BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaru diukur berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan IV-2015 mencapai Rp 11.540,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp 45,2 (Badan Pusat Statistik. 2016. www.bps.go.id. diakses pada tanggal 28 Februari 2016). Angka tersebut cenderung rendah untuk dapat disebut sebagai negara maju, pada triwulan terakhir, Indonesia masih menjadi salah satu Negara berkembang. Status Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang tengah berkembang, tentunya berdampak melaksanakan
pembangunan
pada pemerintah yang termotivasi untuk
nasional.
Pembangunan
yang
sedang
giat
dilaksankan antara lain dari sektor perekonomian, sosial, budaya, keamanan, pertahanan, pendidikan, hingga politik. Pembangunan
nasional
dibidang
perekonomian
yang
maju
dapat
diindikasikan dari bergeraknya perekonomian masyarakat dan dunia usaha. Salah satu faktor yang menunjang dalam pembangunan dibidang perekonomian adalah sektor jasa keuangan. Sektor jasa keuangan sendiri terdiri dari berbagai lembaga keuangan yang merupakan suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang jasa keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, yang terdiri dari penghimpunan dana, menyalurkan, dan/atau jasa keuangan lainnya (Kasmir, 1998:2). Kegiatan sektor jasa keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang selanjutnya disebut UU OJK, dalam pasal 4 meliputi kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal dan IKNB (Industri Keuangan Non Bank). Pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan. Pengertian pasar modal yaitu sebagai suatu kegiatan yang
1
2
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. Terakhir yang dimaksud dengan IKNB (Industri Keuangan Non Bank) adalah kegiatan jasa keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan selain bank yang mencakup Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Lembaga Penjaminan, Pegadaian, Perusahaan Perasuransian, dan lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industri keuangan non bank lainnya. Kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah lembaga di sektor jasa keuangan tersebut banyak menimbulkan permasalahan, yang meliputi tindakan
moral
hazard (risiko moril), belum optimalnya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan mendorong diperlukannya pembentukan lembaga di sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Zulkarnain Sitompul, 2012:3). Tentunya dalam rangka pengintegrasian tersebut di perlukan adanya suatu lembaga yang mengawasi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undangundang, hal ini yang menjadikan dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Menurut Pasal 4 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil serta mampu melindungi konsumen dan masyarakat, sesuai dengan tujuan tersebut. OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional, yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing nasional. Pasal 4 UU OJK juga menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan melakukan tugas pengaturan dan pengawasan secara terpadu, independen, dan akuntabel terhadap:
3
1.
Kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan;
2.
Kegiatan jasa keuangan di bidang pasar modal; dan
3.
Kegiatan jasa keuangan di bidang IKNB (Industri Keuangan Non Bank) Indonesia memiliki lembaga keuangan yang merupakan salah satu lembaga
keuangan di Industri Keuangan Non Bank yang memiliki peranan penting terhadap usaha-usaha masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan yang bersifat mikro. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disebut LKM (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro). Banyaknya jenis Lembaga Keuangan Mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, sampai saat ini menunjukkan bahwa LKM sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan, khususnya bank umum, akan tetapi pengaturan dari aspek hukumnya belumlah jelas (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro). LKM yang berkembang di Indonesia belum seluruhnya didukung dengan ketentuan hukum dan sistem pengawasan atau pembinaan yang memadai. Pengaturan dan pengawasan LKM yang berkembang di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi yang berbeda. Beberapa LKM belum mempunyai suatu pengaturan yang jelas. Dengan demikian perlu disusun suatu pengaturan yang mencakup seluruh jenis LKM yang ada saat ini (Aditya Pramudia, 2013:4). Berdasarkan latar belakang di atas Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Pembentukan LKM dijiwai oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 33 Ayat (1) UUDNRI 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 Ayat (4)UUDNRI 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
4
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pembentukan LKM pada prinsipnya ditujukan sebagai upaya untuk memberikan dorongan pembiayaan bagi usaha mikro. LKM diharapkan dapat berperan sebagai lembaga pembiayaan bagi Usaha Mikro sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan, dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakkan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini antara lain memuat ketentuan umum, asas, tujuan, bentuk hukum, pendirian, permodalan, kepemilikan, perizinan, kegiatan usaha, cakupan wilayah usaha, penjaminan simpanan dan pinjaman, kepengurusan, pertukaran informasi, penggabungan, peleburan, pembubaran, pembinaan, kerja sama, pengawasan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup (Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro). Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menyebutkan beberapa kegiatan usaha LKM antara lain kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan
simpanan,
maupun
pemberian
jasa
konsultasi
pengembangan usaha. Kegiatan usaha tersebut merupakan pelayanan jasa yang diberikan oleh LKM kepada pengguna jasa LKM, sehingga dari kegiatan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya risiko kerugian yang didapatkan pengguna jasa LKM. Oleh sebab itu pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, OJK berwenang memberikan perlindungan dengan melakukan tindakan pencegahan kerugian penyimpan dan masyarakat yang meliputi: 1.
Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik dan kegiatan usaha LKM;
5
2.
Meminta LKM untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut .berpotensi merugikan masyarakat; dan
3.
Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Isi dari ketentuan pada Pasal 25 di atas dirasa belum dapat mengakomodasi
perlindungan hukum terhadap risiko kerugian yang akan dialami pengguna jasa LKM terhadap kegiatan pengguna jasa LKM secara terperinci, sehingga OJK juga mengeluarkan beberapa peraturan terkait perlindungan bagi konsumen atau pengguna jasa sektor jasa keuangan antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Menurut Pasal 1 Angka 2 POJK tersebut memuat aturan-aturan untuk melindungi konsumen, namun yang dimaksud konsumen dalam peraturan tersebut adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di sektor jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dalam peraturan OJK ini tidak menyebutkan bahwa pengguna jasa LKM sebagai salah satu konsumen sektor jasa keuangan yang dilindungi. Pasal 1 Angka 1 POJK tersebut juga menjelaskan terkait pengertian pelaku jasa keuangan antara lain bank umum, perusahaan efek, penasihat investasi, bank kustodian, dana pensiun, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, lembaga pembiayaan, perusahaan gadai, dan perusahaan penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah, namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa dalam pasal tersebut tidak menyebutkan keberadaan LKM sebagai salah satu lembaga di sektor jasa keuangan yang di awasi oleh OJK. Dapat disimpulkan bahwa Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, belum dapat mengakomodasi perlindungan terhadap pengguna jasa LKM yang mengalami risiko kerugian. Sama halnya dengan POJK tersebut dalam Pasal 1 Angka 1 dan 2 belum menyertakan baik pengguna jasa LKM sebagai salah satu konsumen di sektor jasa keuangan yang
6
perlu dilindungi dan LKM sendiri sebagai produsen atau lembaga di sektor jasa keuangan yang perlu diawasi oleh OJK. Selain alasan tersebut di atas adapun kelemahan lainnya antara lain terkait syarat-syarat pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen oleh OJK tidak memungkinkan bagi LKM yang kegiatan usahanya dalam lingkup kecil (mikro) serta tidak ditentukannya ruang lingkup kerugian yang dialami oleh pengguna
jasa
LKM
yang
terkait
(Kaffi
Wanatul
Ma’wa.
2015.
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1223. diakses pada tanggal 15 November 2015). Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, terdapat permasalahan terkait norma-norma yang mengatur tentang pentingya pengguna jasa LKM untuk dilindungi terhadap risiko kerugian yang dialami dan kekosongan hukum terkait mekanisme perlindungan hukum pengguna jasa LKM terhadap risiko kerugian sehingga penulis tertarik mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut di atas untuk mengetahui secara mendalam mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa keuangan terutama LKM atas kerugian yang diterima melalui penulisan hukum yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA JASA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO TERHADAP RISIKO KERUGIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, disusunlah suatu rumusan masalah oleh penulis untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian hukum ini, maka permasalahan yang akan dikaji yaitu: 1.
Mengapa pengguna jasa Lembaga Keuangan Mikro perlu dilindungi?
2.
Bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna jasa Lembaga Keuangan Mikro terhadap risiko kerugian? C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Objektif a.
Mengetahui pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM; dan
7
b.
Mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM terhadap risiko kerugian.
2.
Tujuan Subjektif a.
Memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Strata (satu) dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; dan
b.
Menambah ilmu pengetahuan serta pengaplikasiannya dibidang hukum perdata melalui pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian
Nilai sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang diambil dari adanya penelitian tersebut. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a.
Diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum serta memberikan suatu pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya yang diperoleh dari perkuliahan dengan praktek di lapangan dalam bidang Hukum Perdata khususnya tentang perlindungan hukum terhadap pengguna jasa Lembaga Keuangan Mikro;
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan literatur tambahan dimasa yang ajakn datang bagi penelitian-penelitian lain yang objek kajiannya sama dengan apa yang penulis teliti; dan
c.
Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemecahan-pemecahan atas permasalahan yang dikaji.
2.
Manfaat Praktis a.
Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan dibidang perlindungan hukum pengguna jasa lembaga keuangan mikro;
8
b.
Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat;
c.
Bagi OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk pengawasan sektor jasa keuangan, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai
masukan
agar
nantinya
terwujud
aturan
yang
dapat
mengakomodasi adanya perlindungan hukum pengguna jasa sektor jasa keuangan, khusunya LKM. E. Metode Penelitian Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi yaitu adalah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013:47). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini dijelaskan dalam beberapa poin sebagaiman berikut ini: 1.
Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif, karena ilmu hukum merupakan studi tentang hukum, ilmu hukum tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya merupakan kebenaran empiris (Peter Mahmud Marzuki, 2013:44). Penelitian hukum normatif pada intinya merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penulis ingin menemukan hasil terkait pentingnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM dan juga perlindungan hukum terhadap risiko kerugian yang dialami oleh pengguna jasa LKM.
2.
Sifat Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki ilmu hukum bukan termasuk ke dalam ilmu hukum deskriptif, melainkan ilmu yang bersifat preskriptif. Oleh karena itulah penelitian hukum, baik yang dilakukan oleh praktisi maupun para
9
scholars (sarjana atau cendekiawan), tidak dimulai dengan hipotesis (2013:59). Dalam penelitian ini akan dibahas lebih khusus mengenai pentingnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM dan perlindungan pengguna jasa jika mengalami risiko kerugian. 3.
Pendekatan Penelitian Terkait dengan penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2013:133), serta pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan mempelajari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, sehingga penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang diteliti oleh penulis (Peter Mahmud Marzuki, 2013:135-136).
4.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis data adalah sekunder dan sumber bahan hukum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku tes, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2013:181). a.
Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992; 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
10
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; 6) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum 7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; 8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro; 9) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional; 10) Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bungan Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro; 11) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;dan 12) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.05/2015 tentang perubahan
atas
Peraturan
13/POJK.05/2014
tentang
Otoritas
Jasa
Penyelenggaraan
Keuangan Usaha
Nomor Lembaga
Keuangan Mikro. 13) Naskah Akademik Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan 14) Naskah Akademik Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. b.
Bahan Hukum Sekunder 1.) Buku-buku ilmiah dibidang hukum; 2.) Kamus-kamus hukum; 3.) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana; dan 4.) Jurnal-jurnal bahan hukum.
5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan bahan hukum ini dengan cara membaca, mengkaji dan memberi catatan dari buku, peraturan perundang-undangan,
11
tulisan, dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian, yakni tentang perlindungan hukum pengguna jasa LKM. 6.
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah semua bahan hukum berhasil dikumpulkan dan diidentifikasi, selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum. Dalam melakukan analisis ini peneliti menggunakan cara teknik analisis kualitatif, yaitu dengan meneliti, menganalisis dan mendeskripsikan bahan hukum yang bukan merupakan
kumpulan
angka-angka,
sehingga
dapat
diambil
suatu
kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum yang disusun oleh penulis sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan Pada bab ini penulis menguraikan beberapa sub bab sebagai berikut: A. Latar Belakang Masalah; B. Perumusan Masalah; C. Tujuan Penelitian; D. Manfaat Penelitian; E. Metode Penelitian; dan F. Sistematika Penelitian. BAB II: Tinjauan Pustaka Pada bab ini penulis menguraikan beberapa kerangka teori dan kerangka pemikiran yang menjadi pijakan dalam menjawab permasalahan dari penulisan hukum ini yaitu: A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan tentang Perlindungan Hukum;
2.
Tinjauan tantang Pengguna Jasa;
3.
Tinjauan tentang Lembaga Keuangan; dan
4.
Tinjauan tentang Risiko Kerugian.
B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran akan dituangkan dalam sebuah bagan yang menghubungkan antar latar belakang, permasalahan dan kajian teori
12
sehingga menghasilkan kesimpulan yang menjadi jawaban dari permasalahan yang diajukan dalam penulisan hukum ini. BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai hasil penelitian dengan menganalisis yang akan menghasilkan suatu pembalasan seperti pokok permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu mengenai pentingnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa LKM. Selain itu, dibahas pula tentang perlindungan hukum jika pengguna jasa LKM mengalami risiko kerugian. BAB IV : Penutup Pada bab ini penulis mengemukakan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya serta memberikan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan hukum (skripsi). Daftar Pustaka