BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang dan Permasalahan
Pada mulanya sebelum lahir gagasan regularitas parsial, kalkulus variasi mengawali terlebih dahulu pada jaman lampau. Saat para leluhur matematikawan mengamati suatu masalah isoperimetrik. Masalah ini menyuruh mereka untuk mencari suatu kurva dengan luas terbesar dari suatu kumpulan kurva-kurva yang memenuhi suatu keliling yang telah ditentukan. Masalah ini telah diselesaikan oleh Pappus sekitar tahun 300 M, secara geometrik. Pappus membuktikan bahwa dari semua tembereng lingkaran yang memiliki panjang busur sama, setengah lingkaran adalah tembereng lingkaran dengan luas terbesar (Wiegert, 2010). Jawaban Pappus ini merupakan kumpulan dari hasil-hasil matematikawan sebelumnya yaitu: Euclid, Archimedes, Zenodorus, dan Hypsicles, yang dia rangkum dalam karyanya Synagoge terdiri dari Buku 1 hingga Buku 7 (Heath, 1921). Di masa yang sama, Hero dari Aleksandria yang hidup diantara tahun 150 SM dan 300 M merupakan orang pertama dengan serius meninjau kasus minimisasi melalui langkah-langkah sistematik seperti halnya dalam penelitian. Dia mempelajari bahwa sinar dalam proses pemantulan bergerak memilih lintasan dengan waktu minimum. Namun dia tidak menyertakan dengan bukti matematis dalam bukunya Catoptrica (Ferguson, 2004). Pada abad ke-17, matematikawan Perancis, Pierre de Fermat mempercayai bahwa alam bekerja dengan menempuh hal yang paling mudah dan paling cepat tetapi tidak harus pada lintasan terpendek. Fermat juga mempercayai bahwa cahaya bergerak lebih lambat pada medium yang lebih rapat. Hal ini bertentangan dengan paham Ren´e Descartes bahwa Descartes mengungkapkan sebaliknya. Paham yang bertentangan ini mengakibatkan Fermat harus mengalami tekanan secara pribadi dan umum karena Descartes adalah orang besar di jamannya. Namun Fermat berhasil menyanggah paham Descartes dan pembuktian Fermat terkait apa yang ia percayai tertulis dalam surat-suratnya yang disampaikan kepada Marin Mersenne pada bulan Februari 1662 (Ross, 2008). Hingga saat ini paham Fermat ini dikenal dengan prinsip waktu terkecil Fermat (least times principle of Fermat.) Selanjutnya permasalahan kalkulus variasi dalam mekanika dipelajari oleh Isaac Newton dalam karyanya Principia. Newton mengusulkan suatu masalah mencari bentuk suatu benda yang bergerak dengan kecepatan ajek melalui suatu fluida. 1
Dan bentuk benda yang dicari tersebut haruslah menerima gaya hambatan paling minimum. Masalah ini merupakan masalah pertama yang dirumuskan dengan jelas dan juga diselesaikan secara benar oleh Newton melalui langkah geometrik (Goldstein, 1980). Newton mendapatkan jawaban untuk bendanya adalah fustrum (kerucut oval terpancung) (Buttazzo dan Kawohl, 1993). Berdasarkan hal ini maka lahirlah teori kalkulus variasi. Disamping memberikan sumbagan teori kalkulus variasi, hal lanjut yang penting adalah bahwa kajian Newton tentang gerak benda dalam medium berpenghambat tersebut merupakan masalah paling sulit yang mampu diatasi oleh metode variasi hingga abad ke-20. Masalah yang diajukan Newton tersebut memiliki beberapa asumsi yang terkait dengan medium berpenghambat dan sifat alamiah dari hambatan yang dialami benda bergerak tersebut. Dari asumsi yang dibuat Newton tersebut ternyata jawaban yang dia peroleh hanya berlaku untuk benda-benda yang bergerak lebih cepat dari kelajuan udara dan jawaban kurva dari bentuk benda dapat memiliki pojokan diskontinyu yang ketika diungkapkan secara parametrik, haruslah dibagi ke dalam beberapa selang. Pernyataan terakhir ini yang nantinya menjadi pemicu akan pengembangan teori kendali optimal. Teori kendali optimal merupakan suata cara untuk mencari aturan kendali dari suatu sistem dengan syarat optimal yang harus dicapai sistem tersebut (McShane, 1989). Saat Newton menerbitkan karyanya terkait jawaban atas masalah yang dia ajukan, tidak ada satupun teman sejawatnya yang mampu mengerti tulisannya. Hal ini disebabkan penjabaran jawaban Newton muncul tanpa saran atau petunjuk tata cara dari jawaban tersebut diturunkan. Perkumpulan matematikawan pada saat itu menjadi bingung atas teknik yang Newton perkenalkan dalam jawabannya. Pada akhirnya, guru besar bidang astronomi Universitas Oxford, David Gregory, membujuk Newton untuk menuliskan secara lengkap analisa jawaban terkait permasalahannya di tahun 1691. Setelah mempelajari penjelasan terperinci yang diberikan oleh Newton, Gregory menyampaikan penjelasan tersebut kepada murid-muridnya, dan pada akhirnya tersebar di seluruh dunia, melalui kuliah musim gugur di Universitas Oxford di tahun yang sama. Sejak saat itu, telah banyak dilakukan kajian lanjutan terkait masalah bentuk benda dalam medium berpenghambat termasuk pertimbangan secara umum (yaitu, jenis hambatan yang lebih nyata, permukaan tak-setangkup, dan lain-lain.) (Ferguson, 2004). Permasalahan kalkulus variasi lainnya dan merupakan permasalahan paling terkenal adalah masalah Brachistochrone. Masalah ini diajukan oleh Johann Bernoulli pada bulan Juni 1696 kepada seluruh matematikawan dunia. Permasalahan tersebut mengharuskan seseorang untuk mencari lintasan partikel antara dua titik di bidang
tegak dengan waktu tempuh terpendek tentunya dianggap partikel hanya dipecepat oleh percepatan gravitasi. Permasalahan ini sebenarnya didasarkan pada permasalahan serupa yang diajukan oleh Galileo Galilei pada tahun 1638. Namun Galileo tidaklah menyelesaikannya secara eksplisit dan tidak menggunakan metode kalkulus. Johann memberikan petunjuk hasil akhir penyelesaiannya yaitu bukanlah garis lurus melainkan suatu kurva yang biasa dikenal oleh orang-orang ilmu ukur (geometer) semasanya (Goldstein, 1980). Orang-orang yang berhasil menyelesaikan masalah yang diusulkan Johan dengan benar memperoleh kurva sikloid terbalik vertikal (Byron Jr. and Fuller, 1969) adalah Jacob Bernoulli (saudara Johann), Gottfried Wilhelm Leibniz (selama 7 hari), Newton (12 jam), dan Guillaume de l’Hˆopital. Johann kemudian menyimpulkan dari hasil tantangannya bahwa prinsip waktu terkecil Fermat dan prinsip waktu terkecil dari Brachistochrone adalah dua perwujudan dari gejala-gejala fisis yang serupa (Ferguson, 2004). Kemudian di tahun 1744, Leonhard Euler menerbitkan buku tonggaknya yaitu Methodus inveniendi lineas curvas maximi minimive proprietate gaudentes, sive solutio problematis isoperimetrici lattissimo sensu accepti. Dalam buku tersebut Euler membuat suatu metode untuk menyelesaikan masalah kalkulus variasi secara khusus dan terurut dan membuat metodenya menjadi alat yang sangat canggih di masanya. Dengan metodenya, Euler mampu menyelesaikan berbagai macam masalah kalkulus variasi yaitu: masalah geodesik, masalah Brachistochrone dengan berbagai macam modifikasi dan perumuman, masalah terkait kendala isoperimetrik, dan pertanyaaan seputar invariansi terkait metodenya. Euler juga menghasilkan karya rinci pernyataannya dan diskusinya terkait hal-hal mendasar yang penting dalam mekanika. Dari karya inilah munculah prinsip aksi terkecil yang biasa dikenal dalam mekanika analitik (Kreyzig, 1994). Pada tahun 1755, Joseph-Louis Lagrange yang berumur 19 tahun mengirimkan suatu surat yang rinci akan suatu gagasan baru. Surat tersebut dia kirimkan kepada Euler. Kurang dari dua bulan setelah pengiriman surat tersebut, Lagrange ditunjuk sebagai guru besar matematika Royal Artillery School di Turin. Dalam suratnya tersebut, Lagrange menunjukkan kepada Euler cara menghindari metode geometrik yang melelahkan kedalam cara yang dia ajukan. Intinya, Lagrange mengembangkan suatu gagasan fungsi pembanding, η(x) untuk mengganti metode geometrik Euler. Setelah mempertimbangkan metode yang diperkenalkan oleh Lagrange, Euler segera beralih dari metode geometriknya ke metode yang diperkenalkan oleh Lagrange, dan meresmikan metode tersebut hingga sekarang ke dalam bentuk persamaan, yang dikenal sebagai persamaan Euler-Lagrange (Goldstein, 1980).
Kemudian di tahun 1788, Lagrange menerbitkan karyanya yang berjudul M´echanique analytique (Kreyzig, 1994). Dalam karyanya tersebut, Lagrange memperkenalkan gagasan pengali Lagrange (Lagrange multiplier). Dengan adanya pengali Lagrange ini penyelesaian masalah meminimalkan suatu fungsi menjadi lebih cepat, karena pengali Lagrange menyingkirkan perhitungan secara eksplisit kendala dari masalah minimalisasi. Karya yang diterbitkan Lagrange tersebut setara dengan Principia yang diterbitkan oleh Newton. Sebab, karya Lagrange tersebut memuat segala rangkuman pekerjaan-pekerjaan orang dalam bidang mekanika klasik semenjak Newton membangunnya. Jika Newton melihat permasalahan mekanika dari sudut pandang geometri (vektor - gaya), Lagrange melakukannya dengan persamaan diferensial (skalar - tenaga). Masih di masa Lagrange, di tahun 1786, Adrien-Marie Legendre mempertimbangkan suatu gagasan untuk menentukan ketika suatu ekstremum adalah minimum atau maksimum. Legendre berhasil menunjukkan pengujian ekstremum adalah minimum atau bukan menggunakan hasil yang didapatkan dari gagasan kalkulus dasar yaitu pengujian turunan kedua (second derivative test). Dia menunjukkan bahwa variasi kedua (pengambilan variasi dari fungsional yang sebelumnya telah divariasi) memenuhi syarat pengujian turunan kedua. Namun pada tahun 1797 Lagrange menghasilkan karya yang menyanggah hasil Legendre dalam Th´eorie des fonctions analytiques sehingga membuat gagasan cemerlang Legendre menjadi diragukan (Goldstein, 1980). Berselang lima puluh tahun sejak gagasan syarat variasi kedua yang diajukan oleh Legendre, Carl Gustav Jacob Jacobi menerbitkan karya yang berjudul Zur Theorie der Variationsrechnung und der Differentialgleichungen. Dalam karya tersebut Jacobi menyatakan dua syarat yang menjamin adanya suatu fungsi minimal y˜ dalam fungsional yang akan diminimalkan. Namun syarat Jacobi ini tidak pernah diuji kebenarannya saat itu karena pada masa itu terjadi kemacetan di bidang kalkulus variasi selama setengah abad. Karya terbesar lainnya dari Jacobi lahir akibat pengembangan lanjut dasar mekanika. Pengembangan lanjut dasar mekanika ini dilakukan oleh William Rowan Hamilton. Dia menunjukkan bahwa dalam syarat-syarat tertentu, masalah mekanika yang melibatkan banyak peubah dan kendala dapat disederhanakan menjadi suatu kajian persamaan diferensial parsial dari suatu fungsi tunggal, yang kita kenal sebagai hamiltonan. Dalam karya aslinya yang diterbitkan pada tahun 1834 dan 1835, Hamilton tidak menunjukkan syarat agar persamaannya (persamaan Hamilton) memiliki jawaban. Selanjutnya di tahun 1838, Jacobi berhasil menunjukkan syarat tersebut dengan menyatakan bahwa persamaan Hamilton yang dia pelajari ke-
nyataannya lebih banyak dari apa yang dibutuhkan untuk menghitung jawabannya. Oleh karena usahanya menyederhanakan persamaan Hamilton tersebut, buku-buku mekanika analitik dewasa ini selalu mencantumkan namanya kedalam teori yang kita kenal sebagai teori Hamilton-Jacobi (Ferguson, 2004). Pada pertengahan 1800an, sejumlah matematikawan diantaranya seperti Georg Friedrich Bernhard Riemann dan Peter Gustave Lejeune Dirichlet mencari jawaban umum masalah nilai batas dan nilai awal persamaan difierensial parsial yang muncul dari permasalahan fisika. Masalah nilai batas dan nilai awal persamaan diferensial parsial memiliki peran yang penting dalam fisika, sebagai contoh permasalahan seperti itu merupakan dasar pemahaman dari gagasan gravitasi, elektrostatik, perambatan panas, dan aliran fluida. Masalah nilai awal dan nilai batas tersebut memiliki bentuk umum yang biasa disebut sebagai masalah Dirichlet. Pertama kali diusulkan, masalah Dirichlet berlaku untuk persamaan Laplacan namun tidak menutup kemungkinan untuk bentuk persamaan diferensial yang lain. Hingga saat ini masalah Dirichlet masih menjadi kajian yang menarik untuk membuktikan keberadaan suatu penyelesaian u bagi masalah Dirichlet tersebut. Saat itu Riemann menggunakan prinsip dari kalkulus variasi untuk mengembangkan pembuktian keberadaan jawaban u tersebut. Bukti yang disodorkan oleh Riemaan tersebut mengantarkannya ke dalam suatu kesimpulan yang disebut prinsip Dirichlet. Dalam prinsip Dirichlet tersebut Riemann menemukan jawaban u yang memenuhi persamaan Laplacan haruslah memenuhi integral Dirichlet yang diambil nilai minimumnya (Kreyzig, 1994). Prinsip Dirichlet sebenarnya telah digunakan oleh Carl Friedrich Gauss (1839) dan Lord Kelvin (1847) sebelum Riemann menggunakannya di tahun 1851 dalam rangka untuk mendapatkan fungsi analitik kompleks dari teori potensial. Namun ada sedikit gagasan yang kurang tepat terkait metode pembuktian yang diberikan oleh Riemann terhadap masalah Dirichlet. Ada kesalahan gagasan terkait perbedaan antara suatu batas bawah terbesar (greatest lower bound atau supremum) dan suatu minimum dalam integral Dirichlet. Uraian kesalahan Riemann ini diajukan oleh Karl Theodore Wilhelm Weierstrass dengan memberikan pernyataan bahwa suatu fungsi minimisasi dapat diperoleh baik dengan mengambil limit dari kanan ataupun mengambil limit dari kiri. Rincian dari prinsip Dirichlet yang telah diperbaiki menjadi sangat bermanfaat dalam penyempurnaan teori analisis. Dalam usaha menyempurnakan teori tersebut, dikembangkan tiga buah metode pembuktiaan keberadaan fungsi minimisasi oleh Hermann Schwarz, Henri Poincar´e, dan Carl Neumann. Tiga buah metode inilah yang nantinya menjadi langkah awal David Hilbert untuk mengembangkan metode langsung dalam kalkulus variasi (Ferguson, 2004).
Di awal tahun 1870an, Weierstrass membuat teori kalkulus variasi menuju akhir. Dia memperkenalkan teorinya di perkumpulan matematikawan semasanya melalui disertasi mahasiswa tingkat lanjut yang dia bimbing. Weierstrass juga merupakan orang yang pertama kali menekankan pentingnya domain dari fungsional yang akan diminimalisasi. Dia juga mengamati kelas fungsi-fungsi yang diperbolehkan memenuhi kendala di masalah Dirichlet harus berada pada domain tertentu. Pencapaian terbesarnya adalah fakta bahwa dirinya memberikan sumbangan pertama kali terkait teorema perlu (necessary theorem) untuk suatu fungsi minimum yang tepat. Dua gagasan baru yang dia sumbangkan terkait teorema perlu untuk suatu fungsi minimum (dinamakan syarat perlu minimum kuat) adalah medan ekstremum (extremal field) dan fungsi eliptik Weierstrass, ℘ (Kreyzig, 1997). Kemudian, dikarenakan kalkulus variasi telah mendapat pijakan keilmuan yang kuat, dengan bantuan hasil kerja Weierstrass, beberapa hal kemudian diatur dalam kalkulus variasi agar dapat dikembangkan lebih lanjut. Pada pergantian abad, yaitu pada tahun 1900 dalam suatu Kongres Matematika Internasional (International Congress of Mathematician) di Paris, David Hilbert memasukkan bidang kalkulus variasi ke dalam 23 masalah yang dia ajukan (Hilbert, 1900). Kalkulus variasi menempati masalah pada nomor 19, 20, dan 23. Sampai saat ini masalah nomor 19 dan nomor 20 telah diselesaikan dengan sempurna. Masalah nomor 19 mengatakan bahwa perlu tidaknya syarat keanalitikan suatu jawaban dari masalah regular dalam kalkulus variasi. Masalah nomor 19 ini telah diselesaikan dengan hasil diperlukan syarat keanalitikan dalam jawabannya, oleh Ennio de Giorgi dan John Forbes Nash yang masing-masing menggunakan metode yang berbeda pada tahun 1957. Sementara itu untuk masalah nomor 20 menyatakan ada tidaknya jawaban atas penyelesaian masalah variasional dengan syarat-syarat batas tertentu. Masalah nomor 20 ini diselesaikan secara ramai oleh para matematikawan sebagai topik kajian selama abad 20 hingga memberikan jawaban untuk kasus tak-linear (persamaan diferensial parsial tak-linear) dengan syarat-syarat batas bergantung dari masalah yang dikaji. Untuk masalah nomor 23 merupakan masalah pengembangan kedepan kalkulus variasi. Dari masalah nomor 23 ini muncul tiga subkajian besar di abad ke-19, yaitu teori Morse, teori kendali optimal, dan permukaan minimal (Browder, 1976). Sampai sekarang tiga subkajian tersebut masih terus dikembangkan hingga keberbagai penerapan cabang ilmu lain. Pada tahun 1948, didorong oleh saran P.A.M Dirac, fisikawan Amerika Richard Phillips Feynman mengembangkan pendekatan baru secara lengkap tentang mekanika kuantum, yaitu didasarkan pada metode variasi. Walaupun pendekatan barunya yang lengkap ini tidaklah dirumuskan dengan baik (well-defined) secara matematis,
Feynman tetap memperkenalkan integral lintasan Feynman. Pendekatan Feynman yang baru tersebut cocok secara baik terhadap perluasan teori kuantum ke kerangka kerja yang lebih umum, yaitu melibatkan pengaruh relativistik (Feynman, 1948). Tidaklah membutuhkan waktu yang lama bagi matematikawan untuk memahami semua gagasan Feynmann dan menyusunnya menjadi suatu yang padu. Mark Kac telah menunjukkan bahwa integral lintasan Feynmann dapat dipandang sebagai keadaan khusus dari integral Weiner, yang dikembangkan oleh Norbert Weiner di tahun 1920an. Dengan dasar matematika yang rumit dan panjang, fisikawan kemudian dapat menerapkan teknik variasi yang baru tersebut ke dalam induk dari gejala kuantum dan statistik. Dewasa ini, metode tersebut dipergunakan dalam menyelesaikan masalah penting dalam pengembangan Teori Penyatuan Agung (Grand Unified Theory/GUT). GUT ini merupakan teori yang membahas mengenai penyatuan interaksi lemah, kuat, dan gravitasi (Ferguson, 2004). Gagasan mengenai regularitas parsial memiliki alur sendiri. Gagasan ini muncul ketika fungsional yang akan diminimalkan telah direduksi menjadi persamaan diferensial parsial. Jadi gagasan regularitas parsial muncul sebagai gabungan dari kalkulus variasi dan persamaan diferensial parsial. Ada dua pilihan yang disodorkan ketika diperhadapkan oleh persamaan diferensial parsial yaitu menyelesaikan jawaban secara eksplisit atau mengkaji sifat-sifat jawaban tanpa harus menghitung bentuk eksplisitnya. Lalu orang mulai berpikir sifat atau aturan (regularity) yang harus dimiliki oleh suatu fungsi peminimal. Ada banyak makna mengenai regularitas suatu fungsi peminimal salah satunya kehalusan atau kecembungan. Matematikawan mengatakan ada regularitas bagi fungsi peminimal jika fungsional yang ditinjau memiliki fungsi peminimal bentuk skalar sehingga regularitas berlaku disemua domain dari fungsi peminimal tersebut. Namun jika fungsi peminimal memiliki nilai fungsi berupa vektor maka keberlakuan di semua domain tidak lagi terpenuhi sehingga ada wilayah yang tidak memenuhi regularitas. Maka disitulah digunakan pertama kalinya istilah regularitas parsial. Dari uraian diatas terlihat cukup jelas sejarah kalkulus variasi banyak memiliki peran penting terhadap perkembangan matematika di bidang analisis dan secara khusus terkait fisika lanjut di masa-masa sekarang. Tidaklah mengherankan lagi jika kalkulus variasi menjadi bahan kajian yang selalu baru bagi matematikawan terapan dan secara khusus fisikawan teoritik. Dalam hal ini kalkulus variasi berperan sebagai jembatan untuk memperumum gejala-gejala fisis terutama yang terkait dengan masalah minimalisasi. Melalui tugas akhir ini, penulis akan menyajikan beberapa hal dasar yang terkait gagasan kalkulus variasi di masa sekarang namun dalam ba-
gian yang lebih khusus yaitu bahasan mengenai regularitas parsial. Pertama akan diuraikan terlebih dahulu gagasan regularitas parsial yang berperan dalam menentukan sifat dari suatu fungsi peminimal. Setelah gagasan regularitas parsial terbentuk selanjutnya akan diambil contoh permasalahan fisisnya yaitu fungsional GinzburgLandau. Dikarenakan ingin kajian dibatasi dalam ruang lingkup fisika. Maka fungsional Ginzburg-Landau tersebut menjadi acuan utama untuk menjelaskan regularitas parsial yang dimiliki oleh jawaban atas minimalisasi fungsional Ginzburg-Landau. 1.2
Perumusan Masalah
Melalui tugas akhir ini akan dirumuskan hal-hal berikut yang terkait regularitas parsial: 1. Bagaimana perumusan fungsional Ginzburg-Landau muncul jika dipandang dari segi analisis geometri? 2. Bagaimana perumusan domain yang diperbolehkan agar tercapai peminimal dalam fungsional Ginzburg-Landau? 3. Bagaimana membuktikan keberadaan peminimal dalam fungsional GinzburgLandau? 4. Bagaimana menurunkan atau memperoleh sifat regularitas parsial dari jawaban lemah stasioner untuk fungsional Ginzburg-Landau? 1.3
Batasan Masalah
Dalam tugas akhir ini ditentukan beberapa batasan masalah. Berikut adalah batasan-batasan masalahnya: 1. Fungsional Ginzburg-Landau yang dikaji adalah fungsional Ginzburg-Landau yang sudah diubah dimensinya sehingga menjadi lebih ringkas dan lebih menekankan pada tiga suku: gradien, turunan kovarian, dan potensial Higgs. 2. Penurunan Ginzburg-Landau secara fisis tidak ditunjukkan. 3. Pengantar mengenai analisis geometri diberikan sebagai pelengkap penjelasan mengenai turunan kovarian dan forma diferensial yang tidak ditekankan hingga mendalam.
1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman mendasar mengenai gagasan regularitas parsial kepada fisikawan teoritik yang akan bergelut di bidang fisika matematik khususnya dalam permasalahan minimalisasi. 2. Memberikan pembuktian ulang mengenai keberadaan fungsi peminimal dari suatu fungsional. 3. Menunjukkan ulang sifat regularitas parsial terkait permasalahan fisis, terutama yang ditinjau dalam bidang fisika material, yaitu regularitas parsial dalam fungsional Ginzburg-Landau. 4. Memberikan salah satu langkah awal untuk mengkaji makna fisis dari regularitas parsial. 5. Menyajikan beberapa capaian tentang gagasan regularitas parsial dalam fenomena fisis. 6. Memberikan rintisan terkait metode langsung dalam hal pembuktian regularitas parsial tanpa harus menyelesaikan persamaan Euler-Lagrange. 1.5
Implikasi Penelitian
Tugas akhir ini ditulis agar memberikan implikasi pemahaman terhadap fisikawan yang akan memulai bergelut dalam bidang fisika matematik khususnya masalah minimalisasi. Diharapkan melalui tugas akhir ini dapat memberikan wawasan dan gambaran mengenai cara menurunkan sifat regularitas parsial dalam suatu fungsional yang diminimalisasi. Fungsional yang akan diminimalisasi tentunya merupakan fungsional-fungsional yang mewakili gejala-gejala fisis. Jika keberadaan regularitas parsial ditemukan dalam fungsional yang diminimalisasi tersebut, diharapkan dapat dikaji lebih lanjut makna-makna fisis penyelesaian fungsional terminimalisasi tersebut tanpa harus menghitungnya secara eksplisit. Harapan terbesar dalam penelitian supaya dapat dikaji makna fisis dari regularitas parsial dan Dalam bidang fisika komputasi, pengetahuan akan pembuktian mengenai adanya parsial regularitas sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk menentukan domain fungsi tebakan sebagai jawaban dalam persamaan diferensial parsial yang diperoleh dengan jalan meminimalisasi suatu fungsional.
1.6
Tinjauan Pustaka
Berawal dari 23 masalah yang diajukan oleh David Hilbert terutama pada masalah nomor 19, dalam Kongres Matematika Internasional di Paris, (Hilbert, 1900) mengatakan: Eine der begrifflich merkw¨urdigsten Thatsachen in den Elementen der Theorie der analytischen Functionen erblicke ich darin, daß es partielle Differentialgleichungen giebt, deren Integrale s¨amtlich notwendig analytische Functionen der unabh¨angigen Variabeln sind, die also, kurz gesagt, nur analytischer L¨osungen f¨ahig sind. ... Wir wollen ein solches Variationsprobleme ein regul¨ares Variationsproblem nennen. Die regul¨aren Variationsprobleme sind es vornehmlich, die in der Geometrie, Mechanik und mathematischen Physik eine Rolle spielen, und es liegt die Frage nahe, ob alle L¨osungen regul¨arer Variationsprobleme stets notwendig analytiche Functionen sein m¨ussen, d.h. ob jede Lagrangesche partielle Differentialgleichung eines regul¨aren Variationsproblems die Eigenschaft hat, daß sie nur analytische Integrale zul¨aßt ... Salah satu fakta paling luar biasa di dalam unsur teori fungsi analitik yang nampak oleh saya adalah ini: Bahwa terdapat persamaan diferensial parsial yang integralnya diperlukan seluruhnya fungsi analitik peubab-peubah tak-gayut, yaitu, singkatnya, hanya jawaban-jawaban analitik yang mampu memenuhi persamaan differensial parsial tersebut. ... Kita akan menyebutnya sebagai suatu masalah variasi reguler. Tentunya masalah variasi reguler adalah masalah yang berperan dalam ilmu ukur, mekanika, dan fisika matematik; dan secara alami munculah pertanyaan, mengenai benar tidaknya semua jawaban dari masalah-masalah variasi reguler harus secara perlu merupakan fungsi analitik. Dengan kata lain, Apakah setiap persamaan diferensial parsial lagrangan suatu masalah variasi reguler memiliki jawaban berupa integral dengan fungsi analitik? ... Hilbert menyatakan masalah nomor 19 ini sebagai masalah regularitas untuk suatu kelas persamaan diferensial eliptik dengan koefisien analitik. Selain itu, Hilbert juga mengemukakan masalah yang sangat terkenal bagi para fisikawan matematik
atau matematikawan terapan untuk mengaksiomatisasi gejala-gejala fisis, misalnya dalam teori probabilitas dan mekanika. Masalah ini berada dalam urutan nomor 6. Persamaan diferensial parsial eliptik ini tidak lain diperoleh dari masalah variasi. Langkah awal yang ditempuh matematikawan untuk menjawab tantangan Hilbert adalah dengan mempelajari sifat-sifat regularitas dari jawaban-jawaban klasik persamaan diferensial parsial eliptik. Jawaban positif terkait masalah nomor 19 dilakukan pertama kali oleh Sergei Natanovich Bernstein di tahun 1904 dalam karya ilmiahnya ”Sur la nature analytique des solutions des e´ quations aux d´eriv´ees partielles du second ordre” (Morrey Jr., 1958). Bernstein telah membuktikan bahwa untuk setiap u(x, y) ∈ C 3 yang merupakan jawaban suatu persamaan eliptik analitik tak-linear tunggal merupakan fungsi analitik. Hasil pembuktian Bernstein, kemudian diperbaiki oleh Ivan Georgievich Petrovsky pada tahun 1930 dengan membuktikan keberlakuan jawaban untuk domain C ∞ (Koshelev, 1978). Dilain sisi, matematikawan lainnya mencoba menyelesaikan masalah Hilbert ini dengan menggunakan metode langsung dalam kalkulus variasi. Salah satu capaian adalah membuktikan keberadaan fungsi peminimal yang dilakukan oleh (Morrey Jr., 1940). Dia menerbitkan karyanya selang beberapa tahun setelah beberapa publikasinya mengenai keberadaan fungsi peminimal. (Morrey Jr., 1969) (karya Morrey di tahun 1940 terangkum dalam karya Morrey di tahun 1969) menemukan misalkan diperbolehkan adanya fungsi peminimal, jenis konvergensi, dan nilai batas yang lebih umum haruslah ruang untuk fungsi peminimal itu adalah ruang Sobolev. Namun, Morrey menyimpulkan juga bahwa fungsi-fungsi yang berada dalam ruang Sobolev tersebut belum diketahui kemalarannya, mengisyaratkan tidak termasuk kelas C 1 . Oleh karena itu ada celah antara hasil ini dengan hasil tinjauan yang bukan menggunakan metode langsung dalam hal kemalaran. Celah tersebut kemudian dapat teratasi dengan hasil karya ilmiah (De Giorgi, 1957). Di dalam artikelnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, De Giorgi menemukan bahwa ekstremum dari masalah variasi memiliki sifat malar secara H¨older dengan mengasumsikan turunan pertamanya ada dan merupakan anggota kelas L2 . Dari hal itu, De Giorgi menyimpulkan bawa ekstremum tersebut memiliki sifat diferensiabel takberhingga dan analitik riil. Di tempat lain, (Nash, 1958) menyatakan bahwa jawaban persamaan diferensial parsial parabolik memenuhi sifat malar secara H¨older. Pembuktian yang dilakukan Nash ini tentunya lebih umum sebab dalam artikelnya dia menuliskan persamaan diferensial parsial parabolik lebih alamiah (ada banyak wakilan fenomena alam) daripada persamaan diferensial parsial eliptik dan persamaan diferensial parsial eliptik merupakan kasus khusus dari per-
samaan diferensial parsial parabolik. Maka dari kedua hasil ini didapatkan jawaban positif terkait masalah Hilbert nomor 19 dengan kesimpulan bahwa untuk sembarang jawaban lemah u ∈ W 1,2 (ruang Sobolev) suatu persamaan diferensial parsial eliptik dengan koefisien-koefisien terbatas, terukur, bernilai riil adalah malar secara H¨older dalam suatu wilayah lokal (Hedberg, 1999). Saat itu, matematikawan percaya bahwa hasil De Giorgi dan Nash dapat diperluas untuk orde dan sistem persamaan diferensial eliptik yang lebih tinggi Namun kepercayaan itu pupus, dalam artikel (Maz’ya, 1968). memberikan beberapa contoh sanggahan yang memberikan jawaban negatif terhadap masalah Hilbert nomor 19. Maz’ya berhasil menyusun suatu fungsional yang akan memberikan fungsi peminimal tidak bertapal batas. Maz’ya juga memberikan contoh persamaan diferensial parsial eliptik dengan koefisien analitik memiliki jawaban u = c|x|k . Fungsi u ini tidak termasuk kelas C k , tetapi memiliki turunan orde k − 1 bersifat malar secara Lipschitz. Hal serupa dilakukan oleh (De Giorgi, 1968). De Giorgi memberikan contoh extremum takmalar untuk integral yang fungsi integrannya memiliki bentuk positif definit kuadratis dan bergantung pada turunan fungsi bernilai vektor. Dari jawaban negatif tersebut munculah dua karya ilmiah terkait regularitas parsial yaitu (Morrey Jr., 1968) dan (Giaquinta and Giusti, 1973). Melalui kedua karya tersebut tersebut teori regularitas untuk sistem taklinear mendapat pijakan awal untuk kasus fungsi bernilai vektor. Dua karya ilmiah tersebut memiliki perbedaan dalam pembahasan regularitas. Yang pertama menggunakan pendekatan taklangsung (melakukan penghampiran bentuk variasi fungsional) dan yang kedua menggunakan pendekatan langsung. Maksud dari parsial di sini adalah jika dapat ditemukan keberadaan fungsi peminimal sebagai jawaban lemah dari sistem takliner persamaan diferensial parsial maka jawaban tersebut bersifat halus di beberapa subhimpunan terbuka Ω0 ⊂ Ω, dan ukuran Ω \ Ω0 adalah nol. (Giaquinta, 1983). Kajian regularitas parsial kemudian berlanjut hingga penerapan dalam pembuktian sifat reguaritas parsial dalam fenomena-fenomena fisis. Di dalam (Caffarelli, et al., 1982) memberikan teorema regularitas parsial lokal untuk suatu kelas khusus jawaban-jawaban lemah persamaan Navier-Stokes. Dewasa ini artikel Caffarelli, et al. tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan terkait kajian pembuktian regularitas yang tidak hanya terbatas pada kajian persamaan Navier-Stokes. Selanjutnya, (Hong, et al., 2008) membuktikan adanya regularitas parsial jawaban lemah untuk sistem eliptik tak-linear dan sistem parabolik tak-linear persamaan Maxwell dengan suatu medan magnetik kuasi-statik. Untuk dapat membuktikan sifat regularitas
tersebut Hong, menurunkan ketaksamaan H¨older mundur. Kajian pembuktian parsial regularitas kemudian merambah ke dalam fenomena superkonduktor khususnya pada persamaan Ginzburg-Landau. Hal ini dilakukan dikarenakan model Ginzburg-Landau yang ditawarkan menjadi alat yang berguna untuk mengkaji wilayah-wilayah fisika yang terkait dengan kemunculan pusaranpusaran yang membawa suatu muatan topologis. Pencapaian yang luar biasa dalam hal pemahaman matematis persamaan Ginzburg-Landau diberikan oleh (Bethuel, et al., 1994). Dari karya Bethuel, (Han and Li, 1996) memberikan kajian regularitas dan a priori [1] estimates untuk jawaban sistem p-harmonic dengan koefisien malar secara H¨older. Sistem semacam itu muncul di dalam kajian Ginzburg-Landau jenis fungsional di dimensi tinggi (d > 2). Selanjutnya, (Yan, 1999) menghasilkan suatu teorema regularitas parsial yang terkait dengan jawaban lemah persamaan GinzburgLandau kompleks dengan menggunakan definisi jawaban lemah yang diberikan oleh Caffarelli. Kajian terbaru mengenai regularitas parsial persamaan Ginzburg-Landau diberikan oleh (Yassin, 2014). Yassin yang merupakan salah satu mahasiswa Hong, memberikan pembuktian mengenai sifat regularitas parsial yang dimiliki oleh fungsi peminimal fungsional Ginzburg-Landau untuk dimensi n. Pada penelitian telaah teoritis ini, penulis memberikan ulang penjabaran mengenai hasil terakhir yang diperoleh oleh Yassin dalam pembuktian keberadaan fungsi peminimal dan regularitas parsial dari fungsional Ginzburg-Landau yang diperumum. Beberapa konsep-konsep dasar matematis yang tidak diberikan di artikel Yassin, dicoba untuk diuraikan dan dijabarkan ulang. 1.7
Metodologi Penelitian
Dalam penulisan tugas akhir ini metodologi yang dilakukan adalah penelurusan pustaka yang memuat berbagai macam artikel dan buku. Beberapa artikel yang diambil lebih banyak ke arah matematis sehingga diperlukan beberapa pembelajaran dan pengkajian terlebih dahulu mengenai gagasan matematis seperti geometri diferensial, teori ukuran dan integrasi, ruang Sobolev dan ruang Lp , serta teori regularitas. Beberapa gagasan fisis terkait superkonduktor lebih ditekankan terkait persamaan Ginzburg-Landau. Beberapa acuan-acuan yang dijadikan pedoman penulisan dasar teori lebih mengarah ke pembentukan dan pembuktian-pembuktian mengenai keberadaan fungsi peminimal dan sifat regularitas parsial. [1]
a priori merupakan suatu istilah yang bermakna diturunkan dari suatu logika berpikir (hipotesis atau teori), tanpa menyelidiki fakta-fakta (eksperimen).
1.8
Sistematika Penulisan Adapaun sistematika penulisan tugas akhir ini diberikan sebagai berikut
1. Bab II membahas mengenai gagasan-gagasan matematika analisis yang digunakan untuk mengkaji regularitas parsial. Diantaranya gagasan mengenai ruang Sobolev dan ruang Lp . Subbab 2.1-2.3 diperkenalkan mengenai ruang Lp , ruang H¨older, dan ruang Sobolev berturut-turut. Kemudian subbab 2.4-2.8 dijelaskan lebih khusus untuk ruang Sobolev yang terkait penghampiran ruang Sobolev, perluasan domain ruang Sobolev, pembatasan dalam ruang Sobolev, ketaksamaan-ketaksamaan dalam ruang Sobolev, dan kekompakan dalam ruang Sobolev. 2. Bab III membahas mengenai analisis geometri yang digunakan untuk membangun gagasan mengenai koneksi. Pada subbab 3.1 dijelaskan mengenai keragaman diferensial dan ruang singgung. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai untingan vektor, aljabar Lie, dan grup Lie. Subbab 3.3 memberikan penjelasan mengenai bentuk umum dari operator Laplace sebagai operator yang mengenai fungsi dan forma. Pada subbab 3.4 diberikan penjelasan singkat tentang koneksi dalam untingan vektor 3. Bab IV membahas mengenai kalkulus variasi dalam integral-integral lipat dan gambaran sedikit tentang regularitas parsial. Subbab 4.1 membahas tentang teorema semimalar, keberadaan fungsi peminimal, dan sifat diferensiabilitas dari fungsi peminimal. Dilanjutkan subbab 4.2 yang memberikan penjelasan mengenai masalah regularitas secara umum. Dan terakhir, subbab 4.3 menjelaskan masalah variasi yang dibentuk oleh suatu sistem persamaan diferensial. 4. Bab V membahas mengenai Teorema Fefferman yang merupakan gagasan yang mengaitkan antara ruang Hardy dan ruang BMO. Pada subbab 5.1 diperkenalkan secara singkat mengenai ruang BMO. Lalu dilanjutkan oleh subbab 5.2 yang menjelaskan tentang ruang Hardy. Dalam subbab terakhir ini akan diberikan mengenai gagasan teorema Fefferman yang mengijinkan untuk dilakukan pengalian antara dua ruang tersebut. 5. Bab VI membahas mengenai fungsional Ginzburg-Landau yang diperumum, beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tercapai fungsi peminimal, dan pembuktian keberadaan fungsi peminimal fungsional tersebut. Pada subbab
6.1 diperkenalkan mengenai turunan kovarian sebagai pijakan untuk memperumum bentuk fungsional Ginzburg-Landau. Subbab 6.2-6.4 menjelaskan tentang pembentukan ruang bagi fungsi peminimal yang dipecah dalam urutan menjelasakan tentang adanya invariansi tera bagi fungsi peminimal fungsional Ginzburg-Landau, ruang alamiah fungsi peminimal, dan syarat batas bagi fungi peminimal. Lalu dilanjutkan dengan pembuktiaan keberadaaan fungsi peminimal di subbab 6.5. Dua subbab terakhir, subbab 6.6 dan 6.7, memberikan perhitungan panjang persamaan Euler-Lagrange untuk fungsional Ginzburg-Landau yang diperumum serta pembuktian teorema konvergensi kuat di ruang alamiah fungsi peminimal sebagai awal untuk mengkaji sifat regularitas parsial dari fungsi peminimal. 6. Bab VII membahas mengenai regularitas parsial fungsi peminimal dalam fungsional Ginzburg-Landau. Dalam subbab 7.1 dijabarkan pembuktian ulang mengenai rumus monotonisitas yang menjamin fungsional Ginzburg-Landau yang diperumum memiliki sifat monoton. Pembuktian rumus monotonisitas dibagi menjadi tiga buah Lemma yaitu Lemma 7.1.1 hingga Lemma 7.1.3. Untuk Lemma 7.1.4 memberikan kesimpulan mengenai sifat malar H¨older fungsi peminimal. Berikutnya dalam subbab 7.2 dijabarkan ulang mengenai langkahlangkah pembuktian regularitas parsial fungsi peminimal yang diawali dengan tiga buah Lemma, yaitu Lemma 7.2.1 (ketaksamaan Caccioppoli untuk u), Lemma 7.1.2 (ketaksamaan H¨older mundur), dan Lemma 7.2.3 (sifat malar H¨older fungsi peminimal). Dan bagian terakhir dari subbab ini adalah pembuktian regularitas parsial bagi fungsional Ginzburg-Landau diperumum. 7. Bab VIII merupakan kesimpulan dan saran terkait penulisan tugas akhir ini