1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam pembukaan Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW), disebutkan bahwa GKJW lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur. 1 Uraian tersebut berarti bahwa tumbuh kembangnya GKJW ada di dalam budaya Jawa, secara khusus budaya Jawa Timur. Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Jawa Timur juga mengenal beberapa upacara adat yang dilakukan berhubungan dengan lingkaran/daur hidup manusia, yang dimulai dari kelahiran, masa dewasa, dan kematian, serta beberapa upacara lain yang berhubungan dengan aktivitas hidup mereka sehari-hari.2
Selaku gereja Jawa di tengah-tengah masyarakat Jawa, GKJW cukup mengalami keteganganketegangan dan persoalan-persoalan. Persoalan-persoalan tersebut, disebabkan oleh tetap berlangsungnya kehidupan kebudayaan Jawa, yang tentu saja perlu dikembangkan termasuk oleh orang Kristen Jawa. Selaku orang-orang Jawa dan sekaligus orang-orang Kristen, GKJW menghadapi kebudayaan Jawa yang tetap diusahakan kelangsungan hidupnya oleh masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya orang Kristen Jawa. Namun kadang kala dalam beberapa hal kebudayaan Jawa tersebut belum tentu dianggap cocok dengan cara hidup Kristen.3 Akan tetapi, ketegangan-ketegangan dan persoalan-persoalan kekristenan dan kebudayaan Jawa tidak dialami oleh semua jemaat GKJW. Seperti yang terjadi di banyak desa Kristen, semenjak awal sejarah GKJW, adat dan kebudayaan Jawa ikut mewarnai pola kehidupan kekristenan para warga GKJW, bahkan sudah teranyam dan membentuk suatu kekristenan yang khas. Di samping itu kekristenan yang dihayati dalam hidup sehari-hari juga ikut membentuk pola-pola adat dan kebudayaan Jawa, dengan adanya suatu usaha untuk memberi semacam “versi Kristen” atas cara-cara hidup dan bentuk-bentuk kebudayaan Jawa tersebut. Sehingga di desa-desa Kristen ini dimungkinkan terbentuknya pola kehidupan warga Jemaat GKJW dalam kebiasaan dan adat yang tersendiri yang pada taraf terakhir bisa dikatakan sudah melembaga menjadi semacam “adat Kristen”.4
1
Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan dan Peraturan Majelis Agung Tentang Badan-badan Pembantu Majelis, (Malang, 1996), p. 2 2 Jawa Timur. (Jakarta: 1992), p. 100 3 Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh VII. (Malang dan Jakarta: 1975), p. 238 4 Ibid, p. 241
2 Salah satu jemaat GKJW yang menghadapi ketegangan dan persoalan kekristenan dan kebudayaan Jawa adalah GKJW Jemaat Turen, Malang. Selama 3 bulan melakukan praktek kejemaatan (stage) di Jemaat ini, penulis mendapati adanya perbedaan sikap dan pandangan terhadap budaya Jawa. Pendeta yang saat ini melayani di Jemaat ini tidak menghendaki warga untuk memegang teguh serta melaksanakan budaya Jawa, seperti slametan, mencari hari baik saat akan membangun rumah, pindah rumah atau pada saat akan mengadakan perkawinan, atau yang seringkali disebut dengan pétungan. Terhadap sikap dan pandangan Pendeta yang demikian, ada warga Jemaat yang mendukung dan ada yang menentang. Seorang anggota Majelis Jemaat Turen berpendapat bahwa sikap dan pandangan Pendeta terhadap budaya Jawa yang diterapkan di Jemaat tidak terlalu berresiko. Karena setelah kurun waktu tertentu, Pendeta dipindahkan ke Jemaat lain. Namun, sikap dan pandangan warga terhadap budaya Jawa akan senantiasa berpengaruh terhadap kelangsungan hidup warga di tengah masyarakat. Karena seumur hidup warga tetap tinggal di tengah masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, warga harus bisa menentukan sikap dan pandangannya terhadap budaya Jawa, demi menjaga kelangsungan hidupnya bersama masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis sebagai warga GKJW dan nantinya akan menjadi pelayan di GKJW, merasa perlu mengetahui dan memahami sikap dan pandangan GKJW terhadap budaya Jawa, serta dampaknya bagi Jemaat. Untuk mengetahui dampak dari sikap dan pandangan GKJW bagi warga GKJW, tentu memerlukan waktu yang cukup panjang, karena GKJW tersebar di seluruh Jawa Timur. Sedangkan waktu penulisan dan jumlah halaman skripsi terbatas. Sehingga dalam skripsi ini, penulis akan mengangkat sebuah kasus tentang sikap dan pandangan terhadap budaya Jawa di GKJW Jemaat Turen, Malang, serta dampaknya bagi Jemaat tersebut. Dengan alasan, GKJW Jemaat Turen merupakan salah satu jemaat GKJW yang menghadapi ketegangan dan persoalan kekristenan dan kebudayaan Jawa, sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Budaya Jawa yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini juga akan dibatasi, karena di dalam Ensiklopedi Kebudayaan Jawa disebutkan bahwa ada 7 unsur kebudayaan, yaitu: religi/keagamaan, organisasi masyarakat, pengetahuan, kebahasaan, kesenian, mata pencaharian hidup, dan teknologi peralatan.5 Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah halaman penulisan skripsi, penulis menyadari tidak mungkin melakukan penelitian terhadap ketujuh unsur
5
Marsono dan Waridi Hendro Saputro, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: 1999/2000), p. iv
3 kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah religi/keagamaan. Dengan pertimbangan bahwa budaya Jawa yang seringkali diperdebatkan adalah slametan, mencari hari baik atau pétungan serta nyekar ke kuburan. Dan ketiga hal tersebut termasuk dalam religi/keagamaan. Religi/keagamaan ini pada bagian selanjutnya akan disebut ritual keagamaan Jawa. Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama, memiliki simbol dan menghubungkan manusia dengan alam semesta dalam arti luas. 6 Ritual keagamaan yang dilakukan orang Jawa, erat kaitannya dengan konsep tentang keselamatan orang Jawa. Ritual keagamaan tersebut antara lain slametan, nyekar ke kuburan dan pemilihan hari baik dan buruk di dalam melakukan acara-acara yang penting (pétungan).7 Jadi, ritual keagamaan Jawa yang dimaksud pada bagian selanjutnya adalah ritual keagamaan yang dilakukan oleh orang Jawa.
B. TINJAUAN POKOK PIKIRAN DAN PUSTAKA Dalam mengemas permasalahan ini, penulis tidak berangkat dari asumsi-asumsi, melainkan sudah ada tulisan-tulisan dan pikiran-pikiran yang mengulas pokok permasalahan. Perbedaan sikap dan pandangan terhadap budaya Jawa, terjadi baik itu di kalangan warga maupun di kalangan pendeta. Misalnya Pdt. Sutrijo, Pendeta GKJW Jemaat Sumbergondang, yang mengatakan bahwa kita tidak bisa lepas dengan budaya Jawa, termasuk di dalamnya kegiatan slametan. Karena slametan juga bisa menjadi satu jalan untuk mempererat tali silahturami antar anggota masyarakat. Pdt. Andryono Cipto Santoso, Pendeta GKJW Jemaat Trenceng, mengungkapkan bahwa slametan tetap bisa dilakukan memakai adat Jawa, tapi pemaknaannya sudah tidak Jawa lagi. Misalnya, berdoa untuk slametan, sudah tidak ditujukan kepada nyi dhanyang, tapi berdoa sesuai tata cara Kristen. Sedangkan menurut Pdt. Hari Sabda Winedar, Pendeta GKJW Jemaat Turen, slametan tidak perlu dilakukan. Demikian juga Pdt. Bambang Ruseno Utomo, mantan Ketua Majelis Agung GKJW, berpendapat bahwa orang Kristen tidak perlu lagi mengadakan slametan, karena kita adalah umat tebusan Allah, maka kita sudah dijamin oleh Allah. Di tengah pro kontra slametan, makna slametan menjadi kian membias. Menurut Pdt. Sucipto Adi, yang melayani di GKJW Jemaat Sumberpucung, slametan itu hanya memohon agar selamat, sedangkan syukuran merupakan suatu bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan atas semua berkah dan anugerahNya. Jadi, slametan bisa dilakukan sebelum melaksanakan suatu kegiatan, kemudian diakhiri dengan syukuran sebagai ungkapan syukur
6
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama. (Yogyakarta: 2000), p. 16-30 Siman Widyatmanta, ‘Budaya Daerah (Jawa) Di Dalam Kehidupan Gereja Di Indonesia’ dalam Usaha Pembangkitan Kebudayaan Daerah Di Indonesia, Majalah GEMA No.32 (Yogyakarta: 1986), p. 11 7
4 Pdt. Sucipto juga menegaskan bahwa warga Jemaat Sumberpucung diberikan kebebasan melakukan slametan.8
Sementara itu, pro kontra yang terjadi di kalangan warga adalah sebagai berikut: menurut Totok Wasisto, warga GKJW Jemaat Ngawi, sebagai warga GKJW tidak ada salahnya kalau kita ikut melestarikan budaya Jawa, yang sampai saat ini masih harus di “dhuduk dhudah dan ngrembahke” (digali dan dikembangkan).9 Pandangan ini sebenarnya menawarkan jalan tengah, yaitu tetap memegang budaya Jawa, namun dalam melaksanakannya harus dimaknai secara kekristenan. Seperti yang diakui oleh Suparlin, warga GKJW Jemaat Sumberpucung, Malang, bahwa dirinya masih menjunjung tinggi adat istiadat Jawa dan memadukannya dengan kekristenan. Namun, dia tidak memaknai semua simbol-simbol yang ada di dalamnya dengan roh halus, tapi dengan pemahaman Kristen. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Soehardjo, warga GKJW Jemaat Sumbergondang, yang mengaku masih mempelajari budaya Jawa dan melakukannya hingga sekarang. Menurutnya, kita tidak bisa begitu saja dipisahkan dengan budaya Jawa, karena kita hidup di tengah masyarakat Jawa. Sebagai contoh, slametan yang termasuk budaya Jawa yang perlu dilestarikan. Namun dalam praktik sekarang doanya ditujukan pada Yesus dan tidak lagi pada arwah roh leluhur, seperti dulu untuk danyang ini atau itu. Akan tetapi, menurut Susilo, anggota majelis GKJW Jemaat Sumberpucung menegaskan bahwa kita harus menganut seperti yang tertulis di Alkitab. Pendapat yang mendapat dukungan dari Siti Aminah, warga Jemaat Sumberpucung, yang mengatakan bahwa di dalam Alkitab, adat istiadat semacam slametan itu sudah dihapuskan dan tidak diperbolehkan, karena semua sudah dibuat mudah oleh Tuhan.10
Meskipun ada warga dan pendeta yang sudah menentukan sikap dan pandangannya terhadap budaya Jawa, namun masih banyak kebimbangan dan pertanyaan tentang perlu atau tidak dan boleh atau tidak memegang teguh serta melaksanakan budaya Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarto Istijanto, anggota Komisi Pembinaan Teologia (KPT) Jemaat Sumbergondang, bahwa dirinya belum tahu pasti, sebenarnya slametan, nyekar ke kuburan itu boleh dilakukan atau tidak. 11 Seorang Pendeta muda menceritakan pengalamannya saat mendapat undangan 8
Ayik, ‘Slametan: Tembang Tradisi Itu Masih Dilantunkan’ dalam Ketika Tradisi Itu Menjadi Asing. Landa Wurung Jawa Nanggung, DUTA, Majalah GKJW, edisi September (Malang: 2004), p. 6 9 Totok Wasisto, ‘Menilik Lamaran dan Tunangan’ dalam Paskah Menggali Makna Pengosongan Diri, DUTA, Majalah GKJW, edisi Maret (Malang: 2005), p.13 10 Ayik, ‘Slametan: Tembang Tradisi Itu Masih Dilantunkan’ dalam Ketika Tradisi Itu Menjadi Asing. Landa Wurung Jawa Nanggung, DUTA, Majalah GKJW, edisi September (Malang: 2004), p.6 11 Ibid, p.6
5 memberi pembinaan teologi di suatu jemaat GKJW. Sarasehan tentang teologi keluarga tersebut, kemudian bergerak menuju dialog iman dan budaya. Seperti boleh atau tidak melakukan selametan 3 harian, 7 harian, 40 harian sampai 100 dan 1.000 harian. Atau bagaimana sikap kita mengenai pitonan atau selametan untuk bayi dalam kandungan yang telah berumur 7 bulan. Kalau mau menikah perlu atau tidak menghitung hari baik. Pengalaman tersebut, menurut Trianom Suryandharu, penulis artikel “Obah Tapi Gak Owah” di Duta, Majalah GKJW, juga pernah dilontarkan oleh pendeta yang jauh lebih senior. Dengan demikian, pertanyaanpertanyaan warga tersebut, meski sudah melewati dua-tiga generasi pendeta, masih saja relevan dilontarkan. 12 Sementara itu, Jumadi, warga GKJW Jemaat Sumbergondhang di Pepanthan Cangkring, menjelaskan bahwa masih banyak juga orang Kristen yang percaya dengan perhitungan hari baik atau hal-hal yang berhubungan dengan tradisi Jawa. Seperti contohnya, untuk membangun rumah pastori di Cangkring, pembongkaran bangunan memang dilaksanakan hari Rabu. Tapi untuk memulai pembangunannya memilih hari Minggu. Dengan alasan hari baik untuk membangun rumah itu hari Minggu. Padahal warga sudah tahu bahwa semua hari itu baik, namun mereka tetap memilih hari karena leluhur juga melakukan hal tersebut.13
Pro-kontra soal persinggungan antara iman (Kristen) dan budaya (Jawa), yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Coolen (1849) tersebut ternyata masih terus berlangsung hingga sekarang. Sementara itu, GKJW sebagai lembaga belum pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau sikap resmi berkaitan dengan persinggungan antara budaya dan Injil. Kekhawatiran yang muncul selanjutnya adalah jika kondisi demikian terus berlanjut, maka akan berdampak pada perkembangan pemahaman teologi warga jemaat. Karena warga senantiasa ditempatkan dalam kebimbangan penghayatan keimanan.14 Apalagi, dalam Tata dan Pranata GKJW sudah diatur tentang pemindahan pendeta, 15 dimana setiap pendeta memiliki sikap dan pandangan yang berbeda terhadap budaya Jawa. Hal ini bisa menambah kebimbangan warga tentang perlu tidaknya dan boleh tidaknya melaksanakan tata cara hidup budaya Jawa. Apalagi mengingat fakta yang diungkap oleh Raymond Valiant dalam tulisannya di DUTA, Majalah GKJW. Raymond menjelaskan bahwa berdasar fakta yang jarang diungkap, pada abad ke-19 ada semacam kecurigaan terhadap masyarakat Kristen Jawa, yang oleh sesama orang Jawa malah 12
Trianom Suryandharu, ‘Obah Tapi Gak Owah… (Sebuah Lontaran Awal Dialog Injil dan Budaya Jawa)’ dalam Obah Tapi Gak Owah, DUTA, Majalah GKJW, edisi Agustus (Malang: 2004), p.5 13 Ayik, ‘Slametan: Tembang Tradisi Itu Masih Dilantunkan’ dalam Ketika Tradisi Itu Menjadi Asing. Landa Wurung Jawa Nanggung, DUTA, Majalah GKJW, edisi September (Malang: 2004), p.6-7 14 Totok dan Hendra, ‘Jawa Kristen atau Kristen Jawa’ dalam Natal dan Kita, DUTA, Majalah GKJW, edisi Desember (Malang: 2004), p. 10-11 15 Tata dan Pranata GKJW, p. 74-75
6 dianggap separuh Belanda, bahkan diejek Landa wurung Jawa tanggung (belum menjadi orang Belanda, tapi menjadi orang Jawa juga tidak bisa sepenuhnya), tuwan genjah (seperti buah setengah matang, menjadi tuan namun tidak sepenuhnya), Landa tanpa sepatu (orang Belanda tanpa sepatu), dan seterusnya.16 Tentunya kita tidak boleh mengabaikan fakta tersebut. Hingga saat ini, GKJW memang masih bisa survive di tengah perubahan kebudayaan, walaupun GKJW sebagai lembaga belum pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau sikap resmi berkaitan dengan persinggungan antara budaya dan Injil. Namun, menurut Pdt. Kristiyanto, GKJW belum pada situasi aman karena ada hal mendasar yang masih perlu diselesaikan sebagai sebuah pekerjaan rumah. Di tengah perjalanan GKJW yang sangat matang ini ternyata pertanyaan seputar slametan mulai seseorang lahir hingga matinya atau undhuh-undhuh sebagai perayaan panen (dalam masyarakat perkotaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia pertanian), tetap menjadi pertanyaan yang aktual.17
C. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan adalah: 1. Bagaimana sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa? 3. Apa dampak dari sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa bagi Jemaat? 4. Bagaimana menyikapi ritual keagamaan Jawa?
D. TUJUAN Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa. 3. Untuk mengetahui dampak dari sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap ritual keagamaan Jawa bagi Jemaat Turen. 4. Untuk menentukan sikap terhadap ritual keagamaan Jawa. 16
Raymond Valiant. ‘Wajah GKJW Dulu dan Kini’ dalam Dengan Iman, Menatap Masa Depan, DUTA, Majalah GKJW, edisi April (Malang:2002), p. 26 17 Pdt. Kristiyanto, S.Si. ‘Diobah, Ngobah Atau…Sebuah Lontaran Awal Dialog Injil dan Budaya Jawa’ dalam Tradisi Retret Di GKJW: Berada Di Persimpangan, DUTA, Majalah GKJW, edisi Oktober (Malang:2004), p. 18
7 E. PEMILIHAN JUDUL Skripsi ini diberi judul Sikap dan Pandangan GKJW Jemaat Turen, Malang Terhadap Ritual Keagamaan Jawa, serta Dampaknya Bagi Jemaat. Penulis memilih judul ini karena penulis membaca dalam beberapa edisi “DUTA” Majalah GKJW, ada berbagai macam pendapat tentang sikap dan pandangan GKJW terhadap budaya Jawa, serta dampaknya bagi Jemaat. Penulis beranggapan bahwa pengetahuan tentang sikap dan pandangan terhadap budaya Jawa ini sepertinya sudah menjadi kebutuhan warga GKJW, mengingat majalah ini memuat berbagai pergumulan warga. Alasan penulis memilih GKJW Jemaat Turen, Malang, sebagai tempat penelitian sudah dijelaskan dalam uraian latar belakang masalah. Demikian juga dengan alasan pembatasan budaya Jawa yang akan dibahas hanya ritual keagamaan Jawa sudah diuraikan dalam latar belakang masalah.
F. METODOLOGI 1. Metode Penulisan Skripsi ini ditulis dengan metode deskriptif analitis, yaitu suatu metode untuk menjelaskan secara lebih lanjut tentang sikap dan pandangan GKJW Jemaat Turen terhadap
ritual
keagamaan
Jawa,
serta
dampaknya
bagi
Jemaat.
Kemudian
menganalisanya secara lebih teliti agar dapat menentukan sikap terhadap ritual keagamaan Jawa. Untuk mendapatkan deskripsi yang jelas tentang hal tersebut di atas, maka penulis akan mengadakan penelitian di GKJW Jemaat Turen, Malang. 2. Metode Penelitian Penelitian
dilakukan
dengan
penggalian
data
melalui
wawancara
terstruktur
(menggunakan kuesioner). Penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap bukubuku yang berkaitan dengan topik permasalahan, yaitu buku-buku yang membahas tentang budaya Jawa serta perjumpaan kekristenan dengan kebudayaan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Agar pemahaman topik pembahasan dapat sistematis, maka penulis merasa perlu membuat suatu sistematika penulisan yang jelas, yang dapat menggambarkan pokok-pokok pikiran yang ingin diuraikan. Untuk itu, sistematika penulisan dari topik pembahasan ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis akan mengemukakan latar belakang, tinjauan pokok pikiran dan pustaka, permasalahan, tujuan, pemilihan judul, metodologi dan sistematika penulisan. Uraian ini dimaksudkan untuk memperjelas apa yang hendak dibahas dalam bab-bab selanjutnya, sehingga
8 sebelum membaca skripsi ini secara keseluruhan, maka pembaca dapat mengetahui apa yang hendak dibahas dalam tulisan ini. BAB II SUATU GAMBARAN DESKRIPTIF TENTANG RITUAL KEAGAMAAN JAWA DI TUREN A. Gambaran Deskriptif Tentang Ritual Keagamaan Jawa Di Masyarakat Turen 1. Slametan 2. Nyekar Ke Kuburan 3. Petungan B. Gambaran Deskriptif Tentang Ritual Keagamaan Jawa Di GKJW Jemaat Turen 1. Slametan 2. Nyekar Ke Kuburan 3. Petungan BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI SIKAP DAN PANDANGAN GKJW JEMAAT TUREN TERHADAP RITUAL KEAGAMAAN JAWA DI TUREN, SERTA DAMPAKNYA BAGI JEMAAT GKJW TUREN A. Sikap Dan Pandangan GKJW Jemaat Turen Terhadap Ritual Keagamaan Jawa Di Turen B. Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Sikap Dan Pandangan GKJW Jemaat Turen Terhadap Ritual Keagamaan Jawa Di Turen C. Dampak Sikap Dan Pandangan GKJW Jemaat Turen Terhadap Ritual Keagamaan Jawa Di Turen Bagi Jemaat GKJW Turen BAB IV SIKAP KEKRISTENAN TERHADAP RITUAL KEAGAMAAN JAWA A. Kajian Kritis Ritual Keagamaan Jawa Di Turen B. Kajian Kritis Sikap dan Pandangan GKJW Jemaat Turen Terhadap Ritual Keagamaan Jawa Di Turen C. Sikap Kekristenan Terhadap Ritual Keagamaan Jawa BAB V PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan atas apa yang telah ditulis dalam bab II, III, IV, dan suatu sumbangan pemikiran berkaitan dengan masalah yang telah diuraikan dalam bab IV.