvasida, antimikroba dan antioksida. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Row dan Ho (2009) ekstrak metanol daun sirih menunjukkan efek sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada 125 ppm sedangkan pada minyak atsirinya menunjukkan aktivitas sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada 48 ppm. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tennyson dkk (2012) yang menyebutkan bahwa ekstrak metanol dari daun sirih memiliki aktivitas terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 sebesar 313,58 ppm
8
2. Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor penyebab penyakit demam berdarah. Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut (Sudarto, 1990) Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Bangsa
: Dipthera
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Jenis
: Aedes aegypti
Siklus hidup Nyamuk Aedes aegypti termasuk ordo Diptera dengan metamorfosis sempurna. Stadium-stadium terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Setiap harinya nyamuk Aedes aegypti betina bertelur rata-rata 100 butir. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan sampai mencapai instar keempat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk. Nyamuk betina dewasa sebagai penghisap darah manusia dan hewan untuk sarana pematangan telur-telur yang dihasilkannya karena kebutuhan protein yang ada dalam darah. Telur yang telah
9
matang diletakkan satu persatu di tepi permukaan air pada lubang pohon dan tempat/wadah yang tergenang air (Ginanjar, 2007). Ciri-ciri dan morfologi 1) Telur Telur Aedes aegypti berwarna hitam, tampak bulat memanjang dan berbentuk jorong (oval) berukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung. Telur Aedes aegypti seperti sarang tawon, telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu -2° C sampai 42° C (Sumarmo,1983). Di alam bebas telur diletakkan satu persatu menempel pada dinding wadah/tempat perindukan terlihat sedikit diatas permukaan air. Waktu penetasan 1-2 hari atau dapat lebih lama bergantung pada keadaan air di wadah/tempat perindukan. Telur Aedes aegypti dapat bertahan 1 bulan dalam kondisi kering dan jika terendam air telur kering dapat menjadi larva (Ginanjar, 2008). 2) Larva Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva stadium (instar) I, larva instar 1 melakukan 3 kali pengelupasan kulit (moulting), berturut-turut menjadi larva instar 2, 3 dan instar 4. Pada larva 4 (akhir) akan melakukan pengelupasan kulit dan berubah bentuk menjadi stadium pupa (Henda, 2006). Larva instar I sangat kecil, berwarna transparan, duri-duri pada thoraks belum jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar dan corong pernafasannya sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap
10
struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen) (Sumarmo, 1983).
Gambar 1. Penampang segmen utama pada larva nyamuk Aedes aegypti (WHO, 1995)
Larva Aedes aegypti biasa bergerak lincah dan aktif, dengan memperlihatkan gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Kusnindar, 1990). 3) Pupa Stadium pupa merupakan stadium akhir dalam air. Stadium pupa berbentuk bengkok dengan kepala-dada (cephalothorax) lebih besar dibandingkan bagian perutnya dan bernafas dengan sepasang organ berbentuk terompet (Peters, 2007) Stadium ini merupakan fase puasa (tanpa makan) dan sangat sensitif terhadap
11
pergerakan air. Jika terjadi pergerakan air maka pupa akan bergerak cepat menyelam ke dalam air kemudian muncul kembali dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air (Cahyati dan Sunaryo, 2006). 4) Dewasa Stadium dewasa nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun atas 3 bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Aedes aegypti dewasa tumbuhnya berwarna hitam mempunyai bercak putih keperakan atau putih kekuningan. Pada toraks bagian dorsal terdapat bercak putih yang khas bentuknya berupa 2 garis sejajar di bagian tengah toraks dan 2 garis lengkung di tepi toraks (Soedorto, 2011). Perbedaan nyamuk betina dan jantan adalah pada bagian mulut dan antena. Nyamuk betina memiliki antena tipe-pilosse dan mulut tipe penusuk-penghisap (piercing-sucking) sehingga mampu menghisap darah manusia. Nyamuk
dewasa
betina mencari makan dengan menghisap darah manusia atau hewan pada siang hari. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung seperti pakaian. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan mengigit berulang, yaitu mengigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini akan beresiko dalam memindahkan virus dengue ke beberapa orang sehingga ada laporan penderita demam dengue dalam satu rumah. Nyamuk jantan mencari makan dengan menghisap sari buah atau bunga. Nyamuk jantan biasanya tidak pergi jauh dari tempat perindukan, menunggu nyamuk betina untuk berkopulasi (Sumarmo, 1983).
12
Gambar 2. Bentuk thorax pada nyamuk Aedes aegypti betina dewasa (WHO,1995)
Nyamuk betina sebagai vektor menyimpan virus tersebut pada telurnya. Nyamuk jantan akan menyimpan virus pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual. Selanjutnya nyamuk betina tersebut akan menularkan virus ke manusia melalui gigitan. Selain itu nyamuk dapat mengambil virus dengue dari manusia yang mempunyai virus (viremia) tersebut (Satari dan Meiliasari, 2008). 3. PENYARIAN Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahanbahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987). Beberapa parameter yang mempengaruhi ekstraksi menurut Agoes (2007) adalah
13
1. Pengembangan/pemelaran bahan tanaman 2. Difusi, pH, ukuran partikel dan temperatur 3. Pilihan pelarut ekstraksi Untuk melakukan ekstraksi zat aktif tertentu dari bahan tanaman secara sempurna, pelarut yang ideal adalah pelarut yang menunjukkan selektivitas maksimal, mempunyai kapasitas terbaik ditinjau dari koefisien saturasi produk dalam medium, dan kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi (Agoes, 2007). Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu: derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, serta koefisien difusi. Proses penyarian dapat dipisahkan menjadi: pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan. Penyarian dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan konsentrasi yang terdapat di lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai oleh zatzat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan pemindahan massa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong tersebut hingga makin cepat penyarian (Anonim, 1986). Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan
14
yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi (Anonim, 2000 a). Maserasi dilakukan dengan cara meredam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya yang lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). SIMPLEX LATTICE DESIGN Salah satu metode optimasi formula adalah simplex lattice design. Prosedur ini dapat digunakan untuk menentukan proporsi bahan-bahan yang menghasilkan formulasi dengan variabel atau hasil yang ditentukan paling baik. Respon permukaan dan daerah optimum dapat diperoleh dengan penerapan metode simplex lattice design. Misalnya akan diteliti pengaruh 2 macam pelarut, yaitu A dan B terhadap kelarutan zat aktif X. Tiga macam percobaan dibuat untuk melihat pengaruh pelarut tersebut, yaitu 100 % A, 100 % B, dan 50 % - 50 % campuran A dan B ( Bolton, 1987 ).
15
Prinsip dasar SLD adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap suatu parameter. Dasar dari metode ini adalah adanya dua variabel bebas A dan B. Rancangan ini dibuat dengan memilih tiga kombinasi dari campuran dua variabel tersebut dan dari setiap kombinasi diamati respon yang didapat. Respon yang diharapkan haruslah yang paling mendekati tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya baik maksimum atau minimum. Hubungan antara respon dan komponen dapat digambarkan dengan rumus : Y = a [ A] + b [ B ] + ab [A] [B] Keterangan : Y : respon yang diharapkan a, b, ab = koefisien yang didapat dari percobaan [ A] [ B] = fraksi ( bagian ) komponen dengan persyaratan : 0
≤ [ A] ≤ 1, 0 ≤ [ B] 0 ≤ 1
Nilai respon yang didapat dari hasil percobaan disubstitusikan ke dalam persamaan di atas, maka dapat dihitung nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai koefisien ini telah diketahui, dapat pula dihitung nilai Y (respon) pada setiap variasi campuran A dan B sehingga didapatkan gambaran profilnya. 4.
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, selain
kromatografi kertas dan kromatografi elektroforesis. KLT merupakan metode
16
pemisahan campuran analit dengan mengelusi analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pengecatan. Dalam bentuknya yang paling sederhana, lempeng-lempeng KLT dapat disiapkan di laboratorium, lempeng diletakkan dalam wadah dengan ukuran yang sesuai, lempeng diletakkan dalam wadah dengan ukuran yang sesuai, lalu kromatogram hasil dapat di-scanning secara visual. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium, atau lempeng plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2012). Sampel senyawa uji diaplikasikan pada fase diam dalam bentuk totolan kecil atau pita. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Komponenkomponen suatu senyawa akan bergerak karena adanya fase gerak dengan jarak tempuh yang berbeda pada fase diam, biasanya disebut pengembangan kromatogram. Perbedaan jarak tempuh setiap komponen senyawa disebabkan karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak. Interaksi yang mungkin terjadi pada pemisahan senyawa dengan metode kromatografi diantaranya ikatan hidrogen, transfer muatan atau ikatan Van der Waals.
17
Evaluasi dilakukan dengan pengamatan secara visual dan membandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak tersebut umumnya dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor) yang merupakan hasil bagi antara jarak yang ditempuh senyawa terlarut dengan jarak yang ditempuh pelarut. Perhitungan nilai Rf seperti rumus seperti di bawah ini : Rf =
Angka Rf
jarak yang ditempuh senyawa terlarut jarak yang ditempuh pelarut
berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua
desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Sherma, 1996). Selain dengan pengamatan di bawah sinar UV, deteksi juga dilakukan dengan pereaksi semprot. Yang harus diperhatikan pereaksi warna harus mencapai pelat KLT dalam bentuk tetesan yang sangat halus sebagai aerosol, dan bukan sebagai semprotan kasar. Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan waktu tertentu. Pemanasan yang baik apabila penyebaran suhunya seragam. Pereaksi semprot yang digunakan dalam uji kromatografi ini adalah AlCl3, anisaldehid asam sulfat dan FeCl3. Pembanding yang digunakan dalam uji kromatografi yakni asam galat, rutin dan stigmasterol. F. LANDASAN TEORI Ekstrak metanol daun sirih telah terbukti memiliki aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 sebesar 313,58 ppm (Tennyson, 2012). Row
18
dan Ho (2009) menyebutkan bahwa ekstrak metanol daun sirih memberikan aktivitas larvasida pada 125 ppm dan minyak atsiri pada 48 ppm. Senyawa-senyawa aktif dalam daun sirih seperti saponin, fenol, dan flavonoid dapat disari dengan baik bila digunakan pelarut yang optimal. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air. Kandungan senyawa yang terdapat pada daun sirih dapat larut dalam komposisi pelarut etanol:air. Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari (Anonim, 1986). Percobaan optimasi pelarut ini dapat menggunakan metode SLD yang memiliki rumusan perhitungan yang akan menghasilkan perbandingan pelarut yang optimal (Bondari, 2005). Metode ini terbukti dapat digunakan untuk memperkirakan campuran pelarut etanol:air yang digunakan sehingga menyempurnakan penyarian kandungan kimia yang terdapat pada daun dan didapatkan ekstrak dengan respon larvasidal paling tinggi. G. HIPOTESIS 1. Campuran pelarut etanol-air yang digunakan dalam penyarian daun sirih dapat menyari senyawa aktif yang terkandung dalam daun sirih sehingga menghasilkan ekstrak yang memiliki aktivitas larvasidal terhadap larva Aedes aegypti. 2. Perbedaan komposisi pelarut etanol dan air pada ekstraksi daun sirih akan menyari senyawa kimia yang berbeda pada eksrak daun sirih