BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya selalu dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi seluruh rakyat.
Penciptaan tujuan dimaksud diwujudkan melalui berbagai
proses pembangunan di segala bidang yang saling terkait dan saling menunjang satu sama lain sebagai bagian dari pembangunan nasional. Salah satu diantaranya adalah “Pembangunan Kesejahteraan Sosial”. Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan usaha yang terencana dan terarah yang meliputi berbagai bentuk intervensi dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Edi Suharto, 1997, 97). Pengertian tersebut berarti bahwa tujuan pembangunan kesejahteraan sosial mencakup seluruh masyarakat dan Bangsa Indonesia termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. Salah satu penyandang
masalah
kesejahteraan
sosial
sebagai
sasaran
dari
pembangunan kesejahteraan sosial yaitu orang-orang yang berstatus penyandang cacat (Depsos RI, 1996, 17). Pembahasan dan upaya-upaya pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan di Indonesia dewasa ini, tidak terlepas dari adanya strategi
1
pembangunan sosial bagi kawasan ESCAP (Komisi Sosial Ekonomi bagi Kawasan Asia Pasifik) menjelang tahun 2000 dan masa sesudah itu oleh Konfrensi Tingkat Menteri Asia Pasifik ke-IV mengenai kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial di Manila pada tahun 1991. Strategi tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan seluruh warga masyarakat dalam kawasan ESCAP, dengan sasaran dasar yang hendak diwujudkan meliputi pengentasan kemiskinan, realisasi keadilan yang merata dan peningkatan partisipasi warga masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut,
strategi diarahkan khusus secara langsung menyentuh kelompok-kelompok dari segi sosial kurang beruntung atau rawan di kawasan Asia Pasifik termasuk “warga penyandang cacat” (Agenda Aksi Dasawarsa Penyandang cacat 1993-2003). Dengan ditetapkannya agenda aksi untuk penyandang cacat tersebut, maka segenap pemerintah di kawasan Asia Pasifik telah berkomitmen untuk terwujudnya peran serta penuh warga penyandang cacat. Indonesia sebagai salah satu anggota telah berupaya menetapkan berbagai kebijakan, program dan
kegiatan
dalam
rangka
peningkatan
kesejahteraan
sosial
bagi
penyandang cacat. Penanganan penyandang cacat di Indonesia hingga saat ini khusus dari pemerintah masih terbatas, sebagaimana dikemukakan Presiden Soeharto bahwa :
2
“Kemampuan pemerintah untuk menyantuni para penyandang cacat masih terbatas, karena banyak masalah yang harus ditangani …….. . Jumlah penyandang cacat di Indonesia cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu diperlukan biaya besar untuk meningkatkan kemampuan para penyandang cacat sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan berkepribadian (Kompas, 1996)” Keterbatasan
sebagaimana
tersebut
di
atas
berkaitan
pada
penanganan penyandang cacat yang tidak merata diberbagai tempat, sehingga sampai sekarang masih terdapat penyandang cacat yang belum tersentuh oleh pembangunan itu sendiri. Populasi penyandang cacat menurut jenis kecacatan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Populasi penyandang cacat menurut jenis kecacatan Sulawesi Selatan N0.
Jenis Kecatatan
Jumlah
Persentase
1.
Cacat tubuh/Tuna Daksa
5.560
37,86
2.
Cacat Mata/Tuna Netra
2.694
18,35
3.
Cacat Rungu dan Wicara
318
2,17
4.
Cacat Rungu
2.262
15,40
5.
Cacat Mental/Tuna Grahita
1.926
13,11
6.
Cacat Fisik dan Mental/Ganda
1.093
7,44
7.
Cacat Jiwa
832
5,67
14.685
100
Jumlah Sumber : Sulsel dalam Angka 2005
3
Dari jumlah di atas sebanyak 14.685 atau 72 persen orang berada di wilayah pedesaan sementara sisanya
28 persen berada di wilayah
perkotaan. Dari persebaran ini, dengan keterbatasannya, pemerintah belum dapat menjangkau kedua wilayah tersebut secara keseluruhan, terutama wilayah pedesaan dimana populasi penyandang cacat jauh lebih besar. Kebijakan pemerintah dalam penanganan penyandang cacat, tertuang dalam Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, dan peraturan pemerintah nomor 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial (UPKS) bagi penyandang cacat. Berdasarkan kedua landasan tersebut, dikemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan demi kesejahteraan penyandang cacat. Untuk itu pemerintah dalam menjalankan tugas tersebut, masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bersama-sama pemerintah atau oleh masyarakat itu sendiri melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat (pasal 2325 UU No.4 tahun 1997). Sebagai
wujud
dari
upaya
masyarakat
terhadap
peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbagai kegiatan pemberdayaan yang
bersumberdaya
masyarakat
terhadap
penyandang
cacat
telah
dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia. Salah satu diantaranya yaitu kegiatan pemberdayaan penyandang cacat di Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Penanganan
tersebut,
4
mencakup
berbagai upaya
pelayanan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial, dimana penyandang cacat merupakan salah satu dari sasaran pelayanan tersebut. Peran Pemerintah Daerah memang sangat sentral dilihat dari sisi aksesibilitas fisik maupun nonfisik penyandang cacat.
Kondisi riil para
penyandang cacat selama ini dinilai belum mendapat kesempatan yang setara dengan masyarakat umum lainnya. Bahkan masyarakat pada umumnya masih meragukan dan belum mempercayai kemampuan para penyandang cacat untuk dilibatkan dalam berbagai aktivitas kehidupan, hal tersebut ditunjukkan ketika para penyandang cacat hendak melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum sering kali mendapat tanggapan kurang proporsional. Aksesibilitas bagi para penyandang cacat, aspek tersebut merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar, aspek tersebut merupakan salah satu yang perlu dicermati semua pihak dalam rangka mengangkat harkat dan martabat masyarakat penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan penyandang cacat timbul karena adanya gangguan pada fisik mereka yang menghambat aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi maupun politik sehingga mengurangi haknya untuk beraktivitas penuh dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Untuk memecahkan pokok permasalahan
tersebut
diperlukan
dua
pendekatan
dasar
yaitu
memberdayakan mereka melalui usaha-usaha rehabilitasi pendidikan,
5
bantuan usaha, dan sebagainya.
Melalui upaya itu akan dicapai kondisi
ilmiah, mental sosial, serta meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasarnya sehingga nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai objek, tetapi dijadikan subjek dalam pembangunan. Di samping itu yang tak kalah penting, mereka harus mendapat dukungan lingkungan serta tersedianya aksesibilitas fisik maupun nonfisik. Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah penerimaan masyarakat yang sampai saat ini masih kurang kondusif. Secara ideal pemberdayaan penyandang cacat melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah melalui instansi terkait dan masyarakat, kondisi riil dilapangan peran pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah masih jauh dari apa yang diharapkan. Program dilaksanakan dalam bentuk pembinaan wilayah dalam hal pencegahan, deteksi, dan rehabilitasi penyandang cacat yang meliputi rehabilitasi medis yang seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, pendidikan dan keterampilan menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Nasional serta dampak sosial yang ditimbulkan akibat Kondisi kecacatan menjadi tanggung jawab Dinas Sosial yang lebih banyak berperan selama ini.
Pembinaan berarti pemindahan pengetahuan dan
kemampuan kepada penyandang cacat, keluarga dan masyarakat sehingga secara bersama-sama dan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada mampu melaksanakan pemberdayaan terhadap penyandang cacat.
6
Walaupun peran pemerintah belum maksimal upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan terhadap penyandang cacat di atas, telah dilakukan oleh lembaga bentukan masyarakat yakni lembaga Gereja Toraja melalui Pengurus Pusat Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PP PWGT) dengan dukungan Dinas Sosial. Program ini ditujukan untuk usia di bawah 20 tahun, meliputi pembinaan kepada penyandang cacat bisu tuli, tuna netra, bibir sumbing, cacat fisik, keterlambatan mental, epilepsy dan sebagainya tanpa memandang perbedaan Suku, Agama, dan asal usul penyandang. Dalam kiprahnya sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang, program ini telah membina sebanyak 242 anak dari 22 desa di Kabupaten Tana Toraja. Berdasarkan telaah dari latar belakang di atas, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam lagi tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat, melalui kegiatan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM).
Dengan merujuk pada dasar berpikir tersebut, peneliti
merumuskan penelitian dengan judul “Pemberdayaan Penyandang Cacat Melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat”. (Studi Kasus Pelaksanaan Pemberdayaan Terhadap Tujuh Orang Penyandang
Cacat
Melalui
Program
Masyarakat di Kabupaten Tana Toraja).
7
Rehabilitasi
Bersumberdaya
B. Masalah Penelitian Keterbatasan pemerintah dalam menangani penyandang cacat, berakibat pada tidak meratanya penanganan penyandang cacat yang ada. Kondisi
tersebut
menumbuhkan
peranan
dan
tanggung
jawab
dari
masyarakat untuk turut serta melakukan pelayanan terhadap penyandang cacat, yang diwujudkan dalam suatu kegiatan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat (RBM) sebagai wadah pemberdayaan penyandang cacat dengan memanfaatkan potensi dan sumber yang tersedia di masyarakat. Pelaksanaan
pemberdayaan
penyandang
cacat
melalui
mengalami banyak hambatan secara operasional diantaranya
RBM
partisipasi
pemerintah yang belum memadai serta keterbatasan kemampuan pengelola dan kader RBM dalam melaksanakan proses pemberdayaan penyandang cacat agar bisa hidup secara wajar dan mencapai taraf kesejahteraan sosial yang memadai.
Penelitian ini mencoba mengkaji pelaksanaan RBM di
kecamatan Rantepao Tana Toraja dengan ruang lingkup sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang dan karakteristik kecacatan penyandang cacat di kecamatan Rantepao Tana Toraja ? 2. Bagaimana kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat di kecamatan Rantepao Tana Toraja? 3. Bagaimana
pelaksanaan
pemberdayaan
penyandang
cacat
yang
dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat di kecamatan Rantepao Tana Toraja?
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh progran terhadap pemberdayaan penyandang cacat dengan meneliti implementasi, mekanisme, bentuk dan hasil pendekatan dalam program RBM
dengan
memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang tersedia di masyarakat yang dirinci dalam tujuan penelitian sebagai berikut : a. Memberikan gambaran mengenai latar belakang dan karakteristik kecacatan penyandang cacat. b. Mendeskripsikan kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat. c. Mendeskripsikan pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat. 2. Kegunaan Penelitian Secara teoritis, penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui program
RBM
memberikan
manfaat
dan
kontribusi
teoritis,
metodologis, dan empiris bagi kepentingan akademis di sosiologi khususnya bidang kesejahteraan sosial. Secara praktis, penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui program RBM, dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi : a. Bahan
referensi
bagi
terutama
pengambil
kebijakan
peningkatan kesejahteraan sosial para penyandang cacat.
9
dalam
b. Bahan referensi dan sekaligus merangsang minat peneliti lain untuk mengkaji masalah ini secara lebih mendalam lagi. c. Bahan referensi dalam rangka pengembangan khazanah ilmu pengetahuan terutama yang terkait dengan kajian kesejahteraan sosial.
10