BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan Kawasan kehutanan dan Taman Nasional di Indonesia merupakan salah satu “ruang” besar dan dikenal sebagai arena pertarungan beragam kepentingan sejak zaman Kolonial hingga orde Reformasi.1 Baik antara korporasi asing/kolonial dengan negara-rakyat, negara dengan swasta, negara dengan rakyat, masyarakat
dengan
swasta,
maupun
kait-kelindan
semua
pihak
yang
berkepentingan itu sekaligus. Sebagaimana ditegaskan Peluso (2006) dalam sejarah, negara, petani, dan kepentingan-kepentingan eksternal lain telah (lama) saling bersitegang di gelanggang alami yang berupa hutan (di Indonesia). Tak hanya pertarungan dalam modus ekonomi-politik, namun juga terkait dan ditentukan oleh apa dan bagaimana sistem dan rejim pengurusan serta paradigma yang dianut dalam pengeloaan hutan dan taman nasional.2 Karenanya, beragam masalah muncul mewarnai potret hubungan di wilayah kawasan taman nasional dan beragam jenis kawasan hutan (negara) di Indonesia dengan masyarakat yang hidup di pinggiran hutan/taman nasional. Baik berupa persoalan politik konservasi3, isu pemukiman masyarakat sekitar hutan4, 1
Pada periode Kolonial ini, dapat dianggap sebagai bibit awal dari konflik dan ketegangan. Menurut Wiradi, sistem perkebunan besar hadir di Indonesia akibat politik liberal pemerintahan kolonial Belanda melalui Undang-undang Agraria tahun 1870. Dengan empat ciri utama, (1) berorientasi ekspor dalam skala besar, (2) kebutuhan tenaga kerja sangat besar, melebihi yang tersedia oleh pasar (tenaga kerja) domestik, (3) memerlukan ekstra-pasar (pemaksaan oleh aparatur pemerintah), (4) tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan yang terbentuk. Dengan ciri-ciri di atas, masyarakat desa di sekitar perkebunan tersebut menjadi korban eksploitasi yang mendorong proses penindasan dan pemiskinan yang akhirnya menjadi sumber konflik agraria. Lebih jauh lihat, Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria; Reforma Agraria dan Reforma Agraria, (STPN Yogyakarta dan Sajogyo Institute, 2009), hlm. 60-61. 2 Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani (peny.), Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, (Equinox: Jakarta, 2006), hlm. 5. 3 Elisabet Repilita K, (Tesis) Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi; Analisis Ekologi Politik, (Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 2007). Untuk persoalan kontestasi para aktor dalam tema ‘konservasi’, khususnya pengalaman pelaku “orang dalam” (insider), dapat di lihat lebih jauh, Banjar Yulianto Laban, Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 2000-2002, (JICA dan Gunung Halimun-Salak-National Park Management Project, 2007). Bandingkan juga, A. Sangaji, Politik Konservasi, Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau, (KpSHK, Bogor; 2002) 4 Soeryo Adi Wibowo dkk (Peny.), Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, 2009.
1
konflik sosial dan kepentingan politik dan ekonomi5, yang melahirkan beragam respon dan perlawanan6, beserta skema-skema sistematis pemiskinan masyarakat di sekitarnya7--untuk menyebut beberapa di antaranya--. Potret sejarah kehutanan negara dan kenyataan pemanfaatan hutan di Indonesia selalu terkait dengan kondisi ketegangan antara negara dan petani terutama tentang persoalan akses dan kontrol. Manakala kepentingan negara dan kepentingan petani berbenturan, sering melahirkan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan hubungan kekuasaan yang ambivalen dan rancu. Pergulatan ini meninggalkan jejak berupa rusaknya berbagai sumberdaya alam berbasis tanah yang sangat berharga dan rentan, bahkan termasuk juga wilayah yang sudah seabad mengenal apa yang disebut dengan kaidah ilmiah pengelolaan hutan. (Peluso, 2006). Ketegangan dan konflik muncul antara pengurus kehutanan dan masyarakat petani pinggiran hutan akibat dari pertentangan klaim yang memunculkan klaim tandingan yang telah menjadi gambar utama kondisi kehutanan di Indonesia berabad-abad. Menurut E.P Thompson (1975), sebagaimana dikutip Peluso, persoalannya bukanlah pada pemanfaatan lahan itu, tegasnya, masalahnya terletak pada kekuasaan dan hak kepemilikan. Praktik sejarah politik penataan ruang kekuasaan dan kepemilikan negara dengan jalan pengambilalihan kawasan kehutanan (produksi maupun konservasi) beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya secara luas kerap diiringi dengan usaha-usaha sistematis yang mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumberdaya alam lain berbasis tanah (dari masyarakat lokal), yang kemudian mendorong negara untuk menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut (Peluso, 2006). Maka, dengan dasar legitimasi ini, penduduk yang bermukim di sekitar hutan atau petani yang bergantung pada hutan lebih dirugikan ketimbang 5
Doni, (Tesis), Konflik Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik Ekonomi, (Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2005). Untuk persoalan konflik sosial di sekitar hutan dapat ditelusuri dalam Lisman Sumardjani, Kehutanan; Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, dicetak oleh Flora Mundial Comminications, 2007. 6 Lihat, Hary Santoso, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, (Damar, Jogjakarta: 2004). 7 Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. (terj.) Landung Simatupang, (Insist Press, Yogayakarta, 2006). Bandingkan, A. Sangaji, Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu; Tersungkurnya Komunitas-komunitas Asli. Makalah disajikan dalam Dialog Kebijakan tentang Pengetahuan dan Hak-hak Masyarakat Adat di sekitar Taman Nasioanl Loro Lindu. Yayasan Tanah Merdeka and NRM/EPI, Palu.
2
diuntungkan oleh penguasaan sentralistik negara atas hutan cadangan atau perkebunan hutan (Blaikie, 1985). Dalam orientasi pengelolaan sumberdaya hutan, para pejabat kehutanan (temasuk di dalamnya Balai Taman Nasional) berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia dianggap bebas masalah. Sehingga saat konsesi pengusahaan hutan diberikan, pertimbangan keberadaan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan, tidak sempat difikirkan, atau sengaja diabaikan.8 Pada saat UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA-1960) ditetapkan, memang telah disebutkan bahwa hak mengusai negara atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya --dalam hal hukum publik-- dapat dikuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat. Namun, dalam kenyataannya hak “menguasai” tersebut hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Sehingga, masyarakat lokal dan pinggiran/sekitar kawasan hutan (baik dalam kawasan hutan produksi maupun hutan koservasi) tetap dilewatkan dalam proses pengelolaan kawasan hutan.9 Sebab dalam praktiknya definisi Hak Menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan alam dan agraria ditafsirkan sebagai “memiliki” bukan “mengatur” atau mengorganisir untuk tujuan sebesarbesarnya bagi kemakmuram rakyat sebagaimana dimandatkan dalam UUD 45, pasal 33.
Dalam konteks seperti ini dapat “dimaklumi” jika masyarakat di
pinggiran/dalam ruang kawasan hutan, semakin dijauhkan dari hak dan akses utamanya atas sumberdaya hutan, bahkan kalau perlu dipisahkan sama sekali. Demikian halnya tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan dan programprogrm atas nama pembangunan dan pemberdayaan yang ditujukan untuk masyarakat
pinggiran/dalam
kawasan
hutan.
Alih-alih
meningkatkan
kesejahteraan, yang terjadi adalah upaya penyingkiran diam-diam masyarakat dari hutan, (Santoso, 2004).10
Inilah salah satu contoh dari proses yang disebut
8
Sumardjani, Kehutanan...Op.Cit., , hlm. v. Undang-undang Pokok Kehutanan No.5/1967 yang sering dipakai dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dalam praksisnya lebih berwatak ekonomistik dan eskploitatif terhadap hutan, sering mengabaikan hak dan akses masyarakat adat dan sekitar kawasan terhadap hutan. Pada masa Orde Baru berdasarkan UU tersebut lahir Hak Penguasaan Hutan yang semakin eksploitatif atas hutan dan hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir pemilik kuasa di zaman Orde Baru (Penguasa Orba, Politisi dan Militer). Lihat, Kartidiharjo dan Jhamtani (Peny.), Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, (Equinox Publishing, Indonesia, 2006), hlm 26. 10 “ ....orientasi kegiatan pemberdayaan masyarakat desa hutan justru menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang menyangkut hutan dan kehutanan. Apa yang dinamakan sebagai pemberdayaan 9
3
sebagai iksklusi11 di wilayah kehutanan dan konservasi di Indonesia. Puncaknya adalah ketika orientasi konservasi lebih mengutamakan “species” daripada kehidupan manusia di sekitar hutan dengan membuat batas “pemagaran” yang memisahkan secara tegas wilayah flora-fauna dengan manusia yang telah lama hidup harmoni di sekitarnya. Hal ini merupakan manifestasi dari watak paradigmatik
konservasi
klasik
yang
masih
meletakkan
manusia
di
pinggiran/dalam kawasan hutan sebagai ancaman bagi ekologi hutan beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bukan bagian integral dari ekosistem hutan yang berpotensi sebagai solusi pengelolaan kawasan, penyangga dan pelestari hutan dengan warisan kearifan lokalnya.12 Pada saat negara menggunakan kekuasaanya dalam memonopoli eksploitasi sumberdaya hutan dalam kerangka politik dan penguasaan ruang kawasan kehutanan (produksi dan konservasi) akan berakibat langsung pada proses penghilangan otonomi relatif dan memperparah kemiskinan akses masyarakat pinggiran hutan atas sumberdaya hutannya, (Peluso, 2006). Proses politik penataan ruang taman nasional dengan beragam kebijakan dan aturan pembatasan hak dan akses masyarakat pinggiran/dalam kawasan atas masyarakat umumnya memiliki arti mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat dari hutan. Maka tidak heran jika sampai hari ini masaih saja terjadi ketegangan-ketegangan antara masyarakat pengguna hutan dengan para petugas kehutanan. Masyarakat lokal memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan-hutan di sekitarnya. Adalah naïf kalau apa yang dinamakan sebagai proyek etika sosial itu justru menyingkirkan mereka dari hutan-hutan yang selama ini menjadi tempat bergantung”. Hary Santoso, Perlawanan...Op.Cit., hlm. 396-397. 11 Istilah eksklusi dalam studi ini memakai batasan pengertian yang dijelaskan dalam karya Hall, Philips dan Tania Li, Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: National University of Singapore, 2011. Terminolog “exclution” digunakan sebagai “kondisi” dimana orang berada dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi yang mana tanah dikuasi dalam bentuk kepemilikan pribadi (private proverty) atau kepemilikan khusus lainnya seperti “Tanah Negara” dan sejenisnya. Eksklusi adalah juga bermakna “proses” yang menunjukkan bahwa aksi-aksi kekerasan intens dan berskala luas mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya oleh atau atas nama ornag yang berkuasa. Proses eksklusi ini tidak bisa hanya dilihat pada sudut pilihan “baik atau jelek” atau apakah suatu hal yang menyenangkan atau tidak, sebab ia bukanlah opposisi biner dari inclusive, pun enclousure. Tetapi eksklusi lebih tepat dihubungankan dengan dengan konsep “akses”, sebagaimana dijelaskan Ribot dan Peluso dalam “A Theory of Access”. Rural Sociology, 2003. Yakni, “akses” diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things). 12 Lihat lebih jauh, Banjar Yulianto Laban, Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 20002002, (JICA dan Gunung Halimun-Salak-National Park Management Project, 2007). Bandingkan juga, A. Sangaji, Politik Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau, (KpSHK, Bogor; 2002). Ungkapan bahwa konservasi yang meletakkan manusia pinggiran hutan sebagai solusi bukan masalah juga menjadi misi utama dari Pak Wiratno, Kasubdid dari Derektorat Kawasan Konservasi Indonesia, sebagaimana dituangkan dibeberapa tulisannya. (diskusi ringan Januari 2011)
4
atas ruang hidup (live space) nya berupa kekayaan sumberdaya hutan dan sekitarnya yang berjalan terus menerus berimplikasi pada penyuburan proses kemiskinan yang bersifat relasional. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama-tama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang (Mosse 2007). Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Kenyataan kemiskinan relasional akibat dari penciptaan politik tata kuasa ruang di kawasan konservasi Taman Nasional berkontribusi pada penciptaan ketimpangan struktur agraria yang menjadi embrio dari bentuk-bentuk persoalan sengketa da konflik agraria. Menurut Afiff (2005), masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan negara beserta birokrasi (dan ‘wakil-wakil’nya) dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan praktik-praktik adat setempat. Pada umumnya simpul masalahnya adalah tidak semua praktik nilai-nilai lokal yang dipraktikkan masyarakat dapat ditangkap langsung dan dipahami oleh multi pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian, membutuhkan sikap kepekaan, kepedulian dan perhatian sungguh-sungguh untuk dapat mengakui dan mengangkat praktik nilai-nilai kearifan masyarakat lokal. Ketidakmampuan menangkap dan mengakui sistem pengetahuan lokal yang hidup
5
dan dipraktikkan masyarakat untuk kemudian diakomodir secara serius sebagai bahan pengelolaan bersama seringkali berakhir dengan sengketa dan konflik. Apa yang terjadi di desa-desa dan kampung sekitar kekuasaan “legal” Taman Nasional dan kehutanan lainnya dapat menjadi contoh yang baik untuk persoalan ini. Pun yang terjadi di kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lain di Taman Nasional Ujung Kulon provinsi Banten. Awal konflik di Taman Nasional Ujung Kulon (selanjutnya cukup ditulis TNUK) dimulai sejak kawasan hutan Cagar Alam Ujung Kulon ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional pada tahun 1984 dan diperbaharui tahun 199213 dengan luas kawasan total 122.956 Ha, telah menelan seluruh area kawasan kampung Legon Pakis --salah satu kampung di pinggiran hutan dengan luas 261, 6 ha, terdiri dari kawasan pemukiman (dihuni 99 KK), pekarangan rumah, pertanian/lahan sawah dan kebun campuran, masuk menjadi wilayah konservasi TNUK, termasuk beberapa kampung lainnya yaitu kampung Cikaung Sabrang dan Cikaung Girang, kedua kampung ini berada di desa yang sama yaitu desa Ujung Jaya --meski kedua kampung terakhir hanya sebahagian saja wilayahnya yang terkena klaim batas baru penetapan kawasan TNUK--14. Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan hak dan akses masyarakat Legon Pakis sudah terjadi15, namun tidak seketat dan sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror (fisik dan psikis) oleh polisi hutan dan Pam 13
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 46/Kpts/VI-Sek/84. Penetapan wilayah kerja TNUK yang meliputi, Cagar Alam Krakatau, Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan dan Pulau Peucang, Cagar Alam Ujung Kulon dan Taman Wisata Carita. Diperbaharui tahun 1992 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/92. Penetapan kawasan TNUK yang meliputi Cagar Alam Gunung Honje, Pulau Panaitan, Peucang dan Cagar Alam Ujung Kulon dengan luas total 78.619 Ha serta perairan laut di sekitar kawasan dengan luasan 44.337 Ha. Penetapan batas ditentukan setelah dilakukan pengukuran dilapangan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan. Di tingkat internasional, pada tanggal 1 Februari 1992, TNUK ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO berdasarkan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409 14 Untuk kawasan hutan Ujung Kulon, mulai ditetapkan sebagai Taman Nasional, dari status sebelumnya sebagai kawasan Cagar alam, sejak tahun 1984 dan perluasan wilayahnya di tetapkan pada 1992. Evolusi kebijakan dan perubahan tata kelolan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini bisa dilihat lebih jauh dalam Adi Wibowo, Isu Pemukiman...Op. Cit., hlm. 23. 15 Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, teror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga Legon Pakis, 2008.
6
Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK ditetapkan16. Kondisi ini menjadi simpul utama ketegangan dan konflik agraria dilahirkan. Baik berupa perlawanan diam-diam, gosip ke petugas TNUK, mematikan bibit tanaman hutan, menebang kayu sekitar pekarangan, mbandel dalam tugas kehutanan hingga konflik fisik antara warga dan petugas hutan. Puncak dari ketegangan dan perlawanan terbuka warga muncul ketika tahun 2007, seorang warga tertembak mati oleh salah seorang petugas Hutan TNUK dengan tuduhan perambahan hutan, yang menyulut amok massa dari beberapa desa dan kampung sekitar dusun Legon Pakis dan berlanjut pada kekerasan-kekerasan pada warga secara fluktuatif, yang berimplikasi pada semakin ketatnya aturan-aturan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan.17 Sejak peristiwa oktober kelabu tahun 2007, hubungan disharmoni warga pinggiran hutan khususnya di kawasan Legon Pakis) dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) semakin tajam. Konflik tersebut telah menciptakan teror baru, ketakutan dan ketidaknyamanan warga, baik dalam kehidupan sehari-hari dalam aktivitas bersawah dan berkebun maupun dalam aktivitas sosial lainnya. Sehingga disadari atau tidak juga berpengaruh pada terhambatnya akses kebutuhan dasar mereka; dalam beragam dimensinya. Kondisi ketidaknyamanan dan ketidakamanan warga dusun Legon Pakis semakin parah 16
Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah: Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda. Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, SAINS Press, 2009. 17 Ribuan warga desa Ujung Jaya (termasuk Legon Pakis), Taman Jaya, dan Cigorondong yang marah membakar Kantor Balai TNUK Seksi II Handeuleum di Tanjung Lame dan kantor Resor di Taman Jaya dan Blok Ketapang. Sebanyak tujuh bangunan, dua perahu, tiga sepeda motor, komputer, dan barang elektronik serta fasilitas lainnya dibakar oleh massa yang marah. Pembakaran dan perusakan Kantor Balai TNUK itu berlangsung sekitar dua jam, sejak pukul 17.00 hingga 19.00, dengan kerugian diperkirakan Rp 2 miliar, lihat koran KOMPAS, 6 November 2006.
7
karena ketiadan kelembagaan dan organisasi sosial yang menopang dan mampu manjadi disementasi sosial sekaligus wadah untuk ikatan bersama secara kolektif “ke dalam” (antar warga) di satu sisi, dan organisasi/ kelembagaan sosial sebagai wadah dan pusat “ideologisasi”, pubikasi, kampanye perlawanan dan perjuangan mereka “ke luar”. Persoalan kesolidan di internal warga ini menjadi faktor penting untuk menganalisa lebih jauh pilihan dan strategi yang dipilih dalam merespon dan melakukan aksi perlawanan. Sampai hari ini realitas konflik dalam skala yang lebih kecil; penangkapan paksa dan penahanan warga dengan tuduhan “illegal logging” dan perambahan hutan masih berulang.18 Meskipun demikian, berangsur-angsur warga berinisiatif untuk melakukan aksi kolektif (collective action) dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya guna memperjuangkan nasib dan hak atas kawasan ruang hidup mereka di kawasan TNUK. Dengan cara mengundang dan belajar bersama dengan para aktivis lingkungan, hukum, lembaga riset dan LSM untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan SDA yang lebih kolaboratif, partisipatif dan lebih adil bagi keberlangsungan hidup mereka sekarang dan akan datang. Usahausaha aksi dan perlawanan warga ini masih berlangsung hingga kini, salah satunya adalah usulan pengelolaan hutan konservasi partisipatif dengan memanfaatkan konsep Zona Khusus yang merujuk pada aturan Permenhut 2006.19 Pilihan jalan negosiasi dengan dasar konsep legal Zona Khusus ini merupakan tawaran “jalan tengah” bagi penyelesaian konflik warga dan BTNUK, sebab lintasan sejarah perlawanan warga sebelumnya lebih banyak mengandalkan 18
Pada 10 April 2009, tiga orang dari Ujung Jaya ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor SumurPandeglang, Banten, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Hal yang sama juga terjadi pada Agustus 2009, 5 orang warga kampung Ujung Jaya ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Lebih jauh lihat, laporan Advokasi Hukum Konflik TNUK, IHCS dan KOMNAS HAM Jakarta, 2009. Pada akhir 2009, 3 orang warga legon pakis di panggil dan diinterogasi Polsek Cibaliung dengan dugaan menggarap lahan yang sudah ditinggalkan. Januari-Februari 2011, pembabatan tanaman warga terjadi untuk kepentingan pemagaran proyek dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), beserta bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi guna mencari persetujuan warga untuk proyek ini, termasuk pada jaringan LSM/NGO yang mendampingi warga. Hasil kunjungan penulis, Februari 2011. 19 Zona Khusus adalah salah dari beberapa Zonasi (Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Religi dll) untuk mengatur kawasan di Taman Nasional seluruh Indonesia. Secara normatif Zona Khusus berisi tentang pengakuan terhadap keberadaan kehidupan masyarakat beserta sarana dan prasarana penghidupannya sebelum Taman Nasioanl ditetapkan. Sarana-prasarana tersebut antara lain infrastruktur jalan, listrik dan telekomunikasi. Lebih jauh lihat, Permenhut No. P. 26/Menhut/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
8
aksi-aksi massa dan strategi “hitam-putih” atau “menang-kalah”, dan ternyata strategi model ini menemui jalan buntu, karena berbenturan langsung dengan politik kekuasaan BTNUK. Justru hasilnya adalah sebaliknya, beragam bentukbentuk tekanan, pembatasan dan teror lebih meningkat. Selaras dengan apa yang diungkapkan Peluso (2006), bahwa paksaan dan tekanan bukanlah sesuatu yang selesai dan berdiri sendiri melainkan bagian dari proses yang terus berlangsung, ketika satu pihak berupaya menguasai sumberdaya yang diklaim oleh pihak lain. Hingga kini, usaha ke arah upaya resolusi konflik dan negosiasi multi pihak terus dilakukan oleh warga dengan didampingi dan dijembatani oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO dengan tetap mengusung gagasan pengelolaan kolaboratif dengan konsep Zona Khusus. Di tengah usaha negosiasi yang belum terwujud, muncul tantangan baru berupa kolaborasi Proyek Penangkaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang didanai oleh Internasional Rhino Foundation (IRF), dan telah ditandatangai oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten dan TNUK pada Juni 2009 lalu. Proyek yang ditargetkan berjalan tahun 2011-2015 ini ingin mengembangkan eko-wisata Badak Jawa sebagai ikonnya. Ironisnya, proyek besar yang praktiknya --telah dimulai awal tahun 2011 lalu-- berupa “pemagaran” wilayah kawasan TNUK di sebelah selatan Gunung Honje seluas 3000 ha, ini justru mengklaim dan menabrak ratusan lahan sawah dan kebun campuran yang telah bertahun-tahun menjadi lahan garapan dan kebun campuran warga di pinggiran/dalam kawasan hutan. Dalam rencana proyek pemagaran listrik untuk Badak Jawa ini, wilayah yang paling luas terkena dampak pengambilalihan lahan adalah dusun Legon Pakis dan sebagian kecil di wilayah kampung Cikaung Girang. Secara adminsitratif kedua dusun ini berda di desa Ujung Jaya kecamatan sumur Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Benturan kepentingan aksi-reaksi pihak-pihak yang lebih beragam meletup kembali, dengan kontestan yang lebih beragam, antara warga pinggiran hutan (Legon Pakis) dan LSM/NGO pendamping warga dengan BTNUK, YABI, PEMDA-Provinsi-Kabupaten, serta Otoritas Kehutanan yang terkait. Pertarungan dan kontestasi antar aktor dan kepentingan yang berlangsung didukung oleh jaring-jaring aktor di lapangan, orang-perorang, kelembagaan, komunitas,
9
pemerintahan/birokrasi, yang melibatkan beragam situasi-situasi politik-sosialekonomi di tingkat global-nasional-lokal beserta kompleksitas strategi, ideologi, paradigma di masing-masing kepentingan dan aktor yang bertarung. Singkatnya proyek Penangkaran Badak menjadi salah satu arena besar --dari turunan arenaarena lain yang lebih kecil-- dari beragam kepentingan dan aktor bertemu dan bertarung di gelanggang alami yang berupa kawasan hutan konservasi TNUK. Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa kejadian dan peristiwa sebelumnya--. Di sisi lain rejim TNUK memiliki gaya koersif dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan milisi sipil “Jawara” Banten (dengan istilah Pam Swakarsa) yang dikendalikan melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik oleh beberapa senior petugas BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan “horizontal”. Kondisi ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari BTNUK. Namun pada irisan tertentu bisa jadi sebuah fenomena umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan dan konflik di kawasan Taman Nasional di Indonesia. Nampak bahwa pertarungan politik tata-ruang di kawasan konservasi TNUK yang melibatkan beragam kontestasi kepentingan dan aktor berimplikasi kuat pada penciptaan situasi-situasi konflik agraria dan mendorong perlawanan serta aksi kolektif masyarakat di pinggiran/dalam kawasan hutan. Namun demikian, situasi kompeks seperti ini tentu saja baru terlihat dari sisi kulit luar dan permukaan saja yang membutuhkan penggalian dan pendalaman lebih lanjut dengan rumusan panduan pertanyaan dan tujuan penelitian yang selaras.
10
1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Nampaknya, hingga kini, kawasan hutan masih menjadi arena pertarungan kepentingan multi pihak yang menyebabkan beragam konflik tenurial masih kerap terjadi. Menurut data HuMa (2011)20, tercatat 85 kasus konflik terjadi dikawasan hutan yang tersebar di 10 Provinsi di Indonesia. Dalam konflik ini melibatkan pertarungan beragam aktor baik para petani dan masyarakat adat, dengan Perhutani, para pengusaha HPH, HTI, Taman Nasional, dan dengan Kementerian Kehutanan21. Konflik tenurial kehutanan ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti pelanggaran terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan sebagai hutan negara secara sepihak oleh Kemenhut maupun pemerintahan kolonial. Jantung persoalannya adalah pada ketidakpastian ‘aturan main’ yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Secara garis besar, ada beberapa masalah kehutanan yang pada akhirnya menyebabkan konflik ternurial terus berlanjut dikawasan hutan. Pertama, adalah masalah hak atas tanah atau masalah tenurial. Kedua, masalah yang berkaitan dengan
tertutup/terbatasnya
akses
masyarakat
untuk
masuk
dan
mengambil/memanfaatkan hasil-hasil hutan. Ketiga, adalah masalah lingkungan, yaitu
rusaknya
hutan
akibat
ulah
manusia
yang
sewenang-wenang
memperlakukan hutan. Kondisi konflik semakin diperparah oleh benturan kepentingan yang semakin kompleks akibat dari kenyataan bahwa secara de jure kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan 20
Laporan akhir tahun tentang Konflik Tenurial di Kawasan Hutan, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta, 2011. 21 Jika dilihat dari aktor yang terlibat terdapat sembilan kategori konflik; 1)Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk dan/atau ditetapkannya wilayah adat sebagai kawasan hutan negara; (2) Konflik antara masyarakat vs. Kemenhut vs. BPN. (3) Konflik antara masyarakat transmigran vs. masyarakata (adat/lokal)vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah vs. BPN. 4) Konflik antara masyarakat petani pendatang vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah. Misalnya konflik karena adanya gelombang petani yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut; (5) Konflik antara masyarakat desa vs. Kemenhut. Misalnya konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa; (6) Konflik antara calo tanah vs. elite politik vs. masyarakat petani vs. Kemenhut vs. BPN. (7) Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. (8) Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izinizin lain seperti pertambangan dan perkebunan. (9) Konflik karena gabungan berbagai aktor 18. Lebih jauh lihat, Menuju Kepastian dan eadilan Tenurial, Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia Tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah Mereformasi Kebijak Penguasaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia, Edisi revisi (2011), hlm. 23-24.
11
hasil hutan (Contreras dan Fay, 2009). Akibat konflik, adalah munculnya kekerasan yang sebagian besar menimpa masyarakat yang hidup disekitar hutan, kriminalisasi terhadap masyarakat yang tinggal disekitar hutan, dan munculnya masalah sosial yakni kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan. Dalam kasus di masyarakat petani sekitar dan dalam kawasan TNUK, selain persoalan tenurial, terkait batas kelola dan kepemilikan lahan, pihak otoritas TNUK dalam ragam kebijakan konservasinya masih mengabaikan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan. Padahal masyarakat telah hidup secara turun temurun dan bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Dove (1983) hal ini merupakan contoh dari apa yang disitilahkannya sebagai “politic of ignorance” dari pemerintah, dalam hal ini otoritas TNUK. Akibatnya, masyarakat perlahan namun pasti tereksklusi dari ruang hidupnya sendiri. Demi menuntut hak dan akses mereka yang makin terampas, aksi perlawanan mereka lakukan dengan beragam pilihan cara dan strategi dalam konteks kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini hendak mengungkap dan mendalami lebih jauh tentang bagaimana aksi petani dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK. Untuk menjawab persoalan utama tersebut maka studi ini hendak hendak menelusuri tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1. Bagaimanakah konteks historis yang melatarbelakangi lahirnya kontestasi dalam penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK? 2. Bagaimanakah ragam kepentingan multi pihak dikontestasikan dalam politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, sehingga berkontribusi pada proses eksklusi masyarakat sekitar/dalam kawasan TNUK? 3. Bagaimanakah bentuk-bentuk aksi dan strategi perlawanan petani, dalam merespon kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK?
12
Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian di atas maka studi ini bertujuan untuk; 1. Menjelaskan dan menganalisa konteks historis yang melatarbelakangi kontestasi antara masyarakat di pinggir dan dalam
kawasan TNUK,
khususnya kampung Legon Pakis dengan pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) beserta para pendukung masing-masing dalam konteks politik penataan dan penguasan ruang di kawasan konservasi TNUK. 2. Mengurai dan menjelaskan peta kepentingan (konservasi, ekologi dan ekonomi) dan para aktor berkontestasi dalam konteks penataan dan pengusaan ruang di kawasan konservasi TNUK. 3.
Menejelsakan dan menganalisa beragam bentuk bentuk-bentuk aksi, strategi dan perlawanan masyarakat petani di sekitar/dalam kawasan konservasi TNUK, khususnya masyarakat petani Legon Pakis dan sekitarnya dalam merespon politik penataan dan penguasaan ruang konservasi di TNUK.
13