BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan suatu bangsa, sebab anak sebagai penerus bangsa memiliki kemampuan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008). Menurut (WHO) World Health Organization 2012, angka kematian balita di dunia masih cukup tinggi. Setiap tahunnya 6,6 juta anak usia di bawah lima tahun meninggal, 18.000 meninggal dunia hampir setiap harinya. Sebagian besar kematian tersebut berada di negara berkembang, lebih dari setengahnya dikarenakan infeksi saluran pernapasan akut (pneumonia), diare, campak, malaria, dan HIV/AIDS. Selain itu malnutrisi (54%) mendasari dari semua kematian anak. Secara global, pada tahun 2020 penyakit ini akan berkonstribusi penyebab utama kematian anak di dunia. Maka dari itu, upaya yang terus dilakukan untuk mengendalikannya. Meskipun kemajuan program dalam mengatasi masalah penyakit tersebut, angka kesakitan dan kematian anak masih tetap tinggi, berbagai cara inovatif untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan pada anak mulai dari masa kehamilan
terus
dikembangkan.
WHO/UNICEF
pada
tahun
1992
mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang merupakan
1
2
salah satu bentuk strategi pengelolaan balita sakit. Strategi MTBS mencakup upaya kuratif dan preventif untuk meningkatkan perbaikan dalam sistem kesehatan, manajemen kasus, dan praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat (Hill, Kirkwood, Eamond, 2004). Tujuan utama dari strategi MTBS adalah meningkatkan derajat kesehatan serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak mengurangi angka kematian, frekuensi, tingkat keparahan penyakit dan kecacatan, dan memberikan konstribusi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2008). Kegiatan MTBS memiliki tiga komponen khas yang menguntungkan, yaitu meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit, memperbaiki sistem kesehatan, dan memperbaiki praktik dalam rumah tangga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pengobatan pada kasus balita sakit (WHO, 2012). MTBS pertama kali difokuskan pada pelatihan tenaga kesehatan yang terintegritas pada pemeriksaan anak sakit yang komprehensif, sehingga meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak. Perlu disadari bahwa intervensi fasilitas kesehatan tidak berdampak baik jika tidak didukung dengan perubahan pada tingkat rumah tangga dan masyarakat (CORE, 2003). Angka kematian bayi dan anak masih merupakan masalah yang serius secara global terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hampir dua kali lipat rata-rata angka kematian bayi dan anak jika dibandingkan dengan empat negara, yaitu Malaysia, Thailand, Srilangka, dan RRC (BPPN, 2009). Meskipun kesehatan anak di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke
3
waktu sebagai akibat dari perbaikan layanan kesehatan dan higiene, yang diiringi dengan penurunan AKA. Berdasarkan Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 didapat angka kematian anak (AKA) di bawah lima tahun 40 kematian per 1000 kelahiran hidup. Penyebab utama angka kesakitan dan kematian anak usia kurang dari lima tahun di Indonesia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (terutama pneumonia), diare, demam. Dari 16.380 anak yang disurvei, 5% dilaporkan menunjukkan gejala ISPA, 31% mengalami demam, dan 14% diare (SDKI, 2012). Hal ini masih jauh dari tujuan MDGs ke 4 yang menyebutkan bahwa terget angka kematian balita diharapkan turun mencapai dua per tiga dari 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Statistic Indonesia, 2012). Demam berkonstribusi tinggi terhadap angka kesakitan dan kematian anak. Demam merupakan suatu keadaan di mana suhu tubuh di atas normal, yaitu di atas 37,5oC (Depkes, 2008). Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh yang bermanfaat karena timbul dan menetap sebagai respon terhadap suatu penyakit. Namun suhu tubuh yang terlalu tinggi juga akan berbahaya (Schwartz, 2005). Saat ini, demam merupakan kondisi yang sering dijumpai, khususnya balita sering mengalami demam karena masih rentan terhadap infeksi virus seperti ISPA dan demam menjadi alasan utama orang tua membawa anaknya ke pelayanan kesehatan (Chiappini, 2009). Penyebab tersering karena infeksi ringan, akan tetapi juga merupakan tanda paling nyata dari suatu penyakit yang mengancam jiwa,
4
terutama malaria (WHO, 2003). Di Indonesia, penyakit umum disertai demam yaitu malaria, infeksi pernapasan dan usus, campak, dan typus. Menurut laporan SDKI (2012), menunjukkan bahwa sebelum 2 minggu anak dilakukan survei, 31% anak usia dibawah 5 tahun menderita demam, pada saat usia 6-23 bulan angka menunjukkan 37% lebih rentan mengalami demam, dan tiga dari empat anak demam yang dibawa ke fasilitas kesehatan sebesar 74%. Menurut SIRS tahun 2012 di DIY sendiri kunjungan rawat jalan masih didominasi oleh penyakit infeksi saluran pernafasan dan diikuti oleh demam (Dinkes DIY, 2013). Indonesia mengadopsi strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada tahun 1997, sebagai strategi utama untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan, serta berupaya mempromosikan kesehatan dan pengembangan anak (Depkes, 2008). Setelah penerapan MTBS, sembilan wilayah administratif di Inodensia telah mengembangkan rencana strategi dalam 5 tahun untuk menerapkan MTBS, dan hasilnya dua pertama komponen sudah dilaksanakan. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari dinas kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah puskesmas yang melakasanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan (melakukan pendekatan memakai MTBS) pada minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut (Dirtjen Bina Kesehatan Anak, 2012). Sampai saat ini di Indonesia, sudah banyak petugas kesehatan yang dilatih dalam tatalaksan MTBS pada balita. Secara nasional, presentase
5
puskesmas menerima Pelatihan MTBS adalah sebesar 42,6%, presentase puskesmas tidak melakukan sebesar 56,9 % (Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan, 2011). Keberhasilan penurunan angka kesakitan dan kematian anak, membutuhkan partisipasi aktif dan kerjasama baik antara petugas kesehatan dan masyarakat. Meskipun, praktik pada rumah tangga dan masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan perawatan kepada anak mereka, penanganan dalam kesehatan anak, gizi, pertumbuhan dan perkembangan masih banyak kasus (CORE, 2003). Oleh karena itu, Indonesia menekankan perlunya pelaksanaan komponen ketiga dari strategi MTBS yang berkaitan dengan perbaikan praktik pada rumah tangga yang memiliki dampak postif untuk pertumbuhan dan perkembangan serta kelangsungan hidup anak. Di tingkat keluarga, pendekatan difokuskan perbaikan gizi dan upaya pencegahan, perilaku pencarian kesehatan yang sesuai, serta pelaksanaan pengobatan yang tepat. Intervensi gizi yang cost-effective, layak dan dapat diterapkan, yaitu pemberian ASI eksklusif selama kurang lebih 6 bulan yang bersifat melindungi, meningkatkan, dan mendukung peningkatan gizi, pemberian makanan pelengkap yang sesuai dan melanjutkan pemberian ASI selama 2 tahun, penyediaan asupan gizi memadai saat anak sakit dan menderita gizi buruk, serta penyediaan asupan Vitamin A, zat besi dan yodium yang memadai. Strategi utama untuk mencapai hasil ini mencakup penggalakan ASI eksklusif, pemantauan tumbuh kembang anak, serta peningkatan komunikasi untuk perubahan perilaku. Kondisi saat ini, 18,4% balita masih mengalami kekurangan gizi, sementara
6
kekurangan gizi mikro, seperti ditunjukkan oleh konsumsi vitamin A pada anak usia 6-59 bulan selama 6 bulan terakhir turun dari 75% dari tahun 2002/2003 menjadi 68,5% tahun 2007 (BAPPENAS, 2010). Praktik kesehatan anak tetap jauh jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Kesadaran akan kesehatan anak dikalangan masyarakat dirasa selama ini masih kurang. Data dari Profil Dinkes Kabupaten Bantul tahun 2012 kasus kematian balita pada tahun 2011 sebanyak 136 balita dengan jumlah permil. Dengan jumlah AKB terbesar di Wilayah Kecamatan Banguntapan dan Jetis, kasus sebesar 11-25 kematian balita. Pembangunan kesehatan di Kabupaten Bantul juga dihadapkan pada masalah transisi epidemiologi di mana penyakit menular belum begitu berhasil diturunkan bahkan ada yang cenderung meluas. Penyakit menular yang selalu masuk dalam 10 besar penyakit di puskesmas adalah penyakit saluran pernafasan (diantaranya pneumonia) dan diare (Profil Dinkes Kab. Bantul 2012). Sedangkan menurut hasil Rekapitulasi Pelaksanaan MTBS pada bulan Januari-Maret 2013 di Puskesmas Banguntapan 1, rata-rata angka kesakitan penyakit menular untuk penyakit pneumonia terdapat 5 kasus, diare ada 15 kasus, dan untuk demam sendiri terdapat 88 kasus tiap bulannya rata-rata. Oleh sebab itu, kesadaran atas pemenuhan hak anak dan pengetahuan akan kesehatan anak perlu mendapat perhatian khusus agar visi Kabupaten Bantul tercapai yaitu Kabupaten Bantul yang sehat dan mandiri. Hal ini sangat diperlukan penelitian yang mendukung agar kematian balita tidak semakin tinggi lagi. Maka diperlukan juga penelitian mengenai gambaran pelaksanaan MTBS pada rumah tangga yang memiliki balita
7
dengan demam di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Yogyakarta. Puskesmas yang merupakan salah satu rekomendasi dari dinas kesehatan Kabupaten Bantul yang telah menerapkan MTBS dengan baik, dengan jumlah kunjungan balita yang ditatalaksana dengan MTBS banyak dan populasi balita dengan demam sebanyak 88 balita dengan demam.
B. Rumusan Masalah Angka kematian anak masih cukup tinggi, walapun mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Keberhasilan menurunkan angka kematian balita tidak hanya membutuhkan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih baik, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat. Masalah kesehatan balita yang berkaitan dengan masalah demam dapat dicegah dan ditangani mulai dari keluarga yaitu perilaku keluarga yang berkaitan dengan pelaksanaan MTBS rumah tangga. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil adalah bagaimana pelaksanaan MTBS pada rumah tangga yang memiliki balita dengan demam di Wilayah Puskemas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada rumah tangga
8
yang memiliki balita dengan demam di Wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. 2.
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah a. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. b. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) setelah anak berusia 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI sampai anak usia 2 tahun. c. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian gizi mikro pada anak (vitamin A). d. Memperoleh gambaran pelaksanaan imunisasi lengkap pada anak sesuai jadwal yang telah ada (BCG, DPT, OPV, dan Campak) sebelum anak berusia satu tahun. e. Memperoleh gambaran pelaksanaan perilaku membuang feses dengan aman (termasuk feses anak), dan mencuci tangan dengan sabun setelah menggunakan toilet, sebelum menyiapkan makanan, serta sebelum memberikan makanan. f. Memperoleh gambaran pelaksanaan perilaku pencarian pengobatan anak di luar rumah dan terkait saran dari petugas kesehatan meliputi kunjungan ulang, pengobatan, dan tindak lanjut. g. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian perawatan anak demam di rumah dengan tepat.
9
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi peneliti Menambah ilmu pengetahuan tentang bagaimana pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit pada rumah tangga yang memiliki balita dengan demam.
2.
Bagi pasien Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit pada rumah tangga yang memiliki balita dengan demam.
3.
Bagi tenaga kesehatan Sebagai bahan evaluasi dalam pemberian layanan kesehatan yang sesuai dengan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit pada rumah tangga yang memiliki balita dengan demam.
4.
Bagi ilmu pengetahuan Mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian 1.
Agha, et al. (2007) melakukan penelitian yang berjudul “Eight Key Household Practices of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Among Mothers of Children Aged 6 to 59 Months in Gambat, Sindh, Pakistan. Penelitian ini mengetahui determinan pengetahuan, sikap dan tindakan termasuk dalam 8 Key Family Practice dalam MTBS rumah tangga. Subjek diambil menggunakan teknik propotional sampling dari subpopulasi yang representatif di daerah Taluka Gambat, Sindh. Hasil penelitian
10
menunjukkan tingkat pendidikan yang rendah dan status mobilitas pada penyediaan layanan kesehatan untuk perawatan anak di pedesaan. Beberapa ibu tahu tentang pemberian makan untuk anak yang diare, pemberian ASI eksklusif, pemberiaan imunisasi, mencuci tangan sebelum makan dan setelah makan. Persamaan penelitian Agha dengan penelitian ini adalah penelitian menggunakan jenis penelitian kuantitatif, mengetahui pelaksaanaan MTBS pada rumah tangga. Perbedaannya terletak pada variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 8 Key Family Practice dalam MTBS rumah tangga. 2.
Galenso (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Pengetahuan Ibu Anak Balita Terhadap Tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Toili III Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah”. Penelitian Galenso menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan observasional serta rancangan cros sectional dengan data diambil menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini semua anak balita yang ada di Wilayah Puskesmas Toili III dan sampelnya ibu dari anak balita yang datang membawa anaknya berobat ke poli MTBS Puskesmas Toili III dengan diagnosis medis pneumonia, diare, campak, malaria, dan malnutrisi. Hasilnya terdapat hubungan antara pendidikan formal ibu anak balita dengan konseling petugas MTBS terhadap pengetahuan ibu anak balita tentang penyakit semua tatalaksana MTBS.
11
Persamaan penelitian Galenso dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan rancangan penelitian kuantitatif dan perbedaannya terletak pada variabel penelitian, di mana pada penelitian yang akan dilakukan adalah pelaksanaan MTBS pada rumah tangga. 3.
Wansi, et al. (2000) melakukan penelitian yang berjudul “Community IMCI Baseline Survey In Malawi”. Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang bertujuan mengukur pengetahuan, sikap, dan praktik keluarga dan masyarakat dalam 16 Key Family Practice yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup anak, pertumbuhan dan perkembangan serta menilai kendala perubahan perilaku. Subjek penelitian ayah atau ibu atau pengasuh balita pada anak di bawah usia lima tahun dari 1.694 balita yang diambil secara acak di lima kabupaten di Wilayah Afrika yang melakukan MTBS. Hasil menunjukkan bahwa pada penelitian survei ini 16 Key Family Practice menemukan untuk setiap item, bahwa ada dorongan positif. Itu menjadi poin untuk intervensi yang lebih aktif. Misalnya saja banyak balita yang diberikan ASI sampai usia 2 tahun, namun memperkenalkan makan lebih dini. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan adalah metode yang akan digunakan, yaitu deskriptif kuantitatif menggunakan pendekatan cross sectional dan hanya memperoleh gambaran terkait 8 Key Family Practice dalam MTBS rumah tangga.