BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statisik pada tahun 2010 menunjukkan terdapat sekitar 45 juta remaja usia 10 hingga 19 tahun dari 233 juta penduduk Indonesia (bps.go.id, 2010). Sekitar 1/5 penduduk Indonesia adalah remaja. Remaja adalah mereka yang sedang berada pada masa pencarian identitas, masa yang penuh gejolak dan diwarnai dengan konflik dan perubahan mood (Hall dalam Santrock, 2012). Remaja adalah usia dimana mereka sedang giat melakukan apapun yang mereka mau, tertarik pada lawan jenis, mencoba apa yang belum pernah mereka lakukan dan mudah terpengaruh oleh teman sebayanya (Santrock, 2012). Mereka yang saat ini memasuki usia remaja ialah generasi platinum. Generasi platinum memiliki karakter ekspresif dan eksploratif, mereka memiliki kemampuan tinggi untuk mengakses dan mengakomodir informasi (Aladdin, 2007). Psikolog bernama Alzena Masykouri menyatakan jika generasi sebelumnya (generasi Y) merupakan pengguna teknologi, maka generasi platinum ialah produsen, kreator, dan inisiator dari teknologi tersebut (Aladdin, 2007). Generasi platinum atau yang lebih sering disebut sebagai generasi Z adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000 (Ozkan & Solmaz, 2015). Generasi internet ini merupakan “network youth” yang tergabung di berbagai jenis sosial media (Ozkan & Solmaz, 2015). Hasil penelitian menunjukkan generasi Z memandang handphone sebagai sesuatu yang penting dalam hidup mereka (Ozkan & Solmaz, 2015). Kecanggihan teknologi, kemudahan akses internet dan beragamnya tayangan televisi memudahkan manusia dalam memperoleh informasi baru serta berkomunikasi dengan
1
2 siapapun dan dimanapun. Manusia dapat dengan bebas mencari apa yang mereka butuhkan dengan mesin pencari, dan tayangan televisi dari belahan dunia lain pun dapat dinikmati. Sayangnya banyak tayangan di televisi yang kurang sesuai dengan norma sosial di masyarakat Indonesia seperti tayangan kekerasan ataupun perilaku antar lawan jenis. Informasi di internet pun tidak dapat dikontrol. Tanpa pengawasan dari orang tua, remaja dapat mengakses informasi yang belum pantas untuk mereka konsumsi. Informasi tersebut dapat menarik perhatian remaja, memunculkan rasa penasarannya dan jika tidak dipantau maka remaja bisa meniru perilaku yang ia lihat tersebut tanpa menyaringnya. Hal itu serupa dengan eksperimen Bandura tentang perilaku modeling. Bandura (dalam Feist & Feist, 2011) menyatakan bahwa manusia dapat belajar melalui observasi, dalam arti lain manusia dapat belajar tanpa harus terlibat atau melakukan perilaku tertentu. Inti dari belajar melalui observasi ialah modeling (Feist & Feist, 2011). Modeling lebih dari sekedar mencocokkan perilaku orang lain yang diobservasi melainkan mempresentasikan informasi dan menyimpannya untuk digunakan di masa mendatang (Feist & Feist, 2011). Sebagai contoh, seorang anak yang menonton film kekerasan yang dilakukan orang dewasa memiliki kecenderungan untuk melakukan hal serupa bahkan lebih agresif. Hal tersebut serupa dengan hasil dari eksperimen yang dilakukan Bandura terhadap anak-anak yang menonton video orang dewasa yang menendang Bobo doll. Anak-anak melakukan hal yang ia lihat di video tersebut pada Bobo doll bahkan dengan lebih agresif. Penelitian Apollo dan Ancok (2003) tentang hubungan antara intensitas menonton tayangan televisi berisi kekerasan, persepsi terhadap keharmonisan keluarga, jenis kelamin, dan tahap perkembangan dengan kecenderungan agresivitas remaja menunjukkan hasil serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat
3 signifikan antara intensitas menonton tayangan televisi berisi kekerasan dengan kecenderungan agresivitas remaja (Apollo & Ancok, 2003). Kemudahan akses informasi dan beragamnya tayangan televisi dapat menghasilkan remaja yang berwawasan. Namun sayangnya masih ada remaja yang salah memodeling dan menyerap informasi yang ia dapatkan. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab semakin maraknya kasus kenakalan remaja. Menurut Kepala Badan Pemasyarakatan Kelas II Wonosari pada tahun 2014 terdapat 135 kasus pidana yang melibatkan remaja (Kurniawan, 2015). Adapun jenis kasus pidana oleh remaja tersebut mulai dari asusila, penganiayaan, hingga pencurian (Kurniawan, 2015). Kenakalan remaja dapat disebabkan oleh rendahnya kecerdasan emosi yameng dimiliki. Remaja yang mampu mengelola emosi karena memiliki kemampuan kecerdasan emosi lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bertindak secara baik juga terarah (Rini, Hardjajani, & Nugroho, 2012). Kecerdasan emosi yang tinggi mampu mengurangi terjadinya kenakalan remaja (Rini, Hardjajani, & Nugroho, 2012). Kecerdasan emosi ialah kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya ; merupakan kemampuan akan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, empati dan keterampilan membina hubungan (Goleman, 1996). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar memiliki generasi penerus yang berkualitas. Salah satunya ialah menyediakan fasilitas pendidikan bagi warganya. Fasilitas pendidikan tersebut yaitu pendidikan formal berupa sekolah dari TK hingga Perguruan Tinggi, bahkan saat ini pemerintah pun sudah memiliki beberapa PAUD. Pendidikan merupakan sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan, perencanaan karir, membangun karakter, membuka wawasan, dan membantu kemajuan bangsa (Kompas.com, 2013). Sekolah merupakan tempat kedua bagi anak untuk memperoleh pendidikan setelah keluarga. Pada tempat ini lah anak belajar untuk berinteraksi dengan orang lain dan
4 bermain. Pengalaman yang ia dapatkan, teman, dan guru merupakan aspek yang berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Selaras dengan UU tentang sistem pendidikan nasional Bab 1 ayat 1 pasal 1 bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Bagi keluarga melalui pendidikan anak pula orang tua menitipkan impian untuk kehidupan yang lebih baik. Tak sedikit cerita perjuangan orang tua demi pendidikan anak. Salah satunya kisah Raeni salah satu lulusan terbaik UNNES yang merupakan anak seorang tukang becak, orang tua Raeni rela pensiun dini agar mendapat uang pesangon (Liputan6.com, 2014). Uang pesangon itu yang digunakan Raeni untuk melanjutkan sekolah. Ada pula kisah Ripai yang rela menjual ginjal demi biaya sekolah anak (Indrawan, 2015). Selain berkewajiban untuk membiayai dana pendidikan buah hati. Orang tua pun berhak memilih sekolah yang mereka percaya untuk menitipkan anaknya. Saat ini semakin banyak ragam sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah internasional, sekolah berbasis agama, sekolah dengan asrama, sekolah alam, sekolah bilingual, atau kombinasi antara dua dan tiga kategori ini (Kompas.com, 2013). Semakin maraknya kenakalan remaja saat ini membuat orang tua sadar bahwa pendidikan akademik saja tidak cukup. Kini semakin banyak orang tua yang sadar pentingnya pendidikan moral dan melirik pondok pesantren untuk pendidikan anaknya (tebuireng.org). Sama halnya dengan pernyataan salah satu santri Islamic Boarding School Bina Umat (IBS Bina Umat) saat studi awal bahwa orang tuanya menyekolahkan ia di pesantren agar ia tidak terpengaruh dengan kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan rumahnya.
5 Kementerian Agama mengatakan, animo masyarakat terhadap pendidikan agama saat ini berubah, bahkan pendidikan madrasah mengungguli sekolah umum, pondok pesantren semakin diminati (Kemenag.go.id, 2015). Hal serupa dirasakan oleh salah satu pondok pesantren modern di Yogyakarta, yaitu IBS Bina Umat. Salah satu tenaga pendidik menyatakan bahwa semenjak kepemimpinan presiden SBY perhatian terhadap pondokpesantren meningkat. Kementerian Agama memberi lebih banyak anggaran untuk pondok pesantren. Hal tersebut membuat pesantren mampu meningkatkan kualitas dan kelayakanyanya untuk bersaing dengan sekolah lain. Bersamaan dengan hal tersebut terjadi peningkatan jumlah pendaftar di IBS Bina Umat. Pondok pesantren merupakan asrama pendidikan dibawah bimbingan seorang guru atau kyai, siswanya disebut sebagai Santri dan tinggal bersama dalam asrama (petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id). UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) no 20 tahun 2003 pasal 30 menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan
keagamaan
(Kemenag.go.id,
2015).Pendidikan
keagamaan
berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama (ayat 2 pasal 30 UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003). Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan asrama mewajibkan santrinya untuk tinggal 24 jam di lingkungan pondok pesantren (Rohmawati, 2010). Selain itu para santri pun wajib menaati beragam tata tertib lainnya dari pondok pesantren. Peraturan tersebut diantaranya tidak boleh keluar dari asrama, wajib mengikuti seluruh kegiatan rutin secara penuh, dilarang menonton televisi di luar jam yang telah ditentukan, mengobrol dengan lawan jenis serta membawa handphone ataupun gadget lainnya. Hal tersebut juga diungkapkan seorang santri dalam wawancara studi awal sebagai berikut :
6 “buat yang gak terbiasa diatur hidupnya dari bangun sampe bangun lagi juga akan sulit hidup di pesantren. Karena semuanya ada aturan, dari cara berpakaian, komunikasi, sholat, bangun jam berapa dan lain-lain” Para santri harus menaati aturan-aturan tersebut, jika tidak beragam jenis ganjaran pun telah disiapkan. Adapun ganjaran yang diberikan jika santri melanggar peraturan dari pondok pesantren diantaranya adalah; surat peringatan, diguyur, digundul, kerja bakti bahkan beberapa pesantren menggunakan hukum cambuk (Liputan6.com, 2014) Ganjaran lain yang dapat diterima santri ialah dikeluarkan dari pondok pesantren, seperti yang tertuang dalam potongan wawancara berikut : “Kalau misalnya ada yang pacaran, harus pinter-pinter ngendaliin emosi juga. Kan susah tuh ketemu pacarnya, soalnya cewe cowo di pisah si pesantren. Kalau ketemu beresiko kena hukuman, kalau parah bisa dikeluarin. Hahaha” Santri madrasah tsanawiyyah ataupun madrasah aliyyah saat ini adalah mereka yang masih berada dalam kategori remaja, remaja generasi platinum. Lekatnya generasi Platinum dengan teknologi dan tingginya keinginan eksplorasi bagi remaja memperbesar prevalensi sulitnya penerimaan pada santri. Pondok pesantren membatasi ruang gerak santrinya yaitu hanya boleh keluar dengan alasan tertentu. Hal tersebut membuat para remaja kekurangan waktu untuk mengeksplorasi hal-hal baru di luar asrama. Para santri pun harus siap membiasakan diri hidup tanpa gadget yang sudah menjadi teman main mereka sejak kecil. Orang tua menyekolahkan anaknya di pondok pesantren dengan harapan agar anak tidak hanya pintar secara akademis namun juga terdidik akhlaknya. Beberapa orang tua menyekolahkan anaknya yang sudah terlanjur nakal ke pondok pesantren dengan harapan anak dapat berubah menjadi lebih baik. Namun kasus pelanggaran pada santri pesantren pun masih terjadi. Dua santri di Bekasi ditemukan tersesat di persawahan warga saat kabur dari Pondok Pesantren.Mereka kabur lantaran merasa waktu liburan yang didapatkan terlalu singkat (Wartakota.tribunnews.com, 2015). Pengurus IBS Bina Umat juga
7 menyatakan bahwa setiap tahunnya pasti ada santri yang tidak betah dan memilih untuk keluar. Selain berita di atas, petugas Satpol PP Pamekasan Jawa Timur juga baru-baru ini menemukan dua sejoli sedang bermesraan di depan masjid Agung As-Syuhada (Aziz, 2015). Kedua sejoli yang masih remaja tersebut merupakan santri pondok pesantren setempat. Pengurus IBS Bina Umat menyatakan pelanggaran yang banyak dilakukan adalah pelanggaran bahasa. Pelanggaran tersebut dapat terjadi karena santri belum mampu mengatur dirinya sendiri. Dalam hal ini santri yang sudah dapat mengatur dirinya tentu dapat lebih mudah menaati peraturan yang ada. Pengendalian diri merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi (Goleman, 1996). Kecerdasan emosi dibutuhkan dalam kehidupan santri, Seperti data yang didapatkan dari wawancara seorang santri sebagai berikut: “Sulitnya jadi santri yaa dari segi sosial ya santri dilatih buat sangat terbiasa untuk berkomunikasi sama orang lain. Hampir tidak ada tempat di mana dia sendirian. Bahkan di kamar pun ketemu orang lagi, dari bangun tidur sampe tidur lagi. Kalau orang yang belum terbiasa mungkin akan capek semacam dan butuh me time. terus adaptasi dengan tipikal orang yang berbeda-beda. Anggap aja kamu KKN tapi bertahun-tahun. Dari tidur sampe tidur lagi, tau sifatnya kaya gimana. Belajar toleransi banget sama sifat orang lain” Pernyataan di atas membuktikan bahwa santri dituntut untuk bergaul dengan santri lain yang berasal dari berbagai latar belakang. Hal tersebut membuat santri harus memiliki aspek kecerdasan emosi lainnya yaitu empati. Empati berarti dapat menyesuaikan diri dengan perbedaan, memandang dari sudut pandang orang lain, dan berusaha memahami perasaan orang lain (Goleman, 1998). Fenomena lain yang dirasakan santri ialah : “Aku pernah berantem sama temen, diem-dieman karena dia tidak mengenakkan hati saya dan sebaliknya. Abis dia suka nyantel barang-barang, nanti to kalo disita kan ribet sendiri. Tapi dia teman sekamar, harus tetap ketemu. Pernah juga bingung sama temen yang dari papua karena nada bicaranya beda, naik turun gitu. Misal kalo orang sedaerah kan bisa disindir dia paham, tapi kalo orang bukan sedaerah harus bicara to do point”
8 Dalam menghadapi berbagai jenis teman sekamar dibutuhkan empati agar mampu menerima perbedaan yang ada. IBS Bina Umat menggunakan kurikulum nasional dan kurikulum pondok dalam basis pengajaran. Santri harus menyelesaikan tugas sekolah formalnya dan juga harus menyelesaikan tuntutan pondok seperti menyetorkan hafalan al-Qur’an. Kondisi ini membuat santri harus terus termotivasi. Motivasi sebagai salah satu aspek dari kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri untuk mencapai tujuan (Goleman, 1998). Hal ini memberi dorongan untuk berjuang mencapai tujuan, berinisiatif dan menjaga diri saat frustrasi (Goleman, 1998) Selain itu, di pesantren pun santri diajarkan untuk bertanggung jawab tidak hanya diri sendiri tetapi juga orang lain melalui tugas yang diberikan. Biasanya para santri akan mendapat giliran untuk menjadi pengurus. Pada fase ini pula dibutuhkan aspek kecerdasan emosi yaitu membina hubungan bagi santri, pernyataan responden adalah sebagai berikut : “Kalau jadi pengurus hmm semacam osis dan di setiap pesantren pasti pernah ngalamin. Kita diberi tanggung jawab untuk bangunin adek-adek angkatan, ngurus mereka mulai dari bahasa, keberangkatan ke mesjid dan lain-lain. Bayangin ngurus hidup orang lain disaat yang sama hidup kita aja belum tentu udah seimbang. Jadi butuh kesabaran banget, ditambah kalau adek-adek yang diurus tengil-tengil, susah diatur. Kesabaran ekstra banget” Keterampilan membina hubungan dapat membuat seseorang mengatasi masalah dalam berinteraksi dengan orang lain, bernegoisasi, menyelesaikan perselisihan, dan memimpin (Goleman, 1998). Kebersamaan dalam keseharian pun tidak selalu menyenangkan. Kadang santri harus dituntut untuk dapat mengendalikan emosinya dengan baik karena teman di kegiatan lain dapat merupakan teman sekamarnya pula. Hal tersebut dijelaskan dalam pernyataan berikut :
9 “Kalau ada masalah kepanitiaan misalnya di organisasi, harus sabar bisa ngendaliin diri di kehidupan sehari-hari. Kan kaya kkn aja, temen organisasi kamu temen hidupmu juga. Jadi harus pandai-pandai ngelola emosi” Dalam menghadapi situasi ini, santri perlu mengenal emosinya sendiri. Selain itu ia pun harus mampu regulasi diri agar masalah yang ada tidak membuat dia tidak produktif. Hal lain yang merupakan dampak dari mampunya santri meregulasi diri ialah terhindarnya santri dari stres emosional (Goleman, 1998). Berdasarkan pemaparan di atas kecerdasan emosi memang diperlukan untuk bagi santri pondok pesantren. Hal tersebut dikarenakan santri harus berinteraksi dengan berbagai macam orang. Selain itu santri pun harus berbesar hati menaati peraturan yang ada. Santri harus tetap fokus pada tujuannya walaupun banyak tuntutan lain yang harus dihadapi. Kecerdasan emosi menurut Al Tridhonanto dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : Faktor lingkungan, pendidikan dan pengasuhan. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2012) terdapat empat jenis pola pengasuhan yaitu pola otoriter yang mengekang, pola otoritatif yang demokratis, pola pengasuhan melalaikan dan pola pengasuhan memanjakan. Pola asuh merupakan salah satu hal yang membentuk kepribadian anak. Pola asuh orang tua terhadap anak dapat memprediksi bagaimana anak menjalani hubungan sosialnya (Ni'matuzzakiyah, 2012). Anak yang diasuh dengan pola pengasuhan otoriter akan menjadi anak yang tidak bahagia, pencemas, kurang inisiatif dan tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik (Baumrind dalam Santrock, 2012). Anak dengan pengasuhan otoritatif akan menjadi anak yang percaya diri, kooperatif dan mampu menangani stres dengan baik (Baumrind dalam Santrock, 2012). Anak dengan pola pengasuhan melalaikan akan menjadi anak yang memiliki kendali diri kurang baik, harga diri rendah dan berpotensi melanggar peraturan (Baumrind dalam Santrock, 2012). Anak yang diasuh dengan pola memanjakan akan
10 menjadi orang yang kurang memiliki kendali diri dan kesulitan membangun relasi dengan teman sebayanya (Baumrind dalam Santrock, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan pola pengasuhan otoritatif dapat membentuk anak dengan kecerdasan emosi. Berdasarkan hasil penelitian tentang pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional remaja di SMA Negeri 3 Padang menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif menghasilkan remaja dengan kecerdasan emosional tinggi (Agustin, 2012). Penelitian serupa yang dilakukan pada siswa kelas V di Yogyakarta menunjukkan hasil yang sama, pola asuh otoritatif berpengaruh pada kecerdasan emosi anak (Marlina, 2014). Pujianingsih (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak dengan pola asuh melalaikan dan otoriter memiliki gangguan emosi yang tinggi. Orang tua dengan pola asuh otoritatif membentuk remaja yang mampu untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi mereka (Nastasa & Sala, 2012). Anak juga dapat memanajemen emosi, lebih fleksibel, jauh dari masalah dan dapat mengekspresikan emosi dengan asertif. Mereka juga mampu mendalami keinginannya dan mencoba untuk meraih cita-cita. Selain itu, anak dengan pola asuh ini mampu menerima, merasakan perasaan orang lain dan dapat membangun dan menjaga hubungan interpersonalnya dengan baik (Nastasa & Sala, 2012). Bagi mereka yang hidup di pondok pesantren, peran pengasuhan orang tua digantikan oleh seorang pembina asrama. Pembina asrama memiliki beberapa tugas, di antaranya sebagai berikut (Mastuki dalam Ruswaraditra, 2008) : (1) mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang dimiliki santri, (2) mengidentifikasi adanya maladjustment, (3) pendorong bagi pertumbuhan dan perkembangan santri, (4) mengajarkan apa yang dibutuhkan santri, dan lain-lain. Pembina melakukan pembinaan langsung pada santri seperti apa yang dilakukan orang tua di rumah (Ruswaraditra, 2008). Pondok pesantren mengharapkan pembina dapat menggantikan peran orang tua, pembina memiliki bawahan yaitu kakak
11 kelas santri. Dalam membina santri, pembina menganggapnya seperti anak sendiri (Ruswaraditra, 2008). Berdasarkan penelitian sebelumnya kecerdasan emosi dimiliki oleh anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif (Prayitno, 2007). Pembina asrama merupakan seseorang yang menjaga, merawat serta mendidik santri selama di pondok pesantren. Maka dari itu perannya yang menggantikan orang tua dapat berpengaruh pada kecerdasan emosi santri. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan antara persepsi pola asuh otoritatif pembina asrama dengan kecerdasan emosi pada santri.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa jauh keterkaitan antara pola asuh otoritatif pembina asrama dengan kecerdasan emosi pada santri pondok pesantren. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis yang didapatkan dari penelitian ini adalah bertambahnya kajian psikologi dalam bidang perkembangan, dan pendidikan mengenai pola asuh otoritatif dan kecerdasan emosi. Selain itu penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang pola asuh otoritatif dan kecerdasan emosi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua untuk memahami lebih dalam hubungan antara pola asuh otoritatif pembina asrama dengan kecerdasan emosi pada santri pondok pesantren sehingga dapat membangun sebuah atmosfer pendidikan yang sesuai.