BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di antara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa. Periode ini adalah ketika seorang anak muda harus beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian, otonomi,dan kematangan. Seseorang yang ada pada tahap ini akan bergerak dari sebagai bagian suatu kelompok keluarga menuju menjadi bagian dari suatu kelompok teman sebaya dan hingga akhirnya mampu berdiri sendiri sebagai seorang dewasa (Mabey dan Sorensen dalam Geldard & Geldard 2011). Patriani (2006) menyatakan bahwa remaja memiliki permasalahan hidup yang sangat kompleks diantaranya permasalahan keluarga, permasalahan seputar interaksi sosial, dan pada akhirnya terjerumus kedalam perilaku menyimpang seperti tawuran, narkoba, serta seks bebas. Hal ini disebabkan karena remaja memiliki kurangnya rasa percaya diri untuk memulai proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya rasa percaya diri pada remaja disebabkan oleh faktor-faktor psikologis dan sosiologis. Faktor psikologis berkaitan dengan masa perkembangan remaja yang sedang mengalami banyak perubahan, baik secara fisik, psikis, dan sosial. Masa ini disebut sebagai masa krisis identitas sehingga remaja merasa raguragu dan canggung terhadap peran yang disandangnya. Keadaan ini diperberat oleh adanya pandangan orang tua atau orang dewasa lain bahwa remaja belum mampu
1
mengatasi masalahnya sendiri, sehingga hal ini akan memperlemah rasa percaya diri remaja (Afiatin dan Andayani, 1998). Menurut Thantaway (2005), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri. Hal tersebut khususnya dialami pada masa remaja yang masil labil secara psikologis. Selain kepercayaan diri, Paramitasari dan Alfian (2012) berpendapat bahwa remaja juga dituntut untuk mampu mengontrol atau mengendalikan perasaan mereka, dalam proses perkembangan menuju kematangan emosi. Hal ini tidak berarti seorang remaja harus mengendalikan semua gejolak emosi yang muncul. Remaja diharapkan bisa memahami serta menguasai emosinya, sehingga mampu mencapai kondisi emosional yang adaptif. Remaja yang menunjukkan kontrol emosi yang baik memiliki kapasitas perilaku yang dapat menangani perilakunya. Pada saat ini ditemukan banyak permasalahan emosional remaja berupa gejalagejala tekanan perasaan dan frustrasi, baik yang terkait dengan konflik internal maupun konflik eksternal pada diri individu. Tekanan perasaan dan frustrasi merupakan suatu respons emosional ketika keadaan menghalangi tercapainya suatu tujuan personal, yang dihubungkan dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa. Emosi yang kurang matang pada remaja terlihat pada permasalahan emosi remaja yang melakukan perilaku-perilaku menyimpang hingga nekat bunuh diri dengan latar
2
belakang masalah yang sangat sepele. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi seandainya remaja telah mampu mengontrol emosinya (Astuti, 2011). Emosi merupakan perasaan yang dihadapi manusia sehari-hari, emosi yang kompleks seperti: sedih, marah, rasa ingin berontak dan rasa cinta kasih yang romantic dapat diekspresikan dengan perilaku. Jika seseorang telah matang emosinya serta dapat mengendalikan emosinya maka orang itu akan dapat berpikir secara matang dan dapat berpikir secara baik dan obyektif sebelum melakukan suatu tindakan (Walgito, 2001) Proses kematangan emosi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan dan perkembangan. Sejak lahir sampai kira-kira umur 15 bulan, kebutuhan utama adalah mendapatkan kepercayaan dan kepastian bahwa dirinya diterima oleh lingkungannya. Penerimaan lingkungan pada fase ini sangat menentukan bagi perkembangan individu selanjutnya. Kepercayaan yang diperoleh dari penerimaan lingkungan ini dapat menjadi dasar bagi kepercayaan diri terhadap diri sendiri akan kesehatan perkembangan emosionalnya (Mohammad, 2007). Kematangan emosi yang masih labil akan sangat mempengaruhi perkembangan siswa dalam beperilaku dan dalam mengambil suatu keputusan yang tepat sebelum siswa bertindak melakukan sesuatu. Goleman (1995) mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Reaksi-reaksi yang meledak dan berlebihan dan tidak terkendali dari individu menandakan adanya ketidakmatangan emosi yang dimiliki individu tersebut. Sebaliknya individu yang
3
matang secara baik terutama dalam berbagai situasi mampu memantau dan mengendalikan perasaan dan pikirannya dalam memandu tindakannya. Berdasarkan dari hasil wawancara non terstruktur terhadap salah satu Guru Mapel yang ditemui di SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa, didapatkan bahwa 80% siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa kurang memiliki motivasi untuk aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah, baik kegiatan PBM sehari-hari maupun kegiatan ekstra kulikuler sekolah. Menurut pengakuan beliau, hal tersebut dikarenakan mayoritas siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa berasal dari kalangan keluarga ekonomi kelas bawah dan kurang mendapatkan perhatian khusus dari keluarga. Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa mayoritas siswa yang masuk di SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa dikarenakan tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri baik di daerah Ambarawa maupun di luar Ambarawa. Mengacu pada permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa mengalami permasalahan gejolak psikologis yang disebabkan karena faktor ekonomi keluarga, motivasi berprestasi, dan kapasitas kognitif. Gejolak psikologis yang dialami remaja cenderung menyebabkan terjadinya konflik dalam diri yang berakibat pada rendahnya kematangan emosi serta kepercayaan diri. Temuan hasil penelitian lainnya yang dilakukan Utami (2008) mengenai Hubungan Kepercayaan Diri dan Kematangan Emosi Dengan Kompetensi Sosial Remaja di Pondok Pesantren dengan melibatkan 60 sampel penelitian. Hasil
4
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepercayaan diri dan kematangan emosi dengan kompetensi sosial dengan skor r = 0,732 dengan p = 0,000. Selain itu Utomo (2007) juga melakukan penelitian tentang korelasi antara Kematangan Emosi dan Kepercayaan Diri dengan Penyesuaian Diri pada remaja awal di SMK PGRI 3 Kediri terhadap 60 siswa kelas X Jurusan Akuntansi dan Penjualan. Hasil penelitian ini bahwa ada hubungan antara kematangan emosi dan kepercayaan diri dengan penyesuaian diri pada remaja awal di SMK PGRI 3 Kediri skor koefisien determinasi R = 0,464. Berdasarkan beberapa paparan kalimat latar belakang permasalahan di atas serta adanya perbedaan beberapa temuan hasil penelitian tentang hubungan antara kematangan emosi dengan kepercayaan diri, maka peneliti menggunakan judul penelitian mengenai “Hubungan Kematangan Emosi Dengan Kepercayaan Diri pada Siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dihasilkan rumusan masalah penelitian ini yaitu Adakah hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kepercayaan diri pada siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kematangan emosi dengan kepercayaan diri pada siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa.
5
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan relatif sumbangsih terhadap keilmuan Bimbingan dan Konseling khususnya yang berkaitan dengan kematangan emosi dan kepercayaan diri remaja. Hasil penelitian ini mendukung teori Utami (2008) dan Utomo (2007) tentang hubungan kematangan emosi dan kepercayaan diri yang menyatakan saling berhubungan. 1.4.2 Manfaat Praktis a.
Bagi SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa Melalui hasil penelitian ini, diharapkan menjadi sebagai salah satu sumber referensi ilmiah dan pedoman dalam meningkatkan kematangan emosi dan kepercayaan diri siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa.
b.
Bagi Siswa Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi siswa mengenai pentingnya informasi kematangan emosi dan kepercayaan diri dalam masa remaja.
6
c. Bagi Penulis Dapat menambah pengalaman tentang pelaksanaan penelitian mengenai hubungan kematangan emosi dan kepercayaan diri pada siswa SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, antara lain adalah Bab I Pendahuluan berisi Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori berisi pengertian kepercayaan diri, ciri kepercayaan diri, faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri, proses pembentukan kepercayaan diri. Kemudian dilanjutkan kematangan emosi, pengertian kematangan emosinya, aspekaspek terjadinya kematangan emosi, ciri individu matang emosinya, aspek-aspek terjadinya kematangan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi. Bab III Metode Penelitian berisi jenis penelitian, populasi dan sampel, variable penelitian, teknik pengumpulan data berupa skala sikap tentang kematangan emosi dan kepercayaan diri siswa, sebaran item skala sikap tentang kematangan emosi dan sebaran item skala sikap tentang kepercayaan diri siswa serta teknik analisis data. Bab IV Pelaksanaan Penelitian, Hasil Penelitian, Uji Korelasi dan Pembahasan yang berisi gambaran umum tentang proses pelaksanaan penelitian, penghitungan deskripsi subjek penelitian, perhitungan uji korelasi serta pembahasan hasil penelitian yang dikaitkan dengan temuan hasil penelitian yang relevan.
7
Bab V Penutup berisi simpulan mengenai hasil dan saran untuk keseluruhan penelitian.
8