BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah suatu sistem simbol yang arbitrer untuk suatu simbol kerjasama. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Bloch dan Trager (dalam Lyons, 1994:4). Sementara Saphir, Robin, Hall, dan Chomsky mendefinisikan bahasa tidak langsung merujuk pada bahasa sebagai alat komunikasi, akan tetapi lebih bersifat umum, yaitu bahasa adalah media penyampai ide atau gagasan antar individu satu dengan individu lain. Pada masa lalu kajian penggunaan bahasa, tidak secara jelas dibedakan dengan sebab-sebab yang melatarbelakangi penggunaannya. Masing-masing menganggap bahwa penggunaan bahasa adalah murni persoalan bahasa itu sendiri. Sementara, sebab-sebab yang melatarbelakangi penggunaannya, dianggap sebagai persoalan tersendiri.
Pada
tahun 1960-an mulai berkembang kajian antar disiplin, seperti sosiologi dan linguistik menjadi sosiolinguistik, psikologi dan bahasa menjadi psikolinguistik, antropologi dan bahasa menjadi antropolinguistik, dll. Pada dasarnya benih-benih kemunculan kajian antar disiplin antara bahasa dan ilmu-ilmu lain, telah ada di penghujung abad ke-20. Hal itu bersamaan dengan maraknya diskursus tentang linguistik, terutama setelah munculnya buku-buku linguistik karya besar Mongin Ferdinand de Saussure.
Sepeninggal Saussure, diskursus tentang
linguistik menjadi topik hangat di berbagai tempat di Eropa. Beberapa tokoh linguistik banyak menawarkan konsep-konsep baru dalam linguistik, seperti Louis Hjemslev
2 dengan teori glosematik, M.A.K Halliday dengan teori linguistik sistemik, Leonard Bloomfiled yang mengusung teori taksonomi dan Kenneth L pike tagmemik.
dengan teori
Sementara pada sub-kajian linguistik, juga muncul tokoh-tokoh, seperti
semiotika yang digagas oleh Charles Sanders Pierce, G.E. Moore yang dikenal sebagai pencetus filsafat analitik atau filsafat bahasa, Betrand Russel pencetus awal atomisme logis, yang juga merupakan bagian dari filsafat analitik atau filsafat bahasa, dan Ludwig Josef Johann Wittgenstain atau lebih dikenal Ludwig Wittgenstain sebagai bapak filsafat bahasa. Pengaruh pemikiran Saussure yang beraliran strukturalisme, juga banyak mengilhami pemikir lain di luar kajian linguistik, dan mencapai puncaknya pada tahun 1960-an.
Adapaun beberapa tokoh strukturalis tersebut antara lain: Strauss
(Antropologi), Lacan (Psikoanalisis), Barthes dan Todorov (Kritik Sastra) (Widada, 2009:25). Jika dilihat dari segi usia, kajian bahasa dan masyarakat atau kajian sosiolinguistik tergolong kajian yang masih muda, bahkan jurnal utama bahasa Inggris sebagai wadah publikasi penelitian Language in Society dan Journal of Sociology of Language dan sejumlah buku teks pengantar baru muncul sekitar tahun 1970-an seperti Burling, 1970; Pride, 1971; Fishman, 1972 ; Robinson, 1972; Trudgill, 1974; Platt&Platt, 1975; Bell, 1976; Dittmar, 1976; dan Wardaugh, 1976 (dalam Hudson, 1995:1). Meluasnya minat terhadap kajian sosiolinguistik akhir-akhir ini merupakan sebuah kenyataan, bahwa kajian sosiolinguistik banyak memberikan berbagai sumbangan dari berbagai tataran baik mengenai hakikat bahasa, maupun hakikat prilaku berbahasa seseorang di dalam masyarakat. Selain itu, kajian sosiolinguistik merupakan kajian yang
3 dinamis yang memiliki kaitan dengan ruang dan waktu. Tataran sosial dan bahasa secara bersama berkembang secara terus menerus dan dinamis, sehingga untuk mengimbangi perkembangan tersebut perlu adanya penelitian-penelitian yang dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut. Kajian sosiologi dan bahasa atau sosiolinguistik menjadi sebuah disiplin ilmu yang banyak diminati baik dari dalam maupun luar negeri. Selain karena keduanya mengkaji dinamika-dinamika baru dalam kehidupan sosial masyarakat, juga karena di Indonesia sendiri kaya dengan keragaman sosial yang menarik untuk dikaji, khususnya dari dimensi bahasanya. Kajian sosiolinguistik di dalam penelitian ini, merupakan tanggapan terhadap maraknya kajian penggunaan bahasa dan banyaknya bahasa, dan dialek-dialek yang tersebar di seluruh Indonesia. Khasanah kebahasaan yang melimpah tersebut, tentu merupakan daya tarik bagi ahli bahasa dalam mengungkap bahasa dari berbagai sudut pandang. Di Indonesia diperkirakan terdapat 550 hingga 700 bahasa dan ratusan bahkan mungkin ribuan dialek yang persebarannya tidak merata. Makin ke timur makin banyak bahasa, namun makin sedikit penuturnya. Sementara di bagian barat, terutama di pulau Jawa bahasa cenderung lebih sedikit, namun penuturnya paling banyak.
Dengan
hitungan angka-angka, terdapat empat belas bahasa daerah dengan jumlah penutur di atas satu juta. BJ (75), Sunda (27), Madura (9), Minang (6,5), Bugis (3,6), Bali (3,0), Aceh (2,4), Banjar (2,1), Sasak (2,1), Batak Toba (2,0), Makassar (1,6), Lampung (1,5), Batak Dairi (1,2), Rejang (1,0). Dan terdapat 114 bahasa yang berpenutur antara 10.000 sampai 100.000 penutur, 200 bahasa dengan 1000 sampai 10.000 penutur, 121 bahasa dengan 200 sampai 1000 penutur dan 67 bahasa kurang dari 200 penutur (Sneddon, 2003 dalam Muliono, 2010:2-3).
4 Dilihat dari tataran kuantitas penutur bahasa-bahasa di atas, bahasa Jawa memiliki peringkat tertinggi dari bahasa-bahasa lainnya, karena bahasa Jawa dilihat dari berbagai sudut pandang memiliki akar sejarah yang sangat panjang dan lama. Pada masa kerajaan Kalingga di pegunungan Dieng, yaitu abad ke-6 BJ telah dikenal sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari walaupun keterangan mengenai hal ini terbatas hanya pada cerita tutur. Meminjam istilah Oppenheimer (2010) dikatakan, bahwa cerita tutur tidak dapat diabaikan sebagai sumber pustaka ilmiah, karena menurutnya tradisi tutur merupakan filantropi pustaka yang tak ternilai harganya, sehingga mengabaikannya adalah merupakan tragedi akademik, khususnya bagi penulisan sebuah karya ilmiah. Dalam sejarah penggunaan bahasa Jawa, bahasa Jawa telah mengalami beberapa kali perkembangan. Pada masa Dinasti Syailendra BJ dikenal sebagai bahasa yang tidak memiliki tingkat tutur (Jw: undhak usuk) atau speech level sebagaimana yang kita kenal pada masa kini. Pada masa itu, BJ merupakan bahasa yang egalitarian atau sederajat dan tidak membedakan kasta alias non oposisi, sehingga menurut Ahmad Tohari, sastrawan Banyumasan yang merupakan salah satu penggiat dalam penggunaan BJ “Ngapak”, dalam sebuah seminar tentang budaya Ngapak di Gedung Wanitatama Yogyakarta mengatakan, bahwa di jaman itulah justru puncak peradaban Jawa yang sebenarnya. Di masa puncak kejayaan bahasa dan manusia Jawa tersebut dibangun sebuah mahakarya Borobudur sebagai perlambang, bahwa rakyat dan Raja manunggal atau nyawiji tanpa ada sekat-sekat atau perbedaan, namun tetap dalam batas-batas hormat satu sama lain. Istilah ragam kasar dan halus bagi sebagian pemerhati budaya bukan merupakan pandangan yang universal. Ragam kasar dan halus hanya merupakan klasifikasi teoretis dan tidak berlaku umum.
5 Perpindahan kerajaan dari Barat ke wilayah Timur seperti dinasti Airlangga dan Dinasti Rajasa lama, yaitu Ken Arok menjadi salah satu awal dimulainya penggunaan BJ baru.
Hal ini dibuktikan dengan adanya stratifikasi bahasa tinggi dan rendah yang
digunakan dalam naskah-naskah kuno di abad itu. Bagi sebagian pengamat budaya, BJ baru menjadi bahasa yang normatif dan terpasung dalam kaidah-kaidah bagi masyarakat penuturnya. Gambaran perkembangan BJ lama ke BJ baru adalah sebuah bukti bahwa bahasa bersifat dinamis dan tidak satupun yang ada di dunia yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. BJ tidak hanya memiliki rentang sejarah yang panjang dalam penggunaannya tetapi juga memiliki berbagai catatan yang panjang dalam hal persebarannya. Sejak berdirinya Imperium besar Majapahit pada abad ke-13 “taklukan” wilayah Jawa sangat luas dan hal ini sangat berpengaruh terhadap persebaran orang Jawa dan BJ di beberapa tempat di Nusantara. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dilihat pada kasus penggunaan bahasa ragam halus Bahasa Palembang, Bali, Lombok, dan Madura yang memiliki banyak kesamaan dengan BJ khususnya pada tataran leksikal. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh hubungan sosial, politik, dan geneologis pada masa lalu. Belum lagi secara kuantitas orang Jawa lebih banyak dari suku-suku lain, hal inilah yang membuat BJ lebih banyak menyebar secara merata hampir di seluruh Nusantara. Sebagian besar penutur terpusat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta sedangkan di luar wilayah tersebut penggunaan BJ merupakan kantong-kantong saja. Pengguna BJ bahkan melampaui batas-batas wilayah teritorial Nusantara seperti yang terdapat di Suriname Amerika Selatan ; Kalidonia Baru di Prancis ; Kelompok Jawa Krue
6 di Vietnam Selatan ; Kampong Jawa di Kamboja; Kampung Pandan, Trengganu, Negeri Sembilan, Kelantan di Malaysia ; dan Kampung Jawa di Singapura, dll. Sebagai sebuah bahasa yang memiliki banyak penutur dan memiliki sejarah yang panjang dalam penggunaannya, BJ memiliki banyak ragam dialek sebagai akibat dari proses ruang dan waktu. Sebagaimana BJ yang terdapat di desa Selogudig, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo. Masyarakat sekitar Probolinggo menyebut BJ yang digunakan oleh kelompok Mandhalungan Selogudig tersebut
sebagai “Bahasa
Selogudig-an”. Penyebutan istilah “Bahasa Selogudig-an” lebih merupakan penamaan yang bersifat emik, yaitu penamaan yang muncul secara alamiah di kalangan Selogudig sendiri atau orang-orang di sekitar desa Selogudig. Sementara dari tataran keilmuan linguistik atau sudut pandang etik, “Bahasa Selogudig-an” merupakan variasi dari bahasa Jawa atau tepatnya Variasi Bahasa Jawa Selogudig (VBJS). Sepintas, VBJS yang terdapat di desa Selogudig memiliki berbagai kemiripan dengan BJ dialek pesisiran, terutama dengan BJ dialek Jember. Kemiripan-kemiripan tersebut berkaitan erat dengan latar sejarah antara BJ yang terdapat di Probolinggo dan BJ yang terdapat di Jember, yang pada masa lalu sama-sama mendapat pengaruh dari BM,
karena dua wilayah tersebut merupakan wilayah migrasi bagi pendatang dari
Madura yang secara geografis berdekatan. Persamaan BJ dialek Jember dengan VBJS dapat dilihat dari berbagai tataran kebahasaan, dan sebagian besar terdapat pada tataran leksikal yang diakibatkan oleh pengaruh BM. Pengaruh BM baik pada VBJS maupun pada bahasa Jawa dialek Jember ini sangat dominan. Namun demikian, jika diamati secara mendalam VBJS tetap memiliki ciri-ciri lain yang lebih khusus yang tidak ditemukan pada BJ dialek Jember, maupun pada BJ dialek pesisir Jawa Timur lainnya.
7 Salah satu kekhasan yang terdapat dalam VBJS pada tataran fonologi, akan tampak sekali ketika dibandingkan dengan fonologi BJB, seperti pada contoh berikut; BJB [i] [e] VBJS. Contoh BJB [pite] [pete] „ayam‟ VBJS, BJB [e] [] VBJS seperti kata BJB [mej] [mεj] ‟meja‟VBJS, BJB [u] [o] VBJS seperti pada BJB [sugh] [sogeh] „kaya‟ VBJS, BJB [u] [o] VBJS seperti pada BJB [watu] [wato] „batu‟ VBJS. Pada tataran fonologis di atas nampak adanya kekhasan, yaitu berupa variasi fonem vokal antara BJB dan VBJS, walaupun demikian kekhasan yang terdapat dalam VBJS tersebut secara semantis tidak membedakan arti. Kekhasan yang terdapat dalam VBJS tidak hanya pada tataran fonologi, namun juga pada tataran lainnya, seperti morfologi, leksikal dan semantik. Untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas secara singkat kekhasan-kekhasan yang terdapat dalam VBJS tersebut. Pada tataran penggunaan bahasa, penelitian ini akan menguraikan bagaimana penggunaan bahasa, di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, dalam sebuah peristiwa tutur, antara Kelompok Mandhalungan Selogudig (KMS) ketika berinteraksi dengan sesama KMS, maupun dengan kelompok lainnya. Selain menguraikan tentang penggunaan bahasa penelitian ini juga menguraikan sebab-sebab yang melatarbelakangi pemilihan atau penggunaan bahasa tersebut. Selain itu, penelitian ini juga akan membahas tentang peristiwa alih kode dan sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
1.2 Rumusan Masalah Jika diidentifikasi secara mendalam, di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo terdapat banyak persoalan sosial,
8 budaya, dan kebahasaan
yang menarik untuk dikaji. Namun demikian, di dalam
penelitian ini hanya akan dibahas permasalahan kebahasaan saja, khususnya yang berkaitan dengan bahasa yang digunakan oleh Kelompok Masyarakat di Desa Selogudig (KMS) yaitu Variasi Bahasa Jawa Selogudig (VBJS) dan penggunaan bahasa di lingkungan KMS dalam berinteraksi baik dengan sesama KMS, maupun dengan kelompok yang lain
dan mengidentifiaksi sebab-sebab yang melatarbelakangi
penggunaan bahasa tersebut. Selain mengkaji dua permasalahan di atas penelitian ini juga menguraikan tentang peristiwa alih kode dan sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Untuk melihat gambaran permasalahan-permasalahan tersebut, berikut rinciannya : 1. Bagaimanakah Variasi Bahasa Jawa Selogudig (VBJS), di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo? 2. Bagaimanakah penggunaan bahasa, antara KMS dengan KMS, dan KMS dengan kelompok lainnya, yang terdapat di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo, dan sebabsebab apa sajakah yang menjadi latar belakang dalam penggunaan bahasa tersebut? 3. Bagaimanakah peristiwa alih kode dalam KMS di desa Selogudig Wetan dan Kulon, kecamatan Krejengan, kabupaten Probolinggo, dan sebab-sebab apakah yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa alih kode tersebut? Diharapkan dengan adanya rumusan masalah tersebut di atas, dapat diperoleh gambaran tentang kilasan bentuk VBJS dan gambaran penggunaan bahasa dalam KMS dalam sebuah peristiwa tutur, dan gambaran tentang sebab-sebab yang melatarbelakangi
9 penggunaan bahasanya. Selain dua gambaran tersebut di atas diharapkan dalam penelitian ini juga dapat memberikan gambaran lain, berupa peristiwa alih kode dan sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini, merupakan tanggapan atas banyaknya bahasa, dan dialek-dialek yang tersebar di seluruh Indonesia. Khasanah kebahasaan yang melimpah tersebut, tentu merupakan daya tarik bagi ahli bahasa dalam mengungkap bahasa dari berbagai sudut pandangnya. Di Indonesia diperkirakan terdapat 550 hingga 700 bahasa dan ratusan bahkan ribuan dialek yang persebarannya tidak merata.
Berdasarkan rasio atau
perimbangan penelitian bahasa dengan bahasa yang ada di Indonesia dapat dikatakan jauh dari yang diharapkan. Bahasa daerah merupakan kekayaan Nasional yang perlu dilestarikan dan dipertahankan. Bahasa daerah merupakan bagian dari kekayaan yang sangat bernilai yang dimiliki bangsa Indonesia dan penting untuk dipelihara, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 berbunyi “Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia“ dengan disertai penjelasan ”di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya baik-baik (misalnya BJ, Sunda, Madura dsb.) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara.
Bahasa-bahasa
tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.” VBJS sebagaimana bahasa lainnya merupakan bagian dari kekayaan bahasa daerah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia, layak untuk dikaji dan didokumentasikan, agar tetap lestari, walaupun sesuatu hal yang terburuk dapat terjadi pada VBJS, maka
10 rekam jejak VBJS akan tetap tersimpan dalam sebuah catatan yang akan menjadi cerita bagi generasi yang akan datang. Penelitian ini dilakukan juga sebagai jawaban terhadap anggapan beberapa ahli bahasa, khususnya peneliti dialek-dialek Jatimuran yang selama ini mengangggap bahwa wilayah Probolinggo sebagai wilayah yang berpenutur bahasa Madura. Artinya penelitian ini sebagai jawaban bahwa di wilayah Probolinggo masih terdapat beberapa wilayah yang berpenutur BJ, salah satunya adalah KMS yang terdapat di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan ini. Selain dua alasan tersebut di atas di desa Selogudig juga terdapat kekhasan berupa masyarakat bilingual dan beberapa peristiwa kebahasaan seperti penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam komunikasi sehari-hari yang jarang ditemukan pada kelompok masyarakat umum, khususnya di wilayah kabupaten Probolinggo. Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi struktur kebahasaan VBJS yang digunakan oleh KMS di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo. 2. Mendeskripsikan dan mengidentifikasi pola penggunaan bahasa antar kelompok yang terdapat di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo. 3. Mendeskripsikan sebuah situasi kebahasaan berupa peristiwa alih kode dan mengidentifikasi sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
11 1.3.2 Kegunaan Penelitian Gagasan awal yang muncul sebelum penelitian ini ditulis, adalah bagaimana penelitian ini dapat memberikan manfaat langsung maupun tak langsung, khususnya bagi wilayah yang menjadi obyek kajian, yaitu desa Selogudig.
Hal ini karena suatu
penelitian yang baik itu bukan hanya dapat memberikan manfaat bagi orang lain, terutama bagi masyarakat yang dikaji, tetapi juga mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya pada saat ini. Setelah digali dan dicermati manfaat dari penelitian ini, baik secara khusus, maupun secara luas diperoleh dua manfaat penting, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1.
Manfaat Teoretis: Pada tataran keilmuan diharapkan penelitian
ini dapat dijadikan landasan dalam mengkaji bahasa di dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan bentuk Variasi Bahasa Jawa Selogudig (VBJS). Selain itu penelitian juga dapat dijadikan landasan dalam melihat situasi penggunaan
bahasa
dan
peristiwa
alih
kode
dan
sebab-sebab
yang
melatarbelakangi keduanya, khususnya yang terdapat di desa Selogudig, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo.
Penelitian kebahasaan ini
diharapakan dapat menemukan temuan-temuan yang khas dan unik yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti-peneliti lainnya. Secara umum penelitian yang dilakukan di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon ini dapat dijadikan percontohan atau potret sosial masyarakat yang harmonis walaupun di dalamnya terdiri dari beragam kelompok. Sebagai penelitian rintisan, diharapkan penelitian tentang VBJS dan prilaku berbahasa di kalangan KMS ini, dapat memberikan angin segar bagi kajian kebahsaan khususnya kajian sosiolinguistik,
karena selama ini kajian
12 tentang bahasa khsusnya tentang VBJS dan KMS kurang mendapat perhatian dari para peneliti. Dengan terpublikasinya penelitian dalam berbagai forum keilmuan, diharapkan ada kesadaran, khususnya bagi KMS agar terdorong untuk tetap memelihara dan mempertahankan keberadaan terutama VBJS, karena bahasa merupakan benteng terakhir identitas sebuah bangsa. Sebagaimana ungkapan Melayu “pupus bahasa pupuslah bangsa”. 2. Manfaat Praktis : penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan dan perencanaan bahasa, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Di samping itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan untuk mengembangkan dan melestarikan VBJS sebagaimana yang yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Serta UndangUndang no. 2 Tahun 1989 Pasal 41 dan Pasal 42 Ayat 1 yang berbunyi: “Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu”.
1.4 Metode Penelitian Sesuai dengan permasalahan atau tema yang diangkat,
penelitian ini secara
sekilas berupaya untuk memerikan bentuk kebahasaan, yaitu VBJS dan mendeskripsikan penggunaan bahasa, di dalam KMS di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan
Pajarakan,
Kabupaten
Probilinggo
dan
sebab-sebab
yang
melatarbelakanginya. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan peristiwa alih kode
13 dalam sebuah peristiwa tutur di dalam KMS, dan selajutnya mengidentifikasi sebabsebab yang melatarbelakinginya. Terkait dengan pembahasaan pada permasalahan struktur VBJS dalam KMS penelitian ini menggunakan metode deskriptif struktural, sementara dalam menjawab penggunaan bahasa dalam KMS penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi dengan delapan komponen tutur yang menjadi landasan dalam melihat interaksi sosiolinguistik antara KMS dengan sesama KMS dan KMS dengan kelompok lainnya di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. Metode kualitatif juga digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dan faktor-faktor yang melatarbelakangi peristiwa alih kode, yang berkaitan dengan aspek-aspek extra lingual seperti aspek sosial budaya penuturnya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tahapan-tahapan kerja, sebagaimana
penelitian penggunaan bahasa di dalam suatu masyarakat yang
dikategorikan sebagai etnografi komunikasi, yang merupakan bidang pengembangan dari sosiolinguistik, seperti
yang dikatakan oleh Duranti (1989:211), bahwa etnografi
komunikasi merupakan bidang pengembangan dari sosiolinguistik, dan etnografi komunikasi memandang penggunaan bahasa harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode linguistik dalam tingkah laku kehidupan sosial, hal ini sama dengan pandangan para ahli ilmu pengetahuan sosial pada umumnya. Gagasan Hymes (1972a) terkait dengan metode etnografi komunikasi bahwa sebuah komunikasi dalam sebuah peristiwa tutur terkait erat dengan faktor luar bahasa seperti dimana, kapan, siapa penutur dan lawan tuturnya, isi tuturan, tujuan tuturan,
14 intonasi tuturan termasuk di dalam terkait dengan kondisi kejiwaan penutur. Faktorfaktor luar bahasa berupa komponen tutur tersebut dihimpun Hymes menjadi delapan komponen tutur yang digunakan dalam menganalisis sebuah perstiwa tutur. Ke-delapan komponen tutur tersebut diakronimkan sebagai SPEAKING. Dalam kaitan dengan penelitian etnografi Spradley (1980:7) menyarankan bahwa dalam penelitian etnografi pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tahapan, antara lain : pengamatan, pencatatan, perekaman, dan wawancara. Tahapan-Tahapan dalam
pengumpulan data tersebut dapat secara keseluruhan
digunakan, maupun sebagian sesuai dengan kebutuhan peneliti. Selain beberapa tahapan dalam memperoleh data sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga terdapat pengumpulan data, berupa pengisian daftar kata, dan pendekomentasian. Pendokumentasian dilakukan sebagai salah satu penunjang dalam penelitian ini, sementara pengisian daftar dilakukan sebagai pendukung dalam mendeskripsikan secara sekilas bentuk VBJS.
1.4.1 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, antara lain: (1) Data Awal: Data awal yang dimaksud dalam penelitian ini,
adalah data yang
diperoleh dari buku-buku terkait dengan pandangan umum tentang deskripsi letak geografis wilayah penelitian, latar belakang sejarah, sosial, seni dan budaya serta bahasa. Data awal ini digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan tentang wilayah dan beberapa tataran lainnya, sebelum melihat penjelasan yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang obyek yang dikaji. (2) Data Utama: Data utama merupakan data yang diambil melalui pengamatan langsung dan tak langsung. Untuk memperoleh data
15 utama yang bersifat langsung penulis menggunakan media rekam dengan pita kaset, rekaman digital, telephon genggam dan pencatatan. Piranti-piranti sebagaimana yang disebutkan di atas, dimanfaatkan untuk merekam sebuah peristiwa tutur yang diperagakan oleh Kelompok Mandhalungan Selogudig (KMS) baik dalam berinteraksi dengan sesama KMS, maupun dengan kelompok lain, seperti Kelompok Mandhalungan (KM), Kelompok Madura Asli (KMA), Kelompok Surabaya-an (KS) dan Kelompok Mataraman (KMT). (3) Trianggulasi Data: Untuk memperoleh data yang menyeluruh baik pada tataran bentuk kebahasaan, maupun dalam hal penggunaan bahasa yang diperagakan oleh KMS, maka dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi data. Trianggulasi data adalah data tambahan untuk melengkapi data yang sudah ada sebagai penyeimbang karena minimnya percontoh (lihat Gunarwan 2002:7). Penggunaan trianggulasi data dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan sumber data tambahan, dari jenis data yang sudah diperoleh.
Data tambahan yang dimaksud dalam penelitian
ini, adalah data yang diperoleh dengan menggunakan tahapan berupa daftar isian kosa kata VBJS. Penggunaan data yang bersifat isian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang bentuk kebahasaan yang dikaji yaitu VBJS. Selain itu, penggunaan data isian tersebut digunakan untuk melihat kesesuaian antara kosakata dalam sebuah percakapan yang diperoleh dengan tekhik rekam, dengan bahasa yang digunakan dalam bentuk tulisan.
1.4.1.1 Lokasi Penelitian Sebagaimana yang tertera di dalam judul di atas , bahwa penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Timur, tepatnya desa Selogudig Wetan dan desa Selogudig
16 Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Problinggo. Lokasi penelitian yang dimaksud dapat dilihat dalam peta-peta berikut. Peta 1 : Kabupaten Probolinggo
Sumber : www.petacitra.com
17 Peta 2 : Kecamatan Pajarakan
Sumber : www.petacitra.com
18 Peta 3 : Desa Selogudig Kulon dan Wetan
Sumber : www.petacitra.com Sebagaimana yang tampak dalam peta 1, 2, dan 3 di atas, bahwa wilayah penelitian ini berlokasi di provinsi Jawa Timur, tepatnya di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo. Desa Selogudig Wetan terbagi dalam beberapa dusun: dusun Krajan I, kemudian dusun Krajan II, dusun Talang, dusun Sadeng, dusun Asam, dan dusun Gudang. Demikian juga dengan desa Selogudig Kulon, terbagi dalam beberapa dusun; dusun Kemuning, dusun Sumber Rejo, dusun Batu Lumpang, dusun Krajan, dan dusun Keramat Jati. Dalam setiap dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun. Terkait dengan pemilihan desa Selogudig Wetan, maupun Selogudig Kulon sebagai wilayah penelitian dalam hal ini memiliki beberapa alasan, antara lain: (1) Pada
19 tataran kebahasaan: desa Selogudig baik Wetan, maupun Selogudig Kulon, adalah salah satu dari sebagian kecil masyarakat Mandhalungan Probolinggo, yang masyarakatnya hingga kini masih menggunakan BJ atau VBJS dalam kehidupan sehari-harinya. Jika dibandingkan dengan masyarakat Mandhalungan yang lain, yang terdapat di Probolinggo secara umum telah beralih dari BJ ke dalam BM. Dengan demikian, KMS merupakan salah satu benteng terakhir pengguna BJ yang sampai saat ini masih dapat ditemui, di desa Selogudig Wetan dan Kulon, kecamatan Pajarakan. Kabupaten Probolinggo (2) Masyarakat Selogudig merupakan masyarakat dwibahasawan yang kesehariannya meggunakan dua bahasa, yaitu VBJS dan BM. (3) VBJS yang digunakan di kalangan KMS memiliki kekhasan dan keunikan yang jarang dijumpai pada variasi, dialek BJ lainnya (4) nama Selogudig dan VBJS di kalangan masyarakat Probolinggo cukup populer (5) pada tataran letak geografis, wilayah Selogudig sangat strategis, karena berdekatan dengan jalur utara poros Anyer-Panarukan, sehingga mudah dijangkau dengan transportasi, baik melalui darat maupun laut. Hal ini sangat terkait dengan kelancaran sebuah penelitian yang membutuhkan pengecekan data di lapangan yang seringkali terjadi berulang-ulang (6) pada tataran budaya: di dalam masyarakat Selogudig secara umum, budaya tidak bersifat tunggal, akan tetapi merupakan sebuah representasi dari dua budaya campuran budaya Jawa dan Madura Atas beberapa pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, sehingga dipilihlah desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon sebagai wilayah penelitian.
20 1.4.1.2 Populasi dan Sampel Sebagaimana judul di atas, bahwa penelitian ini adalah mengkaji penggunaan bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang dikenal sebagai Kelompok Mandhalungan Selogudig (KMS). Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota KMS yang terdapat di desa Selogudig Wetan, maupun di desa Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo. Di dalam KMS sendiri selain terdapat kelompok lain, seperti KM (Kelompok Mandhalungan non Selogudig), KMA (Kelompok Madura Asli, KS (Kelompok Surabaya-an)
dan KMT (Kelompok Mataraman). Pengklasifikasian
kelompok ini dilakukan peneliti berdasarkan penamaan yang bersifat etik dan emik. Pengelompokan emik didasari pada penamaan yang bersifat alamiah yang muncul dalam kelompok masyarakat itu sendiri atau penamaan yang berasal dari masyarakat sekitar. Sementara pengelompokan secara etik adalah pengelompokan berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh peneliti, agar mudah dalam pemaparannya. Pengklasifikasian kelompok seperti Kelompok Mandhalungan Selogudig (KMS), adalah klasifikasi yang bersifat internal yang muncul dari kalangan Selogudig untuk menyebut sebuah kelompok masyarakat yang tinggal di desa Selogudig. Sedangkan penggunaan nama Kelompok Madura Asli (KMA) dan Kelompok Surabaya-an (KS), Kelompok Mataraman (KMT) didasarkan pada pengelompokan untuk memudahkan dalam mengidentifikasi. Terkait dengan pengelompokan bahasa dan budaya, dalam berbagai sumber buku dikatakan, bahwa di Jawa Timur terdapat beberapa kelompok masyarakat yang dibagi berdasarkan ciri-ciri tradisi budaya dan bahasa yang digunakan seperti Kelompok Mataraman, yaitu mengacu pada sekelompok masyarakat yang didasarkan pada ciri-ciri kebahasaan dan budayanya yang cenderung memiliki kesamaan dengan bahasa dan budaya yang terdapat di wilayah seperti Jawa Tengah tepatnya Jogja-Solo yang dikenal
21 sebagai pusat kerajaan Mataram. Kelompok Arek adalah kelompok yang secara budaya dan bahasa memiliki kesamaan seperti masyarakat Surabaya, Gresik, Tuban, Sidoarjo dan Mojokerto. Sampel data diambil di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon. Beberapa orang yang dijadikan sampel adalah penduduk asli Selogudig yang tinggal di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon dan menguasai VBJS dan KM. Selain penduduk asli yang berasal dari Selogudig juga diambil sampel dari kelompok lain, seperti KM (Kelompok Mandhalungan), KMA (Kelompok Madura Asli), KS (Kelompok Surabayaan), dan KMT (Kelompok Mataraman) yang kesemuanya tinggal di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon. Dalam mendapatkan data penggunaan bahasa dilakukan dengan pengamatan terhadap peristiwa tutur yang melibatkan KMS sesama KMS, maupun KMS dengan Kelompok lainnya.
1.4.2 Tahapan Penelitian Terdapat beberapa tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam penelitian ini sebagaimana yang umum dilakukan dalam suatu kerja ilmiah. Tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam penelitian ini antara lain: Sumber data yang diklasifikasi sesuai jenis data, pengumpulan data, transkripsi data, klasifikasi data, analisis data dan penyajian hasil analisis. Berikut adalah uraian secara menyeluruh tentang tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam penelitian ini.
22 1.4.2.1 Pengumpulan Data Dalam memperoleh keseluruhan data penggunaan bahasa oleh KMS, dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang dilakukan dan alat penelitian yang digunakan. Sebagaimana pendapat Spradley (1980:7), bahwa dalam suatu penelitian etnografi pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tahapan, antara lain : pengamatan,
pencatatan,
perekaman,
dan
wawancara.
Tahapan-tahapan
dalam
pengumpulan data tersebut, secara keseluruhan digunakan, maupun sebagian sesuai dengan kebutuhan peneliti. Tahapan yang dilakukan dalam memperoleh data untuk mendapatkan gambaran bentuk VBJS dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengisian berupa daftar isian yang berjumlah 758 kosakata yang meliputi kata dan kalimat. Daftar isian tersebut merupakan modifikasi dari daftar tanya yang digunakan dalam praktek studi lapangan dalam kajian dialektologi yang dikeluarkan oleh Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1990. Sedangkan untuk data penggunaan bahasa dilakukan dengan proses perekaman, yang berisi rekaman berupa dialog dan monolog. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah gambaran yang utuh dalam melihat penggunaan bahasa oleh KMS dan sebab-sebab yang melatari penggunaan bahasa tersebut. Sementara untuk mendeskripsikan bentuk norma lain yang tidak dapat diabstraksikan dari komponen-komponen tutur yang sudah ada dikumpulkan melalui metode wawancara, yakni mewawancarai hal-hal sifatnya sangat internal atau kearifan lokal yang terdapat dalam KMS baik itu berkaitan sejarah, maupun hal-hal lain di luar kebahasaan. Wawancara dilakukan dengan beberapa tokoh masyarakat yang memahami nilai-nilai sosial budaya dalam KMS. Metode wawancara ini juga dilakukan
kepada
para informan atau penutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Tindakan ini dilakukan
23 untuk memahamai secara menyeluruh aspek-apsek yang terkait dengan penggunaan dan pemilihan bahasa dan aspek-aspek yang terkait sosial budaya dan psikologis para para informan yang terlibat di dalam obrolan tersebut.
1.4.2.1.1 Pendokumentasian Langkah awal yang dilakukan untuk mendapatkan data awal, adalah dengan mengumpulkan berbagai sumber data, baik berupa buku-buku, maupun sumber lisan yang terkait dengan Selogudig, maupun yang memiliki topik bahasan yang berkaitan dengan Selogudig baik bahasa, sejarah, budaya, sosial, maupun tataran-tataran lainnya. Selanjutnya, untuk memperoleh data tulis atau sumber tulisan dilakukan dengan cara mencari di berbagai sumber seperti: perpustakaan umum, arsip desa, dan sumber-sumber data yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Sedangkan untuk memperoleh data lisan dlakukan perekaman dan pencatatan dalam berbagai aktifitas penggunaan bahasa oleh KMS dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai kejadian penting seperti pelaksanaan ritual keagamaan, budaya, dan pagelaran seni. Semua aktifitas tersebut didokumentasikan dengan media foto sekaligus dilakukan pencatatan dengan media tulis, seperti buku,tape recorder, telephon genggam dan komputer jinjing.
1.4.2.1.2 Pengamatan Partisipatif dan Nonpartisipatif Metode pengamatan partisipasi, adalah salah satu tahapan untuk mendapatkan data langsung dari orang-orang yang terlibat dalam sebuah percakapan. Metode semacam ini juga disebut sebagai teknik observasi partisipatif atau parsipatoris (Wray, 1998:16). Dalam pelaksanaannya pengamatan partisipasi ini menggunakan teknik simak libat cakap (SLC) (observation participation). Artinya, seorang peneliti di dalam pengambilan data tersebut menyimak atau mendengarkan apa yang dituturkan oleh
24 penutur. Selain mendengarkan peneliti juga dapat melibatkan dirinya secara langsung dalam sebuah percakapan tersebut, artinya peneliti dapat terlibat secara aktif dengan melebur dalam sebuah percakapan yang ia rekam tersebut, atau bersifat reseptif atau pasif. Dikatakan aktif, bila peneliti juga angkat bicara dalam proses dialog, dan dikatakan reseptif, bila peneliti hanya mendengarkan apa yang dibicarakan di dalam proses dialog tersebut (Sudaryanto 1993:133). Di dalam penelitian penggunaan bahasa ini, selain melakukan pengamatan yang bersifat langsung, sebagaimana yang diuraikan diatas, juga dilakukan sebuah pengamatan yang bersifat non partisipasi. Artinya peneliti di dalam pengambilan data dengan perekaman tidak melibatkan diri atau terlibat langsung dalam proses percakapan tersebut, akan tetapi peneliti mewakilkan proses perekaman itu pada seseorang, atau beberapa asisten peneliti yang berasal dari KMS. Asisten peneliti dipilih berdasarkan beberapa kriteria seperti: (1) Syarat utama yang harus dimiliki adalah yang bersangkutan dapat bekerjasama dengan peneliti dan jujur. (2) Selain yang bersangkutan dapat bekerjasama dengan peneliti, ia juga harus memiliki hubungan yang baik khususnya dengan orangorang yang akan diteliti, yaitu orang dalam lingkup KMS. (3) Memiliki hubungan pertemanan yang banyak dan luas, sehingga data yang diperoleh juga dapat memberikan berbagai macam informasi (4). Yang bersangkutan memiliki kelenturan dan teknik memancing dalam mengajak partisipan untuk berbicara, sehingga kalimat-kalimat yang diucapkan dalam tuturan tersebut utuh dan tidak terkesan terpaksa. Dalam melaksanakan tugasnya asisten peneliti dipersiapkan sebuah alat perekam sebagai alat untuk merekam aktifitas percakapan dengan seminimal mungkin dihindari
25 adanya kecurigaan atas aktifitas perekaman, sehingga keadaannya menjadi mengalir secara alami. Dalam mendapatkan deskripsi tentang bentuk VBJS, melalui asisten peneliti juga peneliti memberikan daftar isian pada beberapa orang yang dianggap memenuhi kriteria dimana, jumlah daftar isian tersebut berjumlah ratusan leksikon tertentu, yang dianggap data-data tersebut telah dapat mewakili secara umum leksikon VBJS.
1.4.2.1.3 Perekaman Teknik rekaman dilakukan untuk mendapatkan data yang menyeluruh dan mewakili semua peristiwa tutur yang terjadi di semua lapisan dan tempat. Penggunaan mesin perekam tersebut adalah untuk merekam segala aktifitas para informan baik dalam forum resmi ataupun dalam perbincangan santai. Dalam situasi tertentu peneliti tidak harus hadir dan terlibat dalam perekaman dan dalam hal ini dapat diwakilkan kepada asisten peneliti. Ketidakhadiran peneliti dalam peristiwa perekaman juga dapat memberikan keuntungan bagi peneliti agar dalam proses perekaman situasinya wajar tidak terpaksa atau dipaksakan. Keuntungan yang diperoleh dalam teknik rekam, jika dalam teknik cakap terdapat kata-kata yang terlewatkan, maka kejadian tersebut dapat ditanggulangi dengan menyetel kembali sesuai dengan obyek atau topik percakapan yang diinginkan. Kelebihan lain yang dimiliki dalam penggunaan alat perekam adalah saat pentranskripsian data seorang penutur tidak perlu mengucapkan kata atau obrolan yang berulang-ulang ketika akan ditranskripsikan. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara penelitian yang dilakukan pada era 70-an hingga dibawah tahun 2000-an, khususnya yang berhubungan dengan penggunaan alat media perekaman. Hal ini terkait erat dengan perkembangan tekhnologi, semakin
26 canggih tekhnologi yang digunakan, maka akan berdampak pula terhadap kualitas data yang diperoleh atau dikumpulkan. Salah satunya adalah penggunaan media perekaman dengan tekhnologi digital.
Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dalam
penelitian dengan penggunaan perekaman secara digital. 1) penggunaan perekam digital lebih efisien, jika dibandingkan dengan perekaman pita kaset yang bersifat analog, dengan segala kerumitan pengoperasiannya dan masalah-masalah lain yang ditimbulkannya. Perekam digital selain ukurannya lebih kecil, dari sisi kapasitasnya juga lebih banyak menyimpan data, jika dibandingkan dengan pita kaset, sehingga memungkinkan keseluruhan data dapat ditampung hanya dalam satu wadah yang disebut memory card atau micro disc yang ukurannya sangat kecil. Tentu hal ini berbeda dengan pita kaset yang pengoperasiannya sangat rumit dan muatan datanya juga sangat terbatas. Keunggulan yang terdapat dalam perekam digital tersebut, tentu sangat berdampak terhadap data yang diperoleh, karena hal ini berkaitan kualitas sebuah data yang direkam. 2) Teknik perekaman dengan menggunakan rekaman digital, selain kualitas suara yang lebih baik, juga kualitas hasil percakapan lebih alami, karena ketika proses perekaman berlangsung peneliti atau asisten peneliti dapat secara bebas mengeluarkan
perekam digital tanpa ada prasangka, bahwa obrolan tersebut
direkam. Di kalangan masyarakat awam, alat perekam digital bukan lagi benda asing, karena tekhnologi pada saat ini begitu mudah dan cepat masuk ke desadesa kecil sekalipun. Dari bentuknya yang sederhana dan mirip telephon genggam, alat perekam digital tersebut tidak menggangu pandangan atau
27 konsentrasi informan, sehingga percakapan dapat tetap berlangsung sebagaimana biasanya. Proses perekaman dengan menggunakan pita kaset jauh lebih sulit karena secara umum masyarakat paham betul, bahwa pita kaset sangat terkait erat dengan aktifitas perekaman yang umum digunakan oleh para pencari berita, sehingga hal ini akan menimbulkan kecurigaan dan proses perekaman terganggu, sehingga sangat berdampak terhadap kualitas percakapan yang tidak lagi mengalir dan alami. Hal-hal lain yang tidak terjangkau oleh metode rekaman, dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Metode wawancara dapat digunakan untuk mendapatkan informasi terutama yang terkait pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, khususnya yang terkait dengan prilaku berbahasa. Metode wawancara juga dapat dimanfaatkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial budaya KMS. Selain dimanfaatkan untuk mendapatkan data yang bersifat pribadi dan aspek sosial budaya, metode wawancara juga dapat digunakan dalam mendapatkan informasi tentang aspek kesejarahan.
1.4.2.1.4 Daftar Isian Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini selain didapatkan dari hasil perekaman juga pencatatan langsung dan tidak langsung dengan menggunakan daftar isian yang diisi oleh beberapa informan. Daftar isian berupa kata dan kalimat yang digunakan meliputi beberapa bidang seperti: Bilangan, Ukuran, Musim, Arah dan beberapa kata yang umum dan sering digunakan sehari hari terutama dalam lingkungan KMS.
28 Penggunaan daftar isian digunakan sebagai landasan awal dalam melihat bentuk tataran parsial VBJS. Dalam setiap kata yang dipilih di dalam isian disesuaikan kebutuhan penelitian, khususnya untuk melihat gambaran sekilas tentang VBJS. Penggunaan daftar isian ini selain digunakan untuk melihat gambaran bentuk VBJS, juga digunakan sebagai pembanding dari contoh data yang diperoleh dari hasil rekaman.
1.4.3 Transkripsi Data Di dalam penelitian ini terdapat dua model pengumpulan data. Data yang bersifat isian dan data rekaman. Untuk data hasil perekaman selanjutnya ditranskripsikan dengan sistem fonemis, dan sebagian kecil dengan lambang fonetis, sebagaimana yang umum digunakan di dalam kajian linguistik. Sementara untuk data dari daftar isian yang telah ditranskripsi, dikroscek ulang di lapangan untuk menghindari adanya kesalahan dalam penulisan fonemisnya. Dalam menganalisis penggunaan bahasa, dalam penelitian menggunakan sistem penulisan fonemis berdasarkan fonem-fonem yang terdapat pada obyek kajian. Sistem fonemis VBJS digunakan untuk menganalisis khusus VBJS, sementara penulisan sistem fonemis BM mengikuti sistem fonemis sebagaimana terdapat dalam kaedah penulisan BM yang diambil dari hasil penelitian M. Moehnilabib dkk (1979). Menurut hasil penelitian tersebut , BM memiliki 6 vokal, 26 konsonan dan 4 diftong, ke-enam vokal tersebut antara lain: /i, u, ə, ε, dan /a/. Sementara untuk 26 konsonan antara lain: /p, bh, dh, jh, gh, ḍh, b, t, d, ṭ, ḍ, c, k, g, j, m, n, , ñ, y, r, l, w, h, / dan /s/. Diftong BM antara lain: /uy/, /ay/, /y/, dan /ey/.
29 1.4.4 Klasifikasi Data Dalam rangka memudahkan penganalisisan data, maka sebelum data-data yang telah diperoleh itu dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah memilah-milah, kemudian mengklasifikasi data sesuai dengan urutan dalam permasalahan dan tujuan penelitian. Terdapat dua pengklasifikasian data di dalam penelitian ini. Pertama, adalah pengklasifikasian data atau sumber data yang berasal dari daftar isian, atau pencatatan langsung. Pengklasifikasian ini dilakukan untuk memudahkan dalam memberikan gambaran awal tentang bentuk-bentuk VBJS yang terdapat dalam KMS. Data berupa daftar isian dan pencatatan langsung tersebut, digunakan sebagai landasan untuk menjawab butir pertama dalam rumusan masalah, yaitu dengan melihat gambaran umum VBJS. Kedua, pengklasifikasian data tuturan yang diperoleh dari hasil rekaman diklasifikasi sesuai dengan bahasa yang digunakan. Klasifikasi pertama, adalah klasifikasi berdasarkan penggunaan bahasa pada sesama Kelompok Mandhalungan Selogudig (KMS) dalam berbagai peristiwa tutur. Dalam pengklasifikasian penggunaan bahasa pada sesama KMS tersebut di dalamnya termuat penjelasan tentang penggunaan bahasa berdasarkan tempat atau ranah dimana peristiwa tutur itu terjadi. Beberapa ranah yang dimaksud antara lain: ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah pertemanan, ranah keagamaan dan ranah pendidikan. Langkah berikutnya, adalah pengklasifikasian penggunaan bahasa berdasarkan kelompok pengguna. Dalam pengklasifikasian penggunaan bahasa berdasarkan kelompok yang berbeda tersebut data diklasifikasi sedemikian rupa, seperti dengan membuat urutan-urutan berdasarkan kategori-kategori tertentu. Kategori tertentu itu meliputi bahasa yang paling sering digunakan di lingkungan KMS dan kategori kelompok penutur
30 yang sering dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum inti dari
pengklasifikasian ini, adalah untuk memudahkan dalam menjawab butir permasalahan sebagaimana yang dicantumkan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian. Setelah semua data, baik dari hasil pencatatan,isian dan perekaman selajutnya, data dianalisis sesuai butir-butir dalam permasalahan. Klasifikasi data berikutnya, yaitu berkaitan dengan peristiwa berupa arah alih kode dalam sebuah peristiwa tutur. Dalam pengklasifikasian peristiwa alih kode, diawali dengan peristiwa alih kode yang menggunakan bahasa yang paling sering digunakan di dalam KMS yaitu VBJS, kemudian dilanjutkan dengan bahasa yang memiliki hubungan kebahasaan yang paling dekat dengan VBJS yaitu BJ ragam halus. Pengklasifikasian berikutnya dilanjutkan dengan bahasa kedua di lingkungan KMS yaitu BM, kemudian secara berturut-turut BI, BA dan BIng. Pengklasifikasian berikutnya adalah urutan penyebab terjadinya alih kode. Dalam pengklasifikasian penyebab terjadinya alih kode dalam pembahasan ini mengikuti urutan pengklasifikasian sebagaimana urutan dalam arah alih kode.
1.4.5 Analisis Data Penggunaan bahasa memiliki keterkaitan erat dengan tataran-tataran sosial, di mana bahasa tersebut dituturkan. Penelitian ini secara khusus menjelaskan sebuah gambaran fenomena penggunaan bahasa di dalam sebuah masyarakat, di desa Selogudig, kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Dalam menganalisis data awal penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif struktural dan metode etnografi komunikasi. metode analisis deskriptif struktural digunakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan gambaran sekilas bentuk VBJS dalam berbagai tataran kebahasaan, seperti
31 fonologi, morfologi, leksikal, semantik dan sintaksis sebagai deskripsi awal untuk melihat dan mengetahui ciri VBJS. Metode etnografi komunikasi digunakan mengikuti pola Hymes (1972) yang menyebutkan adanya delapan komponen tutur yang terangkum dalam SPEAKING. Metode etnografi Sebagai sebuah sebuah masyarakat yang bilingual, dan dari tataran etnisitas cukup beragam dalam KMS tentu terdapat beberapa permasalahan, khususnya dalam penggunaan bahasa. Permasalahan yang umum terjadi pada masyarakat bilingual seperti KMS,
adalah
penggunaan bahasa yang berganti-ganti. Terkait dengan
penggunaan bahasa tersebut, di dalam penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi, sebagaimana yang digagas Hymes (1972). Analisis data dengan menggunakan metode etnografi komunikasi yang berkaitan dengan konteks objek penelitian yang berwujud komponen tutur. Metode etnografi digunakan mengikuti konsep Hymes (1972) yang menyebutkan adanya delapan komponen tutur yang relevan dalam memahami suatu peristiwa tutur. Kedelapan komponen tutur tersebut antara lain; setting and scence, participant, ends, act sequence, key, instruments, norms of interaction and interpretation, dan genre.