BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia sudah sangat dikenal akan kekayaan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya kekayaan yang berupa jenis tumbuhan yang secara empirik telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Obat tradisional merupakan bagian dari kekayaaan bangsa yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat menjadi alternatif pengobatan maupun komplementer dengan pengobatan modern. Saat ini berbagai bahan telah dimanfaatkan sebagai obat secara tradisional oleh masyarakat dengan dibuat berbagai macam bentuk sediaan yang mudah dikonsumsi. Biasanya pengetahuan tersebut didapat dari penuturan orang tua ataupun berdasarkan pengalaman. Namun dengan berbagai ragam tumbuhan obat yang ada saat ini, tentu sebelumnya dibutuhkan suatu jaminan tentang kebenaran bahan yang akan dimanfaatkan. Dalam pembuatan obat tradisional harus ada jaminan kualitas produk obat tradisional yang salah satunya ditentukan oleh kebenaran bahan yang digunakan. Terlebih lagi apabila produk tersebut dipasarkan, maka setiap produsen wajib bertanggungjawab atas mutu dan keamanan produk yang dipasarkan (Sutrisno, 1986ᵃ). Suatu obat tradisional tidak diperbolehkan mengandung kontaminan, baik penambahan simplisia yang berbeda maupun bahan pengotor lain (Sutrisno, 1986ᵃ). 1
2
Dalam pemeriksaan mutu suatu simplisia, biasa digunakan analisis secara makroskopik, mikroskopik, kimia, dan fisika yang merupakan salah satu cara pemeriksaan kebenaran simplisia, namun cara fisika jarang membantu dalam mengidentifikasi simplisia. Secara makroskopik dapat dilihat dengan cara pengenalan morfologi dan ciri-ciri organoleptik. Mikroskopik dilakukan dengan cara penentuan fragmen pengenal sel ( bentuk sel, penebalan dinding dan lain sebagainya), isi sel (hablur kalsium oksalat, pati, dan lainnya) dan jaringan khas dari simplisia. Secara kimia terdapat penanda yang spesifik yaitu zat-zat kimia yang terkandung dalam simplisia (Sutrisno, 1986ᵃ). Curcuma mangga biasa dikenal dengan nama lokal temu mangga atau lebih dikenal lagi dengan nama temu putih sudah sangat dikenal oleh masyarakat dan bisa digunakan sebagai obat. Namun sayangnya karena keanekaragaman bahasa dan budaya di Indonesia mengakibatkan adanya keraguan tentang kebenaran bahan yang dimaksud karena biasanya nama maupun khasiat dari suatu tanaman hanya didapat dari penuturan orang tua mereka. Bahkan di zaman modern saat ini, kita telah terbiasa untuk mencari informasi melalui internet, namun ternyata sumber yang di dapat dari internet juga tidak selalu tepat. Bahkan ketika kita mengetikan kata “temu putih” maka informasi spesies dari temu putih yang dihadirkan beranekaragam, antara lain Curcuma mangga, Curcuma zedoaria, dan Kaempferia rotunda. Hal tersebut akan menyebabkan keraguan dan dimungkinkan adanya kesalahan dalam pemilihan tanaman yang dimaksud. C. mangga Val. merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di Indonesia dan dikelompokkan dalam familia Zingiberaceae. Pada jenis tanaman
3
ini, rimpang segar dapat digunakan sebagai lalapan karena rasanya yang segar seperti mangga muda, namun pada umumnya digunakan untuk keperluan dapur dan masih sedikit digunakan sebagai obat (Heyne, 1987). Pada pemanenan jenis ini juga masih sering kurang diperhatikan kebenaran spesiesnya sehingga pada akhirnya simplisia yang diperoleh nantinya tidak sama (Anonim, 1985). Selain itu dalam penggunaannya sebagai obat tradisional, juga terdapat banyak kerentanan kebenaran bahan karena banyaknya keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di Indonesia dan kemiripan antara satu spesies dengan spesies lain terutama yang masih dalam satu famili, maka identifikasi dari kebenaran bahan sangat diperlukan untuk menjamin khasiat dari penggunaan suatu bahan. Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai C. mangga Val. antara lain aktivitas antimikroba yang telah diteliti dapat menghambat bakteri Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis (Philip dkk, 2009). Aktivitas antibakteri juga ditunjukkan dari minyak atsiri yang dihasilkan dari C. mangga Val., (Kamazeri dkk, 2012). Selain itu juga telah dilakukan penelitian tentang kultur invitro pada C. mangga dengan tingkat pertahanan hidup mencapai 75% yang dikultur dalam media MS dengan kombinasi 3 mg/L BAP dan 1 mg/L NAA (Raihana dkk, 2011).
4
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana ciri-ciri makroskopi rimpang C. mangga Val.?
2.
Bagaimana ciri-ciri mikroskopi rimpang C. mangga Val. ?
3.
Golongan senyawa apakah yang ditemukan oleh C. mangga Val.?
C.
Pentingnya Penelitian Dilakukan
Di Pulau Jawa, C. mangga dikenal dengan nama kunir putih. Namun di masyarakat ternyata nama ini juga dimiliki oleh beberapa spesies lain yaitu C. zedoaria dan K. rotunda. Bentuk dari ketiga spesies tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.. Nama lokal yang sama pada spesies yang berbeda memang banyak terjadi di Indonesia karena keanekaragaman budaya dan bahasa. Apabila dilihat dari bentuknya, antara rimpang C. mangga dan K. rotunda memiliki bentuk yang jauh berbeda. Namun apabila dibandingkan dengan C. zedoaria, bentuk maupun ukurannya hampir sama. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai analisis rimpang temu mangga baik secara makroskopik, mikroskopik dan kimiawi sehingga dapat mempermudah para produsen maupun konsumen dalam mengidentifikasi rimpang C. mangga secara benar.
C. mangga
C. zedoaria
Gambar 1. Rimpang C. mangga, C. zedoaria, dan K. rotunda
K. rotunda
5
D.
Tujuan Penelitian
1.
Mendeskripsikan rimpang dari C. mangga Val. secara makroskopi
2.
Mendeskripsikan ciri-ciri rimpang dari C. mangga Val. secara mikroskopi
3.
Menemukan golongan senyawa pada rimpang C. mangga Val.
E. 1.
Tinjauan Pustaka
Temu mangga (C. mangga Val.) a.
Nama daerah tumbuhan Indonesia
: Temu lalab (Vulg.), temu mangga
Sunda
: Koneng joho, koneng lalab, koneng pare
Jawa
: Kunir putih, temu bajangan, temu putih, temu poh
Madura
: Temo pao
Sinonim nama latin
: Zerumbed manga, Zerumbed album (Heyne, 1987)
b.
Sistematika tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: C. mangga Val.
(Anonim, 2009).
6
Tanaman ini biasa ditemukan di Pulau Jawa, Malaysia dan Thailand (Padua dkk, 1999). Habitus berupa semak, tinggi 1-2 m (Anonim, 2009). Tanaman ini dapat dibudidayakan maupun tumbuh dengan liar di ladang, di hutan jati atau pinggir-pinggir sungai. Jenis ini pada umumnya digunakan untuk keperluan dapur sedikit sekali yang menggunakannnya sebagai obat (Heyne, 1987). Daun pada temu mangga merupakan daun tunggal, berpelepah, lonjong, panjang ±1 m, lebar 10-20 cm, tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, pertulangan menyirip, hijau. Sedangkan batangnya merupakan batang semu, tegak, lunak. Rimpang di dalam tanah yang biasa dimanfaatkan berbentuk kotak, membulat, warna hijau kekuningan dan tanaman ini memiliki biji membulat, coklat, berakar serabut dan berwarna putih. Bunga pada temu mangga adalah bunga majemuk, terletak di ketiak daun, bentuk tabung, ujung terbelah, daun mahkota lonjong, putih, benang sari menempel pada mahkota, putih, putik silinder, kepala putik membulat, kuning (Anonim, 2009).
c.
Kandungan kimia Kurkumanggosida, kalkaratarin
A,
zerumin
labda-8(17),12-diena-15,16-dial, B,
skopoletin,
demetoksikurkumin,
bisdemetoksikurkumin, 1,7-bis-(4,hidroksifenil)-1,4,6-heptatrin-3-on, kurkumin, dan asam p-hidroksisinamat (Abas dkk, 2005). Sedangkan
7
minyak atsirinya mengandung caryophyllene oxide (18,71%) dan caryophyllene (12.69%) (Kamazeri dkk, 2012).
d.
Penggunaan tradisional Rimpang muda dari C. mangga Val. ini setiap hari dapat dibeli di pasar untuk dimakan sebagai lalab. Pada penggunaannya sebagai obat, temu mangga ini dapat dikunyah dan membuat rahim mengecil setelah melahirkan, dan dapat mengobati demam yang berkelanjutan. Pati yang terdapat dalam rimpang C. mangga Val. ini juga dianjurkan sebagai obat sakit perut. Namun kebanyakan rimpang temu mangga ini digunakan sebagai sayur (Padua dkk, 1999). Selain digunakan dalam bentuk segar, dapat pula dibuat dalam simplisia agar lebih tahan lama dan mudah digunakan. Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, hewani dan simplisia pelikan (mineral) (Anonim, 1985).
2.
Uraian tentang penyiapan simplisia Pada proses penyiapan simplisia sortasi basah perlu dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lain yang tercampur dalam simplisia dan untuk pencegahan kesalahan bahan (Anonim, 1985).
8
Pencucian juga dilakukan dengan tujuan menghilangkan tanah yang ada pada simplisia utamanya bahan yang berupa rimpang. Pencucian dilakukan dengan air bersih seperti air PAM, air sumur atau air dari mata air. Pencucian dilakukan dengan air mengalir. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba yang ada pada simplisia (Anonim, 1985). Pada rimpang perlu dilakukan perajangan sehingga mempermudah proses pengeringan. Rimpang tersebut sebelum dirajang dapat dibiarkan dulu selama 1 hari dalam keadaan utuh. Bahan selanjutnya dirajang dengan ketebalan sekitar 3 mm atau lebih (Anonim, 1985). Pencegahan penurunan mutu atau kerusakan simplisia dapat dicegah dengan pengeringan atau pengurangan kadar air. Air yang terdapat dalam simplisia dalam kadar tertentu akan menyebabkan adanya reaksi enzimatik yang dapat merusak kandungan senyawa dalam simplisia dan dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme. Reaksi enzimatik tidak akan terjadi apabila kadar air dalam simplisia kurang dari 10% (Anonim, 1985).
3.
Analisis makroskopi simplisia Pada analisis makroskopi diperlukan kemampuan atau keterampilan dalam mengenali simplisia maupun bahan segar yang akan dianalisis. Pemeriksaan secara makroskopi hanya dapat diterapkan pada bahan yang masih utuh dan belum berbentuk serbuk. Pada analisis makroskopi
9
dilakukan pemeriksaan ciri-ciri organoleptik (bentuk, warna, ukuran, rasa, dan tekstur) dari bahan yang diteliti (Sutrisno, 1986ᵃ).
4.
Analisis mikroskopi Pada analisis mikroskopi digunakan mikroskop. Pada pengamatan ini diperhatikan bentuk sel, fragmen-fragmen jaringan dan ukuran sel sehingga dapat diidentifikasi asal simplisia (Sutrisno, 1986ᵃ). Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan penampang melintang rimpang dengan penambahan berbagai pereaksi sehingga diketahui kendungan senyawa dalam sampel yang diamati. Pada pengujian mikroskopi pada serbuk dipergunakan serbuk yang homogen derajat halusnya. Simplisia serbuk sebelum diperiksa diayak terlebih dahulu dan apabila sisa yang tidak lewat ayakan dapat dihaluskan kembali dan diayak lagi sehingga siap untuk digunakan untuk uji mikroskopi (Sutrisno, 1986ᵃ). Pada pengamatan mikroskopi ini juga digunakan aplikasi Motic Image Plus. Aplikasi terhubung dengan komputer dan mempunyai dua program utama yaitu Image Capture Interface (MI Devices) dan Capture Image Aplication Program. Setelah gambar ditangkap oleh moticam, maka secara otomatis gambar akan ditransfer ke “image plus application program” yang dapat mengubah gambar menjadi keterangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dengan pengukuran, annotation, dan reporting tools.
10
Pemeriksaan mikroskopik serbuk bertujuan untuk
mengenal sel,
inklusi sel, dan jaringan sel dan hasil pengamatan ini nantinya dipakai untuk menetapkan identitas simplisia (Sutrisno, 1986ᵃ). Penanganan terhadap serbuk yang akan diamati tergantung pada tujuan pengamatan, misalnya: a.
Mikroskopik I
: Menggunakan medium air atau gliserin yaitu untuk mendeteksi hablur lepas, butir pati, butir tepung sari, serabut dan sel batu, rambut penutup, dan rambut kelenjar lepas, serta beberapa jaringan khas lainnya (Sutrisno, 1986ᵃ).
b.
Mikroskopi II
: serbuk terlebih dahulu dipanaskan dengan larutan kloralhidrat. Butir pati nantinya akan larut dan klorofil menjadi jernih sehingga akan tampak jelas sel-sel epidermis, mesofil, rongga minyak, erenkim (parenkim yang berongga), seludang hablur, sistolit, dan sebagainya (Sutrisno, 1986ᵃ).
c.
Mikroskopi III
: serbuk dilakukan pewarnaan setelah serbuk dijernihkan dengan kloralhidrat sehingga warna yang dihasilkan nanti dapat mengidentifikasikan isi dari sel (Sutrisno, 1986ᵃ).
d.
Mikroskopi IV
: dilakukan terhadap serbuk yang telah diabukan dengan tujuan mendeteksi ada tidaknya kerangka silika. Cara IV ini jarang digunakan (Sutrisno, 1986ᵃ).
11
Pada analisis mikroskopi, nantinya akan ditemukan berbagai fragmen dalam rimpang, antara lain: a.
Epidermis
: Jaringan yang membentuk lapisan penutup di permukaan tumbuhan, umumnya terdiri dari 1 lapisan sel. Pada epidermis biasa ditemukan sel penutup stomata, berbagai rambut, sel sekresi, dan sel sklerenkim.
b.
Korteks
: Jaringan yang terletak antara epidemis dan endodermis pada akar dan antara epidermis dan silinder pusat pada batang. Sebagian besar terdiri dari sel parenkim.
c.
Endodermis
: Lapisan batas antara korteks dan perisikel, yang terdiri dari 1 lapisan sel dengan dinding sel yang menggabus
baik
sebagian
maupun
seluruh
terletak
disebelah
dalam
dindingnya. d.
Perisikel
:
Jaringan
yang
endodermis yang merupakan bagiaan terluar dari silinder pusat, terdiri dari 1 atau beberapa lapisan sel yang berbatasan dengan berkas pengangkut. e.
Silinder pusat
: Semua jariangan yang terletak di sebelah dalam endodermis.
12
f.
Periderm
: Jaringan terluar tanaman, dari luar ke dalam berturut-turut terdiri dari jaringan gabus (felem), kambium gabus (felogen), dan feloderm.
g.
Sel gabus
: Sel dari jaringan gabus atau felem. Sel berbentuk lempeng, tersusun rapat dan dindingnya mengandung suberin (zat gabus).
h.
Floem
: Jaringan yang terdiri dari pembuluh tapis dan sel pengikut, umumnya terdapat di sebelah dalam perisikel.
i.
Xilem
: Jaringan yang terdiri dari pembuluh kayu, umumnya terletak diantara kambium dan empulur.
i.
Berkas pembuluh: Sekelompok jaringan yang terdiri dari floem dan xilem, dengan atau tanpa kambium.
j.
Rambut penutup
: Rambut yang tidak bersekresi.
k.
Rambut kelenjar
: Rambut yang bersekresi, minyak atsiri dapat tertimbun didalamnya. (Anonim, 2008)
5.
Penyulingan minyak atsiri dengan metode penyulingan air dan uap Penyulingan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan minyak atsiri yang terdapat dalam rimpang. Peralatan penyulingan yang diperlukan terdiri dari ketel suling yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan disuling dan dapat berhubungan langsung dengan air atau uap air,
13
bak pendingin (kondensor) yaitu alat yang berupa bak atau tabung silinder dan di dalamnya terdapat pipa lurus atau bentuk spiral yang berfungsi untuk mengubah uap menjadi bentuk cair, dan terakhir labu pemisah minyak (Florentine flask) untuk menampung hasil kondensasi yaitu berupa minyak dan air yang nantinya terpisah (Ketaren, 1985). Pada tahap penyulingan ini, bahan dimasukan dalam saringan yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Pengisian bahan diatas saringan juga harus diperhatiakan agar uap dapat berpenetrasi secara merata dan menyeluruh ke dalam bahan. Ukuran bahan juga harus optimum, jika terlalu halus maka akan menggumpal dan jika terlalu besar maka akan sulit uap menetrasi bahan (Ketaren, 1985). Beberapa faktor yang mempengaruhi difusi uap pada proses ini adalah kepadatan bahan dalam ketel, tekanan uap, berat jenis dan kadar bahan, dan berat molekul komponen kimia dalam minyak. Keuntungan menggunakan sistem penyulingan ini adalah pada proses ini rendemen minyak lebih banyak dan mutunya lebih baik dibandingkan dengan penyulingan air dan bahan yang disuling tidak gosong (Ketaren, 1985).
6.
Uraian tentang kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) dalam pelaksanaannya lebih mudah dan murah dibandingkan dengan kromatografi yang lain, termasuk dari segi peralatan juga dinilai sederhana dan dibutuhkan waktu yang relatif cepat dalam pengerjaannya (Rohman, 2009).
14
Keuntungan dalam penggunaan KLT adalah dapat memilih fase gerak dengan lebih fleksibel, proses kromatografi dapat dilakukan dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja, semua komponen dalam sampel dapat teramati dan berbagai teknik optimasi dapat dilakukan dengan KLT seperti pengembangan bertingkat, pengembangan dua dimensi, dan pembaceman penjerap (Rohman, 2009). Penjerap yang sering digunakan pada analisis ini adalah silika dan serbuk selulosa. Mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak dan sebaliknya (sorpsi-desorpsi) pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Penjerap yang berupa lapisan tipis dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Penjerap perlu dikontrol masalah keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Syarat dari kandungan air dalam silika yang ideal yakni 11-12% b/b (Rohman, 2009). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, namun juga bisa dengan cara coba-coba. Salah satu cara mengoptimalisasi fase gerak adalah dengan menggunakan fase gerak yang mempunyai kemurnian yang tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan pada KLT akan optimal apabila penotolan sampel dilakukan dengan hasil bercak sesempit dan sekecil mungkin. Untuk mendapatkan hasil yang reprodusibel, volume sampel yang di totolkan paling sedikit adalah 0,5 µl dan jika sampel yang ditotolkan 2-10 µl, maka
15
penotolan harus dilakukan secara bertahap dan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar & Rohman, 2007). Setelah sampel ditotolkan maka selanjutnya adalah mengembangan sampel dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi oleh fase gerak. Tepi bawah lempeng yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak lebih kurang 0,5-1 cm tinggi fase gerak dalam bejana harus berada di bawah lempeng yang tertotol sampel. Selanjutnya bejana ditutup serapat mungkin dan fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang ditentukan (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan kromatografi (kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas) pada umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Faktor retardasi atau jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya didapat dari:
Nilai maksimum Rf adalah 1 yang artinya solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan fase gerak. Dan nilai minimum adalah 0 apabila solut tertahan pada posisi awal di permukaan fase diam (tidak bergerak sama sekali dari titik penotolan) (Rohman, 2009). Bercak pada KLT umumnya tidak berwarna. Untuk analisis bercak biasanya digunakan berbagai cara yakni secara fisika, kimia, dan biologi. Cara kimia yakni dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi
16
melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Secara fisika yaitu dengan pencacahan radioaktif dan flouresensi sinar ultraviolet. Flouresensi utamanya untuk senyawa yang dapat berflouresensi membuat bercak terlihat jelas. Jika senyawa yang diperiksa tidak dapat berflouresensi maka bahan penyerapannya akan diberi indikator yang berflouresensi, sehingga bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berlouresensi (Gandjar & Rohman, 2007).
7. Jalur Biosintesis Pada tanaman terdapat berbagai macam metabolit primer maupun sekunder agar tanaman tetap bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi. Senyawa yang digunakan pada analisis dengan KLT nantinya yaitu berupa beberapa produk akhir dari biosintesis metabolit sekunder. Senyawa yang digunakan antara lain kamfer, sineol, dan kumarin sebagai pembanding pada sistem KLT. Penggunaan senyawa tersebut dikarenakan senyawasenyawa tersebut merupakan produk akhir dari biosintesis jalur sikimat dan mevalonat sehingga senyawa lebih stabil ketika digunakan. Kamfer dan sineol termasuk ke dalam monoterpen dengan jalur biosintesis mengikuti jalur mevalonat (Gambar 4. dan Gambar 5.) yaitu turunan terpenoid dan steroid. Sedangkan pada kumarin mengikuti jalur biosintesis sikimat (Gambar 3.) yaitu berupa turunan asam amino aromatik dan fenil propanoid (Dewick, 2002). Jalur biosintesis metabolit sekunder pada tanaman dapat dilihat pada Gambar 2. berikut.
17
Gambar 2. Jalur biosintesis metabolit sekunder dengan metabolit primer sebagai building blocks-nya
18
a.
Jalur Sikimat : Asam Amino Aromatik dan Fenil Propanoid
Gambar 3. Jalur biosintesis senyawa kumarin
(Dewick, 2002)
19
b. Jalur Mevalonat : Terpenoid dan Steroid
Gambar 4. Jalur biosintesis pembentukan mentyl / α-terpinyl cation
20
Gambar 5. Jalur biosintesis senyawa sineol dan kamfer
(Dewick, 2002)
F.
Landasan Teori
C. mangga Val. biasa dikenal masyarakat Jawa dengan nama lokal temu mangga atau temu putih yang dapat digunakan sebagai obat. Penyebutan nama lokal berasal turun-temurun pada tiap daerah. Namun sayangnya keanekaragaman bahasa dan budaya di Indonesia dapat menyebabkan perbedaan jenis tanaman yang dimaksud yang begitu berarti. Terdapat beberapa jenis temu-temuan yang disebut-sebut sebagai temu putih, antara lain C. mangga, C. zedoaria, dan K. rotunda. Hal ini kemungkinan besar dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan tanaman yang dimaksud.
21
C. mangga Val. merupakan salah satu tumbuhan dari suku Zingiberaceae. Pada jenis tanaman ini, rimpang segar dapat digunakan sebagai lalapan karena rasanya yang segar seperti mangga muda, namun pada umumnya digunakan untuk keperluan dapur dan masih sedikit digunakan sebagai obat (Heyne, 1987). Identifikasi kebenaran bahan ini sangat diperlukan karena masih banyak keraguan dalam penggunaannya, sehingga khasiat dari penggunaan bahan ini dapat terjamin. Pemeriksaan
kebenaran
bahan
ini
dilakukan
secara
makroskopik,
mikroskopik, kimiawi. Secara makroskopik dapat dilihat dengan cara pengenalan morfologi dan ciri-ciri organoleptik. Mikroskopik dilakukan dengan cara penentuan fragmen pengenal sel ( bentuk sel, penebalan dinding dan lain sebagainya), isi sel (hablur kalsium oksalat, pati, dan lainnya) dan jaringan khas dari simplisia. Secara kimia terdapat penanda yang spesifik yaitu zat-zat kimia yang terkandung dalam simplisia (Sutrisno, 1986ᵃ). Pemeriksaan kimiawi dilakukan dengan analisis mikroskopi-mikrokimiawi dan kromatografi lapis tipis. Adanya analisis secara makroskopi, mikroskopi, dan kimiawi dari rimpang C. mangga nantinya dapat mempermudah identifikasikan kebenaran bahan yang ada sehingga tidak ada kekeliruan pada penggunaannya.
G.
Keterangan Empiris
Keterangan empiris yang akan didapatkan setelah dilakukannya penelitian ini dapat diketahui ciri-ciri makroskopi, mikroskopi, dan kimiawi dari rimpang C. mangga Val.