ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Akhir-akhir ini, semakin sering kita menjumpai banyaknya gelandangan,
pengemis, maupun pekerja anak yang berada di tengah kota, fasilitas-fasilitas umum, traffic light bahkan hingga masuk pada wilayah kampus dan pemukiman warga. Sekelompok orang yang hidupnya di bawah batas ukuran cukup akan melakukan hal yang disebut mengemis. Pengemis ini akan menggunakan gelas, kotak kecil, topi ataupun benda lainnya yang dapat dimasuki oleh uang dan yang sering pula kita temui sekarang ini adalah dengan menggunakan amplop yang berisikan keluh kesah mereka, seperti masalah pendidikan, susu untuk anaknya, atau permasalahan tempat tinggal. Mengemis itu sendiri adalah kegiatan memintaminta bantuan, derma, sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang lain (Shalih bin Abdullah, 2003:17). Cara yang dimaksudkan yaitu dengan mengamen, atau bahkan dengan mengatasnamakan suatu yayasan panti asuhan yang ilegal untuk mendapatkan sejumlah uang dari masyarakat. Mengemis atau meminta-minta dapat dilakukan dengan memintaminta melalui cara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik, termasuk juga dalam kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan jalan menyanyi dengan menggunakan berbagai alat musik, misalnya adalah gitar, angklung, seruling,
xix
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
musik serta menyodorkan permainan sepanjang toko-toko dan rumah-rumah yang biasa dilakukan di kota-kota besar. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1980, orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan dengan mengharapkan belas kasihan dari orang lain disebut dengan pengemis. Pengemis merupakan gejala sosial yang selalu hadir di tengah-tengah dinamika perkembangan suatu wilayah perkotaan maupun pedesaan. Secara fisik, pengemis juga berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya tetapi sesungguhnya mereka terisolasi karena tidak bisa mencapai fasilitas yang ada. Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan belas kasihan dari orang lain. Mengemis menjadi sebuah budaya saat ini, karena banyak sekali orang yang sebenarnya masih dalam keadaan sehat memilih jalan untuk mengemis/memintaminta. Karena kondisi tersebutlah, maka praktek dalam mengemis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keadaan para pengemis dan gelandangan yang hidup di jalanan mengakibatkan kondisi mereka mengalami berbagai penyakit dan jauh dari kebersihan. Tidak jarang pula ditemukan para gelandangan dan pengemis yang mengalami penyakit kulit akibat dari pakaian yang tidak bersih dan selalu melekat pada tubuhnya sepanjang hari. Gelandangan dan pengemis yang hidup di jalanan juga sering tidak membersihkan dirinya, jikalau membersihkan pun hanya xx
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
menggunakan air seadanya. Mereka juga tak jarang mengalami gizi buruk pada tingkat anak-anak. Berikut ini adalah tabel perkembangan jumlah gelandangan dan pengemis dari tahun 2009 sampai tahun 2011 yang ditangani oleh Dinas Sosial Kabupaten Kediri. Tabel I.1 Jumlah Gelandangan dan Pengemis Tahun 2009-2011
No. Jenis Penyandang
2009
2010
2011
1.
Pengemis
98
120
145
2.
Gelandangan
102
112
112
Jumlah
200
232
257
Sumber : Dinas Sosial Kabupaten Kediri tahun 2011
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah gelandangan dan pengemis dari tahun 2009 hingga tahun 2011 mengalami kenaikan. Pengemis dan gelandangan adalah dua hal yang berbeda meskipun keduanya sama-sama termasuk ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagian dari gelandangan ada yang bekerja sebagai pengemis tetapi tidak selalu pengemis adalah bagian dari gelandangan. Karena gelandangan pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal, tetapi seorang pengemis tidak jarang mereka memiliki rumah atau juga tempat tinggal. Di berbagai kota, pengemis muncul karena mereka tidak bisa terserap di sektor perekonomian firma kota. Dengan bekal xxi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
ketrampilan yang terbatas dan tingkat pendidikan yang jauh dari wajib belajar yang diprogram pemerintah, serta akibat dari ketidakmampuan dalam mengakses produksi, modal, dan layanan pemerintah, maka salah satu pekerjaan yang dapat digunakan untuk menyambung hidup adalah dengan meminta-minta serta mengharap belas kasihan orang lain. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka “survive” di tengah kondisi kesulitan hidup yang beragam. Kenyataannya yang terjadi sekarang ini adalah bahwa seseorang yang memilih
untuk
mengemis/meminta-minta
benar-benar
miskin
dan
atau
dimiskinkan ataukah hanya sebuah kamuflase kehidupannya yang sebenarnya, yakni mengemis dijadikan sebuah pekerjaan dengan ia rela untuk meniru gaya seorang pengemis, karena sebenarnya kehidupannya sendiri jauh lebih baik dari miskin. Kehidupan dari sebagian pengemis yang jauh dari batas miskin seringkali muncul ke permukaan. Dan ditemukan fakta bahwa sebagian dari mereka hidup dalam kondisi berkecukupan, memiliki rumah, kendaraan, dan fasilitas kehidupan lainnya meskipun dalam kesehariannya adalah mengemis. Hal ini terjadi di Desa Pragaan Daya, Madura yang menjadi penelitian M.Ali Humaidy. Gelandangan dan pengemis adalah wujud dari wajah kemiskinan di perkotaan dan juga di pedesaan. Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta benda” (Poerwadarminta, 1996:322). Dalam pengertiannya yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi dimana baik seseorang secara individu, keluarga, maupun kelompok dalam ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kondisi tersebut seringkali memicu timbulnya permasalahan sosial yang ada xxii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam masyarakat, seperti kriminalitas. Menurut Tulus Tambunan (1996:53), kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang kekurangan dalam kegiatan memenuhi kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, hidup sehat, pendidikan, komunikasi sosial, atau lainnya. Selanjutnya menurut Chambers (dalam Abdul Wahab, 2005:45) bahwa karakter masyarakat miskin dalam hidupnya akan dipicu oleh tuntutan dan desakan untuk dapat bertahan hidup, artinya ada yang untuk dimakan dan tidak jatuh sakit atau tertimpa kekecewaan. Kebanyakan masyarakat di desa, baik pria maupun wanita harus melakukan pekerjaan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya. Pada dasarnya, kemiskinan selalu dikaitkan dengan ekonomi, akan tetapi kemiskinan menyangkut berbagai aspek, yakni material, sosial, kultural, dan institusional. Kemiskinan bukanlah hal yang baru lagi bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu semakin akut. Menurut data dari World Bank, dengan kriteria miskin adalah orang dengan penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika per hari, maka di Indonesia terdapat sekitar 100 juta lebih orang miskin. Angka yang menakjubkan apabila dibandingkan dengan pundi-pundi rupiah yang hilang karena tangan-tangan usil. Seolah tidak dapat segera dituntaskan malah angka kemiskinan meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang telah diberikan pemerintah pun tak cukup membantu. Seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diyakini pemerintah
xxiii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dapat mengentaskan kemiskinan pada kenyataannya itu tak banyak membantu mereka terbebas dari jeratan kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya terjadi di pedesaan namun masyarakat kota yang dianggap metropolitan pun juga tak luput mengalami hal tersebut. Kemiskinan mampu menjadi sumber malapetaka di dalam kehidupan. Ironisnya, malapetaka masih merajalela dan singgah di negeri ini, seolah sudah menjadi budaya. Walaupun negeri ini terkenal dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, tanah yang subur, hingga memunculkan slogan “gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem karto raharjo”, akan tetapi realita yang terjadi berkata lain, masih banyak orang-orang di Indonesia yang terjerat kemiskinan. Kemiskinan bukan hanya masalah pendapatan atau ekonomi tetapi juga secara kultural dan struktural. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia didominasi oleh kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat melainkan hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Seperti kita ketahui, menjadi orang miskin sangatlah susah dengan keinginannya. Diibaratkan saja jika ada anggota dalam keluarga miskin sakit, namun si miskin tidak memilki uang maka ia akan berpikir banyak kali untuk berobat. Berbeda dengan si kaya yang memiliki uang, maka ia tidak akan berpikir lagi untuk berobat. Masalah-masalah struktural seperti penguasaan produksi, terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, dan akses kepada pasar inilah yang menghambat si miskin untuk dapat maju karena hal tersebut telah dikuasai oleh pemilik modal dan harta. Keberadaan pengemis adalah hal yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam masyarakat, karena selama masalah kemiskinan di Indonesia belum dapat xxiv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
terpecahkan, maka pengemis akan tetap ada dalam kehidupan masyarakat walaupun dalam pemenuhan kebutuhannya mereka terpaksa harus memintaminta. Gelandangan dan pengemis merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami oleh sebagian kecil masyarakat kota maupun pedesaan, sehingga banyak orang menempatkan mereka pada lapisan sosial paling rendah. Walaupun terlihat bahwa gelandangan dan pengemis bekerja keras, mempunyai kegiatan tertentu yang tidak teratur dengan pendapatan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja untuk bisa bertahan hidup, tetapi cara hidup, nilai, dan norma kehidupan dianggap telah menyimpang dari nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat pada umumnya. Untuk keluar dari tata nilai dan cara hidup yang dianggap menyimpang itu hambatan utamanya adalah sub-kultur kemiskinan yang ada pada diri mereka. Hal ini juga disebabkan karena adanya kesulitan-kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka berada. Masyarakat biasanya menilai bahwa golongan pengemis maupun gelandangan sebagai orang-orang yang malas dan tidak berusaha, tidak mempunyai motivasi, bersikap menerima nasib serta menerapkan pola perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan pola kebudayaan masyarakat pada umumnya. Pola perilaku yang tidak sesuai menurut masyarakat umumnya itu adalah, tidak mempunyai semangat kerja keras, tidak mempunyai perhatian terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan usaha perbaikan dan tidak mempunyai rasa harga diri dan kehormatan.
xxv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya pengemis maupun gelandangan yang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya maka akan menimbulkan
masalah,
seperti
meningkatnya
perbuatan-perbuatan
yang
menyeleweng dari norma-norma yang telah ada dan berlaku di masyarakat. Contoh dari perbuatan menyimpang itu, misalnya, melacur, menelantarkan anakanaknya. Dan juga dengan adanya pengemis maupun gelandangan selalu timbul tindak kejahatan/kriminal seperti mencuri, menipu, merampok, atau bahkan membunuh. Karena hal itu maka dengan adanya pengemis maupun gelandangan sangat merisaukan dan mengganggu keamanan masyarakat. Pandangan
secara
sepihak
dari
masyarakat
juga
bisa
diterima
keberadaannya, akan tetapi untuk menghindarkan penilaian yang sepihak ini haruslah juga dipahami sebab-sebab mereka mempunyai pola kebudayaan seperti di atas. Sebab yang terutama adalah lingkaran kemiskinan yang dihadapi, yang penuh dengan serba kekurangan, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mereka itu masuk akal, yaitu sebagai perwujudan dari adaptasi mereka dengan lingkungannya dan situasi kemiskinan yang mereka hadapi. Dari sini terlihat bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi saja tetapi juga melibatkan kemiskinan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan/psikologis.
xxvi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Dalam penanganan pengemis, larangan untuk mengemis maupun menggelandang telah diatur di dalam Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) seperti di bawah ini,
Pasal 504 KUHP (1) Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. (2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. Pasal 505 KUHP (1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Larangan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sedikit bertolak belakang dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan hal yang berbeda, yaitu: 1.Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 2.Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.1 3.Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
1
Kebijakan pelaksanaan Sistem Jaminan sosial ini diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
xxvii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Dengan melihat perbedaan dalam penerapan hukum yang berlaku di Indonesia di atas, disebabkan oleh tidak adanya komitmen dan moralitas yang bersinergi untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan dan juga berkepastian yang profesional bukan transaksional, sehingga tujuan dari penerapan hukum yang berlaku di Indonesia tidak tercapai dengan baik. Larangan untuk mengemis, bahkan memberi uang kepada pengemis terlihat sedikit ada ketimpangan, dimana kita mengetahui bahwa masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan zakat dengan memberikan uang kepada fakir miskin dan juga anjuran dari agama Islam untuk bersedekah2. Sedekah memang disyariatkan dalam setiap waktu, dan tentu saja bersegera untuk mengeluarkan sedekah itu lebih baik, bahkan ada pepatah mengatakan “tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah”, sehingga hukum yang berlaku pun seolah anti sosial, akan tetapi yang dimaksudkan dalam larangan yang tertuang di dalam Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP adalah melarang melakukan perbuatan mengemis di tempat umum, misalnya di pasar, kereta api, bus, terminal, stasiun, dan lain-lain. Alasannya adalah perbuatan mengemis dapat mengganggu orang-orang yang sedang menggunakan fasilitas umum, akan tetapi jika dilakukan door to door tidak dikenakan pasal pidana tersebut, dan ditambah pula dengan adanya kebijakan bahwa pasal tersebut pengelolaannya dikembalikan kepada pemerintah kota maupun kabupaten yang ada di Indonesia, sehingga ketegasan dalam penanganan gelandangan dan pengemis akan berbeda setiap daerah di wilayah Indonesia. Hal tersebut terlihat ketika Pemerintah DKI Jakarta 2
Sedekah adalah nafkah yang diharapkan mendapatkan pahala dengannya. Kalimat sedekah ini mencakup sedekah yang wajib dan juga sunnah, akan tetapi, penggunaaannya di dalam syariat biasanya yang wajib disebut dengan istilah zakat, sedangkan yang sunnah disebut dengan istilah sedekah. Lihat Al-Mufrodat karya Ar-Roghib hal 480 dan At-Tauqif’ala Muhimmati ‘t-Ta’arif karya Al-Munawi hal.452-453
xxviii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
memunculkan Perda tentang larangan mengemis yang diatur di dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”). Di dalam Pasal 40 Perda DKI 8/2007 diatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis. Seperti yang ada di bawah ini, Pasal 40 Perda DKI Jakarta 8/2007 Setiap orang atau badan dilarang: a. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; b. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Pelanggaran Pasal 40 huruf a Perda DKI Jakarta 8/2007diancam dengan pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500.000,- dan paling banyak Rp 30.000.000,- (Pasal 61 ayat (2) Perda DKI 8/2007). Sedangkan, untuk pelanggaran Pasal 40 huruf b dan c Perda DKI 8/2007 diancam dengan pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000,- dan paling banyak Rp 20.000.000,(Pasal 61 ayat (1) Perda DKI 8/2007). Berbeda sekali dengan Pemerintah Kediri, baik Pemerintah Kota maupun Kabupaten Kediri yang tidak sesegera mungkin mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur gelandangan dan pengemis yang hilir mudik di jalanan Kediri. Pemerintah Kediri, baik Kota maupun Kabupaten merasa sangat kesulitan dalam hal menangani pengemis dan gelandangan yang setiap tahun meningkat, baik pada hari biasa maupun ketika Ramadhan dan Pasca Lebaran. Penanganan xxix
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
gelandangan, pengemis, dan anak jalanan yang berada di Kediri diperkirakan memang sengaja sebagai tempat para gepeng dan anjal beroperasi sehingga jumlah gepeng dan anjal di Kediri semakin hari semakin banyak. Seperti penuturan dari Kasi Kota Kediri di bawah ini (dalam http://www.lensaindonesia.com/2011/09/20/suasana-kota-kediri-masuki-daruratgepeng-dan-anjal.html diunggah pada tanggal 2 Desember 2012 pukul 14.45 WIB), ”Populasinya sangat banyak. Mereka sengaja didrop kemari (Kota Kediri). Kita bisa melihat mereka di perempatan jalan dan depan pusat perbelanjaan itu,” ujar Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban (Kasi Trantib) Satpol PP Kota Kediri Djati Utomo, Selasa (20/9/2011)
Dari pernyataan Kasi Trantib Satpol PP Kota Kediri, Djati Utomo, dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah pengemis, gelandangan, maupun anak jalanan yang masuk dalam wilayah Kota Kediri jumlahnya semakin banyak, bahkan ada dugaan apabila kondisi tersebut dikarenakan para gepeng dan anak jalanan sengaja didrop untuk mengemis di wilayah Kota Kediri. Studi terdahulu mengenai penulisan gelandangan dan pengemis yang telah diteliti oleh Eni Wahyuningsih dalam skripsinya yang berjudul “ Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) (Study deskriptis tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis melalui lingkungan pondok sosial (Liposos)) “. Dalam penelitian skripsi ditemukan bahwa dalam upaya menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang tersebar di Kota Surabaya penangannya diwujudkan dalam bentuk lingkungan pondok sosial (Liposos), program Liposos ini bertujuan xxx
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
untuk memperbaiki, meningkatkan, dan mengembangkan taraf kesejahteraan sosial seperti para Gepeng, sehingga mereka diharapkan dapat menikmati dan dapat berperan serta dalam proses pelaksanaan pembangunan, tetapi dalam kenyataannya di lapangan memberikan gambaran bahwa penanggulangan gelandangan dan pengemis melalui Liposos dikatakan kurang berhasil dengan kata lain, tujuan-tujuan yang diharapkan program secara keseluruhan tidak dapat tercapai dengan baik, terutama dalam hal bimbingan ketrampilan kerja dan bantuan stimulan usaha produktif/paket modal kerja, usaha ekonomi produktif yang tidak sesuia dengan tujuan yang diharapkan. Selain itu, kurangnya koordinasi antar pemerintah, kurangnya tenaga/keterbatasan personal, kurangnya materi dan praktek ketrampilan kerja karena keterbatasan waktu serta minimnya dana/anggaran dari pemerintah. Adanya kendala-kendala tersebut mengakibatkan penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Surabaya terhambat. Studi terdahulu tentang pengemis juga pernah diteliti oleh Soeryani Wahyu Panca Sakti dengan judul skripsi “ Sosialisasi Pekerjaan Pengemis (study deskriprif tentang sosialisasi pekerjaan orang tua sebagai pengemis kepada anaknya di Surabaya) “, menghasilkan temuan data yaitu, pertama pengemis sebagai orang tua sering mengajak anaknya ikut mengemis. Sejak usia kurang dari 6-9 tahun anak sudah diajari untuk mengemis. Cara pengemis sebagai orang tua dalam mensosialisasikan pekerjaannya kepada anak-anak adalah dengan cara memaksa anak. Pengemis melakukan sosialisasi represif dalam mensosialisasikan pekerjaan sebagai pengemis, dimana lebih menekankan kepatuhan pada anak. Pengemis akan menghukum anak dengan memarahinya apabila anak tersebut xxxi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
tidak mau ikut mengemis. Cara anak mempelajari mengemis adalah dengan meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Kedua, pola sosialisasi yang digunakan oleh pengemis di Kota Surabaya paling banyak menggunakan pola otoriter dalam mensosialisasikan pekerjaan mengemis. Ditemukan juga temuan data dari sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Oleh : M. Ali Al Humaidy dari STAIN Pamekasan, dengan judul “Pergeseran Budaya Mengemis Di Masyarakat Desa Pragaan Daya Sumenep, Madura“, dalam penulisan ini menemukan bahwa orang-orang Pragaan Daya menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan melalui anggota keluarga dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan strategi mengemis, ada dua cara, yakni, cara konvensional dan profesional. Yang disebutkan pertama adalah dengan mendatangi door to door, menggunakan anak kecil dan jalanan. Sedangkan yang kedua adalah dengan mengirimkan surat dan proposal ke orang-orang penting dan sukses di kota-kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta. Sebagai catatan akhir, studi ini menyimpulkan bahwa tradisi mengemis di Pragaan Daya dipertahankan oleh beberapa pihak, yakni keluarga, masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam pandangan mereka, mengemis telah menjadi mata pencaharian yang menutupi kebutuhan hidup mereka. Mengemis yang dipertahankan dan menjadi sebuah kebiasaan dan sebagai suatu pekerjaan dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di suatu dusun yang terdapat di Desa Gedangsewu di mana pemukiman tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai kampung pengemis. xxxii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Dari kasus-kasus serta penulisan-penulisan penelitian sebelumnya yang membahas mengenai gelandangan dan pengemis, maka peneliti ingin menggali lebih jauh tentang permalahan pengemis. Ditambah pula ditemukan adanya sebuah wilayah di Kabupaten Kediri, yakni di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, dimana terdapat penyimpangan dari perilaku dari mayoritas warga yaitu kebanyakan dari masyarakat melakukan pekerjaan mengemis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya maka sangat menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai perilaku mengemis yang dilakukan secara hampir turun temurun di wilayah sebuah dusun yang warganya memilih bekerja sebagai pengemis. Dan dari fenomena di atas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana sosialisasi perilaku mengemis yang terjadi dalam suatu desa yang dikenal sebagai kampung pengemis di Kabupaten Kediri. 1.2
Fokus Penelitian Dari gejala sosial yang telah dipaparkan sebelumnya tentang keberadaan
kampung pengemis yang hampir seluruh generasi di dalam pemukiman tersebut bekerja sebagai pengemis, tidak peduli laki-laki maupun perempuan, tua maupun anak-anak, sedangkan dengan tetap memilih berada di jalanan, anak-anak yang ada di pemukimann pun akan terganggu dalam proses pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai yang kemudian akan berdampak pada perilaku sosialnya, karena hal tersebut, maka penulis akan memfokuskan penulisan pada bagaimana sosialisasi mengemis yang dilakukan oleh generasi sebelumnya kepada generasi selanjutnya pada masyarakat yang berada di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri? xxxiii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan haruslah dimiliki dalam sebuah penelitian agar yang ingin dicapai
dalam sebuah penelitian dapat jelas dan relevan. Telah banyak studi-studi yang dilakukan untuk mengetahui tentang gelandangan dan pengemis, namun dalam penulisan yang akan diteliti oleh penulis akan memfokuskan pada sosialisasi perilaku mengemis yang dilakukan oleh warga Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, khususnya warga RW 14. Adapun tujuan dari penulisan ini di antaranya adalah : 1.3.1. Tujuan Praktis Secara praktis, tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan, membahas dan menganalisa realita masalah sosial tentang sosialisasi pekerjaan mengemis yang dilakukan oleh keluarga terhadap generasi setelah mereka. 1.3.2
Tujuan Akademis Selain tujuan yang bersifat praktis, penulisan ini memiliki tujuan yang
sifatnya akademis yaitu agar dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kalangan akademis khususnya dalam bidang ilmu dan kajian Sosiologi.
1.4
Manfaat Penelitian
xxxiv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Hasil penulisan yang akan diperoleh diharapkan mampu memberikan manfaat secara praktis maupun akademis, yaitu : 1.4.1
Manfaat Praktis
1. Manfaat praktis dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya baik bagi penulis maupun pihak lain yang membaca hasil penelitian tentang perilaku mengemis. 2. Hasil dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan input yang positif untuk mengurangi keberadan pengemis dan gelandangan di desa maupun di kota. 1.4.2
Manfaat Akademis Manfaat akademis dari penulisan ini adalah untuk memperkaya penulisan
di bidang sosial khususnya mengenai realitas yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari semakin berkembangnya pembangunan yang menyebabkan permasalahan sosial yang ada dan untuk memperdalam wawasan dan pengetahuan kepada
mahasiswa
sehingga
mampu
meningkatkan
kemampuan
dalam
menganalisa problematika yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, diharapkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi literatur bagi para akademia yang melakukan penelitian dengan topik yang sama. 1.5
Kajian Pustaka Dalam kegiatan penelitian diperlukan kerangka pemikiran yang relatif
utuh mulai dari awal hingga akhir untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di dalam perumusan masalah penelitian. Terkait dengan gejala sosial yang terdapat pada masyarakat di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, xxxv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Kecamatan Pare dalam memberikan sosialisasi tentang pekerjaan pengemis, maka ada beberapa indikator penting yang akan dijelaskan untuk memahami lebih jauh tentang pengemis dan juga sosialisasi yang ada di dalamnya. 1.5.1
Definisi Pengemis Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan perilaku dan pola dari
masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng” yaitu Gelandangan dan Pengemis, potret sosial ini seringkali dijumpai dalam kehidupan. Adapun pengertian pengemis menurut Perpu No. 30 Tahun 1980 (dalam Engkus Kuswarno, 2009:141), menyatakan bahwa orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain dikatakan sebagai pengemis. Berbeda dengan istilah pengemis yang diartikan oleh Dinas Sosial adalah PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). “Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain”. Menurut Departemen Sosial RI, pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang. Mengemis, menurut KBBI, berasal dari kata “emis” dan memiliki dua arti kata, yaitu meminta-minta sedekah, dan meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan. Sedangkan arti kata pengemis adalah orang yang meminta-minta.
xxxvi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Dalam Kamus Besar Bahasa Melayu (1995) yang disusun Haji Zainal Abidin Safarwan, kata dasar berkemis, mengemis dan pengemis adalah “kemis” dan bukan “emis”. Berkemis dan mengemis punya makna “meminta sedekah, mendaduk, meminta-minta, membawa tempurung.” Sedang pengemis adalah “orang minta-minta, pendaduk, peminta sedekah, kuru rayau.” Dalam kamus ini, sama sekali tidak disinggung adanya kata dasar “emis” yang membentuk kata “mengemis” atau “pengemis”. Dari pengertian diatas, selanjutnya bisa dilihat dari munculnya kelompokkelompok pengemis yang membedakan satu sama lain di antara pengemis yang ada. 1.5.2
Kelompok Pengemis Dalam hal ini pengemis pun memiliki kelompok-kelompok yang
membedakan motif-motif pengemis satu sama lain, Menurut Sudarianto (2006:35) dimana pengemis dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok pengemis, antara lain : Pertama, mengemis disebabkan tidak mampu bekerja. Kelompok pengemis melakukan pekerjaan mengemis dikarenakan orang-orang dalam kategori ini adalah orang-orang yang fisik pada anggota tubuhnya mengalami kelainan. Contohnya saja, tidak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki, lumpuh, buta dan lain-lain. Kelompok kedua adalah mengemis karena malas bekerja, pengemis yang mengemis karena malas bekerja ini yang sering menyebabkan jumlah pengemis di Indonesia sangat banyak. Pengemis pada kategori ini, orang-orangnya mempunyai anggota tubuh yang lengkap dan tidak cacat sedikitpun namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam inilah xxxvii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
yang harus diberantas oleh Pemerintah. Sedangkan yang ketiga, mengemis karena menginginkan jabatan, Pengemis semacam inilah yang merusak atau menghambat pembangunan di Indonesia. Mereka yang tergolong pada kelompok ini mengemis pada atasannya dengan berbagai cara untuk memperoleh job atau jabatan. Ada yang selalu bersilaturahmi ke rumah atasannya, ada yang selalu memberikan hadiah kepada atasannya, ada juga yang gila hormat kepada atasannya, dan lain sebagainya. Adapun menurut Hanitijo Soemitro (dalam Asmawi,2003:15), pengemis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1) Pengemis Murni, ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu. 2) Pengemis Tidak Murni, ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu.
Fakta sosial yang satu ini merupakan akibat dari sebabnya seseorang melakukan suatu tindakan, namun penyebab tersebut bisa mengkategorikan hal ini. Sebagaimana penulisan tentang pengemis oleh Dr. Engkus Kuswarno (Penulisan Konstruksi Simbolik Pengemis Kota Bandung) menyebut ada lima ketegori pengemis menurut sebab menjadi pengemis, yaitu: 1) Pengemis berpengalaman: lahir karena tradisi, Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab). 2) Pengemis kontemporer kontinyu tertutup: hidup tanpa alternatif, Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang. xxxviii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
3) Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang, Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut. 4) Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman, Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini. 5) Pengemis berencana: berjuang dengan harapan, Pengemis yang hidup berjuang dengan harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.
1.5.3
Faktor-Faktor Penyebab Mengemis Fenomena pengemis yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan kita
tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangi seseorang tersebut mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi faktor utama mengemis, namun sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemis memiliki tujuannya masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait. Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan lebih lanjut tentang faktorfaktor yang menjadi penyebabnya mengemis menurut Sjafri Mangkuprawira (dalam
http://firdha09060140.student.umm.ac.id/2010/02/05/mengapa-menjadi-
pengemis// dikutip pada hari Sabtu, 14 April 2012 pukul 16.05 wib), di antaranya sebagai berikut : xxxix
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
1) Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain. 2) Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat. 3) Mengemis musiman, Misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen. 4) Mengemis karena miskin mental, Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat. Apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya. 5) Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Adapun menurut Artidjo Alkostar (dalam Herawady,2002:11-13), menyebutkan beberapa hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu : a. Faktor Intern 1. Sifat Malas 2. Faktor Fisik 3. Faktor Psikis atau Kejiwaan 4. Mental yang tidak kuat b. Faktor Eksternal 1. Faktor Ekonomi xl
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
2. Faktor Geografi 3. Faktor Sosial 4. Faktor Pendidikan 5. Faktor Psikologis 6. Faktor Kultural 7. Faktor Keluarga dan Mental, dan 8. Kurangya dasar-dasar agama.
Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang mendukung seseorang tersebut melakukan hal tersebut. 1.5.4
Teori Sosialisasi Pengertian Sosialisasi menurut beberapa ahli, diantaranya adalah
sosialisasi menurut Macionis adalah pengalaman sosial sepanjang hidup yang memungkinkan
seseorang
mengembangkan
potensi
kemanusiaannya
dan
mempelajari pola-pola kebudayaannya. Sedangkan sosialisasi menurut Giddens adalah sosialisasi sebagai sebuah proses yang terjadi ketika seorang bayi yang lemah berkembang secara aktif melalui tahap demi tahap sampai akhirnya menjadi pribadi yang sadar akan dirinya sendiri, pribadi yang berpengetahuan dan terampil akan cara hidupnya dalam kebudayaan tempat ia tinggal. Edward Shils mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan proses sosial yang dijalankan seseorang atau proses sepanjang umur yang perlu dilalui seseorang individu untuk menjadi seorang anggota kelompok dan masyarakatnya melalui pembelajaran kebudayaan dari kelompok dan masyarakat tersebut. Beger berpendapat bahwa sosialisasi adalah proses seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Sosialisasi menurut Nursal Luth, adalah suatu proses ketika individu menerima dan menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. xli
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Robert M.Z. Lawang berpendapat tentang sosialisasi sebagai proses mempelajari nilai, norma, peran dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan seseorang dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial. Sedangkan menurut Horton dan Hunt, sosialisasi adalah suatu proses yang terjadi ketika seorang individu menghayati nilai-nilai dan norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga terbentuklah kepribadiannya. Menurut Charlotte Buhler, Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berpikir kelompoknya agar dia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Yang terakhir adalah sosialisasi menurut Peter L. Berger, sosialisasi adalah proses dimana seorang anak belajar menjadi seseorang yang berpartisipasi dalam masyarakat. Yang dipelajari dalam sosialisasi adalah peran-peran, sehingga teori sosialisasi adalah teori mengenai peran (role theory). Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi adalah proses di mana seorang individu yang terlahir di dunia akan mempelajari berbagai nilai, norma, kebudayaan, dan juga perilaku yang telah ada dalam masyarakat di mana ia tinggal, sehingga ia dapat mengambil peran dalam kehidupan yang ada dalam masyarakat. Individu tersebut belajar menerima apa yang ada di dalam masyarakatnya
dan
mulai
beradaptasi,
menyesuaikan
dirinya
dengan
lingkungannya agar dapat diterima oleh masyarakat sehingga perilakui yang ia kerjakan tidak dianggap sebagai menyimpang. Menurut penulis sendiri pengertian dari sosialisasi adalah proses yang diterima oleh individu dari sejak lahir hingga menjadi tua. Lingkungan yang berada di sekitar individu akan mengenalkan xlii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
kehidupan bermasyarakat dan hal-hal apa saja yang dipegang teguh dalam masyarakatnya serta yang tidak boleh dilakukan untuk menjaga kebudayaan masyarakatnya.
Bagja Waluya (2007:66) menjelaskan bahwa sosialisasi tentu saja memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan sosialisasi adalah : 1. menanamkan nilai dan norma yang ada di masyarakat kepada individu; 2. memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada individu sebagai bekal hidup bermasyarakat; 3. membentuk anggota masyarakat yang penuh dengan pribadi yang utuh sehingga berguna bagi dirinya dan masyarakat.
Sedangkan menurut Sri Saptina, dkk. (2008:11) sosialisasi sebagai proses sosial memiliki tujuan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
1.5.5
memberikan pengetahuan dan ketrampilan; menambah kemampuan berkomunikasi; membantu pengendalian fungsi-fungsi organik; membiasakan individu dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok.
Pola Sosialisasi Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan
sosialisasi partisipatoris. a. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi yang menekankan pada pengawasan yang ketat dan pemberian hukuman kepada setiap orang yang melanggar peraturan atau norma yang berlaku. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam xliii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. b. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Sosialisasi yang menekankan pada keikutsertaan seseorang dalam proses sosial. Anak-anak yang sudah menaati nilai dan norma diberi pujian. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other. Dalam memberikan sosialisasi terhadap individu, tidak terlepas dari agenagen yang memberikan sosialisasi. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen-agen sosialisasi Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, tidak berbohong, dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari temanteman sebaya atau media massa. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila xliv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan. 1.5.6
Macam-macam Sosialisasi a. Berdasarkan berlangsungnya, dibedakan menjadi sosialisasi yang disengaja/disadari dan tidak disengaja/tidak disadari. Sosialisasi yang disengaja/disadari adalah sosialisasi yang dilakukan secara sadar/disengaja dan sepenuhnya dikendalikan oleh pikiran, seperti misalnya pendidikan, pengajaran, indoktrinasi, dakwah, pemberian petunjuk, nasehat, dll. Sedangkan sosialisasi yang tidak disadari/tidak disengaja adalah perilaku/sikap sehari-hari yang dilihat/dicontoh oleh pihak lain, misalnya perilaku sikap seorang ayah ditiru oleh anak laki-lakinya, sikap seorang ibu ditiru oleh anak perempuannya, dll. b. Menurut status pihak yang terlibat, terdapat dua bentuk sosialisasi yaitu; sosialisasi equaliter dan otoriter. Sosialisasi equaliter berlangsung di antara orang-orang yang kedudukan atau statusnya relatif sama, misalnya di antara teman, sesama murid, dan lain-lain, sedangkan sosialisasi otoriter berlangsung di antara pihak-pihak yang status/kedudukannya berbeda misalnya berlangsung antara orangtua dengan anak, antara guru dengan murid, antara pimpinan dengan pengikut, dan lain-lain. c. Menurut tahapnya adalah sosialisasi primer dan sekunder. Berger dan Luckmann (1967:130) mengemukakan pengertian sosialisasi primer dan xlv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sekunder yaitu sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama dijalani oleh seseorang dan biasanya terjadi dalam keluarga. Sosialisasi primer terjadi pada saat anak berusia 1-5 tahun dan belum mengenal lingkungan luar selain keluarga. Di dalam sosialisasi ini peran keluarga sangat penting dalam pembentukan di tahap pertumbuhan seseorang karena keluarga adalah orang yang paling dekat sehingga nilai-nilai yang ada dalam masyarakat diberikan oleh keluarga dan seseorang akan mulai meniru kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh keluarga, individu tidak mempunyai hak untuk memilih agen sosialisasinya, individu tidak dapat menghindar untuk menerima dan menginternalisasi cara pandang keluarga. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer. Seseorang mulai mengenal lingkungan lain selain keluarga, yakni teman dan lingkungan dimana ia berinteraksi dalam kesehariannya.
berkaitan
dengan
ketika
individu
mampu
untuk
berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya. Salah satu bentuk sosialisasi sekunder adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama. d. Berdasarkan caranya dapat dibedakan menjadi sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi, terdapat dua pola, yaitu represif, dan partisipatoris. 1.5.7
Tahapan/Proses Sosialisasi dan Pengambilan Peran Menurut George Herbert Mead xlvi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Seorang penganut interaksionisme simbolis lainnya adalah George Herbert Mead (1863-1931), yang mengajar di University of Chicago, menambahkan bahwa bermain sangat penting untuk perkembangan diri. Dalam permainan, anakanak belajar untuk mengambil peran orang lain (take the role of the other), yaitu untuk menempatkan diri di tempat orang lain, untuk memahami bagaimana orang lain berperasaan serta berpikir dan untuk mengantisipasi bagaimana orang tersebut akan bertindak. Mead menganalisis pengambilan peran orang lain sebagai suatu bagian yang mendasar dalam pembelajaran menjadi seorang anggota suatu masyarakat. Pada mulanya kita hanya mampu mengambil peran orang lain yang signifikan, sebagaimana dilakukan anak. Kemudian kita mengembangkan kemampuan untuk mengambil peran orang lain yang digeneralisasikan, yang mendasar bukan saja untuk kerja sama yang berkesinambungan, tetapi juga untuk pengendalian hasrat anti sosial.
Bagan 1 Tahapan Sosialisasi Mead
xlvii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Berbeda dengan Cooley, Herbert Mead berpendapat bahwa orang yang sudah memiliki ‘self’ dijumpai pada penguasaan bahasanya, yakni pada anak-anak yang sudah berusia lima tahun. Kemampuan untuk menganggap diri sebagai objek dan subjek sekaligus dalam tiga tahapan yakni imitasi, play stage, dan game stage. Jadi proses terbentuknya self pada anak diawali dari orang tua mengekspresikan dirinya, kemudian diidentifikasi dan diinternalisasi menjadi peran dan sikap oleh anak, akhirnya terbentuklah self pada si anak tersebut. Akhirnya, kemampuan anak untuk mengabstrasikan peran-peran dan sikap-sikap dari Significant Othernya (semua orang lain yang berarti) serta menggeneralisasikannya untuk semua orang, termasuk dirinya, disebut generalized others. Ketika baru lahir, individu tidak dapat memilih significant others, dan significant others cenderung memaksakan kehendaknya pada diri anak. Selain significant other, terdapat yang namanya generalized other dimana pada tahap ini, seseorang akan dianggap dewasa oleh masyarakat, karena dalam tahap ini, seorang individu sudah mulai menerima norma kolektif. Penempatan dirinya pada posisi masyarakat sudah xlviii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sangat luas. Karena peranan yang dimainkan sudah matang dan seorang individu yang berada dalam tahap ini sudah bisa menjalankan peranan orang lain. Misalnya adalah ketika dalam sebuah keluarga yang memiliki orang tua dan anak-anak, ketika mereka ditinggalkan oleh orang tuanya, maka anak yang tertua akan mengambil peran sebagai pengganti orang tuanya yang wajib melindungi adikadiknya. Menurut Mead, proses sosialisasi yang dilakukan oleh manusia adalah melalui peran-peran yang harus dijalankan oleh individu sehingga pemikirannya terkenal dengan Role Theory (teori mengenai peranan). Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat maka seorang individu dapat berinteraksi dengan orang lain. Pengembangan diri manusia melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain berjalan secara bertahap mulai dari tahap play stage, game stage, dan generalized other.
Tabel I.2 Perbedaan Ciri-Ciri Tahap Perkembangan Diri Dalam Sosialisasi xlix
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Kriteria
Tahap Persiapan
Tahap Meniru Bertindak
Tahap Bertindak
Tahap Penerimaan Norma Kolektif
Jumlah orang yang berinteraksi Keragaman orang dalam interaksi Kesadaran diri yang dimiliki
Sedikit
Sedikit Bertambah
Agak Banyak
Banyak
Rendah
Agak Rendah
Agak Tinggi
Tinggi
Belum
Hanya meniru
Mampu bekerja sama
Mampu bekerja sama dalam masyarakat luas secara bertahap
Sumber : Bagja Waluya (2007:68)
1.5.8
Tahapan/Proses Sosialisasi Menurut Charles H.Cooley Di tahun 1980-an, Charles Horton Cooley (1864-1929), seorang penganut
interaksionisme
simbolik
yang
mengajar
di
University
of
Michigan,
menyimpulkan bahwa segi khas dari “kemanusiawian” (humanness) diciptakan secara sosial; artinya, perasaan mengenai diri kita berkembang dari interaksi dengan orang lain. Cooley menciptakan istilah looking-glass self untuk menggambarkan proses-proses perasaan mengenai diri kita berkembang. Dalam bukunya, Bagja Waluya (2007:67), Charles H.Cooley menekankan peranan interaksi dalam proses sosialisasi. Menurutnya, konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain atau dikenal dengan istilah looking glass self. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain terbentuk melalui interkasi dengan orang lain berbentuk melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Tahap memahami diri kita dari pandangan orang lain. Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar l
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
karena sang anak memiliki prestasi di kelas yang melebihi temantemannya. 2. Tahap merasakan adanya penilaian dari orang lain. Dengan pandangan bahwa si anak adalah yang paling hebat, ia merasa orang lain selalu memuji dia dan selalu percaya pada tindakannya. 3. Tahap dampak dari penilaian tersebut terhadap dirinya. Dari pandangan dan penilaian bahwa ia adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Untuk memahami pemikiran Cooley, di sini akan disajikan suatu contoh. Seorang anak yang merasa dirinya pintar karena selalu mendapatkan ranking pertama di kelasnya. Karena dari prestasi yang dicapainya dan kepandaiannya itu maka ia selalu diminta gurunya untuk mengikuti perlombaan. Setiap tindakan yang dilakukan anak tersebut selalu mendapatkan pujian dan komentar yang baik. Dengan adanya penilaian dari orang-orang tentang dirinya, maka seorang anak akan merasa dirinya pandai dan menimbulkan perasaan bangga. Ini juga dapat berlaku ketika seorang anak yang mendapatkan penilaian sebagai anak yang nakal, bodoh, dan bandel sehingga setiap tindakan yang dilakukannya selalu dianggap salah, sehingga menimbulkan penilaian yang buruk bagi anak tersebut. Akibatnya anak merasa dirinya nakal, bandel, dan bodoh karena penilaian orangorang di sekitarnya. Dari tahap-tahap sosialisasi yang dilakukan maka akan membentuk sebuah karakter kepribadian yang berbeda antar anggota masyarakat. Karena setiap penerimaan sosialisasi seorang individu mempunyai pengaruh yang berbeda juga maka banyak ditemui karakter kepribadian yang unik, berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. 1.5.9
Teori Kebudayaan Kemiskinan Oscar Lewis li
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Budaya kemiskinan yang dimaksudkan merupakan sub-budaya yang diproduksi oleh masyarakat kapitalis dan hidup di dalam masyarakat kapitalis. Kemiskinan yang merupakan sub-budaya kapitalis ini diyakini oleh Oscar Lewis sebagai
bukan
sebatas
persoalan
deprivation atau
disorganization
yang
mengindikasikan “ketiadaan sesuatu”, seperti ketiadaan sandang, pangan dan papan. Budaya kemiskinan memiliki struktur dan rasionalitas sendiri yang berbeda dengan subkultur-subkultur lainnya, jadi budaya kemiskinan akan terwariskan secara turun-temurun lewat alur generasi. Karenanya, sekali budaya ini terbentuk, cenderung mengental, kemudian mengeras. Dan di ujungnya, membuat masyarakat yang terbelenggu pada budaya kemiskinan ini mustahil meloloskan diri dari belitannya. Dari situ pulalah yang akan membentuk sebuah mental dan pikiran serta psikologi masyarakat yang memiliki budaya kemiskinan untuk menerima dengan pasrah fakta kemiskinannya sebagai realitas yang tidak mungkin terhindarkan. Maka, terbentuk pulalah budaya permisif, watak inferior, dan tak percaya diri. Artinya, budaya kemiskinan dan mentalitas miskin itulah yang menjadi pemicu kemiskinan. Dengan kata lain, masalah kemiskinan bukan hanya terletak pada aspek kultural dan struktural masyarakat. Namun, juga kejiwaan dan mental masyarakat atau kaum miskin itu dalam memersepsikan hidup. Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat lii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib. Sedangkan menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan
ystem, dan
memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubunganhubungan antar pribadi, orientasi waktu,
ystem-sistem nilai, dan pola-pola
pembelanjaan. Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa liii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah. Beberapa ciri kebudayaan kemiskinan adalah : fatalisme, rendahnya tingkat aspirasi, rendahnya kemauan mengejar sasaran, kurang melihat kemajuan pribadi, perasaan ketidakberdayaan atau juga ketidakmapuan, perasaan untuk selalu gagal, perasaan menilai diri sendiri negatif, pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya liv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan dalam masyarakat yang sudah terkena budaya kemiskinan menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre psikiatri kesejahteraan social pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri. 1.6
Metodologi Penelitian Pada setiap penelitian di dalam bidang sosial sangat diperlukan metode
penelitian. Metode penelitian diperlukan oleh peneliti sebagai pedoman untuk melakukan penelitian. Menurut Tejoyuwono (dalam Mantra, 2004:5) metode penelitian ialah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian yang bersistem. Bersistem berarti penelitian dikerjakan secara konseptual. Metode yang akan digunakan dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam menerangkan suatu fenomena maupun gejala sosial yang meliputi permasalahan dalam suatu penelitian. Metode penulisan adalah cara yang digunakan dalam melakukan penulisian, karena pada tahap ini mempersoalkan bagaimana masalah penulisan yang telah dirumuskan oleh penulis akan dipecahkan atau ditemukan jawabannya. 1.6.1
Metode Penelitian
lv
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan tipe penulisan deskriptif. Penulisan deskriptif yakni untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena-fenomena sosial yang akan diteliti. Fokus utama dalam penulisan deskriptif adalah memperoleh pemahaman atas tindakan dan makna gejala sosial dalam sudut pandang subyek penulisan. Pendekatan deskriptif yakni di dalam prosesnya serta pemahaman di penulisan adalah untuk menyelidiki suatu fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian ini menghasilkan data yang berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Dengan pendekatan deskriptif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang diamati oleh peneliti dari suatu individu, kelompok, ataupun masyarakat. 1.6.2
Isu-Isu Penelitian Oleh karena peneliti ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang sosialisasi
mengemis, maka diperlukan batasan-batasan pada pokok permasalahan, sehingga pembahasan yang akan dibahas di dalam penelitian tidak melebar. Untuk membatasi penulisan maka konsep yang perlu dibatasi adalah: 1. Pengemis Adalah seseorang tidak memandang laki-laki, perempuan, muda ataupun tua yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum yang pekerjaannya meminta-minta dengan mengharap belas kasihan orang lain. 2. Sosialisasi
lvi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Adalah proses sosial yang mengandung interaksi sosial dengan keluarga maupun lingkungannya untuk memberikan pengetahuan tentang nilai, norma, sikap, bahkan budaya yang dilakukan oleh agen sosialisasi kepada seorang individu, dalam hal ini anak. 3. Mengemis Adalah kegiatan meminta-meminta dengan cara-cara yang dilakukan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain, yakni menadahkan tangan, mengamen, dan memberikan amplop berisikan tulisan yang menimbulkan rasa iba yang dilakukan pada fasilitas-fasilitas umum dan rumah. 1.6.3
Sasaran Penelitian Sebagai langkah awal dalam melakukan suatu penelitian, maka yang harus
dilakukan adalah menentukan obyek yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian. Penentuan lokasi penelitian dimasudkan untuk memperjelas masalah yang akan diteliti. Penelitian ini akan dilakukan pada warga RW 14 (RT 3, RT 4,RT 5) tepatnya yang bermukim di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri yang memiliki pekerjaan sebagai pengemis. Pemilihan lokasi tersebut disebabkan karena adanya masyarakat yang berada di Dusun Duluran yang memilih mengemis untuk bertahan hidup hingga saat ini.
1.6.4
Teknik Penentuan Subyek Penelitian Penentuan subyek dalam penelitian yang tepat sangat mempengaruhi
kebenaran suatu penelitian dan memiliki peran yang sangat penting di dalam lvii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sebuah penelitian sebagai sumber informasi. Jadi, dalam hal ini, subyek penelitian yang dipilih harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Dalam penulisan ini, teknik penentuan subyek penelitian dilakukan secara purposive, dimana orang-orang yang dipilih merupakan pihak yang dianggap mengetahui dan paling memahami tentang permasalahan dalam penelitian. Metode purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih secara benar oleh peneliti, yaitu orang yang paling banyak mengetahui dan terlibat langsung mengenai Sosialisasi Mengemis, dengan kriterianya adalah sebagai berikut: 1) Warga Dusun Duluran yang bekerja sebagai pengemis selama kurun waktu yang lama (lebih dari 10 tahun) dan tinggal di pemukiman sejak awal (artinya, sudah berada di pemukiman sejak adanya perkampungan pengemis yang telah disediakan oleh Dinas Sosial, Kabupaten Kediri). 2) Warga Dusun Duluran yang memiliki pekerjaan sebagai pengemis yang bukan warga asli, yaitu sebagai pendatang di pemukiman. 3) Warga Dusun Duluran yang anggota keluarganya memilih bekerja sebagai pengemis dan generasi setelahnya juga melakukan pekerjaan mengemis. 4) Warga Dusun Duluran yang tidak mengemis akan tetapi masih ada anggota keluarganya yang mengemis. Dengan kriteria di atas, peneliti berharap akan memperoleh data yang variatif. Selain itu, peneliti juga menggali lebih dalam tentang sosialisasi mengemis dari informan tambahan, informan tambahan merupakan orang yang dianggap mengetahui tentang segala kejadian yang masih berhubungan dengan data pokok penelitian. Selain itu, peneliti juga melakukan penggalian data dengan lviii
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
melakukan wawancara dengan informan tambahan. Informan tambahan digunakan untuk pengecekan ulang keabsahan data yang telah didapatkan sebelumnya dari informan pokok. 1.6.5
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah beberapa langkah strategis dalam
penelitian yang digunakan untuk memperoleh data-data yang diinginkan dari lapangan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti digunakan sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian. Dalam penulisan ini, untuk memperoleh data yang akan dipergunakan adalah melalui : 1. Pengamatan/ Observasi. Observasi dilakukan untuk melihat dan mengamati fenomena kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Melalui pengamatan/observasi setidak-tidaknya yakin jika terjadi kesalahan dalam pengamatan dengan mata tidak terlampaui jauh bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Terdapat dua macam observasi yang dilakukan di dalam sebuah penelitian, yaitu pertama observation as observer atau observasi tidak penuh dan kedua adalah observation as participant atau observasi penuh. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan observation as observer atau observasi tidak penuh, yakni peneliti hanya mengamati tingkah laku keseharian para subjek penelitian di Dusun Duluran, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, lix
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Kabupaten Kediri. peneliti tidak terlibat langsung dalam keseharian masyarakat di dusun tersebut. 2. Wawancara Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara secara mendalam untuk menggali lebih banyak informasi dari subyek penelitian. Wawancara mendalam (indepth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dalam wawancara dan tanya jawab ini akan dipergunakan “guide interview” agar pembicaraan antar penulis
dan informan dapat
dikendalikan dan akan fokus sesuai untuk penulisan. Wawancara mendalam ini akan digunakan untuk memperoleh data primer. 3. Dokumentasi Untuk mendukung hasil laporan dari penulisan dalam mendeskripsikan, maka penulisan akan dilengkapi dengan sumber-sumber data lain seperti data statistik, monografi desa, penulisan-penulisan, artikel di media massa maupoun elektronik, tabel-tabel, dan sumber data tertulis lainnya yang diperlukan untuk penelitian ini. Peneliti juga melakukan dokumentasi melalui kamera foto untuk melengkapi penulisan. Dokumentasi ini akan digunakan oleh peneliti sebagai data sekunder guna melengkapi hasil penulisan. Foto-foto yang digunakan oleh peneliti di dalam penelitian tidak lx
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
semuanya mendapat persetujuan dari subjek, hanya foto-foto yang sudah mendapat persetujuanlah yang digunakan oleh peneliti. 1.6.5
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis data dengan cara menjelaskan secara detail permasalahan yang terjadi. Setelah proses pengumpulan data selesai, baik data primer maupun data sekunder, maka langkah selanjutnya adalah melakukan editing terhadap hasil wawancara dalam bentuk transkrip, yang kemudian transkrip wawancara tersebut diolah oleh peneliti dalam bentuk pemaparan-pemaparan yang disertai dengan kutipan langsung dari subyek penelitian, kemudian menganalisis data dan mengolah data tersebut. Setelah menyusun data dengan sistematis dan rapi, maka penulis akan menganalisisnya secara sistematis dan menganalisis data dengan teori yang telah digunakan, menginterpretasi data dan yang terakhir adalah menarik kesimpulan dari analisis-analisis yang telah ada.
BAB II ASAL-USUL KAMPUNG PENGEMIS DAN KONDISI PENGEMIS lxi
Skripsi
SOSIALISASI MENGEMIS ...
DHITA AYU PRADNYAPASA