BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh orang tua. Anak merupakan harta berharga dan anugerah dari Tuhan. Anak juga merupakan pemacu harapan dan semangat bagi orang tuanya. Kehadiran anak juga dapat mempererat hubungan romantisme dan tali cinta antara ibu dan bapaknya, serta memberikan kebahagiaan juga terhadap keluarga dari kedua belah pihak. Dengan hadirnya seorang anak, kehidupan orang tua akan menjadi lebih sempurna. Anak juga merupakan aset berharga bagi orang tua dimasa yang akan datang. Orang tua menaruh harapan-harapan besar kepada anaknya dan memiliki rencana terbaik untuk anaknya dalam rangka mendukung tumbuh kembang anak tersebut. Gargiulo (dalam Junitasari, 2012), menyatakan bahwa anak dapat merupakan suatu cara orangtua untuk memenuhi segala impian dan citacita mereka. Anak dapat menjadi aset penting bagi orangtua karena merupakan representasi diri sebagai orangtua serta simbol penting dari keberhasilan orang tua. Khusus bagi ibu, anak memiliki simbol tersendiri yaitu sebagai “hadiah” bagi orang yang dicintainya. Harapan besar yang diberikan orangtua kepada anaknya membuat orangtua akan berusaha dengan segala daya upaya memberikan yang terbaik untuk anaknya. Jika harapan tersebut tidak tercapai atau gagal, 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mungkin kondisi anak tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua, maka orangtua akan mengamalami kekecewaan atas kegagalan tersebut. Bila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orangtua, maka orangtua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak (Hurlock, 1980). Harapan paling umum dari orangtua terhadap anaknya adalah menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sempurna. Terlebih bagi seorang ibu, harapan-harapan tersebut pasti menjadi sesuatu yang sangat ia nanti-nantikan. Ibu yang mengandung dan melahirkan anak dan ibu merupakan sosok yang paling sering berinteraksi dengan anak. Ketika anak dilahirkan, pada dasarnya seorang ibu akan merawat dan menjaganya setiap saat. Perhatian ibu akan secara optimal dikerahkan untuk mengawasi tumbuh kembang sang anak. Namun terkadang tidak dipungkiri bahwa ada anak yang mengalami permasalahan atau gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya sejak usia dini. Pada dasarnya manusia tidak selamanya terlahir sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut dapat terjadi pada anak dengan gangguan fisik maupun psikis. Ketidaksempurnaan pada anak akan menyebabkan keterbatasan dalam tahap perkembangan selanjutnya. Salah satu keterbatasan yang dapat menghambat perkembangan fisik anak adalah cerebral palsy. Soemantri (2006) menyatakan, cerebral palsy merupakan salah satu bentuk brain injury, yaitu suatu kondisi yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai akibat lesi dalam otak, atau suatu penyakit 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
neuromuscular yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi motorik. Penderita cerebral palsy masih dapat menggerakan anggota tubuhnya yang terserang meskipun gerakannya terganggu karena adanya kelainan pada tonus otot. Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran hidup dengan insidensi meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 22,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Hingga saat ini, belum tersedia data akurat perihal jumlah penderita cerebral palsy di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 1-5 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM (dalam Engelica, 2008) menyatakan jumlah anak Indonesia yang menderita cerebral palsy mencapai seribu anak per satu juta kelahiran. Anak cerebral palsy banyak mengalami kesulitan baik dalam hal komunikasi, persepsi, maupun kontrol gerak. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
dari
mereka
mengalami
keterbelakangan mental. Menurut Soeharso, dari 100 anak yang mempunyai cacat cerebral palsy, umumnya sebanyak 50 anak menderita gangguan bicara. Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem psikologis yang disebabkan
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan atau kehendaknya (Soemantri, 2006, h.130-131) Safari (2005) menyatakan, ketika mengetahui anaknya berbeda dibanding anak-anak lainnya, seringkali orangtua menunjukkan reaksi emosional tertentu. Reaksi emosional yang sering dialami oleh orangtua adalah shock, penyangkalan, merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan marah, perasaan bersalah serta berdosa. Tidak mudah bagi orangtua, khusunya ibu dalam menjalani fase-fase tersebut. Setiap orang akan menerima suatu hal yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal-hal yang tidak diinginkan tersebut akan membuat seseorang itu melalui proses dimana bisa menerima keadaan yang terjadi. Proses-proses penerimaan secara singkat terdiri dari shock (kaget), denial (menyangkal) dan grief and depression (perasaan duka dan depresi), ambivalence (dua perasaan yang bertentangan), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embarassment (perasaan malu dan memalukan), bargaining (tawar-menawar), adaptation and reorganization (adaptasi dan reorganisasi) dan acceptance and adjustment (menerima dan memahami). Tidak dapat dipungkiri bahwa emosional seorang ibu yang memiliki anak cerebral palsy akan mengalami ketidakstabilan sesuai tahapan-tahapan yang ada. Kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap ibu
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terhadap anak. Ibu yang dapat menerima dan bersikap dengan positif maka dapat mengetahui apa yang anak butuhkan untuk tumbuh kembangnya. Namun jika seorang ibu tidak dapat bersikap dengan postif, ibu cenderung tidak memahami dengan baik tindakan-tindakan yang harusnya ia lakukan untuk membantu tumbuh kembang anak. Menurut Rogers (dalam Khotimah & Taganing, 2009), penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Ciri-ciri orang yang menerima orang lain juga dijelaskan oleh Sheerer (Dalam Khotimah & Taganing, 2009) yaitu mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan, menganggap orang lain berharga, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, menerima pujian atau celaan secara objektif, dan tidak menyalahkan atas keterbatasan dan tidak pula mengingkari kelebihan orang lain. Penerimaan ditandai dengan sikap positif adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Roger (dalam Sutikno, 1993) mengatakan bahwa dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik ataupun buruk. Safaria (2005) menyatakan, apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan anak. Besar kecil penerimaan oleh
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
keluarga akan mempengaruhi pada kualitas hubungan keluarga. Lebih lanjut Mahabbati (2010) menyatakan, orangtua yang tidak menerima kehadiran sang anak menjadikan pola asuh terhadap anak berkebutuhan khusus menjadi tidak tertangani dengan benar, atau terbuangnya sisa potensi anak yang seharusnya dapat dijaga bahkan dikembangkan. Keluarga dan lingkungan menjadi faktor-faktor yang mendukung seseorang mencapai proses penerimaan. Menurut Safaria (2005), ada dua faktor yang berpengaruh dalam proses penerimaan, faktor yang pertama yaitu faktor keluarga yaitu adanya hubungan yang relatif harmonis antara ibu dengan ayah. Kemudian yang kedua faktor lingkungan sosial, didalam lingkungan
sosial
mengembangkan
sikap
perhatian,
dukungan,
penerimaan, dan sikap empatik kepada sesama. Gambaran tersebut diatas menjadi alasan bagi peneliti untuk melihat gambaran proses penerimaan ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana gambaran proses penerimaan ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy ?
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan, bagaimana proses penerimaan yang dialami oleh ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode observasi dan wawancara, dimana peneliti bermaksud meneliti sikap penerimaan tersebut pada beberapa responden yaitu ibu yang memiliki anak cerebral palsy. 1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, manfaat penelitian ini adalah sebagai pengetahuan mengenai bagaimana proses penerimaan ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy.
Secara praktis, dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat, khususnya ibu yang memiliki anak cerebral palsy. Diharapkan ibu dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan anaknya dan dapat memberikan dukungan penuh kepada
anaknya.
Penelitian
ini
juga
bermanfaat
untuk
mengantisipasi reaksi-reaksi ibu dengan anak cerebral palsy.
Dari hasil penelitian ini dapat dirancang suatu bentuk pelatihan bagi ibu (parent support group) dengan anak cerebral palsy dalam hal penerimaan terhadap kondisi anaknya, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi ibu, orang tua dengan anak
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
cerebral palsy dan untuk masyarakat luas. Selain
itu, hasil
penelitian ini dapat disampaikan kepada lembaga-lembaga masyarakat agar banyak masyarakat yang membaca dan menjadi pengetahuan baru bagi mereka serta agar masyarakat luas dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan anak cerebral palsy, sehingga tidak ada lagi diskriminasi sosial terhadap anak cerebral palsy. Serta hasil penelitian ini diharapkan dapat juga berguna bagi penelitian selanjutnya
terutama
yang berhubungan
dengan
penerimaan ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy.
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/