BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masyarakat Dusun Sade merupakan salah satu komunitas yang dianggap
masih memegang unsur-unsur tradisi Suku Sasak sebagai suku asli pulau Lombok. Masyarakat Sade merupakan salah satu kolektivitas komunitas (Sasak: Punggilan) dari beberapa komunitas yang berasal dari wilayah Desa Rembitan seperti: Rembitan, Telok Bulan, Lentak, Selak, Penyalu, Peluk, Rebuk dan Rumbi. Namun dari semua keluarga besar yang mendiami wilayah Desa Rembitan tersebut berdasarkan asal usul sejarah dan budaya adalah bagian integral dari Sade itu sendiri. Namun hanya Dusun Sade yang eksistensinya tetap diakui sebagai sebuah masyarakat tradisional yang teguh memegang adat tradisi nenek moyang. Dalam perkembangannya masyarakat Sade pun tidak lepas dari pengaruh modernisasi akibat tak kuasa mengelak dari pembangunan, yang menawarkan gemerincing rupiah serta interaksi yang intens dengan masyarakat sekitarnya dan wisatawan. Berdasarkan data Statistik Kecamatan Pujut tahun 2011, Masyarakat Sade yang berada di wilayah Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah berjumlah sekitar 250 Kepala keluarga dengan jumlah penduduk 1150 jiwa yang tersebar di wilayah Sade Luar dan Sade Dalam. Sade Dalam saat ini memiliki penduduk sekitar 700 jiwa dengan 150 Kepala Keluarga, mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani serta memiliki tata kehidupan masyarakat yang teguh memegang tradisi. Masyarakat desa ini dimasa lalu merupakan penganut kuat Islam Watu Telu1 namun sebagai dampak dari program pemerintah dalam hal ini
1
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Selake (2011:20-25) Islam Watu Telu merupakan suatu aliran lokal dalam islam yang berkembang di Suku Sasak Lombok termasuk Desa Sade. Dalam berbagai prespektif Islam Watu Telu muncul disebabkan oleh adanya tiga aliran yang ada dalam kehidupan masyarakat Sasak yang terkombinasi menjadi satu kesatuan yang utuh. Ketiga aliran itu antara lain: 1) Aliran Lokal (dinamisme & animism- kepercayaan leluhur); 2). Aliran Hinduisme (pengaruh kepercayaan Hindu); 3). Aliran Sufisme (Pengaruh islam dalam Sufi).
1
Departemen Agama sejak tahun 1986 masyarakat Sade di kembalikan pada pelaksanaan syariat Islam Waktu Lima.2 Semenjak berkembangnya pariwisata Lombok tahun 1989, melalui program Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan menerbitkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 1989 tentang 15 Kawasan Pariwisata di NTB. Salah satunya adalah Kawasan Desa Wisata Dusun Adat Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Pengembangan konsep pariwisata pedesaan di Dusun Sade, menjadi atraksi yang menarik bagi para wisatawan, berharap mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat. Pergaulan dan interaksi dengan wisatawan memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi masyarakat Dusun Sade memicu perubahan sosial budaya. Terpaan informasi yang diserap oleh masyarakat Dusun Sade secara sadar ataupun tidak prilaku mereka ikut berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Damanik (2013) bahwa Pariwisata memicu gaya hidup masyarakat pedesaan lebih modern.3 Perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut dikarenakan pengetahuan masyarakat Sade yang berubah sebagai hasil dari interaksi yang intens dengan masyarakat luar dan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Hal tersebut yang membuat sikap masyarakat Sade dalam memaknai budayanya ikut berubah. Perubahan sikap berdampak pada perubahan prilaku yang kemudian merubah pola komunikasi Komunitas Suku Sasak Dusun Sade, perubahan tersebut dapat kita lihat pada beberapa aspek antara lain: 1. Perkawinan, di masa lalu pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat Sade sangat diwarnai oleh sistem patriarki yang kental, orang tua/laki-laki memegang peranan absolut dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Misalnya dalam perjodohan, orang tua memiliki peran sentral dalam menentukan jodoh anak-anaknya sehingga muncul kawin paksa dengan
2
Sementara itu Islam waktu lima sebagaimana yang diungkapkan oleh selake (2011) berkembang sekitar tahun 1965. 3 Damanik, Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia: Antara peluang dan Tantangan. Cet. 1. Yogyakarta. Pustaka Pelajar . Tinjauan kritis menurut Greenwood (1989) maupun Picard (2006) yang dikutip Damanik (2013) menyebutkan atraksi wisata sebagai bentuk komodifikasi budaya (cultural commodification) untuk kecenderungan menjual symbol-simbol kebudayaan sebagai tontonan wisatawan
2
kerabat sendiri, dengan argumen untuk mempererat tali kekerabatan di lingkungan keluarga besar mereka, maka perkawinan dominan dilakukan dengan Sistem indogami4. Namun saat ini, orang tua lebih terbuka dan lebih membebaskan anak-anaknya dalam menentukan jodoh. Ada proses komunikasi dua arah antara orang tua dan anak dalam memilih jodoh mereka. Sehingga masyarakat Sasak Sade sudah ada yang menikah dengan masyarakat di luar lingkunganya (eksogami) antara lain ada yang menikah dengan perempuan Lampung, Prancis, dan antara kelas bangsawan dengan masyarakat biasa. 2. Pemerintahan dan Agama, pemerintahan tertinggi di Dusun Sade di pegang oleh Juru Keliang (Kepala Dusun). Di masa lalu, ia dianggap sebagai orang tua (pengayom) yang serba bisa menyelesaikan persoalan warganya, sehingga Jero Keliang bebas dari keritikan. Pada saat ini masyarakat mendapat peran dalam ikut terlibat dalam memutuskan apa yang menjadi program kegiatan di Sade, dalam menentukan Kepala Dusun seluruh masyarakat Sade diikut sertakan dalam musyawarah dan diputuskan berdasarkan mufakat. Hal ini berbeda di masa lalu, penentuan Kepala Dusun berdasarkan keturunan, dan pangambilan keputusan hanya di tentukan oleh pemuka masyarakat dan agama, masyarakat hanya menerima hasil keputusan tersebut. Tugas pokok Kepala Dusun di Dusun Sade bertambah menjadi dua fungsi utama yaitu sebagai pelaksana birokrasi di tingkat dusun, dan sebagai pengemban adat. Di bidang keagamaan setelah berkembangnya Islam Waktu Lima, Kyai tidak lagi memiliki fungsi sentral sebagai orang yang disucikan untuk mewakili masyarakat dalam melakukan ritual agama seperti sholat, puasa dan lainlain dengan pencipta seperti dalam konsep Islam Watu Telu. 3. Sistem Bahasa dan komunikasi, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Dusun Sade adalah Bahasa Sasak, dimana dalam pergaulan di kenal ada dua jenis bahasa Sasak yaitu Bahasa Sasak Kasar (Base Jamak) yang di 4
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia endogamy adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan orang untuk mencari jodoh di lingkungan sosialnya sendiri, misalnya lingkungan kerabat, lingkungan kelas sosial, atau lingkungan pemukiman.
3
pergunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan sesama warga. Bahasa Sasak Halus (Base Dalem) bahasa ini dipakai pada saat upacara perkawinan oleh pembayun pada acara Sorong Serah Aji Krame. Selain itu bahasa yang dikuasai oleh masyarakat Sasak Dusun Sade bukan bahasa Sasak saja tetapi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dikarenakan interaksi dan komunikasi dengan wisatawan. Selain juga diajarkan di sekolahsekolah. Perubahahan tersebut terlihat sangat menghawatirkan bagi keberlangsungan komunitas masyarakat adat Sade, karena lambat laun, generasi muda akan melupakan identitas mereka. untuk itu, diperlukan strategi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat Sade, pemerintah dalam menangani persoaalan ini. Sehingga perlu untuk dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi Perubahan sosial-budaya Komunitas Suku Sasak Dusun Adat Sade yang terjadi melalui suatu studi etnografi sebagai dampak interaksi dengan masyarakat lain. Di mana nantinya peneliti berusaha mengungkapkan bagaimana perubahan sosial budaya dengan melihat perubahan pola komunikasi masyarakat komunitas Suku Sasak Dusun Sade. II. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana perubahan pola komunikasi masyarakat Komunitas Suku Sasak Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah? III. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana perubahan pola komunikasi masyarakat komunitas Suku Sasak Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. 2. Untuk
mengidentifikasi
bagaimana
perubahan
pola
komunikasi
masyarakat Komunitas Suku Sasak Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. 4
IV. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian mengenai Perubahan pola komunikasi Komunitas Suku Sasak Dusun Sade ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan bagi pengembangan kajian komunikasi, terutama dalam ranah komunikasi budaya. 2. Manfaat Praktis Adapun tujuan praktis dari penelitian tentang perubahan pola komunikasi Masyarakat Suku Sasak Dusun Sade ini adalah: a.
Sebagai data dan informasi bagi pemerintah daerah tentang perubahan pola komunikasi Komunitas Suku Sasak di Dusun Sade untuk keperluan pengambilan kebijakan kebudayaan, pendidikan dan kemasyarakatan terutama terhadap strategi pengembangan kawasan wisata desa adat.
b. Untuk menjelaskan kepada pembaca dampak apa saja yang terjadi pada Komunitas Suku Sasak Dusun Sade, berkaitan dengan perubahan pola komunikasi Komunitas Suku Sasak Dusun Sade. c. Untuk mengetahui sejauh mana perubahan pengetahuan dan pola komunikasi yang telah terjadi pada Komunitas Suku Sasak Dusun Sade. V. Kerangka Pemikiran 1. Pola Komunikasi
Sudah
diketahui
bahwa
komunikasi
merupakan
sebuah
proses
penyampaian pesan ataupun informasi dari seseorang kepada orang lain. Pada perkembangannya pihak penyampai pesan, atau dalam istilah komunikasi di sebut komunikator, dapat berupa sebuah kelompok, atau pun perorangan. Begitu pula dengan penerima, yang dalam istilah komunikasi di sebut sebagai komunikan, dapat berupa perorangan atau pun kelompok. Secara harfiahnya komunikasi merupakan jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini. Menurut Devito (1997: 24) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan
5
yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik. Rogers dalam Mulyana (2007: 69) mengatakan bahwa proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Dalam komunikasi tradisional yang sering terjadi adalah komunikasi sebagai sebuah tindakan satu arah dan komunikasi sebagai interaksi. Kerangka Menurut Mulyana (2007:67) kerangka pemahaman mengenai komunikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Model komunikasi linier merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak.
Sumber
Pengirim
Sinyal
Sinyal
Penerima
Destinasi
diterima Massage
Noice Source Gambar 1. Model Shannon dan Weaver (Model Komunikasi Linear) Sumber: Mulyana D. 2007. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
6
Pada model ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linier yang di desain berdasar sistem telepon (Mulyana, 2007:149). Sementara itu dalam Proses komunikasi yang terjadi, terdapat dua proses dalam hal penyampaian pesan antara komunikator dan komunikan, yaitu secara primer dan secara sekunder (Effendy, 2003: 89). 1) Proses Komunikasi Secara Primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kias, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. 2) Proses Komunikasi Secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi verbal dan non verbal (Sobur, 2004: 89): 1. Komunikasi Verbal Komunikasi
verbal
secara
sederhana adalah komunikasi
dengan
menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili 7
kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. 2. Komunikasi Non Verbal Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata, merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (over simplification ), karena kata yang berbentuk tulisan tetap dianggap “verbal” meskipun tidak memiliki unsur suara. Stewart dan D’Angelo yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001) berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal dari non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi verbal vokal merujuk pada “komunikasi melalui kata yang diucapkan”. Komunikasi verbal non vokal, yaitu “kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan”. Komunikasi non verbal vokal berupa vokalisasi, misalnya berupa “gerutuan”. Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat mengacungkan tangan untuk memilih “ya” pada suatu pertemuan atau untuk menghentikan taksi. Menurut Thomas M Scheidel yang di kutip oleh Mulyana (2007: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang yang ada di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berfikir, atau berprilaku seperti yang kita inginkan. Gorden sebagaimana yang dikutip oleh Mulyana (2007:5) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. 2. Komunikasi Sosial Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi
adalah
penting dalam
membangun
konsep
diri,
untuk
8
kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. 3. Komunikasi Ekspresif Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan
(emosi)
kita.
Perasaan-perasaan
tersebut
terutama
dikomunikasikan melalui pesan-pesan non verbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun terutama lewat perilaku non verbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan matanya. 4. Komunikasi Ritual Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan, perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus -ritus lain seperti berdo’a (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual.
9
5. Komunikasi Instrumental Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila di ringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat di sebut membujuk (bersifat persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Menurut Thomas M Scheidel yang di kutip oleh Mulyana (2007: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang yang ada di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berfikir, atau berprilaku seperti yang kita inginkan. Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Dengan komunikasi budaya bisa dipertahankan atau berubah pada suatu waktu. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi. Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall yang dikutip oleh Mulyana (2007:6) bahwa ”budaya adalah komunikasi” dan ”komunikasi adalah budaya”. Dalam proses komunikasi, para peserta komunikasi saling mempengaruhi, seberapa kecil pun pengaruh itu, baik lewat komunikasi verbal maupun non verbal. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis dan transaksional. Implikasinya adalah bahwa para peserta komunikasi berubah (dari 10
sekedar perubahan pengetahuan hingga pada perubahan pandangan terhadap dunia dan prilakunya). Ada orang perubahannya sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, tetapi perubahan pada akhirnya (secara kumulatif) cukup besar. Namun ada orang yang berubah secara tiba-tiba (Mulyana, 2007:121-122). Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mempengaruhi budaya lain sehingga terjadi perubahan baik dalam norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya, misalanya penghapusan sistem “feodal5”, pada masyarakat Dusun Sade, memberikan kesempatan pada generasi muda untuk berpendapat dalam pengambilan keputusan-keputusan adat. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok tertentu, misalnya ”jangan melawan orang tua”, ”bersikaplah ramah pada tamu”, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya di kafani atau dalam peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung pada normanorma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2007:7). Menurut Pace & Paul dalam Ambayoen (2006: 35) analisis pola -pola komunikasi menyatakan bahwa pengaturan tertentu mengenai ”siapa berbicara kepada siapa” dan mempunyai konsekuensi besar dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola komunikasi, antara lain pola roda, pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya melalui sejenis sistem pengulangan pesan. Selain itu juga terdapat pola lain, yaitu rantai dan bintang (semua saluran). Menurut Devito (2011:24) bahwa pola (struktur) rantai merupakan sebuah lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi: fisik, sosio-psikologis, dan temporal. Ruang atau bangsal atau taman di mana komunikasi berlangsung di sebut konteks atau lingkungan fisik. Keadaan terpusat 5
Sistem kemasyarakatan di mana kekuasaan dipegang oleh kaum bangsawan
11
juga terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin dari pada mereka yang berada di posisi lain. Sedangkan pola bintang hampir sama dengan struktur lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya juga memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lain. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya. Pola ini memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum. Menurut Djamarah (2004:1-2) komunikasi berpola stimulus-respons adalah model komunikasi yang masih terlihat dalam kehidupan keluarga. Komunikasi berpola stimulus-respons berbeda dengan komunikasi berpola interaksional. Dalam komunikasi berpola interaksional, kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi sama-sama aktif dan kreatif dalam menciptakan arti terhadap idea tau gagasan yang disampaikan via pesan, sehingga jalannya komunikasi terkesan lebih dinamis dan komunikati. Pola komunikasi dapat diartikan sebagai struktur yang sistematis tentang tingkah laku penerimaan dan pengiriman pesan diantara anggota kelompok, siapa berbicara kepada siapa dan tingkat keseringan tertentu yang membentuk suatu kebiasaan (Larson, 1985 dalam Ambayoen, 2006: 36). 2. Pengetahuan Perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak Dusun Sade tidak bisa dipisahkan dari intraksi karena pengetahuan merupakan produk dari intraksi. Pengetahuan merupakan komplek gagasan, konsep, pikiran, nilainilai yang terdapat dalam kepala seseorang. Sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat atau di raba, tetapi amat dihargai, sehingga perwujudan dua wujud kebudayaan lainnya, yaitu berupa kompleks aktivitas, dan peralatan kehidupan manusia mendapat pengaruh yang amat menentukan dari wujud pertama kebudayaan.6
6
Matulada, H., A., 1997. Perubahan Sosial dan Kebudayaan Suku-Suku di Sulawesi Selatan,
dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 225
12
Pengetahuan
memungkinkan
perubahan
sikap
seseorang
dalam
memandang kebudayaan tidak sebagai sesuatu yang esensial atau hakiki dan yang selalu statis serta homogen. Pernyataan perspektif
ini, ada beberapa hal yang menjadi
ahli-ahli antropologi dan ilmuwan sosial yang lain. Pertama,
Pengetahun tidak hanya terwujud dalam alam pikiran atau bahasa, system kategori dan taksonomi, tetapi juga dalam hal apa saja yang digunakan oleh individuindividu untuk menginterpretasi alam sekelilingnya dan untuk bertindak, baik dalam wujud perasaan, keterampilan atau tindakan-tindakan non-verbal yang lain (Barth 1995; Bourdieu 1997; Gatewood 1985). Kedua, adanya persepsi bahwa pengetahuan adalah beragam. Terdapat variasi yang luas dalam pengetahuan individual serta penerapannya. Long dan Villareal (1994) secara tegas menyatakan bahwa pengetahuan itu “….multiplayered…. and fragmentary and diffuse, rather than unitary and systemized”. Ketiga, terdapat pandangan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktornya. Pengetahuan merupakan suatu produk dari interaksi, dialog, negosiasi dan akomodasi yang berkelanjutan antara aktor-aktor dan kelompok-kelompok tertentu (Borofsky, 1987; Arce and Long 1993; Long and Villareal, 1994 dalam Winarto, 1997: 166). Berkaitan dengan hal ini, pengetahuan terus menerus mengalami pembentukan dan perubahan, pengetahuan tidak pernah statis. 3. Perubahan Sosial-Budaya Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan atau bertindak. Soemardjan dan Soemardi yang di kutip oleh Soekanto (1990: 74) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Geertz yang dikutip oleh Abdullah (2010: 1) mengatakan bahwa kebudayaan adalah “merupakan pola dari pengertian-pengertian atau maknamakna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis”. Pada bagian selanjutnya Geertz
juga mengatakan bahwa
kebudayaan adalah:
13
“Merupakan sistem mengenai konsep-konsep yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan”. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitik beratkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial. Antropolog C. Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994: 135) menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu: Sistem Religi dan Upacara Keagamaan, Sistem dan Organisasi kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Teknologi dan Peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu: 1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai-nilai. 2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang dikutip oleh Soekanto (1990), berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam 14
masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai-nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara lain (Soekanto, 1990, hal 93): Kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju, toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik, sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification), penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, dan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Menurut Soekanto (1990), saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan.
Umumnya
saluran-saluran
tersebut
adalah
lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi, media massa dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa yang tertentu. 4.
Konsep Penelitian Dari kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
dipahami bahwa perubahan pola komunikasi didefinisikan sebagai perubahan pada terstruktur dan sistimatis mengenai prilaku komunikan dan komunikator dalam proses penyampaian pesan, baik verbal maupun nonverbal pada suatu kelompok. Konteks perubahan pola komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola komunikasi vertikal dan horizontal yang terjadi di lingkungan pergaulan masyarakat Dusun Sade. Komunikasi pada masyarakat Sade memiliki beberapa fungsi antara lain, menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Hubungan antara komunikasi dan budaya sangatlah kompleks
15
dan erat. Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi. Perubahan pola komunikasi pada masyarakat Sade berarti juga berubahnya budaya masyarakat tersebut. Dalam hal ini, perubahan pola komunikasi pada masyarakat Sade dimulai dari individu, sebagai akibat dari proses interaksi, belajar dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Selanjutnya diinternalisasikan ke dalam komunitas masyarakat Sasak Sade tempat mereka tinggal sebagai prilaku bersama. Penerimaan terhadap perubahan prilaku tersebut, didasarkan pada kebutuhan masyarakat Sade dalam rangka pemenuhan hasrat dan pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan perkembangan zaman. Saluran perubahan komunikasi biasanya terjadi melalui lembaga-lembaga masyarakat yang ada, antara lain lembaga pendidikan, pemerintaha, agama, ekonomi dan lain-lain tergantung dari tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa yang tertentu. Dimana pada masyarakat Sade titik fokusnya adalah lembaga ekonomi, lembaga pendidikan dan pemerintahan serta lembaga agama. Penelitian ini menggunakan dua konsep utama untuk menilai dan menganalisis terjadinya perubahan pola komunikasi di Dusun Sade. Kedua konsep ini merupakan faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) terjadinya perubahan pola komunikasi di Dusun Sade. Konsep yang pertama adalah pengetahuan dan sikap masyarakat Sade dimana pengetahuan merupakan komplek gagasan, konsep, pikiran, nilai-nilai yang terdapat dalam kepala seseorang. Sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat atau di raba. Sedangkan sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa. Hal ini mencermikan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Pengetahuan memungkinkan
16
perubahan sikap seseorang dalam memandang kebudayaan tidak sebagai sesuatu yang esensial atau hakiki dan yang selalu statis serta homogen. Dengan pengetahuan individu dari masyarakat Sade memungkinkan menginterpretasi alam sekelilingnya dan untuk bertindak, baik dalam wujud perasaan, keterampilan atau tindakan-tindakan non-verbal yang lain. Pengetahuan merupakan suatu produk dari interaksi, dialog, negosiasi dan akomodasi yang berkelanjutan antara aktor-aktor dan kelompok-kelompok tertentu. Sikap merujuk pada suatu cara berprilaku terhadap seseorang atau sesuatu. Konsep kedua yang digunakan untuk menganalisis perubahan pola komunikasi adalah perubahan Budaya. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Kebudayaan mencakup keseluruhan pengetahuan, bahasa, prilaku, ritual-ritual, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang merujuk pada suatu identitas tertentu dari suatu kelompok dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam setiap unsur kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud yaitu wujud idil (pola bersikap), wujud aktivitas (pola kelakuan) dan wujud fisik (pola peralatan dan teknologi). Dalam perjalanannnya kebudayaan tidak bersifat statis, unsur budaya tersebut terus bergerak secara dinamis membentuk wujud budaya baru. Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur dan pola budaya dalam masyarakat. Hal demikian akan berlaku pada setiap budaya. Perubahan sosial didalam masyarakat menyangkut banyak hal yang meliputi perubahan nilai, norma, pola perilaku kelompok, susunan lembaga kemasyarakatan, system pelapisan sosial, serta wewenang dan kekuasaan yang berlangsung dalam suatu interaksi sosial. Suatu perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat diketahui dengan melakukan pengamatan yang cermat terhadap suatu kelompok masyarakat dan
membandingkan
lampau. Terjadinya
dengan
perubahan
keadaan
masyarakat
sosial-budaya
tersebut
otomatis
pada
masa
berdampak
pada
berubahnya pola-pola kehidupan yang berlaku dalam masyarakat termasuk juga pola komunikasi.
17
Tabel. 1. Konsep dan Indikator Penelitian Konsep
Makna Konsep
Indikator
Pola Komunikasi
Struktur yang sistematis tentang Perubahan struktur terhadap tingkah laku penerimaan dan tingkah laku penerimaan dan pengiriman pesan diantara pengiriman pesan. anggota kelompok, siapa berbicara kepada siapa dan tingkat keseringan tertentu yang membentuk suatu kebiasaan
Pengetahuan
Merupakan komplek gagasan, - Sikap Masyarakat terhadap konsep, pikiran, nilai-nilai yang berbagai persoalan ada dalam kepala seseorang
Perubahan Sosial
Perubahan fenomena sosial di - Perikelakuan, berbagai bidang tingkat - Susunan lembaga -lembaga kehidupan manusia, mulai dari kemasyarakatan, tingkat individual, masyarakat - Lapisan-lapisan dalam masyarakat, - Kekuasaan dan wewenang, - Interaksi sosial
VI. Metodelogi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sebagaimanan yang dikatakan oleh Faisal (2001), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur (jika sepenuhnya diukur) secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi (Creswell, 2009: 20).
Metode penelitian menggunakan pendekatan etnografi komunikasi pada pola komunikasi masyarakat adat Sade, dimana penelaahannya kepada kasus tersebut dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif. Menurut Kuswarno (2008; 38) Ciri khas dari penelitian etnografi adalah bersifat holistik, integrative, thick description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan 18
native’s point of view. Sehingga teknik pengumpulan data yang utama dilakukan oleh peneliti adalah observasi partisipasi serta wawancara terbuka dan mendalam, pada Komunitas Suku Sasak Dusun Sade. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, untuk melihat dampak pengembangan pariwisata terhadap pola komunikasi masyarakat Suku Sasak Dusun Sade sejak pemberlakuan Perda No. 9 Tahun 1989 tentang Pengembangan Pariwisata oleh pemerintah pemprov. NTB sampai tahun 2013, dimana Dusun Sade sebagai Desa Wisata dengan tingkat kunjungan wisatanya cukup tinggi, serta ketersediaan aksesibilitas yang memadai sehingga rentan terjadi perubahan sosial budaya dibanding dengan desa tradisional lain di Nusa Tenggara Barat. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian etnografi ada beberapa tahap yang akan dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data antara lain: Tahap pertama: Pada awal penelitian, saat peneliti turun kelapangan. Peneliti akan memulai penelitian dengan melihat interaksi antarindividu dari masyarakat Sade menyangkut prilaku komunikasi dalam kelompoknya maupun dengan wisatawan dengan seting alamiahnya. Sehingga peneliti nantinya menjadi paham bagaimana penduduk Sade mengkategorikan pengalamannya, dan menggunakan kategori-kategori itu dalam pemikiran biasa. Agar peneliti dengan mudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh penduduk Sade dan sekaligus menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di balik kehidupan sehari-hari. Tahap kedua: peneliti selanjutnya menentukan informan penelitian. Dimana dalam penentuan responden sebagai informan penelitian di berlakukan beberapa syarat antara lain calon responden merupakan masyarakat biasa atao tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda, dari Dusun Sade yang paham tentang budaya masyarakat Sade, memahami perkembangan masyarakat
19
tempat tinggalnya, terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di Dusun Sade, tidak kesulitan dalam berkomunikasi saat melakukan wawancara. Tabel 2. Daftar Narasumber Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11.
Nama
Jenis Umur Pendidikan kelamin Kurdap Selake, S.Pd Laki-laki 48 th S1 Sejarah Papuk Mulianum Laki-laki 71 th Sanah Laki-laki 38 th SMA Ky. Sani Laki-laki 46 th SMP Ky. Mawardi Laki-laki 58 Th Am. Nurcim Laki-laki 55 th Am. Murdi Laki-laki 51 th Am. Komin Laki-laki 52 th Am. Ruwite Laki-laki 53 th Am. Renah Laki-laki 59 th In. Rani Perempuan 37 th SMP Sumber: Wawancara dan Pengamatan, 2014
Pekerjaan
Alamat
Guru Petani Guide Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
Sade Sade Sade Sade Sade Sade Sade Sade Sade Sade Sade
Tahap ketiga: Observasi partisipan, peneliti ikut berinteraksi dengan masyarakat Sade dalam setiap kegiatan kemasyarakatan ataupun berinteraksi dengan wisatawan yang datang ke Dusun Sade. Tujuan dari kegiatan ini untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat Dusun Sade berkomunikasi dengan kelompoknya maupun dengan orang diluar kelompoknya. Tahap keempat: Wawancara mendalam. Peneliti melakukan kunjungan kerumah informan, sekaligus melakukan wawancara dengan kerabat, guna mendapatkan informasi menyangkut perubahan pola komunikasi masyarakat Sade. Tahap kelima: Telaah Dokumen. Peneliti melakukan pengumpulanpengumpulan dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian, sebagai data pendukung dalam menyusun hasil penelitian. Tahap keenam: mengumpulkan sumber data yang lain seperti rekaman video, foto, dan sebagainya. Tahap ketujuh: mengolah dan menganalisis data, introspeksi dan menguji keabsahan data dan menyusun laporan penelitian.
20
4. Analisa Data Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif, secara umum berupa reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Semua langkah tersebut dilakukan secara bersamaan semenjak di tempat penelitian hingga proses akhir penyusunan laporan, dalam penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data secara manual diikuti pengecekan, dilakukan karena kemungkinan ada data yang tidak jelas pada jawaban. 2. Menempatkan jawaban informan pada setiap kategori sesuai dengan jawaban mereka. Misalnya: kategori pendidikan, masing-masing jawaban informan dimasukkan ke dalam kategori. 3. Penyusunan hasil temuan lapang secara deskriptif serta analisis dari berbagai temuan yang ada, seperti: uraian tentang proses upacara yang di ikuti oleh peneliti, proses komunikasi yang berlangsung dan pola komunikasi yang terbentuk serta menganalisis mengapa terjadi secara demikian. 4. Penyusunan dan analisis data melalui berbagai arsip, baik arsip formal maupun non formal tentang perubahan pola komunikasi masyarakat adat Sade.
Kemudian
dianalisis
dengan
mengadakan
penilaian
serta
perbandingan dengan data yang diperoleh secara langsung di lapang. 5. Sistematika Tesis Peneliti membagi tesis ini ke dalam lima bab untuk memaparkan Perubahan Pengetahuan dan pola komunikasi masyarakat Komunitas Suku Sasak Dusun Sade. Pada bab I, peneliti mendeskripsikan pendahuluan dan Desain penetian yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Pada bab II, peneliti akan mendeskripsikan objek penelitian dengan lebih detail yaitu kondisi masyarakat, budaya, dan geografis Komunitas masyarakat adat Sasak Desa Sade. Kemudian pada bab III, peneliti akan menceritakan temuan di lapangan dan hasil analisis data. Pada bab IV, peneliti akan membuat kesimpulan akhir penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 21