1 BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan ini, manusia tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Mereka saling membutuhkan satu dengan yang lain. Seorang laki-laki membutuhkan seorang perempuan dan sebaliknya seorang perempuan membutuhkan seorang laki-laki. Menurut Ratna Megawangi dalam bukunya yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, Carol Gilligan, seorang psikolog dari Harvard University mengatakan bahwa manusia secara alami mempunyai perbedaan sebagai laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini seharusnya dilihat sebagai keragaman yang memang harus ada di alam ini sehingga dapat saling melengkapi. 1 Laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi di dalam pekerjaan, kebutuhan akan kasih sayang dan melanjutkan kehidupan. Di dalam kehidupan masyarakat, kita dapat melihat adanya perkawinan yang menjadi salah satu contoh dari keberadaan laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi ini. Namun sayang, kebanyakan masyarakat kemudian menganggap bahwa perkawinan merupakan jalan hidup yang harus dilalui oleh seseorang agar hidupnya menjadi lengkap atau normal. Hal ini yang sering kali membuat orang menganggap bahwa pilihan seseorang untuk tidak hidup dalam perkawinan atau yang biasa disebut dengan hidup membujang merupakan jalan hidup yang tidak lumrah. Seseorang yang hidup membujang sering menimbulkan berbagai pertanyaan masyarakat di sekitarnya, mulai dari pertanyaan yang biasa-biasa saja seperti “mengapa” dan “ada apa” ia membujang, sampai pertanyaan yang mengandung kecurigaan. Sedangkan alasan seseorang yang memilih hidup membujang juga bermacammacam, di antaranya tidak ingin mengurusi rumah tangga, terpaksa karena cintanya telah dikhianati saat berpacaran sehingga menutup diri tidak mau berkawan lagi, serta adanya motivasi yang sungguh-sungguh dari dalam diri seseorang untuk melayani Tuhan dan sesama secara penuh. Berbagai alasan ini juga mempengaruhi penilaian dan sikap masyarakat terhadap orang yang memilih hidup membujang tersebut. Di dalam materi sarasehan 2 Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB) tahun 2004 dapat kita lihat bahwa penilaian masyarakat terhadap hidup membujang memang mengalami perkembangan. Di dalam masyarakat yang tradisional, terdapat penilaian yang ambivalen (serba mendua). Pada satu pihak, membujang dinilai sebagai sesuatu yang tabu atau terlarang untuk dibicarakan, tetapi di pihak lain cara hidup membujang yang dipilih oleh orang-orang tertentu dihargai atau dinilai
1
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, p. 101
2 mulia. Meskipun kenyataannya, kebanyakan dari mereka menganggap bahwa membujang merupakan hal yang tabu. Hal ini disebabkan karena bagi mereka kehidupan bersama manusia ditandai dengan adanya ikatan-ikatan yang sangat kuat baik ikatan darah maupun ikatan terhadap alam. Manusia dikenai berbagai macam hukum yang harus ditaati bahkan dianggap kodrat, salah satunya yaitu melanjutkan keturunan. Akan tetapi ada juga orang yang memang memilih untuk hidup menyendiri seperti bertapa di gua-gua dan hidup tidak menikah, meskipun ada yang pernah menikah. Orang-orang yang membujang dengan alasan seperti ini lebih dipandang terhormat oleh masyarakat. Sedangkan masyarakat yang lebih maju bisa memaklumi cara hidup membujang, tetapi tetap menganggap bahwa hal itu tidak lumrah. Hal ini terjadi karena masyarakat yang lebih maju tidak lagi melihat manusia berdasarkan ikatan darah dan alam, melainkan berdasarkan status sosialnya, sehingga perkawinan juga menjadi masalah status sosial. Di dalam masyarakat yang demikian terdapat pembedaan “bapak”, “ibu” dan “anak”. Jadi tidak ada tempat bagi orang yang hidup membujang. Biasanya mereka dimasukkan begitu saja ke salah satu kelompok. Mulai usia 30 tahun, seorang laki-laki disebut “bapak” dan seorang perempuan disebut “ibu”. Lain lagi dengan masyarakat modern yang sudah menganggap bahwa hidup membujang merupakan hal yang wajar dan dapat dimengerti. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat modern, manusia tidak lagi dilihat berdasarkan ikatan darah dan alam maupun status sosial, tetapi berdasarkan kemampuannya. Pilihan seseorang untuk hidup membujang merupakan urusan pribadi, selama tidak mengganggu orang lain. 2
Meskipun sudah terlihat adanya pergeseran pemahaman terhadap orang-orang yang memilih untuk hidup membujang, tetapi masih banyak pandangan dan sikap yang tidak menyenangkan dari masyarakat terhadap mereka. Apalagi bila pilihan untuk hidup membujang diambil oleh seorang perempuan. Kebanyakan orang tetap ingin tahu alasan seseorang yang memilih untuk hidup membujang. Bahkan banyak yang masih menganggap bahwa seseorang yang hidup membujang, apalagi perempuan adalah orang yang tidak laku. Mereka biasa menyebut dengan istilah perawan tua. Pandangan masyarakat ini dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satu di antaranya yaitu budaya. Budaya patriakhal yang menempatkan posisi perempuan sebagai masyarakat kelas dua yang berada di bawah laki-laki akan dapat membuat perempuan yang hidup membujang semakin dipandang tidak baik. Keadaan yang demikian seringkali membuat seseorang yang hidup membujang merasa dihakimi, malu, dan tersisih. Tidak jarang mereka 2
“Hidup Membujang” dalam Materi Sarasehan 2 Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga 2004 yang dikeluarkan oleh lembaga pembinaan dan pengaderan sinode GKJ dan GKI Jawa Tengah, p. 119-122
3 lebih dahulu menutup diri dari masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, sering kali mereka kurang dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bersama. Hal ini bisa juga berakibat dalam partisipasi mereka di dalam kehidupan bergereja. Sebagai warga gereja yang sudah dewasa, mereka seharusnya dapat berperan aktif dalam kegiatan bergereja. Tetapi hidup membujang dapat menjadi kendala bagi dirinya untuk berpartisipasi secara aktif.
II. Deskripsi Permasalahan Dalam permasalahan yang diungkapkan di atas terlihat bahwa cara hidup membujang merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian kita bersama, mengingat adanya beberapa warga gereja yang memilih cara hidup ini. Seseorang yang hidup membujang mempunyai kemungkinan untuk tidak dapat terlibat aktif dalam kehidupan bergereja. Beberapa hal yang bisa menjadi penyebab diantaranya : budaya yang ada di gereja tersebut, pandangan para pemimpin gereja, dan warga jemaat disekitarnya, bahkan dirinya sendiri. Salah satu gereja yang kental dipengaruhi oleh budaya adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ). Budaya Jawa yang juga patriakhal dapat dirasakan di dalam kehidupan GKJ itu. Pandangan yang tidak baik karena pengaruh budaya terhadap hidup membujang dapat menjadi permasalahan dalam kehidupan bergereja. Bahkan telah terjadi dalam kehidupan GKJ Temon. Mereka yang hidup membujang pernah tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota majelis. Meskipun dalam perkembangannya, pandangan ini mulai bergeser dan mulai adanya orang yang hidup membujang sebagai anggota majelis. Dengan demikian tidak mengherankan apabila tema “Hidup Membujang” dimasukkan sebagai bahan sarasehan 2 dalam MPHB, yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode GKJ dan GKI Jawa Tengah tahun 2004. 3 Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk menggali lebih jauh bagaimana kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan bergereja.
III. Judul Dari permasalahan yang telah diungkapkan di atas, penyusun akan membahas permasalahan itu dengan judul : KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN JAWA YANG HIDUP MEMBUJANG DALAM KEHIDUPAN GEREJA KRISTEN JAWA (Sebuah studi kasus di GKJ Temon tentang kedudukan dan peran Perempuan Jawa yang hidup membujang)
3
Scn 2, p. 117 - 126
4 3. 1. Alasan pemilihan Judul a. Baru, dalam hal ini belum pernah ada pembahasan yang khusus tentang topik ini. b. Aktual, karena dalam kehidupan masyarakat banyak dijumpai Perempuan Jawa yang hidup membujang. c. Menarik, karena anggapan tabu terhadap kehidupan Perempuan Jawa yang membujang terdapat juga dalam kehidupan GKJ. d. Bermanfaat, karena dapat menolong masyarakat dan gereja untuk dapat lebih menghargai perempuan yang memutuskan untuk hidup membujang.
3. 2. Penjelasan Judul a. Perempuan Jawa yang dimaksudkan adalah perempuan yang asli berasal dari suku Jawa dan bertempat tinggal di Jawa. b. Hidup membujang artinya menjalani hidup sendiri atau tidak hidup dalam perkawinan, di mana pilihan ini disadari sepenuhnya oleh orang yang menjalaninya 4 c. GKJ Temon adalah salah satu Gereja Kristen Jawa yang berada di Dusun Kaliwangan Lor, Desa Temon Kulon, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo dan termasuk dalam keanggotaan Klasis Kulon Progo.
IV. Batasan Permasalahan Dalam tulisan ini, penyusun membatasi diri pada hal-hal yang dapat menjadi kendala bagi perempuan Jawa yang hidup membujang untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bergereja. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan orang-orang Jawa masih terlihat bahwa perempuan mendapat tempat yang lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, kedudukan dan peran dari perempuan Jawa yang hidup membujang juga lebih dikhususkan dalam kehidupan GKJ yang kental dipengaruhi budaya Jawa, yaitu GKJ Temon. Pemilihan GKJ Temon didasarkan pada pengamatan penyusun yang melihat adanya beberapa warga jemaat perempuan yang hidup membujang dan belum maksimalnya keterlibatan mereka di dalam kehidupan gereja.
4
Scn 2, p. 119
5 V. Tujuan Penulisan Dalam tulisan ini, penyusun mempunyai tujuan untuk : 1. Mempelajari bagaimana kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan gereja. 2. Mengajak masyarakat dan gereja untuk menghargai perempuan Jawa yang memutuskan untuk hidup membujang seperti penghargaan yang diberikan kepada mereka yang hidup dalam perkawinan. 3. Mencari pandangan, sikap dan tindakan yang semestinya dilakukan gereja terhadap perempuan yang hidup membujang.
VI. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis. Penyusun mengumpulkan data, kemudian data itu disusun menjadi kasus. Dalam pengumpulan data ini penyusun mengadakan observasi di GKJ Temon dan wawancara dengan beberapa majelis, pengurus komisi dan pengurus wilayah, serta perempuan yang hidup membujang tentang kedudukan dan peran perempuan Jawa yang hidup membujang dalam kehidupan bergereja. Di samping itu, penyusunan ini juga dibantu dengan literatur yang menunjang dan terkait.
VII. Sistematika Penulisan Untuk membantu penyusunan yang lebih teratur dan baik, penyusun memakai sistematika sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab I ini akan diuraikan beberapa hal untuk memperjelas pembahasan yang dilakukan. Beberapa hal yang dirumuskan adalah latar belakang masalah, deskripsi masalah, judul (alasan pemilihan judul dan penjelasan judul), batasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II. PEREMPUAN YANG HIDUP MEMBUJANG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DAN ALKITAB Bab ini akan menguraikan bagaimana pandangan budaya Jawa dan Alkitab terhadap perempuan hidup membujang.
6 BAB III. KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN DI GKJ TEMON Bagian ini akan menguraikan bagaimana GKJ Temon memandang dan memberikan peran terhadap perempuan di dalam kehidupan bergereja.
BAB IV. KEDUDUKAN DAN PERAN PEREMPUAN YANG HIDUP MEMBUJANG DI GKJ TEMON Bagian ini akan menguraikan bagaimana GKJ Temon memandang dan memberikan peran terhadap perempuan yang hidup membujang dalam kehidupan gereja.
BAB V. ANALISIS Bab ini berisi analisis mengenai sikap yang seharusnya dilakukan gereja terhadap perempuan yang hidup membujang
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Bagian ini berisi kesimpulan dan saran
KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN