BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Hal ini terjadi salah satunya karena merokok dianggap sebagai hal yang biasa dalam pergaulan sehari-hari (WHO, 2012). Kebiasaan merokok di Indonesia sudah dimulai sejak usia dini, yaitu sejak usia kurang dari 15 tahun (WHO, 2012). Kebiasaan merokok dimiliki tidak hanya oleh pria, tetapi juga oleh wanita. Pada populasi penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 64,9% pria dan 2,1% wanita adalah perokok (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Situasi ekonomi dan politik merupakan salah dua hal yang turut menyebabkan tingginya jumlah perokok di Indonesia. Harga rata-rata satu bungkus rokok di Indonesia lebih murah dibandingkan harga rata-rata sebungkus rokok di negara lain (Rumbogo & Ahsan, 2011). Hal ini menyebabkan rokok menjadi lebih mudah didapatkan. Pengendalian rokok melalui peraturan pemerintah juga masih lemah. Walaupun pemerintah telah mencanangkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, peraturan tersebut baru berlaku pada tahun 2014. Indonesia juga satu-satunya negara di ASEAN yang belum menandatangani WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), suatu perjanjian internasional mengenai pengendalian tembakau (SEATCA, 2012).
2
Perokok di Indonesia diduga lebih berisiko terkena dampak buruk kesehatan akibat rokok. Hal ini disebabkan jenis rokok yang paling populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah rokok kretek. Sementara itu, rokok kretek mengandung lebih banyak nikotin, tar, dan karbon monoksida dibandingkan rokok putih (Malson dkk., 2003). Zat-zat tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit, akut maupun kronis, pada manusia, seperti kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit sistem pernapasan, penyakit reproduksi, dan gangguan perkembangan janin (USDHHS, 2010). Rokok mengandung substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan, yaitu nikotin (USDHHS, 2010). Namun, konsep ketergantungan rokok masih dianggap barang baru (Royal College of Physicians, 2000). Di Indonesia, penelitian mengenai ketergantungan rokok pun masih belum banyak dilakukan. Ketergantungan rokok dapat mempengaruhi kualitas hidup individu, termasuk kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) (Castro dkk., 2007; Schnoll dkk., 2013). Telah banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan HRQoL. Kalucka (2012) menemukan bahwa lebih banyak pecandu rokok yang terjangkit penyakit kronik, dengan onset lebih cepat dan frekuensi lebih besar dibandingkan nonperokok. Selain itu, buruknya kesehatan fisik dan psikologis perokok dapat mengurangi kualitas hidup terkait kesehatan (Kalucka, 2012). Penelitian lain oleh Schmitz dkk. (2013) menyatakan bahwa perokok dengan tingkat kecanduan tinggi memiliki kualitas hidup lebih buruk daripada perokok dengan tingkat kecanduan rendah.
3
Walaupun penelitian mengenai hubungan antara ketergantungan terhadap rokok dengan kualitas hidup banyak dilakukan di negara lain, penelitian semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai pengaruh ketergantungan terhadap rokok terhadap kualitas hidup terkait kesehatan perlu dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak buruk merokok bagi kesehatan. Penelitian semacam ini juga diperlukan untuk menyediakan bukti kuat yang dapat dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan-kebijakan mengenai pengendalian tembakau, mengingat masih lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisis perbedaan kualitas hidup berdasarkan tingkat ketergantungan rokok. Analisis hubungan tingkat ketergantungan rokok dengan kualitas hidup pada penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada. Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta adalah kabupaten dan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Berbeda dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman telah memiliki peraturan daerah mengenai kawasan bebas asap rokok (Bupati Sleman, 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perbandingan profil tingkat ketergantungan rokok dan kualitas hidup pada daerah yang sudah memiliki peraturan kawasan bebas asap rokok dan daerah yang belum memiliki peraturan serupa. Sementara itu, mengingat kualitas kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan belajar individu (Bramness dkk., 2007), penelitian juga dilakukan pada mahasiswa di Universitas
4
Gadjah Mada, salah satu universitas di Provinsi DIY dengan jumlah mahasiswa yang besar, yaitu 51.796 orang pada tahun 2012 (UGM, 2013). Tingkat ketergantungan terhadap rokok pada penelitian ini diukur dengan instrumen Fagerström Test for Cigarette Dependence (FTCD) yang sudah diterjemahkan di banyak negara, kemudian diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia oleh peneliti dan diuji construct validity. Menurut FTCD, tingkat ketergantungan pada rokok digolongkan menjadi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi . Semakin besar skor total tes menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan responden terhadap rokok. (Heatherton dkk., 1991) Pengukuran kualitas hidup atau health-related quality of life (HRQoL) dilakukan dengan kuesioner WHOQOL-BREF versi bahasa Indonesia yang terdiri atas 26 pertanyaan. Terdapat 4 domain yang diukur oleh kuesioner ini, yaitu domain fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Analisis hubungan tingkat ketergantungan rokok dengan kualitas hidup dilakukan dengan one-way ANOVA.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1.
Bagaimana gambaran HRQoL responden di setiap wilayah pada domain fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan menurut variabel sosiodemografi?
5
2.
Bagaimana gambaran status merokok responden di setiap wilayah menurut variabel sosiodemografi?
3.
Bagaimana gambaran tingkat ketergantungan rokok responden di setiap wilayah menurut variabel sosiodemografi?
4.
Adakah perbedaan profil HRQoL pada responden perokok dan responden nonperokok?
5.
Adakah hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan HRQoL pada responden perokok di setiap wilayah?
C. 1.
Manfaat Penelitian
Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi peneliti mengenai hubungan antara tingkat ketergantungan pada rokok dengan kualitas hidup terkait kesehatan responden di Universitas Gadjah Mada, Kabupataen Sleman, dan kota Yogyakarta.
2.
Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini dapat menyediakan informasi terbaru dan akurat bagi pemerintah mengenai dampak rokok pada kesehatan. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan mengenai pengendalian rokok dan tembakau.
3.
Bagi Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini dapat memberikan informasi terbaru dan akurat mengenai dampak rokok terhadap kualitas hidup yang selama ini masih sedikit tersedia.
6
Informasi tersebut diharapkan secara tidak langsung dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran perubahan perilaku merokok di masyarakat.
D. 1.
Tujuan Penelitian
Menggambarkan profil HRQoL pada responden berkaitan dengan variabel sosiodemografi.
2.
Menggambarkan profil status merokok pada responden berkaitan berkaitan dengan variabel sosiodemografi.
3.
Menggambarkan profil tingkat ketergantungan rokok pada responden berkaitan dengan variabel sosiodemografi.
4.
Menjelaskan perbedaan HRQoL responden perokok dan nonperokok pada setiap wilayah.
5.
Menjelaskan ada/tidaknya hubungan tingkat ketergantungan rokok dengan HRQoL responden perokok.
E. 1.
Tinjauan Pustaka
Epidemiologi rokok di Indonesia Indonesia adalah salah satu negara yang menduduki peringkat atas dalam hal konsumsi, produksi, dan ekspor rokok di dunia. Indonesia berada di urutan ke-5 sebagai produsen daun tembakau dan eksportir rokok terbesar. Indonesia memiliki jumlah perokok terbanyak kedua. Indonesia juga merupakan negara pengonsumsi rokok terbesar ke-4 (WHO, 2012).
7
Di Indonesia, kebiasaan merokok dimiliki tidak hanya oleh pria, tetapi juga oleh wanita. Sebanyak 67.0% dari jumlah penduduk pria dan 2.7% dari jumlah penduduk wanita adalah perokok (WHO, 2012). Pada populasi penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 64,9% pria dan 2,1% wanita adalah perokok (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Kegiatan merokok di Indonesia banyak dijumpai di area pedesaan (rural area) dan area perkotaan (urban area). Persentase perokok harian (daily smoker) di Indonesia lebih banyak di area pedesaan (32,2% dari total populasi pedesaan) daripada di perkotaan (26,3% dari total populasi perkotaan). Persentase perokok tak berkala (occasional smoker) di pedesaan dan perkotaan besarnya sama (WHO, 2012). Profil usia mempengaruhi kebiasaan merokok di Indonesia. Usia rata-rata masyarakat mulai merokok di Indonesia adalah 17 tahun, baik di area pedesaan maupun di area perkotaan (WHO, 2012). Namun, ada juga masyarakat yang mulai merokok pada usia dini, yaitu pada usia kurang dari 15 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Persentase perokok harian paling besar adalah pada usia 45-64 tahun, yaitu sebesar 33,5% (WHO, 2012). Persentase perokok tak berkala paling tinggi adalah pada usia 15-24 tahun (WHO, 2012). Profil pendidikan dan pekerjaan juga turut mempengaruhi kebiasaan merokok di Indonesia. Prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan kurang dari sarjana (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Masyarakat yang menempuh perguruan tinggi memulai
8
merokok pada usia rata-rata yang lebih tua, yaitu 19,5 tahun (WHO, 2012). Persentase perokok harian tertinggi ditemukan pada masyarakat yang berwiraswasta, yaitu sebesar 43,4% (WHO, 2012). Persentase perokok tak berkala tertinggi ditemukan pada kalangan tunakarya (7%) dan wiraswasta (6,9%) (WHO, 2012). Perokok di Indonesia yang berumur 10 tahun ke atas mengonsumsi ratarata 12,3 batang per hari. Provinsi dengan rerata konsumsi batang rokok per hari paling tinggi adalah Bangka-Belitung, yaitu 18,3 batang. Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki rerata konsumsi batang rokok paling rendah, yaitu 10 batang. (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia adalah rokok kretek, rokok putih, dan rokok lintingan. Dari ketiga jenis tersebut, jenis yang paling populer adalah rokok kretek. Rokok kretek lebih banyak dikonsumsi oleh perokok pria dan perokok di daerah pedesaan. Persentase penggunaan rokok linting meningkat seiring dengan peningkatan usia perokok, tetapi persentasenya menurun pada tingkat usia geriatri (lebih dari 65 tahun). Persentase penggunaan rokok kretek lebih kecil pada orang-orang yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dibandingkan pada orangorang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar (WHO, 2012). Rokok kretek mengandung zat-zat berbahaya lebih banyak daripada jenis rokok lain (Malson dkk., 2003). Rokok kretek mengandung 1,2—4,5 mg nikotin, 46,8 mg tar, dan 28,3 mg karbon monoksida (Knaresborough, 1999).
9
Kadar-kadar tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar yang terkandung pada rokok putih 1 mg nikotin, 16,3 mg tar, dan 15,5 mg karbon monoksida (Knaresborough, 1999).
2.
Situasi rokok di Indonesia secara sosial, politik, dan ekonomi Rokok mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Hal ini salah satunya disebabkan karena harga rokok di Indonesia lebih murah dan terjangkau, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Harga rata-rata satu bungkus rokok adalah Rp 6.000,00. Rata-rata pajak yang dikenakan pemerintah terhadap produk rokok juga sangat rendah, yaitu 52,4%. Besar pajak ini masih jauh lebih kecil dari besar pajak produk rokok eceran yang disarankan, yaitu 67-80%. Bahkan, pada tahun-tahun terakhir, rokok menjadi semakin mudah dijangkau karena harga rokok cenderung stabil, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat meningkat dengan cepat. (Rumbogo & Ahsan, 2011) Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah berupaya membuat aturan mengenai larangan dan peringatan rokok. Peraturan tersebut tertuang dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan Pasal 17 ayat 4. Menurut peraturan tersebut, persyaratan pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan rokok antara lain:
10
a. Gambar dan teks dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (empat puluh persen), diawali dengan kata ―Peringatan‖ b. Teks dicetak dengan huruf berwarna putih dan dasar hitam. Teks harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya. Jenis huruf harus menggunakan font arial bold berukuran 10 (sepuluh) proporsional dengan kemasan c. Gambar harus dicetak berwarna. (Departemen Kesehatan RI, 2012) Walaupun telah dibuat aturan mengenai larangan dan peringatan rokok, larangan dan peringatan rokok di Indonesia dapat dikatakan kurang kuat. Menurut South East Asia Tobacco Control Alliance atau SEATCA (2012), larangan rokok di Indonesia juga masih bersifat parsial. Iklan rokok masih diijinkan tayang di media elektronik pada pukul 21.30 hingga 05.00 (SEATCA, 2012). Pengendalian tembakau di Indonesia juga masih lemah. Terlepas dari fakta bahwa Indonesia pernah menjadi lead country dalam persiapan kebijakan bebas rokok di ASEAN pada tahun 2011, Indonesia belum memiliki mekanisme pendanaan untuk pengendalian tembakau (SEATCA, 2012). Indonesia juga satu-satunya negara di ASEAN (SEATCA, 2012), bahkan di Asia-Pasifik (Nichter dkk., 2009) yang belum menandatangani WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), suatu perjanjian
11
internasional mengenai pengendalian tembakau antarnegara-negara anggota WHO. Pengiklanan rokok di Indonesia cukup gencar. Figur rokok yang diusung adalah pengendali emosi, simbol kejantanan, dan sebagai bagian dari tradisi sekaligus simbol modernitas. Iklan rokok juga sangat mudah ditemukan di sepanjang jalan. Di Kota Yogyakarta, misalnya, sulit untuk berjalan di trotoar tanpa menemukan iklan rokok dalam bentuk spanduk, bendera, atau baliho. Media-media periklanan tersebut secara berkala diperbaharui oleh industri rokok yang bersangkutan (Nichter dkk., 2009). Secara ekonomi dan politik, posisi industri rokok di Indonesia juga kuat. Hal ini disebabkan karena industri rokok merupakan sumber pendapatan pemerintah terbesar ke-4. Oleh karena itu, industri rokok menjadi lebih mudah
mempromosikan
produknya
di
Indonesia.
Industri
rokok
mempromosikan produknya tidak hanya dengan pemasangan iklan, tetapi juga melalui pemberian sponsor untuk menyelenggarakan acara atau membangun fasilitas publik seperti halte bus, lampu taman, taman kota, dan lain-lain (Nichter dkk., 2009).
3.
Kandungan asap rokok dan dampak rokok bagi kesehatan Pada dasarnya, ada 2 tipe asap yang dihasilkan rokok berdasarkan arah alirannya, yaitu asap aliran utama (mainstream) dan asap aliran samping (sidestream). Asap mainstream dihasilkan dari ujung rokok yang menempel pada mulut selama rokok diisap. Asap sidestream dihasilkan dari puntung
12
rokok yang membara. Udara di sekitar perokok terdiri atas campuran asap mainstream yang diembuskan perokok, asap sidestream¸ dan asap yang keluar dari pori-pori kertas rokok (USDHHS, 2010). Kandungan senyawa kimia pada asap mainstream dan pada asap sidestream berbeda. Zat-zat dengan titik didih rendah lebih banyak ditemukan pada asap sidestream (Sakuma dkk., 1984). Kandungan asap mainstream tergantung pada komposisi bahan-bahan mudah terbakar pada daerah tepi batang rokok (cigarette rod), sedangkan kandungan asap sidestream banyak dipengaruhi oleh komposisi pada bagian tengah batang (USDHHS, 2010). Asap rokok merupakan zat dengan kandungan senyawa kimia yang kompleks (USDHHS, 2010). Asap rokok diperkirakan mengandung lebih dari 4.000 senyawa kimia (USDHHS, 2007a). Dari 4.000 senyawa kimia tersebut, terdapat sekitar 250 senyawa yang berisiko memberikan dampak buruk bagi kesehatan perokok dan orang di sekitar perokok (USDHHS, 2007a). Zat beracun yang banyak dikandung asap rokok adalah nikotin, N-nitrosamin, hidrokarbon aromatik polisiklik, zat-zat volatil termasuk aldehid, logam berat, amina aromatik, dan amina heterosiklik (USDHHS, 2010). Asap rokok dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. Dampak buruk yang ditimbulkan rokok tidak hanya pada sistem pernapasan, tetapi juga pada sistem-sistem organ lainnya. Asap rokok berpotensi menimbulkan osteoporosis, batuk, hiperplasia, displasia, abnormalitas konsentrasi lipid di serum, perubahan kadar koagulan pada darah, penyakit periodontal, dan abnormalitas tes toleransi glukosa (Stratton dkk., 2010). Pada aras molekuler,
13
asap rokok dapat menyebabkan mutasi pada gen pengatur enzim hipoksantin fosforibosil transferase (HPRT), kerusakan DNA,
perubahan RNA,
perubahan ekspresi protein, perubahan metilasi pada promoter, mutasi mitokondria, leukositosis, penyimpangan pada kromosom, dan perubahan limfosit
(USDHHS, 2010). Asap rokok
dikategorikan
sebagai
zat
karsinogenik oleh US Environmental Protection Agency (USDHHS, 2007a). Dampak buruk rokok tidak hanya mengancam perokok aktif, tetapi juga perokok pasif. Perokok pasif atau secondhand smoker menghirup asap mainstream dan asap sidestream. Perokok pasif terpapar lebih banyak zat kimia beracun yang dikandung asap rokok karena konsentrasi zat kimia beracun pada asap sidestream lebih besar dibandingkan pada asap mainstream (USDHHS, 2007a). Anak-anak yang berada pada lingkungan perokok pun turut berisiko menerima dampak buruk dari rokok. Anak-anak yang sering menghirup asap rokok dari lingkungannya selama pertumbuhan berpotensi mengalami kelemahan paru-paru. Bayi yang ibunya merokok sewaktu hamil atau terpapar asap rokok setelah lahir berisiko mengalami sindrom kematian mendadak (sudden infant death syndrome). Ibu yang merokok sewaktu hamil juga berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan rendah (USDHHS, 2007b). Rokok menyebabkan jumlah kematian yang besar di dunia. Pada tahun 2000, diperkirakan terdapat 4,83 juta kematian dini akibat merokok. Persentase kematian dini akibat merokok adalah 12% dari total kematian
14
orang dewasa. Sebanyak 3,84 juta kematian akibat merokok terjadi pada pria dan 1 juta kematian akibat merokok terjadi pada wanita. Wilayah di dunia dengan riwayat merokok yang lebih lama memiliki tingkat kematian akibat rokok lebih besar (Ezzati & Lopez (2004).
4.
Ketergantungan rokok Rokok bersifat adiktif. Selama ini, ketergantungan rokok selalu dikaitkan dengan nikotin. Nikotin adalah substansi di dalam asap rokok yang dianggap paling berperan dalam membuat rokok menjadi adiktif. Oleh karena itu, ketergantungan rokok sering direpresentasikan dengan istilah adiksi nikotin (USDHHS, 2010). Nikotin di dalam rokok menciptakan perasaan yang menyenangkan dan meredam kecemasan. Dalam jangka pendek, rokok juga meningkatkan daya konsentrasi dan performa dalam bekerja. Kedua hal tersebut dapat menginduksi kecanduan rokok. Selain itu, perokok yang mencoba berhenti merokok biasanya mengalami kegagalan karena tidak sanggup menghadapi efek withdrawal dari berhenti merokok secara tiba-tiba, yaitu lelah, cemas, terlalu peka terhadap rangsangan, dan mood yang buruk, sehingga perokok yang terkena efek withdrawal cenderung melakukan kegiatan merokok untuk meredam efek tersebut (Benowitz, 2010). Nikotin di dalam rokok menyebabkan adiksi melalui induksi produksi dopamin. Nikotin berinteraksi dengan reseptor asetilkolin nikotinik di daerah mesolimbik otak. Interaksi ini akan menyebabkan pelepasan dopamin di
15
tempat-tempat yang terlibat dalam pengaturan informasi, ingatan, dan emosi. Kenaikan kadar dopamin di daerah mesolimbik otak menyebabkan perasaan kecanduan (D'Souza & Markou, 2011). Adiksi nikotin pada rokok memiliki fase dan kriteria yang hampir sama dengan adiksi obat-obatan. Adiksi nikotin terjadi dalam 3 fase, yaitu penerimaan dan pemeliharaan kebiasaan mengonsumsi nikotin, kemunculan gejala withdrawal ketika berhenti mengonsumsi, dan kecenderungan kekambuhan. Kriteria adiksi nikotin meliputi hal-hal berikut ini. a. Kriteria primer, yaitu penggunaan secara terkendali maupun kompulsif, kemunculan efek psikoaktif, dan kemunculan perilaku akibat stimulasi obat (drug-reinforced behavior) b. Kriteria tambahan, yaitu perilaku seperti pola penggunaan teratur, kelanjutan penggunaan kendati sudah mengetahui efek berbahayanya, kekambuhan
selama
berhenti
mengonsumsi,
dan
kemunculan
keinginan yang berlebihan untuk mengonsumsi (craving). (USDHHS, 2010) Akhir-akhir ini, penggunaan adiksi nikotin sebagai istilah yang merepresentasikan ketergantungan terhadap rokok mulai ditinjau ulang. Menurut Fagerström (2011), walaupun nikotin merupakan zat yang paling berperan dalam menyebabkan ketergantungan pada rokok, masih banyak zat lain di dalam rokok yang berpotensi menyebabkan hal serupa. Asetaldehid, salah satu kandungan asap rokok, dapat menyebabkan ketergantungan melalui penghambatan enzim monoamin oksidase (MAO), sehingga kadar dopamin
16
meningkat (Fagerström, 2011). Selain itu, efikasi terapi nikotin pengganti untuk membantu upaya berhenti merokok dianggap sedang (Fiore dkk., 2008), bahkan walaupun jumlah nikotin pengganti sudah menggantikan jumlah nikotin pada rokok (Dale dkk., 1995).
5.
Pengukuran ketergantungan pada rokok dengan instrumen Fagerström Test for Cigarette Dependence (FTCD) Selama ini, telah dikembangkan berbagai instrumen untuk mengukur ketergantungan pada rokok. Instrumen tersebut berupa kuesioner dengan beberapa pertanyaan. Isi pokok dari instrumen-instrumen tersebut meliputi hal-hal berikut. a. Penggunaan yang berulang dan bersifat kompulsif b. Kesulitan mengendalikan penggunaan rokok c. Perasaan ingin mendapatkan rokok yang disebabkan oleh hal-hal tertentu, seperti craving atau perasaan rileks setelah merokok d. Keyakinan akan khasiat rokok yang didasarkan pada efek penguatan (reinforcement) yang didapatkan dari merokok e. Manifestasi ketergantungan secara fisik yang diwujudkan dalam bentuk toleransi atau withdrawal. (USDHHS, 2010) Contoh instrumen untuk mengukur ketergantungan pada rokok antara lain The Decisional Balance untuk mengukur keseimbangan antara kesetujuan dan ketidaksetujuan melanjutkan merokok dan berhenti merokok,
17
The Self-Efficacy/Temptation Scale untuk mengukur keyakinan responden akan kemampuannya berhenti merokok dan menahan godaan untuk kembali merokok (James & O’Donohue, 2009), dan Fagerström Test for Nicotine Dependence yang baru-baru ini diusulkan untuk berganti nama menjadi Fagerström Test for Cigarette Dependence (Fagerström, 2012). Fagerström Test for Cigarette Dependence (FTCD) merupakan instrumen pengukur ketergantungan pada rokok yang banyak digunakan secara klinik. FTCD telah digunakan pada berbagai clinical guideline oleh instansi-instansi kesehatan, antara lain oleh Department of Health State of Western Australia (2011), European Medicines Agency (2007), dan National Health Service (2011) di Inggris. FTCD dinilai praktis karena dapat mengukur kecanduan merokok dengan jumlah pertanyaan yang sedikit, sistem penilaian yang cukup mudah, dan sifat psikometriknya masih memadai
(James &
O’Donohue, 2009). FTCD pada dasarnya mengukur kecanduan rokok berdasarkan paparan nikotin (rokok), kesulitan mengontrol kebiasaan merokok, dan urgensi merokok (USDHHS, 2010). FTCD terdiri atas 6 pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki 2—4 pilihan jawaban dengan besar poin tertentu. Pertanyaan-pertanyaan pada FTCD dipaparkan dalam Gambar 1.
18
Gambar 1. Daftar pertanyaan pada FTCD (USDHHS, 2010)
Pengukuran ketergantungan pada rokok dengan FTCD didasarkan pada skor total responden. Semakin besar skor hasil tes artinya semakin besar ketergantungan responden pada rokok (Heatherton dkk., 1991). FTCD menggolongkan tingkat kecanduan rokok menjadi lima tingkat, yaitu sangat rendah (very low dependence), rendah (low dependence), sedang (medium dependence), tinggi (high dependence), dan sangat tinggi (very high dependence) (National Health Service, 2011).
6.
Pengukuran Health-Related Quality of Life (HRQoL) dengan Instrumen WHOQOL-BREF Kualitas hidup atau quality of life (QoL) pada dasarnya merupakan ukuran seberapa baik seseorang menjalani hidupnya (Nordenfelt, 1994). Istilah ini mencakup ranah-ranah yang amat luas. Ada banyak hal yang mempengaruhi
kualitas
hidup
secara
umum,
misalnya
pendidikan
19
(Nordenfelt, 1994), standar-standar dalam kehidupan sosial (Nordenfelt, 1994), keadaan keluarga (Walker & Rosser, 1993), kondisi personal (Walker & Rosser, 1993), dan lain-lain. Untuk bidang kesehatan, istilah yang lebih spesifik adalah kualitas hidup terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL). HRQoL merupakan istilah yang cakupannya lebih sempit karena hanya meliputi halhal yang mempengaruhi kesehatan seseorang (Nordenfelt, 1994). Menurut Patrick dan Erickson (1993), HRQoL didefinisikan sebagai ―the value assigned to duration of life as modified by the impairments, functional states, perceptions, and social opportunities that are influenced by disease, injury, treatmen, or policy.‖ Terdapat dua jenis instrumen yang digunakan untuk mengukur HRQoL, yaitu instrumen generik dan instrumen spesifik. Instrumen generik adalah instrumen untuk mengukur HRQoL pada populasi secara umum dan dengan rentang penyakit yang luas. Instrumen spesifik digunakan untuk mengukur HRQoL pada populasi khusus, yaitu populasi berdasarkan kondisi penyakit tertentu atau populasi yang menerima pengobatan tertentu. Instrumen spesifik menitikberatkan pada tahap-tahap tertentu dari penyakit tertentu (Fayers & Machin, 2007). WHOQOL adalah salah satu contoh instrumen generik untuk mengukur HRQoL (Frank-Stromborg & Olsen, 2004). WHOQOL dapat digunakan untuk mengukur HRQoL pada berbagai kondisi penyakit. Penyakit-penyakit yang telah diukur dengan WHOQOL antara lain penyakit psikiatrik (Hasanah
20
dan Razali, 2002), HIV (Fang dkk., 2002; Starace dkk., 2002), nyeri kronis (Skevington dkk., 2001), dan transplantasi hati (O'Carroll dkk., 2000). WHOQOL juga digunakan untuk mengukur HRQoL pada isu-isu kesehatan yang menimpa masyarakat secara komunal, misalnya kualitas hidup masyarakat pascagempa (Wang dkk., 2000). Salah satu isu kesehatan yang dapat diukur dengan WHOQOL adalah konsumsi rokok. WHOQOL mengukur kualitas hidup dari sudut pandang responden. Kualitas hidup yang diukur oleh WHOQOL adalah kualitas hidup yang dirasakan responden. WHOQOL tidak mengukur detail mengenai gejala penyakit, kondisi responden, atau disabilitas responden. WHOQOL mengukur berdasarkan persepsi responden atas kualitas hidupnya secara umum (WHO, 1998). Terdapat 2 macam kuesioner WHOQOL, yaitu WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF. WHOQOL-100 terdiri atas 100 pertanyaan, sedangkan WHOQOL-BREF terdiri atas 26 pertanyaan. WHOQOL-BREF merupakan versi lebih singkat dari WHOQOL-100 yang mencakup semua domain yang diukur oleh WHOQOL-100. Supaya dapat meliputi hal-hal yang dikaji WHOQOL-100, pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner WHOQOL-BREF harus mencakup 24 aspek pada WHOQOL-100 ditambah 2 pertanyaan mengenai keseluruhan kualitas hidup dan persepsi kesehatan secara umum (WHO, 1998). Jumlah domain WHOQOL-100 dibuat menjadi lebih padat pada WHOQOL-BREF. Pada WHOQOL-100, terdapat 6 domain, sedangkan pada
21
WHOQOL-BREF terdapat 4 domain. Pada WHOQOL-BREF, domain spiritualitas (spirituality domain) dimasukkan pada domain psikologis (psychological domain) dan domain kemandirian (level of independence domain) dimasukkan pada domain fisik (physical domain) (WHO, 1998). Domain I
Physical Capacity
1
Pain and discomfort
2
Energy and fatigue
3
Sleep and rest
Domain II
Psychological
4
Positive feelings
5
Thinking, learning, and concentration
6
Self-esteem
7
Bodily image and appearance
8
Negative feelings
Domain III
Level of Independence
9
Mobility
10
Activities of daily living
11
Dependence on medication or treatments
12
Work capacity
Domain IV
Social Relationship
13
Personal relationships
14
Social support
15
Sexual activity
Domain V
Environment
16
Physical safety and security
17
Home environment
18
Financial resources
19
Health and social care: accessibility and quality
20
Opportunities for acquiring new information and skills
21
Participation in and opportunities for recreation/ leisure activities
22
Physical environment (pollution/noise/traffic/climate)
23
Transport
Domain VI
Spirituality/Religion/ Personal Beliefs
Overall quality of life and general health perceptions
Gambar 2. Domain-domain pada kuesioner WHOQOL-100 (WHO, 1998)
22
Pain
(item 3)
Energy (item 10) (item 3) Sleep (item 16) (item 3) Mobility (item 15) (item 3) Activities (item 17)
Physical
Medication (item4) (item 3) Work
(item (item 18) 3)
Pos. feel (item 5) Think
(item (item 7) 3)
Esteem (item 19) Body
Psychological
(item 11)
Neg. feel (item 26) Quality of Life Spirituality (item6)
Relat.
(item 20)
Support (item 22) Sex
(item 21)
Safety
(item 8)
Home
(item 23)
Social Relationship
Finance (item 12) Services (item 24) Environment Inform. (item 13) Leisure (item 14) Envir.
(item 9)
Transp. (item 25)
Gambar 3. Domain-domain dan aspek-aspek pada kuesioner WHOQOL-BREF (WHO, 1998)
23
Penilaian WHOQOL-BREF dilakukan menggunakan skala 5 poin. Poin 1 artinya ―tidak sama sekali‖ dan poin 5 artinya ―dalam jumlah yang berlebihan‖ (Frank-Stromborg dan Olsen, 2004). WHOQOL-BREF telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satunya adalah bahasa Indonesia (WHO, 2004). Kuesioner WHOQOL-BREF dalam bahasa Indonesia sudah divalidasi dan diuji reliabilitasnya oleh Salim dkk. (2007).
7.
Profil DIY, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada Provinsi DIY adalah provinsi terpadat ketiga di Indonesia. Secara administratif, Provinsi DIY terdiri atas 4 kabupaten dan 1 kota. Keempat kabupaten tersebut adalah Sleman, Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul. Satu-satunya kota sekaligus ibukota Provinsi DIY adalah Kota Yogyakarta. (Dinas Kesehatan DIY, 2013) Kabupaten Sleman adalah kabupaten dengan luas wilayah terbesar kedua di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 574,82 km2 (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Hingga tahun 2010, Kabupaten Sleman juga merupakan kabupaten dengan kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi DIY, yaitu 1.902 jiwa/km2 (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Kabupaten Sleman terdiri atas 17 kecamatan, antara lain Moyudan, Godean, Minggir, Gamping, Seyegan, Sleman, Ngaglik, Mlati, Tempel, Turi, Prambanan, Kalasan, Berbah, Ngemplak, Pakem, Depok, dan Cangkringan (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2014).
24
Kota Yogyakarta merupakan satu-satunya kota di Provinsi DIY. Dibandingkan dengan keempat kabupaten di Provinsi DIY, Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah yang paling kecil, yaitu 32,50 km2, tetapi juga memiliki kepadatan penduduk yang paling besar hingga tahun 2010, yaitu 11.958 jiwa/km2 (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Kota Yogyakarta terdiri atas 14 kecamatan, yaitu Jetis, Gedongtengen, Ngampilan, Keraton, Gondomanan, Tegalrejo,
Wirobrajan,
Gondokusuman,
Danurejan,
Pakualaman,
Mergangsan, Umbulharjo, Kotagedhe, dan Mantrijeron (Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta, 2012). Provinsi DIY memiliki peraturan daerah mengenai kawasan bebas asap rokok, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009 (Gubernur DIY, 2009). Walaupun juga mengacu pada peraturan di Provinsi DIY, Kabupaten Sleman tetap membuat peraturan daerah sendiri mengenai kawasan bebas asap rokok yang tertuang pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Bupati Sleman, 2012). Berbeda dengan Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta belum memiliki peraturan daerah sendiri mengenai kawasan bebas asap rokok, melainkan masih mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009. Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah salah satu universitas yang tertua di Provinsi DIY, bahkan di Indonesia (UGM, 2013 b). UGM juga memiliki jumlah mahasiswa yang besar, yaitu 51.796 orang pada tahun 2012 (UGM, 2013c). Pada program sarjana, UGM memiliki 4 klaster (kesehatan, sains-teknologi, agro, dan sosiohumaniora) dan 18 fakultas (UGM, 2013a).
25
Klaster kesehatan terdiri atas fakultas farmasi, kedokteran gigi, dan kedokteran. Klaster sainstek terdiri atas fakultas biologi, geografi, MIPA, dan teknik. Klaster agro terdiri atas fakultas kedokteran hewan, kehutanan, pertanian, peternakan, dan teknologi pertanian. Klaster sosiohumaniora terdiri atas fakultas ekonomika dan bisnis, filsafat, hukum, ilmu budaya, psikologi, dan isipol. Berkaitan dengan rokok, UGM sudah memiliki peraturan yang menyatakan bahwa UGM merupakan kawasan bebas asap rokok, yaitu Peraturan Rektor UGM Nomor 29/P/SK/HT/2008 (UGM, 2012).
8.
Landasan Teori Rokok mengandung bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan perokok maupun orang-orang di sekitar perokok (USDHHS, 2007a). Salah satu outcome kesehatan yang bersifat subjektif adalah kualitas hidup terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa responden yang tidak merokok memiliki HRQoL lebih baik daripada responden yang merokok (De Castro dkk., 2010; Fallahzadeh & Mirzaei, 2012; Vogl dkk., 2012; Becoña dkk., 2013). Salah satu bahan kimia yang dikandung rokok adalah nikotin. Nikotin adalah substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan (USDHHS, 2010). Ketergantungan rokok telah diteliti dapat mempengaruhi HRQoL. Castro dkk. (2007) dan Scnoll dkk. (2013) mengatakan bahwa tingkat ketergantungan rokok yang tinggi dapat memperburuk HRQoL seseorang.
26
HRQoL seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kebiasaan merokoknya. Profil sosiodemografi seseorang juga dapat mempengaruhi HRQoL-nya. Beberapa variabel sosiodemografi tersebut antara lain usia (Skevington dkk., 2004), klaster pendidikan di universitas (Al-Naggar dkk., 2013), tingkat pendidikan (Skevington & The WHOQOL Group, 2010), status kesehatan (Nedjat dkk., 2008; Jaracz dkk., 2006), kebiasaan olahraga (Fallahzadeh & Mirzaei, 2012), riwayat penyakit kronik (Gholami dkk., 2013), dan status merokok orang tua (USDHHS, 2007 b). Sementara itu, profil sosiodemografi juga mempengaruhi status merokok dan tingkat ketergantungan rokok. Status merokok dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (WHO, 2012), status kesehatan (Margolis, 2013), aktivitas fisik (Papathanasiou dkk., 2012), riwayat penyakit kronik (Margolis, 2013), dan status merokok orang tua (Flora dkk., 2012). Sementara itu, variabel usia (Fidler dkk., 2010), klaster pendidikan di universitas (Al-Mohamed & Amin, 2010), tingkat pendidikan (Gallus & La Vecchia, 2004), status kesehatan (Maguire dkk., 2000), aktivitas olahraga (Taylor dkk., 2007), riwayat penyakit kronik (Maguire dkk., 2000) , dan status merokok orang tua (Xian dkk., 2010) juga dapat mempengaruhi tingkat ketergantungan rokok seseorang. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Perbedaan ketiga daerah ini, selain pada karakteristik respondennya, terletak pada health-related behavior terkait rokok. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang sudah memiliki
27
peraturan daerah mengenai kawasan bebas asap rokok (Bupati Sleman, 2012). UGM pun sudah memiliki peraturan yang menyatakan sebagai kampus bebas asap rokok (UGM, 2012). Namun, Kota Yogyakarta belum memiliki peraturan daerah serupa dan masih mengacu pada peraturan daerah dari Gubernur DIY.
9.
Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah ada, dapat diambil hipotesis bahwa terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan healthrelated quality of life (HRQoL).
10. Kerangka Konsep Penelitian Variabel sosiodemografi: Usia, Tingkat Pendidikan, Klaster Pendidikan, Status Kesehatan, Kebiasaan Olahraga, Riwayat Penyakit, Status Merokok Orang Tua
Nonperokok
Wilayah a. Sleman b. Yogyakarta c. Universitas Gadjah Mada
Perokok
Tingkat Ketergantungan pada Rokok
Kualitas Hidup (HRQOL) Gambar 4. Skema konsep penelitian