1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa gempa bumi banyak terjadi di wilayah Indonesia. Bencana alam gempa bumi tersebut antara lain terjadi beberapa kali di wilayah Aceh, Nias, Padang, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan letak geografis, wilayah kepulauan Indonesia terletak di tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia, yaitu lempeng IndiaAustralia (bagian selatan), lempeng Eurasia (bagian barat dan utara) dan lempeng Pasifik (bagian timur). Oleh karena itu maka wilayah Indonesia merupakan wilayah yang paling sering terjadi gempa bumi (Widyawati dan Muttaqin, 2010). Menurut data rekaman sebaran episentrum gempa bumi dengan magnitudo 5 dari tahun 1900-2000 dan menurut peta daerah gempa bumi di Indonesia, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada di wilayah 4. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang rawan terhadap terjadinya gempa bumi. Selain dikarenakan DIY berada di dekat pertemuan dua lempeng dunia, DIY juga berada di atas jalur gunung berapi yang aktif di dunia. Posisi Ini menjadikan DIY rentan terhadap terjadinya bencana alam gempa bumi tektonik dan gempabumi vulkanik (Dwisiwi et al., 2012). Kewaspadaan sangatlah penting mengingat bahwa jumlah korban jiwa dan kehilangan materi yang tidak sedikit di setiap kejadian bencana, seperti yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Berdasarkan informasi data dari BNPB (2014) jumlah korban mencapai 5.716 orang tewas dan 37.927 orang luka-
2
luka. Gempa bumi tersebut membuat banyak orang terperangkap di dalam rumah khususnya anak-anak dan orang tua karena terjadi di pagi hari sehingga mayoritas korban merupakan orang yang berusia lanjut dan anak-anak yang kemungkinan tidak
sempat
menyelamatkan
diri
ketika
gempa
belangsung.
Hal
ini
memperlihatkan masih lemahnya kesiapan menghadapi bencana di Indonesia (Rinaldi, 2009). Kesiapsiagaan menghadapi bencana didefinisikan sebagai tindakan untuk meningkatkan keselamatan hidup saat terjadi bencana. Kesiapsiagaan juga mencakup tindakan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan
guna
melindungi property dari kerusakan dan kekacauan akibat bencana serta kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan restorasi dan pemulihan awal pasca bencana (Sutton & Tierney, 2006). Beberapa faktor penyebab utama timbulnya banyak korban akibat bencana gempa adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bencana dan kurangnya kesiapan masyarakat dalam mengantisipasi bencana tersebut. Khusus untuk gempa bumi korban yang meninggal banyak terjadi karena tertimpa reruntuhan akibat bangunan yang roboh. Diantara korban jiwa tersebut, paling banyak adalah wanita dan anak-anak (Pribadi & Yuliawati, 2008). Dampak gempa bumi juga terjadi pada bulan Mei 2008 di Wenchuan, Sichuan, China, menyebabkan 7.000 siswa terjebak dalam reruntuhan bangunan sekolah dan di daerah Spitak, Armenia bagian Utara, merenggut nyawa banyak korban karena tertimpa reruntuhan gempa pada saat terjadi jam pelajaran. Korban kebanyakan adalah anak anak dan remaja (UNCRD, 2009).
3
Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang paling berisiko terkena dampak bencana (PP No 21, 2008). Kerentanan anak-anak terhadap bencana dipicu oleh faktor keterbatasan pemahaman tentang risiko-risiko di sekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Berdasarkan data kejadian bencana di beberapa daerah banyak korban terjadi pada anak usia sekolah baik di jam sekolah atapun di luar jam sekolah, hal ini menunjukkan bahwa pentingnya pengetahuan tentang bencana dan pengurangan risiko bencana diberikan sejak dini untuk memberikan pemahaman dan pengarahan langkah-langkah yang harus dilakukan saat terjadi suatu ancaman yang ada di sekitarnya untuk mengurangi risiko bencana (Sunarto, 2012). Lopez et al (2012) menyatakan bahwa keterlibatan anak-anak dalam manajemen bencana memberikan kontribusi yang positip terhadap penyelamatan, pemulihan dan rehabilitasi bencana. Keterlibatan anak-anak merupakan komponen dalam pengurangan risiko bencana. Kegiatan pengurangan risiko bencana sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Hal tersebut juga didukung didalam Undang-undang no 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ditegaskan di dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana juga terdapat pada peraturan pemerintah no 21 tahun 2008 dan didukung oleh Konvensi PBB tentang Hak
4
Anak (1989) bahwa anak-anak memiliki hak mutlak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang pada akhirnya akan mempengaruhi hidup dan penghidupan mereka di segala situasi termasuk sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Menurut Setyaningrum (2010) dalam Suhardjo (2011), pendidikan siaga bencana dapat dilakukan sejak dini melalui program siaga bencana disekolah supaya anak-anak dapat mengetahui bagaimana cara menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Pendidikan siaga bencana dapat diawali pada anak usia sekolah dasar karena menurut Piaget, pada masa ini merupakan fase operasional konkret. Dalam dimensi ini anak-anak lebih mengenal kenyataan dan mudah menirukan apa-apa yang diberikan, selain itu kemampuan anak belajar konseptual mulai meningkat dengan pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda, situasi dan pengalaman yang dijumpai (Suprajitno, 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan siaga bencana pada anak usia sekolah dasar merupakan langkah yang sangat strategis karena penanaman konsep sejak dini lebih baik dari pada setelah dewasa, atau tua. Sekolah yang lebih aman diperlukan untuk melindungi hidup anak-anak selama terjadinya bencana. Konsep keselamatan sekolah tidak dibatasi hanya untuk mencegah runtuhnya gedung sekolah saat bencana dan keselamatan guru dan siswa, tetapi lebih luas lagi untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu “manajemen risiko bencana”, karena anak-anak berperan sebagai generasi penerus di masa depan. Apa yang mereka pelajari tentang keselamatan saat ini akan bermanfaat dalam mengembangkan “masyarakat yang tanggap terhadap risiko
5
bencana” dalam jangka panjang. Disinilah pentingnya pendidikan tentang bencana dalam keselamatan sekolah (UNCRD, 2009). Hal tersebut didukung oleh konsorsium pendidikan bencana Indonesia (2011) bahwa sekolah merupakan basis dari komunitas anak-anak. Mereka adalah pihak yang harus dilindungi dan secara bersamaan perlu ditingkatkan pengetahuan kebencanaannya. Sekolah merupakan wahana efektif dalam memberikan efek tular-informasi, pengetahuan, dan keterampilan kepada masyarakat terdekatnya. Dengan demikian, kegiatan pendidikan kebencanaan di sekolah menjadi strategi efektif, dinamis, dan berkesinambungan dalam upaya penyebarluasan pendidikan kebencanaan. Upaya sistematis, terukur, dan implementatif dalam meningkatkan kemampuan warga sekolah, niscaya mampu mengurangi dampak risiko bencana di sekolah. Pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana secara khusus belum masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia (Kemdikbud, 2013). Kondisi tersebut bertentangan dengan Hyogo Framework yang disusun oleh PBB bahwa pendidikan siaga bencana merupakan prioritas, yakni Priority for Action 3: Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at al levels. Pendidikan mitigasi bencana juga telah diterapkan didalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada 113 negara lain, diantaranya Bangladesh, Iran, India, Mongolia, Filipina, Turkey, dan Tonga (UNCRD, 2009). Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan pada lembaga pendidikan terutama pada komunitas sekolah. Beberapa materi yang dapat dilatihkan antara lain teknik mitigasi dan manajemen bencana
6
alam gempabumi. Teknik mitigasi meliputi mitigasi sebelum bencana gempa bumi atau fase pengurangan risiko, upaya perlindungan diri pada saat terjadinya gempa bumi, dan evakuasi setelah gempa mereda serta pertolongan pertama pada korban (Dwisiwi et al., 2012). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa guru sekolah dasar dikelurahan giwangan menyatakan bahwa belum pernah memberikan pelatihan tentang siaga bencana gempa bumi pada siswanya dan belum perlu untuk anak-anak karena mereka adalah tanggung jawab orang tua. Selain
itu
pembelajaran
beberapa
guru
mengatakan
anak-anak
pernah
mendapatkan
siaga bencana gempa bumi hanya satu kali setelah terjadinya
gempa bumi tahun 2006 di Yogyakarta tetapi sampai saat ini tidak pernah dilakukan lagi karena hal tersebut merupakan proyek yang didanai oleh pemerintah. Kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, juga belum pernah diajarkan tentang siaga bencana gempa bumi dan beberapa guru mengatakan sudah cukup padat anak-anak menerima materi pelajaran dan kegiatan. Hal tersebut juga ditunjukkan didalam kurikulum sekolah dasar tahun 2013 belum memasukkan mata pelajaran disaster sebagai mata pelajaran inti tetapi menjadi bagian dari mata pelajaran IPA dan hanya sebatas pengetahuan tentang bencana saja. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan sebuah NGO yang berfokus pada penanganan disaster pada anak dan staff di BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Yogyakarta menyatakan bahwa pendidikan siaga bencana selama ini belum pernah dilakukan pada anak-anak, namun hanya
7
pada perwakilan guru-guru disekolah dengan harapan dapat mengajarkan pada siswa-siswanya. Kelurahan giwangan terletak di selatan kota yogyakarta yang berbatasan dengan kota bantul yang rawan terhadap gempa bumi. Menurut peta kerusakan gempa tahun 2006 yang lalu, daerah giwangan masuk dalam zona moderate damage area. Jumlah sekolah dasar di kelurahan giwangan kecamatan umbulharjo ada lima dengan jumlah siswa 1660. Salah satu dari lima sekolah dasar tersebut merupakan sekolah dasar inklusi yang menyatukan penyelenggaran pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang normal di dalam kegiatan belajar mengajar. ABK merupakan salah satu kelompok paling rentan ketika terjadi bencana. Beberapa dari mereka memiliki hambatan mobilitas untuk melakukan perlindungan bahkan penyelamatan diri secara mandiri sehingga diperlukan adanya informasi bagaimana prosedur atau rencana penyelamatan bagi ABK yang memerlukan bantuan orang di sekitar mereka (misal: guru, teman, staf sekolah). Berdasar dari latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk memberikan edukasi berupa pelatihan tentang siaga bencana gempa bumi terhadap anak-anak sekolah dasar di Kelurahan Giwangan Yogyakarta dengan harapan dapat meningkatkan kesiapsiagaan anak-anak dalam menghadapi bencana gempa bumi.
8
B. Perumusan Masalah Daerah di Indonesia merupakan ring of fire yang terletak pada pertemuan 3 lempeng utama dunia, yakni lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang sering mengalami gempa bumi, namun belum semua anak sekolah terlatih untuk menghadapi bencana gempa bila sewaktu-waktu terjadi. Oleh karena itu perlu dilakukan pelatihan pada anak-anak sekolah dasar bagaimana menghadapi bencana bila sewaktu-waktu terjadi, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pelatihan siaga bencana gempa bumi terhadap kesiapsiagaan anak sekolah dasar dalam menghadapi bencana gempa bumi di Kelurahan Giwangan Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui pengaruh pelatihan siaga bencana gempa bumi terhadap kesiapsiagaan anak-anak sekolah dasar dalam menghadapi bencana gempa bumi di kelurahan Giwangan Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui kemampuan dan keterlibatan anak-anak sekolah dasar dalam melakukan simulasi siaga bencana gempa bumi di kelurahan Giwangan Yogyakarta. b. Untuk mengetahui kesiapsiagaan anak-anak sebelum dan sesudah diberikan pelatihan siaga bencana
9
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu keperawatan gawat darurat anak. 2. Manfaat Praktis a. Bagi pendidik/guru di sekolah dasar Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap guru dan pihak institusi terhadap pentingnya memasukkan kurikulum mengenai pendidikan disaster. b. Bagi anak-anak sekolah dasar Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar bagi penanaman pengetahuan siaga bencana dan kesiapan pada siswa tentang kesiapsiagaan akan bencana serta memberikan daya resilience pada siswa akan akibat bencana.
10
E. Keaslian Penelitian
NO. 1.
2.
Tabel 1.1 Penelitian tentang siaga bencana gempa bumi Nama/ Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian Tahun Dwisiwi SR et Pengembangan teknik Metode penelitian dengan Semua SMP di seluruh mitigasi dan manajemen survei ke lapangan dan Kabupaten Bantul al., 2012 bencana alam gempabumi pengembangan perangkat adalah rawan terhadap bagi komunitas smp di dan prosedur pelatihan gempabumi; tingkat kabupaten Bantul teknik mitigasi dan kesadaran cukup tinggi; Yogyakarta manajemen bencana alam Kesiapsiagaan masih gempa bumi. Sampel yang rendah; Perangkat digunakan adalah komunitas pelatihan teknik SMP di kabupaten Bantul mitigasi dan manajemen bencana alam yang berhasil dikembangkan adalah modul pelatihan, media pelatihan, VCD teknik mitigasi bencana gempabumi, dan alat PPGD Jufriadi et al., Sosialisasi “Pengurangan 2012 Risiko Bencana” di Kecamatan Tempursari Kabupaten Lumajang Sebagai Upaya Pendidikan Mitigasi Bencana
Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif, Penggalian data dengan wawancara, diskusi dan kuestioner. Lokasi
Pemahaman masyarakat tentang kebencanaan relatif cukup baik, pemahaman tentang pendidikan mitigasi bencana relatif sudah
Persamaan Topik tentang edukasi bencana gempa bumi
Perbedaan
Sampel yang digunakan adalah anakanak usia sekolah dasar, lokasi penelitian di SD Inklusi kelurahan Giwangan Yogyakarta, metode penelitiannya adalah quasi eksperimen dan one pre post test design. Topik tentang Sampel yang edukasi digunakan bencana adalah anakgempa bumi. anak usia sekolah dasar, lokasi
11
3.
Astuti & Sosialisasi Sudaryono, Mitigasi 2010 Lingkungan Bencana
penelitian di daerah ada dan pelaksanaan Kecamatan Tempursari sosialisasi pengurangan Kabupaten Lumajang yang risiko bencana dinilai merupakan daerah rawan baik sebagai upaya bencana Banjir, pendidikan mitigasi Gelombang bencana. Pasang/Tsunami dan Longsor. Sampel penelitian adalah masyarakat yang merupakan kader pemberdayaan masyarakat desa dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Pendidikan Penelitian dilakukan dengan Pemahaman guru Pada pendekatan deskriptif- tentang kebencanaan Rawan kualitatif. Penggalian data relatif cukup baik, dilakukan dengan modul pendidikan wawancara, kuestioner. mitigasi bencana relatif Lokasi penelitian di daerah dinilai baik sebagai rawan bencana yaitu Solo sumber untuk disekitar sungai Bengawan melaksanakan Solo dan Yogyakarta yaitu sosialisasi pendidikan Sleman yang rawan merapi mitigasi bencana. dan Bantul yang rawan gempa. Sampel penelitiannya adalah guru
penelitian di SD Inklusi kelurahan Giwangan Yogyakarta, metode penelitiannya adalah quasi eksperimen dan one pre post test design.
Topik tentang edukasi bencana gempa bumi.
Sampel yang digunakan adalah anakanak usia sekolah dasar, lokasi penelitian di SD Inklusi kelurahan Giwangan Yogyakarta, metode penelitiannya
12
dan siswa SMA yang tinggal di tiga lokasi yang rawan bencana tersebut
4.
Herdwiyanti & Perbedaan Kesiapsiagaan Sudaryono, Menghadapi Bencana 2013 Ditinjau dari Tingkat Self-Efficacy pada Anak Usia Sekolah Dasar di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud
Penelitian ini menggunakan dua skala sebagai alat pengumpul data utama. Skala Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana dan satu set alat ukur selfefficacy. Jumlah populasi penelitian sebanyak 109 dan analisis data menggunakan teknik analisis statistik nonparametrik Mann Whitney U test dengan bantuan program SPSS v.16 for Windows
adalah quasi eksperimen dan one pre post test design. Terdapat perbedaan Variabel Sampel yang antara kelompok self- penelitian digunakan efficacy tinggi dan tentang adalah anakkelompok self-efficacy kesiapsiagaan anak usia rendah dalam menghadapi sekolah dasar, kesiapsiagaan bencana lokasi menghadapi bencana. gempa bumi. penelitian di Nilai hasil perhitungan SD Inklusi effect size yang kelurahan didapatkan adalah Giwangan 0.036 sehingga dapat Yogyakarta, dikatakan bahwa metode perbedaan yang penelitiannya ditimbulkan kecil. adalah quasi eksperimen dan one pre post design.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan belum ada penelitian yang memberikan edukasi siaga bencana pada anak-anak di sekolah dasar inklusi. Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar yang menyatukan penyelenggaran pendidikan anak-
13
anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang normal di dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah desain penelitian berupa quasi experiment dengan rancangan yang digunakan adalah one group pre and post test design. Anak-anak diberikan edukasi berupa pelatihan siaga bencana dan di evaluasi kesiapsiagaan anak dalam menghadapi bencana sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.