BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan merupakan komoditas yang semakin dicari dan bernilai tinggi seiring laju zaman. Dari waktu ke waktu, kepemimpinan terus berkembang sehingga memicu ketertarikan banyak orang. Ia adalah isu global yang membuat khalayak umum terpesona dan terkesan dengan konsepnya. Orang-orang pun terus menanyai diri sendiri dan orang lain tentang cara menjadi pemimpin yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar orang terus mencari informasi bagaimana menjadi pemimpin yang efektif (Northouse, 2013). Kesadaran masyarakat Indonesia terkait dengan kepemimpinan pun semakin besar dari waktu ke waktu. Salah satu indikator yang mampu menjelaskan peristiwa ini adalah proses pemilihan umum atau pemilu. Prinsip atau asas yang dianut dalam pemilu di Indonesia adalah LUBER yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, BEbas, dan Rahasia”. Asas “LUBER” sudah ada sejak zaman Orde Baru atau pada tahun 1966. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas “JURDIL” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan adil” (kpu.go.id). Pemilu di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014 (pemiluindonesia.com). Adapun semenjak tahun 2004 masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang diinginkan. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana masyarakat hanya diberi kesempatan untuk memilih anggota legislatif saja (id.wikipedia.org). Proses pemilihan umum presiden Indonesia pada tahun 2014 secara tidak langsung mewakili tingginya animo masyarakat terkait dengan isu kepemimpinan. Pada akhirnya
1
2
terpilih sepasang presiden dan wakil presiden berdasarkan suara mayoritas, namun setelah beberapa bulan bekerja masih ada pula masyarakat Indonesia yang kurang puas dengan para pemimpin tersebut. Sebagaimana hasil survey yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia yang menunjukkan 74,6 % sampel masyarakat Indonesia masih belum puas dengan kepemimpinan presiden terpilih (republika.co.id). Berbagai masalah kepemimpinan pun menghadang para pejabat tinggi di Indonesia maupun jajaran di daerah. Baik masalah lama yang tak terselesaikan, maupun masalah baru yang terus bermunculan. Berdasarkan berbagai sumber yang dikumpulkan oleh peneliti, masyarakat mengganggap belum ada pemimpin ideal yang tepat untuk mengarahkan tujuan sebuah bangsa. Permasalahan korupsi, suap dan pungutan liar yang merajalela menjadi salah satu bahasan utama (pusakaindonesia.org). Di samping itu, masyarakat juga resah dengan kesenjangan sosial yang semakin besar tiap tahunnya. Ketimpangan sosial ini ditinjau dengan Indeks Gini yang menunjukkan kecenderungan perbedaan pendapatan antara kelas atas dan kelas bawah (bps.go.id). Ginting (2014) menyatakan bahwa tren kenaikan Indeks Gini dimulai pada tahun 2004 yang berkisar antara 0,35-0,38 yang masih tergolong moderat. Akan tetapi, Indeks Gini Indonesia menembus angka 0,41 sejak tahun 2011 dan belum ada tanda-tanda penurunan hingga saat ini (neraca.co.id). Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketimpangan pendapatan yang tinggi dan dapat berujung pada masalah sosial (Ginting, 2014). Berbagai macam permasalahan kepemimpinan pejabat tinggi di Indonesia pun mengakibatkan muncul dan memburuknya beberapa hal yang telah penulis sampaikan di atas. Seorang pemimpin memiliki tantangan berupa kuatnya sistem kapitalis, buruknya lingkungan bisnis, infrastruktur tak merata, dan tingginya tingkat korupsi (gallup.com). Di samping itu banyak pemimpin eksekutif yang gagal menunjukkan konsistensi antara
3
perkataan dan perbuatan yang dilakukan, hal ini dapat mengakibatkan hilangnya rasa percaya dari para pengikut (Simons, 2002). Ratanjee dan Wu (gallup.com, 2013) mengungkapkan bahwa sebagian besar permasalahan dan tantangan bangsa Indonesia berawal dari sistem kepemimpinan yang tidak sesuai. Keduanya menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin autentik untuk menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang ada. Kepemimpinan autentik diyakini tepat untuk diterapkan karena berfokus pada pencapaian positif dibandingkan membesar-besarkan kekurangan (Peterson & Luthans, 2003; Jensen & Luthans, 2006). Di samping itu kepemimpinan autentik mengedepankan trust sehingga berujung pada keamanan emosional yang lebih tinggi pada pengikut (Avolio, Gardner, Walumbwa, Luthans, & May, 2004). Pemimpin yang autentik juga toleran dengan ambiguitas serta terbuka pada pengalaman dan perubahan. Kepemimpinan autentik menurut Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing, dan Peterson (2008) adalah pola perilaku pemimpin yang menggunakan dan mendukung kapasitas psikologis serta iklim etis positif untuk memperkuat pemahaman diri, perspektif moral, pengolahan informasi yang seimbang, serta transparansi hubungan antara pemimpin dan pengikut demi memperkuat pengembangan diri yang positif. Kepemimpinan autentik mengacu pada “keaslian” yang berfokus pda sinkronisasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang (Gardner & Schermerhorn, 2004). Proses menginternalisasi kepemimpinan autentik tidak hanya diperuntukkan bagi pejabat tinggi dan pemimpin yang berkuasa saat ini saja, akan tetapi juga para mahasiswa perguruan tinggi Indonesia. Hal ini dikarenakan para mahasiswa perguruan tinggi merupakan himpunan cendekiawan yang berpotensi menjadi agen perubahan sehingga memiliki andil besar terhadap kemajuan bangsa dan negara. Perguruan tinggi pun sebenarnya memiliki potensi besar sebagai agen perubahan bagi lingkungan (Stephens,
4
Hernandez, Roman, Graham, & Scholz, 2008), selain itu sudah kewajiban perguruan tinggi untuk mengabdi pada masyarakat sebagaimana yang tercantum di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (academia.edu). Agen perubahan merujuk pada seseorang yang mencari cara untuk meningkatkan kapasitas dan motivasi suatu kelompok untuk belajar, berkembang, serta berubah dengan usaha sendiri demi masa depan (Tosi et al., 1994 dalam Kolltveit, Hennestad, & Gronhaug, 2012). Seorang agen perubahan secara tersirat diharapkan memiliki inisiatif, mampu memfasilitasi dan memberi pengaruh terhadap orang lain. Pada waktu yang bersamaan, agen perubahan memiliki peran untuk mendeteksi dan merespon gejolak perubahan yang ada di lingkungan (Alessa & Kliskey, 2012). Dalam rangka mencapai tujuannya, seorang agen perubahan perlu melakukan beberapa strategi seperti: a) memiliki modal baik secara materi, status sosial, maupun inteligensi, b) mampu bekerja sama dengan orang lain, c) memahami situasi kondisi terkait, dan d) menjalin jaringan dengan tokoh lain (DeRose, 2004). Berbagai karakteristik yang dibutuhkan oleh agen perubahan tersebut sedikit banyak terwakili oleh mahasiswa. Masyarakat bangsa bahkan mendorong mahasiswa untuk menjadi
agen
yang
mengusung
perubahan
demi
kesejahteraan
bersama
(edukasi.kompasiana.com; suarapembangunan.net). Sejarah mencatat berbagai peranan mahasiswa di Indonesia yang terkait dengan perubahan bangsa. Gerakan mahasiswa adalah kunci dari perubahan bangsa yang kemudian diikuti pula dengan perubahan era. Pada tahun 1966 misalnya, masyarakat pada saat itu menilai keadaan negara Indonesia sudah sangat parah baik dari segi ekonomi maupun politik (Raillon, 1985). Gelombang demonstrasi menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pun semakin keras, namun pemerintah tidak segera mengambil tindakan (Langenberg, 2004). Oleh karena itu, para mahasiswa memelopori kesatuan aksi kemudian memberikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta
5
ormas-ormasnya, (2) perombakan cabinet Dwikora, dan (3) turunkan harga sembako. Berselang satu bulan kemudian, Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle cabinet, namun tetap menyertakan simpatisan PKI. Hal ini membuat para mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasi Tritura kemudian memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Rentetan aksi demonstrasi tersebut menjadi salah satu penyebab tercetusnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) oleh Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto yang kemudian diikuti dengan era orde baru (id.wikipedia.org). Gerakan mahasiswa pun terjadi pada tahun 1974 yang mengalami konfrontasi dengan militer menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh mahasiswa disusul dengan aksi anarki yang mengakibatkan terbakarnya berbagai fasilitas umum pada tanggal 15 Januari 1974 yang terkenal dengan julukan Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) (Pusponegoro & Notosusanto, 2009). Peristiwa ini muncul karena mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Di samping itu, pemerintah dianggap tidak membuka jalan aspirasi masyarakat karena gaya kepemimpinan yang top down (Pusponegoro & Notosusanto, 2009). Pada tahun 1977 gerakan mahasiswa muncul dan bergejolak secara masif akibat peristiwa pemilu 1977. Berbagai masalah penyimpangan politik, strategi pembangunan, dan kepemimpinan nasional menjadi isu utama. Awalnya pemerintah berusaha melakukan pendekatan terhadap mahasiswa sehingga dibentuk Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di perguruan tinggi, namun upaya ini ditolak oleh mahasiswa. Pada akhirnya mahasiswa diserbu pihak militer kemudian diikuti dengan dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Soeharto terpilih menjadi presiden untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiwa pun tak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan
6
mahasiswa tersebut dianggap bersejarah karena tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional (Pusponegoro & Notosusanto, 2009). Gerakan mahasiswa kembali mengubah era bangsa pada tahun 1998. Krisis ekonomi dan dwifungsi ABRI menjadi isu utama yang digunakan mahasiswa dalam melakukan aksi. Keadaan bangsa yang tidak kondusif kemudian mendorong mahasiswa untuk menuntut lengsernya presiden yang sedang berkuasa serta dihapusnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demonstrasi tersebut kemudian memicu aksi massif di berbagai pelosok bangsa. Mobilisasi mahasiswa untuk memaksa presiden melepas jabatan berujung pada tindakan represif yang dilakukan pihak militer untuk meredam gerakan ini di antaranya Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, serta Tragedi Lampung (Zon, 2004). Gerakan ini pun berujung pada pendudukan gedung DPR/MPR serta keputusan Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya (Aritonang, 1999). Wakil Presiden Habibie kemudian ditunjuk sebagai pengganti Presiden yang diikuti dengan munculnya era reformasi (Habibie, 2006). Mahasiswa telah diyakini masyarakat sebagai agen perubahan yang mampu membawa keadaan menjadi lebih baik. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa memiliki pengaruh bagi masyarakat, baik itu mengarah ke hal positif maupun negatif. Tindakan mahasiswa pun bisa menjadi trend setter di masyarakat, terlebih lagi ketika mahasiswa tersebut aktif di dalam organisasi dan bahkan memegang jabatan pimpinan organisasi. Mahasiswa yang menjadi pemimpin atau aktif di dalam organisasi akan lebih diakui di dalam masyarakat dan dipersepsikan memiliki kemampuan intelektual tersendiri (tribunnews.com). Mahasiswa sebagai intelektual muda yang memiliki sikap kritis dan berani menghadapi perubahan ini pun mampu menorehkan berbagai prestasi yang layak dihargai.
7
Pencapaian dalam skala nasional maupun internasional telah banyak digaungkan oleh mahasiswa. Pencapaian yang dimaksud antara lain meliputi bidang kewirausahaan, penelitian, gerakan kemanusiaan, kejuaraan, penjelajahan, hingga inovasi dalam berbagai aspek kehidupan (Banjarmasin.tribunnews.com; solopos.com; tempo.co.id). Berbagai prestasi yang diraih oleh mahasiswa ini pun membawa angin segar dan menjanjikan perubahan bangsa ke arah yang positif. Berita pencapaian para mahasiswa yang membesarkan hati masyarakat terhadap perubahan ke arah positif ini pun tak jarang ternoda. Di samping banyaknya berita positif, hal-hal negatif yang dilakukan oleh oknum-oknum mahasiswa pun cukup marak. Banyak oknum
mahasiswa
yang
terjerat
kasus
narkoba,
prostitusi,
bahkan
pencurian
(metro.nes.viva.co.id; tribunnews.com). Tidak hanya itu, beberapa oknum mahasiswa bahkan melakukan aksi anarkis yang merugikan banyak orang (republika.co.id). Berita mengenai mahasiswa yang terlibat dalam tawuran antar kelompok atau bahkan antar universitas, bentrok, dan aksi kekerasan lainnya pun turut menghiasi berita dalam negeri (medanbisnisdaily.com; news.detik.com; news.okezone.com). Berbagai fenomena tersebut pun menggiring masyarakat untuk mengasosiasikan mahasiswa dengan kerusuhan. Hal ini dapat bertambah buruk apabila masyarakat memaklumi peristiwa tersebut bahkan mengikuti karena pelakunya adalah mahasiswa. Para mahasiswa memang tidak murni di satu sisi, baik saja atau buruk saja, melainkan di kedua sisi. Berdasarkan fenomena di atas kita mengetahui bahwa ada mahasiswa yang memberikan harapan positif sebagai agen perubahan di masa yang akan datang, ada pula oknum mahasiswa yang menimbulkan perasaan pesimis untuk masa depan bangsa. Oleh karena itu, masyarakat harus mampu menempatkan orang yang tepat untuk posisinya. Right man in the right place. Posisi yang dimaksud dalam hal ini adalah posisi pemimpin dengan gaya kepemimpinan autentik.
8
Gaya kepemimpinan autentik perlu dimiliki mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin di masa yang akan datang. Mahasiswa dengan gaya kepemimpinan yang baik diasumsikan mampu memimpin dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Salah satu alasan mengapa kepemimpinan autentik diyakini mampu menghadapi berbagai masalah dalam lapisan-lapisan kepemimpinan Indonesia adalah karena karakteristik yang dimiliki oleh para pemimpin autentik. Karakteristik tersebut beberapa di antaranya adalah integritas, konsistensi (Whitener, Brodt, Korsgaard & Werner, 1998), keadilan, akuntabilitas, dan kejujuran (Gardner, Avolio, Luthans, May, Walumbwa, 2005). Karakteristik tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia menurut temuan gallup.com yaitu kepercayaan (trust), welas asih (compassion), stabilitas emosi (stability), dan harapan (hope). Pentingnya kepemimpinan autentik bagi masyarakat Indonesia sayangnya tidak diimbangi dengan fasilitas untuk menunjang pengembangannya. Padahal konsep kepemimpinan autentik itu sendiri sudah muncul pada saat para ahli mengkaji kepemimpinan transformasional lebih dari satu dekade yang lalu. Bahkan Luthans dan Avolio pada tahun 2003 telah mengenalkan konsep kepemimpinan autentik yang mengedepankan moral dan etika. Oleh karena itu seringkali pemimpin tidak menyadari bahwa ia memiliki gaya kepemimpinan autentik. Keadaan ini membutuhkan kajian penelitian yang lengkap dan mendalam, namun penelitian terkait kepemimpinan autentik di Indonesia belum banyak didalami. Hal ini terlihat dari jumlah ketersediaan hasil penelitian terkait kepemimpinan autentik yang masih sangat terbatas. Salah satu kendala yang dihadapi para peneliti ketika mengkaji kepemimpinan autentik adalah ketersediaan alat ukur kepemimpinan autentik. Atribut gaya kepemimpinan autentik memang telah dirinci oleh para ahli, namun masih sedikit instrumen untuk mengukur atribut ataupun perilaku kepemimpinan autentik. Pemberian intervensi dengan
9
harapan agar pemimpin lebih autentik tentu saja tidak akan efektif apabila alat ukur untuk mengukur kepemimpinan tersebut masih sangat kurang. Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing, dan Peterson (2008) mengembangkan alat ukur kepemimpinan autentik yaitu Authenthic Leadership Questionnaire (ALQ), yang sekarang menjadi alat ukur utama dalam studi terkait kepemimpinan autentik. ALQ memang menjadi acuan alat ukur kepemimpinan autentik, namun ALQ bersifat komersil sehingga akses untuk mendapatkannya cukup sulit. Berselang tiga tahun kemudian Neider dan Schriesheim (2011) mengenalkan Authentic Leadership Inventory (ALI) yang dapat digunakan sebagai alat ukur alternatif. Permasalahan utama yang muncul pada kedua riset tersebut adalah hasil ukur kepemimpinan autentik yang berbeda tergantung pada subjek ukur yang dijelaskan sehingga pengumpulan data dari beberapa sampel mutlak diperlukan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan alat ukur kepemimpinan autentik pada mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Tujuan Penelitian 1. Menyusun alat ukur kepemimpinan autentik yang sesuai dengan mahasiswa S1 di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Terciptanya alat ukur kepemimpinan autentik yang dapat diterapkan.
C. Manfaat Penelitian 1. Tersedianya alat ukur kepemimpinan autentik yang dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut. 2. Diharapkan adanya pemikiran dan dorongan lebih lanjut bagi para cendekiawan untuk mengupas kepemimpinan autentik.