BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) merupakan organisasi agama (Religious Organization) yang resmi terbentuk dengan badan hukum 214 LN. No 8 Tgl 11 Agustus 1949 dengan jumlah jemaat sebanyak 83 jemaat yang beranggotakan 3.853 kk atau sekitar 13.173 jiwa. GKPB pada dasarnya memiliki tugas utama dalam pelayanan dan pengembangan rohani jemaatnya, namun dalam perjalanannya hingga saat ini GKPB telah berkembang dengan membangun asetasetnya di berbagai bidang dalam upaya ikut membantu kesejahteraan masyarakat khususnya di Bali seperti dalam bidang pariwisata, pendidikan, perbankan dan panti asuhan. Dari sudut pandang lain GKPB bisa disebut organisasi sosial karena memiliki tujuan membantu atau memenuhi kebutuhan sosial masyarakat di luar jemaat GKPB (Winardi 2011:12). GKPB dipimpin oleh pengurus harian yang disebut Majelis Sinode Harian (MSH) yang terdiri dari Ketua sinode yang disebut Bishop, Sekretaris umum dan Bendahara. Bishop dan sekretaris umum wajib dijabat oleh seorang Pendeta, sedangkan untuk jabatan bendahara bisa dari non Pendeta. Setiap jemaat di GKPB diketuai oleh seorang Pendeta dan setiap lembaga, departemen dan yayasan yang dimiliki oleh GKPB juga dipimpin oleh Pendeta. Pendeta GKPB merupakan pekerja gereja yang bertugas di jemaat, departemen dan lembaga yang dimiliki oleh GKPB. Mereka bertindak selaku
1
2
pemimpin dan juga sebagai pelayan dalam menjalankan tugasnya, dengan kata lain Pendeta memiliki karakter servant leadership. Greenleaf dalam Spears (2010) menyebutkan servant leader dimulai dari pelayanan yang merupakan sifat alami seseorang untuk ingin melayani yang kemudian secara sadar membawa yang lainnya untuk memimpin. Pendeta yang bertugas di jemaat-jemaat GKPB cenderung memiliki sifat melayani, karena mereka adalah pemimpin rohani yang telah berkomitmen dan diharapkan dapat memberikan pelayanan bagi anggotanya dalam hal rohani, pendampingan atau kepedulian, tetapi diharapkan juga mampu membuat konsep atau program kerja di masing-masing jemaat, departemen dan lembaga dimana mereka ditugaskan. Spears (2010) menjabarkan karakteristik dari seorang servant leader terdiri dari sepuluh karakter yaitu mendengar, empati, memulihkan, kesadaran, kemampuan membujuk, mampu mengkonsep, mampu melihat atau berorientasi ke masa depan, mampu mengatur, berkomitmen pada pertumbuhan orang lain dan membangun komunitas. Indartono (2010) berpendapat bahwa kesepuluh perilaku tersebut dapat melayani pengikutnya dan tidak hanya mendorong mereka terikat dalam kebebasan moral tetapi juga melanjutkannya dengan membangun partisipasi dalam kepemimpinan organisasi. Kesepuluh karakter tersebut hampir semuanya ada dalam profesi Pendeta, karena tugas dan pelayanan mereka mengharuskan untuk banyak mendengar keluhan jemaat, empati kepada anggotanya, memulihkan hubungan yang kurang baik di jemaat, departemen atau lembaga, melakukan pendekatan persuasif ketika ada masalah, membuat konsep kerja tahunan, dan lain sebagainya
3
sehingga secara umum Pendeta jemaat GKPB bertindak sebagai ketua dapat disetarakan dengan manager pada dunia bisnis. Pendeta selaku ketua yang dimaksud adalah sebagai ketua majelis jemaat, dimana peran ini tidak berbeda dari pengurus suatu organisasi pada umumnya (Tata Gereja GKPB Bab XII Pasal 56 Majelis Jemaat), dan Pendeta selaku pelayan yang dimaksud adalah sebagai pelayan rohani bagi jemaatnya yaitu peran profesi Pendeta itu sendiri (Tata Gereja GKPB Bab XIII Pasal 83 Pendeta). Setiap lembaga yang dimiliki GKPB dipimpin oleh seorang Pendeta yang berperan sebagai ketua atau manager yang berkewajiban dalam menyusun rencana, mengatur, menjalankan, dan mengontrol seluruh program kerja yang telah dibuat, tetapi pada saat yang sama juga melekat peran profesi Pendeta itu sendiri dalam diri mereka. Dalam memimpin jemaat dan lembaga yang ada di GKPB para Pendeta diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada jemaat atau lembaga yang dipimpinnya. Keberhasilan seorang Pendeta dalam mencapai kinerja yang baik akan terlihat dari pertumbuhan jemaat atau lembaga dimana mereka ditugaskan. Mathis dan Jackson (2006: 378), menjabarkan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang diantaranya termasuk kuantitas keluaran, kualitas keluaran, jangka waktu keluaran, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif. Kinerja secara sederhana merupakan aktifitas-aktifitas karyawan yang sesuai dengan sasaran atau tujuan organisasi.
4
Sidang sinode GKPB ke 44 di desa Blimbingsari pada bulan juni tahun 2014 disampaikan masalah mengenai mutasi Pendeta oleh Sekum GKPB. Mutasi Pendeta menjadi isu ketika beberapa jemaat menolak Pendeta yang diajukan untuk ditempatkan, dan juga adanya penolakan dari Pendeta itu sendiri. Observasi lapangan di kantor Sinode GKPB memperlihatkan laporan majelis dari beberapa jemaat yang masuk ke pimpinan sinode mengindikasikan ada beberapa Pendeta yang dianggap kurang mampu dalam memimpin jemaat atau lembaga. Sejalan dengan hal tersebut hasil wawancara singkat bersama Sekretaris Umum GKPB, dikatakan bahwa kinerja Pendeta GKPB dipertanyakan hampir di seluruh jemaat. Indikasi kinerja Pendeta yang kurang baik ditandai dengan adanya penolakan Pendeta oleh jemaat ketika para pimpinan Sinode GKPB mengatur penempatan atau mutasi Pendeta yang rutin dilaksanakan setiap empat tahun (Tata Gereja GKPB Bab XIII Pasal 86 Penempatan Pendeta dan Vikaris). Citra Pendeta GKPB menimbulkan persepsi jemaat kepada sebagian Pendeta yang dianggap kurang atau tidak mampu dalam mengatur jemaat atau lembaga, baik dari sisi organisasi ataupun rohani. Penolakan Pendeta oleh jemaat dan penolakan mutasi oleh Pendeta itu sendiri menjadi salah satu indikasi kinerja dan kepuasan Pendeta dalam pelayanannya di lingkungan GKPB. Dalam usaha pencapaian kinerja yang baik, perlu diperhatikan kepuasan kerja dari para Pendeta ini. Aftab dan Idrees (2012) menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan faktor penting yang membangun kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan Kim dan Han (2010) menggunakan teori kepuasan kerja yang secara umum didefinisikan sebagai kondisi psikologis karyawan yang
5
berpartisipasi
dalam
menghasilkan
barang
atau
jasa.
Beberapa
faktor
pertimbangan penyebab kepuasan kerja yang digunakan antara lain adalah lingkungan tempat kerja, tugas pekerjaan, dan hubungan dengan atasan. Lingkungan kerja dalam hal ini lokasi jemaat yang berada di daerah terpencil yang beranggotakan kurang lebih 4 sampai 10 KK sedangkan di kota anggotanya mencapai lebih dari 400 KK. Lembaga yang dimiliki oleh GKPB juga merupakan lingkungan kerja di GKPB seperti yayasan pendidikan atau perbankan dan lainlain. Kay (2000) mengungkap dalam penelitianya tentang kepuasan kerja Pendeta terlihat dari kepuasan hidupnya (life satisfaction) yang muncul karena pengalaman rohani. Kepuasan Pendeta sering dianggap relatif puas seperti yang diungkap oleh Faucett et al. (2013) karena profesi ini merupakan sebuah panggilan pribadi ketika memilih menjadi Pendeta, tetapi ada juga yang menyebutkan
bahwa
kepuasan
Pendeta
menjadi
menurun
ketika
ada
ketidakcocokan dengan jemaat atau lembaga yang dipimpinnya. Dalam penelitiannya disebutkan lima aspek utama yang mempengaruhi kepuasan Pendeta antara lain, hubungan dan dukungan, keterlibatan denominasi gereja, aspek intrinsik kePendetaan, keterlibatan ekumenis, dan keterlibatan komunitas yaitu jemaat itu sendiri. Pendeta GKPB ketika berpindah tugas cenderung memperhatikan aspekaspek tersbut, misalnya ketika Pendeta dipindah dari jemaat ke lembaga akan ada pertimbangan pribadi untuk menerima atau tidak tawaran tersebut, demikian pula sebaliknya bagaimana dukungan jemaat baru terhadap dirinya, bagaimana
6
keterlibatannya ditempat tugasnya yang baru, lebih meningkat atau justru menurun secara denominasi atau komunitas di GKPB. Penolakan dari jemaat atau dari Pendeta itu sendiri ketika proses mutasi di GKPB berjalan berkaitan dengan pandangan jemaat terhadap Pendetanya atau pandangan Pendeta terhadap lingkungan kerjanya. Mutasi Pendeta ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja, karena Pendeta harus berpindah ke tempat tugas lain, fasilitas yang belum tentu dapat terpenuhi semua dan masalah di jemaat yang harus dihadapi Pendeta bisa mempengaruhi kepuasan kerja dan konflik dari Pendeta tersebut. Dari hasil wawancara dengan beberapa Pendeta ada yang berpendapat bahwa mereka merasa lebih puas ditempatkan di jemaat kecil karena anggotanya lebih sering berinteraksi langsung dengan Pendeta dibandingkan dengan jemaat di kota atau lembaga. Konflik dalam hidup manusia tidak dapat dihindari, sehingga konflik menjadi komponen dalam fungsi manusia (Slabbert, 2004). Organisasi yang terdiri dari beberapa individu dapat timbul konflik didalamnya, konflik dapat melibatkan individu atau sekelompok orang dalam bentuk perselisihan, pertengkaran atau atau perkelahian, pernyataan ini senada dengan Salleh dan Adulpakdee (2012). GKPB merupakan organisasi yang tidak terlepas dari konflik. Perbedaan persepsi antar pekerja dan pimpinan tentang kebijakan dapat menimbulkan konflik. Elmagri, M.I. dan Eaton, D. (2011) mengungkapkan beberapa faktor penyebab konflik interpersonal diantaranya, perbedaan individu, perlakuan tidak adil, peran yang tidak jelas, peran yang tidak tepat, perubahan organisasi dan tekanan lingkungan. Pendeta yang merupakan pekerja gereja tidak
7
terlepas dari faktor-faktor penyebab konflik tersebut dalam perannya menjalankan tugas sebagai kepala jemaat atau kepala lembaga. Pendeta seringkali menghadapi masalah yang keputusannya sulit diambil sepenuhnya berdasarkan profesi kePendetaanya, atau berdasarkan pemikiran pribadinya sebagai seorang manager atau ketua majelis, sehingga dapat dikatakan profesi Pendeta ini rentan dengan konflik peran (role conflict). Pendeta mengartikan kebingungan ini sebagai pergumulan, namun dapat disetarakan dengan konflik peran karena para Pendeta harus memikirkan secara matang keputusan yang akan diambilnya dari suatu masalah yang terjadi di lingkungan GKPB. Konflik tentu terjadi juga dalam individu itu sendiri, ketika individu menghadapi banyak tuntutan yang tidak sesuai satu dengan yang lainnya maka akan menimbulkan konflik peran dalam dirinya (Winardi 2011:267). Pendeta memiliki peran sebagai ketua majelis jemaat dan juga sebagai pelayan jemaat (Pendeta). Peran Pendeta bisa terlihat beragam dalam berbagai situasi, disatu sisi mereka dituntut sikap rohaninya, tetapi disisi lain mereka harus mengikuti aturan organisasi, kebijakan jemaat dan nalurinya selaku ketua. Quarat-ul-ain, et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa konflik peran timbul dari sejauh mana seseorang mampu menangani tekanan dari satu peran yang tidak sejalan dengan tekanan dari peran lainnya. Dari definisi tersebut maka profesi Pendeta dapat timbul konflik peran, karena mereka bisa mendapat tekanan sebagai seorang ketua majelis (manager) suatu jemaat yang dipimpinnya atau sebagai pelayan rohani. Hasil penelitan tersebut menemukan bahwa konflik peran secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja karyawan, ini berarti
8
semakin tinggi tingkat konflik peran karyawan maka semakin rendah kepuasan kerja karyawan. Churiah (2011) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa konflik peran berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja. Kinerja juga dipengaruhi oleh konflik peran yang dialami oleh karyawan. Hal ini diperkuat oleh Rum et.al (2013), mereka menemukan bahwa konflik peran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Harijanto, dkk. (2013) menemukan bahwa konflik peran berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan diri pegawai. Berdasarkan uraian tersebut maka dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai kinerja Pendeta yang dipengaruhi oleh konflik peran dan kepuasan kerja.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh konflik peran terhadap kepuasan kerja Pendeta GKPB? 2. Bagaimana pengaruh konflik peran terhadap kinerja Pendeta GKPB? 3. Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja Pendeta GKPB?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh konflik peran Pendeta GKPB terhadap kepuasan kerja dalam menjalankan tugas di GKPB.
9
2. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh konflik peran Pendeta GKPB terhadap kinerja dalam menjalankan tugas di GKPB. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh kepuasan kerja Pendeta GKPB terhadap kinerja dalam menjalankan tugas di GKPB.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain dimasa mendatang yang berminat untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan masalah konflik peran, kepuasan kerja dan kualitas pelayanan Pendeta selaku pekerja Gereja atau karyawan di tempat kerja lain. Di samping itu hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi pengembangan teori terkait dengan variable konflik peran, kepuasan dan kinerja baik mendukung maupun melemahkan penelitian yang sudah ada.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan tambahan dalam upaya pendampingan dan penilaian komitmen para Pendeta GKPB, dan menetapkan kebijakan-kebijakan Gereja dalam pengelolaan sumber daya manusia para Pendeta GKPB sehingga mampu mengendalikan konflik peran dan meningkatkan kualitas pelayanan di jemaat-jemaat dan lembaga-lembaga GKPB.