BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini turut ambil andil dalam mengubah pola pikir dan sikap remaja. Kehadiran internet mengubah apa yang dipikirkan remaja dan bagaimana perilaku mereka. Internet seperti dua sisi mata uang yang berbeda tetapi melekat satu dengan lainnya. Di satu sisi, internet membawa pengaruh positif bagi remaja karena mereka bisa membangun identitas sosial yang berkaitan dengan kegelisahan “Siapa Aku” dan “Di kelompok mana aku sesuai” (Kirsh, 2010: 21). Tidak sekedar membangun identitas sosial, melalui media sosial online yang difasilitasi internet, remaja dapat menjalin pertemanan online. Lebih jauh, dari pertemanan online yang remaja jalin, mereka dapat saling berbagi informasi terkait berbagai hal yang sulit diperoleh dari lingkungan keluarga ataupun sekolah. Di sisi lain, internet membawa pengaruh negatif pada proses perkembangan sosial remaja terhadap
lingkungan fisik karena remaja lebih
banyak menghabiskan waktu dengan gadget dan internet. Tidak hanya itu, internet juga membawa pengaruh negatif pada proses interaksi sosial, seperti halnya sekarang ini kita dihadapkan pada maraknya kasus penyalahgunaan media sosial. “Akibat menghina seorang guru dengan kata-kata kotor di jejaring sosial Facebook, sebanyak empat orang siswa SMA 4 Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dikeluarkan dari Sekolah” (Sinaga, 2013). Kutipan berita online di atas merupakan salah satu dari sekian banyak contoh kasus penyalahgunaan internet yang menunjukkan masih minimnya penerapan etiket berinternet di kalangan pelajar. Pelajar yang masuk kategori digital native 1 disajikan beragam pilihan teknologi komunikasi yang mutakhir, tetapi mereka minim memperoleh pengetahuan terkait etiket berkomunikasi yang 1
Digital native merupakan istilah yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Marc Prensky dalam artikelnya yang berjudul “Digital Natives, Digital Immigrants”.Ia menyebut murid-murid zaman sekarang yang aktif dengan teknologi digital, seperti komputer, permainan video, dan internet sebagai digital native.
1
baik di internet. Etiket berinternet atau lebih umum disebut dengan istilah netiket (netiquette: netter etiquette) merupakan aturan yang perlu diperhatikan oleh setiap pengguna internet selama berkomunikasi di internet baik untuk kepentingan penggunaan mailing list, forum diskusi online, maupun jejaring sosial (Pratama, 2014: 383). Ketiga layanan internet tersebut memerlukan netiket karena di dalamnya setiap pengguna melakukan interaksi. Sebagaimana hakikat etiket, netiket ada untuk mengatur perilaku pengguna internet secara normatif. Netiket berlaku ketika seorang netter berinteraksi dengan netter lain. Atau dengan kata lain, netiket tidak mutlak dilakukan jika seorang pengguna internet hanya melakukan kegiatan individual seperti surfing, browsing, dan searching. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengajarkan netiket kepada pelajar ialah melalui literasi digital. Literasi digital merupakan bagian dari literasi media, sebagaimana EuropeanCommission (2009) mendefinisikan literasi media “Literasi media bisa diartikan sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisa dan mengevaluasi gambar, suara, dan pesan yang mana saat ini dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian penting dalam budaya kontemporer, serta untuk berkomunikasi secara kompeten di media yang tersedia di dalam sebuah basis personal. Literasi media berkaitan dengan semua jenis media, termasuk televisi dan film, radio dan rekaman musik, media cetak, internet dan teknologi komunikasi digital baru.” EuropeanCommissioan (2009) juga menjelaskan bahwa untuk menguasai literasi digital, diperlukan individual competence yang terdiri dari kompetensi teknis, pemahaman kritis, dan juga kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi. Pengguna internet tidak hanya dituntut untuk mahir dalam kompetensi teknis menggunakan internet saja. Akan tetapi, mereka juga dituntut agar mampu berpikir kritis terhadap beragam konten yang ditampilkan oleh internet, sehingga mampu menggunakan internet secara efektif guna kepentingan sendiri. Selain itu, pengguna internet juga dituntut agar mampu membangun relasi sosial dan berpartisapisi dalam masyarakat melalui internet. Untuk membangun relasi sosial, seseorang perlu memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik lewat internet. Sebagaimana berkomunikasi dengan tatap muka atau berkomunikasi lewat media
2
massa, berkomunikasi lewat internet membutuhkan etiket agar relasi yang terjalin dapat berjalan baik tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Di Indonesia sendiri, literasi digital masih difokuskan kepada kompetensi teknis menggunakan internet. Banyak sekolah yang mengajarkan pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) hanya berfokus pada ketrampilan teknis dalam mengoprasikan perangkat komputer dan internet, misalnya: Bagaimana menggunakan komputer, mengakses internet, membuat tulisan di online blog, menggunakan mesin pencari, dan seterusnya. Akan tetapi, masih belum banyak sekolah yang juga berfokus mengajarkan pemahaman kritis dan kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi kepada pelajar. Melalui beberapa pertimbangan, peneliti memilih pelajar SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diteliti. Pertama, hasil penelitian oleh Siska Dwi (dikutip oleh Ariyanti 2013) menyebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang menduduki peringkat kedua se-Indonesia untuk kemajuan Komunikasi dan Teknologi Informasi (KTI) setelah DKI Jakarta dalam hal kemampuan akses dan infrastruktur penunjang internet. Artinya, pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah terfasilitasi akses internet lebih baik dibanding beberapa daerah lain di Indonesia. Kedua, Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi atas lima daerah dan kabupaten yang memiliki karakteristik berbeda, begitu pula dengan karakter pelajarnya. Terdapat penilaian yang mengatakan bahwa pelajar kota Yogyakarta memiliki kemampuan menggunakan internet lebih baik dibanding pelajar di wilayah lain. Namun demikian, peneliti tidak bisa menutup kemungkinan bahwa adanya pelajar lintas daerah, maksudnya pelajar yang berasal dari kota Yogyakarta bersekolah di sekolah kabupaten, atau sebaliknya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui persebaran literasi digital di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melihat tingkat literasi digital pengguna internet dari kalangan pelajar SMA (remaja usia 16-18 tahun). Dalam penelitian kali ini, peneliti bermaksud melihat tingkat literasi digital menggunakan individual competences milik EuropeanCommision tahun 2009. Untuk mengukur tingkat literasi digital berbasis individual competence
3
digunakan tiga komponen, yakni kemampuan teknis, pemahaman kritis, dan kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi. Di dalam dua komponen terakhir, peneliti menyertakan konsep netiket. Netiket merupakan bagian tak terpisahkan dari internet sebagai regulasi yang mengatur cara berkomunikasi yang baik dilakukan lewat internet. Sebagaimana Pratama mengatakan bahwa netiket lebih menekankan kepada upaya mengatur perilaku pelajar selama berinteraksi lewat internet dengan pengguna lain atau dengan kata lain ketika mereka berkomunikasi (2014: 282, 471). Secara sederhana, ruang lingkup penelitian ini melihat orang yang terliterasi digital sebagai orang yang tidak hanya mahir atau menguasai teknis mengoperasikan perangkat teknologi untuk mengakses internet, tetapi orang yang terliterasi digital juga mampu memahami adanya netiket yang berlaku serta berkemampuan untuk menerapkan netiket selama berkomunikasi dengan orang lain melalui internet. Penelitian ini nantinya akan memfokuskan objek penelitiaannya kepada seluruh pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti memilih Sekolah yang berstatuskan Negeri karena sekolah ini berada di bawah kepemilikan dan tanggung jawab pemerintah secara langsung. Peneliti ingin memperlihatkan tingkat literasi digital pelajar di Sekolah Negeri agar pemerintah dapat melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil yang diperoleh.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana tingkat literasi digital pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA-N) di Daerah Istimewa Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Melalui penelitian survei ini, peneliti bertujuan untuk mengetahui tingkat literasi digital dari pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Daerah Istimewa Yogyakarta
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian survei ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mengetahui kondisi empiris tingkat literasi digital penggunanya yang berstatuskan pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA-N), sehingga pihak-pihak terkait, seperti pemerintah, dinas pendidikan, sekolah atau lembaga pendidikan lain mampu mengambil tindakan tepat atas hasil yang nantinya didapati dari penelitian ini dan mempertimbangkan urgensi pemberian literasi digital yang tidak hanya berfokus pada kompetensi kemampuan teknis bagi pelajar. E. Kerangka Pemikiran Internet tidak hanya dijadikan sebagai media mencari informasi melainkan juga media menjalin relasi sosial. Munculnya beragam layanan internet yang memfasilitasi hubungan sosial tak pelak meningkatkan jumlah penggunaan internet. Namun demikian, perlu diketahui bahwa dalam menjalin relasi sosial menggunakan internet, terdapat aturan yang perlu diperhatikan, yakni etiket berinternet atau netiket. Tidak sedikit pengguna internet, terutama dari kalangan digital natives (dalam penelitian ini merujuk pada pelajar Sekolah Menengah Atas) yang belum memperhatikan netiket selama menggunakan internet. Oleh karena itu, dibutuhkan literasi digital untuk mengajarkan pentingnya netiket dalam menjalin relasi sosial di internet. Banyak definisi yang menjelaskan apa itu literasi digital, salah satunya EuropeanCommission (2009), yang sekaligus menyusun individual comptences yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat literasi media, termasuk media digital. Selanjutnya dalam penelitian ini, akan dibahas beberapa teori, diawali dengan teori literasi media massa. Dalam pembahasan teori literasi media massa, peneliti banyak menggunakan pemikiran James Potter dan NAMLE untuk menguraikan karakteristik literasi media. Sementara dalam teori literasi digital, peneliti lebih banyak menggunakan hasil penelitian European Commission sebagai acuan konsep. Meskipun demikan, peneliti juga menggunakan konsep literasi digital dari University of Illinois Urbana Campaign, serta beberapa pemikiran para ahli seperti MacQuarrie, Dobson T dan Willinsky J, dan Jenkins.
5
Penelitian ini membahas konsep etiket berinternet yang diawali dengan penjabaran perbedaan antara etika dan etiket agar diperoleh kejelasan perbedaan konsep keduanya. Definisi etika yang digunakan dalam penelitian ini meminjam pemikiran yang disampaikan oleh K. Bertens. Sementara definisi etiket yang digunakan meminjam pemikiran LaQuey dan Yuhefizar. Untuk seterusnya, penelitian ini hanya berfokus pada netiket atau etiket berinternet. Standar netiket dalam penelitian ini banyak meminjam pemikiran Pratama yang menyebutkan beberapa netiket yang berlaku dalam Milis, Forum, dan Jejaring sosial. Selain itu standar netiket yang digunakan penelitian ini juga meminjam dari IETF (The Internet Engineering Task Force). Untuk melihat karakter pelajar, peneliti lebih banyak menggunakan pendekatan psikologis remaja yang disampaikan oleh Steinberg dan beberapa ahli psikologi lainnya, sedangkan untuk melihat hubungan remaja dengan internet, peneliti meminjam asumsi dari teori kegunaan dan gratifikasi. 1. Karakteristik Literasi Media dari Massa ke Digital a. Literasi Media Massa Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi media massa khususnya di Indonesia, rentan dengan campur tangan pemilik media. Akibatnya, banyak pesan yang ditampilkan melalui media massa, baik cetak maupun penyiaran menjadi bias kepentingan pemilik atau kelompok tertentu. Hal tersebut dibenarkan oleh McQuail yang menyebutkan bahwa media merupakan titk pusat dari tiga macam pengaruh yang saling tumpang tindih, yakni ekonomi, politik, dan teknologi (2011: 245). Media massa sekarang ini tidak lagi dilihat sebagai sebuah media yang ditujukan untuk kepentingan publik semata, tetapi juga dilihat sebagai sebuah industri yang menguntungkan. Oleh karena itu, masyarakat perlu hati-hati dalam menerima pesan yang disampaikan oleh media. Masyarakat harus jeli untuk menganalisis dan menilai pesan yang disampaikan media. Untuk itu, banyak lembaga di Indonesia yang mulai mengembangkan pendidikan literasi media. Tujuannya, untuk mendidik masyarakat Indonesia agar kritis terhadap media dan tidak mudah dikontrol oleh media.
6
James Potter (2013: 22-23) mendefinisikan literasi media massa sebagai “seperangkat perspektif yang kita gunakan secara aktif saat mengakses media massa untuk menginterpretasikan pesan yang kita hadapi”. Ia meyakini bahwa media massa mampu memberikan dua efek sekaligus terhadap khalayak, yakni efek positif dan negatif. Tingginya terpaan pesan media massa yang bias kepentingan dianggap berpotensi memberikan dampak negatif bagi mereka. Oleh karenanya, kegiatan literasi media dinilai mampu membentengi khalayak dari dampak negatif media. Selain itu, kegiatan literasi media juga dilakukan untuk memberi pengetahuan dan ketrampilan pada khalayak agar mengoptimalkan isi media demi kepentingan mereka. Secara sederhana, semakin seseorang terliterasi media, semakin mampu orang tersebut membangun hidup yang dia inginkan alihalih membiarkan media membangun hidupnya sebagaimana yang media inginkan (Poerwaningtias, dkk 2013: 16). James Potter (2013: 15-16) menambahkan bahwa literasi media dibangun dari tiga hal, yakni personal locus, struktur pengetahuan, dan skills. Ketiga hal yang disebutkan Potter merujuk pada kemampuan khalayak dalam baca-tulis untuk mengkritisi media cetak dan kemampuan khalayak menangkap pesan audiovisual yang disampaikan oleh media penyiaran. Personal locus merupakan tujuan dan kendali khalayak akan informasi. Ketika khalayak menayadari akan informasi yang dibutuhkan, maka kesadaran itulah yang akan menuntun mereka kepada proses pemilihan informasi lebih cepat. Hal kedua, yakni struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam pikiran khalayak. Sementara skills merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi media, atau dengan kata lain alat untuk meraih kesadaran kritis bermedia khalayak. Terdapat tujuh skills literasi media menurut James Potter (2013: 18-22), yakni: 1. analisis, kemampuan yang diperlukan khalayak untuk mengurai pesan yang diterima ke dalam elemen yang berarti 2. evaluasi, kemampuan yang diperlukan khalayak untuk membuat penilaian atas hasil analisis
7
3. pengelompokan
(grouping),
kemampuan
khalayak
untuk
mengkategorisasikan persamaan atau perbedaan elemen yang telah dievaluasi 4. induksi, kemampuan khalayak untuk mengambil kesimpulan dari pengelompokan sebelumnya, kemudian melakukan generalisasi ke dalam pesan yang lebih besar 5. deduksi, kemampuan khalayak untuk menggunakan prinsip-prinsip umum untuk memberi penjelasan terhadap hal yang lebih spesifik 6. sintesis, kemampuan khalayak untuk mengumpulkan elemen yang dikelompokkan sebelumnya agar menjadi suatu struktur yang baru 7. abstracting, kemampuan khalayak untuk menciptakan deskripsi singkat, jelas, dan akurat untuk menggambarkan esensi pesan secara lebih singkat. Selain dibangun dengan tiga hal di atas, James Potter (2013: 24) menyebutkan karakteristik literasi media sebagai “media literacy is a continuum, not a category”. Literasi media harus dilakukan secara berjenjang dan terusmenerus, sehingga diperoleh pemahaman seutuhnya. Pendapat serupa juga diungkapkan Tamburaka (2013: 36), “literasi media disepakati sebagai sebuah kegiatan berjenjang”. Terdapat tiga jenjang literasi media, yakni: 1. Jenjang Awal, berupa kemampuan memahami jenis, kategori, fungsi, pengaruh, dan penggunaan media 2. Jenjang Menengah, berupa pemahaman baik-buruk, proses produksi, perbedaan fakta-fiksi, dan pengaruh iklan 3. Jenjang Tinggi, berupa pemahaman menyangkut industri, etika, regulasi, kritik, bahkan memproduksi media alternatif Karakter kedua yang disebutkan oleh James Potter ialah literasi media perlu dikembangkan (2013: 25). Terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan, yakni (1) kemampuan intelektual penggunaan media beserta pemahaman konten di dalamnya, (2) kemampuan emosi untuk merasakan apa yang dirasakan oleh diri sendiri dan orang lain terkait pesan media, (3) dan mengembangkan kematangan moral. Karakter ketiga dari literasi media ialah multidimensional (Potter, 2013:
8
23-24), terdiri atas: (1) dimensi kognitif: merujuk pada proses mental dan pemikiran, (misal: informasi faktual, tanggal, nama, pengertian), (2) dimensi emosi: merujuk pada perasaan yang dialami diri sendiri dan orang lain terkait konten media (misal: marah, senang, sedih, khawatir, dan sebagainya), (3) dimensi estetika: kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai konten media secara artistik (misal: fotografi, pencahayaan, komposisi gambar), (4) dan dimensi moral, kemampuan untuk menangkap makna yang mendasari pesan, khalayak melihat konten media sebagai sebuah makna yang mengandung norma dan nilai moral baik atau buruk yang dibuat oleh pembuat pesan (misal: karakter antagonis, protagonis, gambar bermoral dan gambar porno, dan seterusnya dinilai menggunakan dimensi moral). Sementara itu, Tamburaka (2013: 37) menyebutkan beberapa dimensi lain dari literasi media, yaitu: 1. Dimensi Motivasi, mengacu pada tindakan bermedia. Dalam dimensi ini dapat diketahui tujuan khalayak mengakses media, kesadaran atas manfaat media, strategi pencarian informasi, dan kemampuan dalam memahami fungsi-fungsi media. 2. Dimensi Pengetahuan, mengacu pada pemahaman bermedia. Dimensi pengetahuan dapat berupa pemahaman terhadap proses komunikasi massa, pemahaman terhadap karakteristik media (produksi, gramatika, dan rutinitas), pemahaman terhadap dampak media massa, pemahaman terhadap kontribusi media pada budaya kontemporer, dan pemahaman terhadap konstruksi realita yang dilakukan oleh media. 3. Dimensi Ketrampilan, mengacu pada dua hal, yakni penguasaan skill dan pengembangan di level advanced. Skill merupakan kemampuan untuk
menganalisis,
mengevaluasi,
mengomunikasikan,
mengategorikan, dan memadukan media. Sementara level advanced merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berdampak pada khalayak media, seperti melaporkan konten media bermasalah ke lembaga terkait.
9
Definisi lain mengenai literasi media juga dikemukakan oleh National Association for Media Literacy (NAMLE), yakni kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk (dikutip oleh Poerwaningtias, dkk 2013: 18). Literasi media yang dikemukakan oleh NAMLE lebih berkembang dibanding yang dikemukakan oleh Potter. Jika Potter lebih menekankan pada kemampuan aktif menginterpretasi pesan menggunakan seperangkat perspektif dan juga beberapa skills, maka NAMLE melihat literasi media sebagai kemampuan untuk menjadi pemikir kritis sekaligus produsen yang kreatif untuk memperluas pesan. Meskipun demikian, kedua definisi ini merujuk pada hal yang sama, yakni literasi media merupakan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap pesan yang disampaikan media massa, sehingga khalayak lebih berdaya terhadap pesan-pesan yang ditampilkannya (Poerwaningtias, dkk 2013: 18). Dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi media massa merupakan kemampuan yang harus dimiliki khalayak agar lebih kritis menganalisis, menginterpretasi, dan menilai pesan-pesan dari media massa, agar kemudian dapat diteruskan ke dalam bentuk pesan yang baru. Untuk mempelajari literasi media, diperlukan beberapa tahapan sebelum seseorang bisa memiliki kemampuan kritis sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan literasi media. Jadi, literasi media bukan suatu kemampuan yang secara instant dimiliki seseorang agar berdaya di depan media massa, tetapi kemampuan yang senantiasa dikembangkan. b. Literasi Media Digital Semakin luasnya jaringan komunikasi dan informasi mendorong pengguna media untuk semakin aktif, kritis, dan juga interaktif untuk memilih media komunikasi. Belum lagi kehadiran media baru yang tidak bisa dilepaskan dari kelahiran internet (Abrar, 2003: 37), memfasilitasi individu untuk menjelajahi dunia yang lebih luas di mana informasi dan koneksi tersedia tanpa batas. Pratama menguraikan definisi internet atau interconnection networking sebagai jaringan komputer terbesar di dunia, yang menghubungkan semua jaringan komputer menggunakan kabel (wired) ataupun nirkabel (wireless) (2014: 65).
Internet
memungkinkan komunikasi jarak jauh antarindividu melintasi batas negara dan
10
budaya. Sebab itulah literasi media semakin dibutuhkan guna membentuk masyarakat yang aktif, kritis, dan interaktif selama menggunakan internet sebagai media berkomunikasi. Istilah untuk menyebut literasi media pada media baru di antaranya adalah literasi digital. Istilah ini dipopulerkan oleh Paul Gilster (dalam Martin, 2009: 7). Istilah literasi digital digunakan untuk menunjukkan aspek mendasar dari media baru, yakni digitalisasi.
2
Adapun tiga pengertian literasi digital berdasar
University of Illinois Urbana Campaign dalam Pratama (2014: 120): 1. Literasi digital merupakan kemampuan yang (diharapkan) dimiliki oleh pribadi agar dapat menggunakan beragam teknologi digital (komputer), peralatan komunikasi dan jaringan komputer (hardware dan software) untuk mempermudah mereka dalam membuat, menempatkan, dan mengevaluasi informasi 2. Literasi digital merupakan kemampuan yang (diharapkan) dimiliki oleh pribadi untuk memahami dan menggunakan informasi (yang berasal dari beragam sumber) ke dalam format file untuk kemudian disajikan, ditampilkan, ataupun direpresentasikan melalui komputer dan perangkat komputer lainnya. 3. Literasi digital merupakan kemampuan pribadi yang (diharapkan) dapat dimiliki agar dapat mengerjakan segala pekerjaan dengan efektif (pada lingkungan digital berbasiskan komputer dan teknologi lainnya), menghasilkan data, mengolahh data menjadi informasi, memperoleh pengetahuan dari teknologi yang digunakan, serta turut aktif dalam proses pengembangan teknologi terkini. Sementara MacQuarrie (2013), secara sederhana menyebutkan bahwa “digital literacy is less about tools and more about thinking.” MacQuarrie (2013) meyakini literasi digital bukan hanya tentang
McQuail (2011) dalam bukunya “Teori Komunikasi Massa” membahas ‘media baru’ sebagai berbagai perangkat teknologi komunikasi yang tidak hanya ‘baru’ tetapi juga dimungkinkan dengan digitalisasi dan ketersediaanya yang luas untuk penggunaan prbadi sebagai alat komunikasi. Penjelasan mengenai apa itu digitalisasi dapat ditemukan dalam buku yang sama. 2
11
“kemampuan menggunakan teknologi digital, melainkan juga kemampuan untuk menempatkan, mengorganisasi, memahami, mengevaluasi, dan menganalisis informasi menggunakan teknologi digital” Tidak semua orang berkemampuan menggunakan teknologi digital sekaligus
berkemampuan
menempatkan,
mengorganisasi,
memahami,
mengevaluasi, dan menganalisis informasi. MacQuarrie (2013) mengungkapkan sebuah studi yang menghasilkan temuan bahwa digital native3 yang menguasai cara menggunakan beberapa teknologi digital memiliki kekurangan dalam hal mengevaluasi dan mengkritisi informasi. Padahal, Nicholas C. Burbules (dalam Virginia Montecino, 1998) mengatakan, "....Web bukanlah merupakan sebuah system referensi biasa; web memiliki beberapa keunikan dan, dalam banyak hal, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menyulitkan tugas memilah sesuatu yang dipercaya dari informasi yang tidak dipercaya – dan bahkan mempersulit suatu pemikiran yang mana kita memiliki rasa yang jelas dari perbedaan itu. Bagaimana untuk membedakan kredibilitas dari informasi penipuan bukanlah masalah baru, tapi mengungkap ini ke dalam konteks" Oleh sebab itulah, Virginia Montecino (1998) memberikan guidelines yang dapat digunakan untuk membantu pengguna internet dalam menilai kredibilitas sumber-sumber WWW, beberapa di antaranya: 1. Mencermati kualifikasi, dan hubungan antara subjek yang ditulis dengan siapa yang menulis (penulis). Periksa apakah penulis memang ahli di bidang yang ia tulis. 2. Mencermati keterlibatan penulis dengan suatu asosiasi lembaga atau organisasi. Hal ini dapat dilihat melalui link sponsor atau link asosiasi ataupun kontak yang dapat dihubungi misal telepon atau e-mail. Meskipun demikian, bukan berarti semua konten dari penulis yang terasosiasi dengan suatu lembaga atau organisasi telah disetujui dan dapat dianggap sumber yang kredibel.
3
Digital native merupakan istilah yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Marc Prensky dalam artikelnya yang berjudul “Digital Natives, Digital Immigrants”. Ia menyebut murid-murid zaman sekarang yang aktif dengan teknologi digital, seperti komputer, permainan video, dan internet sebagai digital native.
12
3. Periksa kembali apakah tulisan dari penulis (baik bentuk hardcopy ataupun online publish) pernah diulas oleh cendekiawan atau profesional. Meskipun bukan berarti tulisan yang belum pernah diulas tidak kredibel. 4. Periksa hubungan antara penulis dengan konten yang ia tulis. Hal ini terkait dengan objektivitas penulis. Apakah penulis bermaksud memberikan informasi ataukah mempromosikan suatu produk. Meskipun bukan berarti hal ini buruk atau menjadikan informasi kredibel atau tidak kredibel, tetapi ini menjelaskan hubungan antara penulis dengan apa yang ia tulis. 5. Periksa apakah penulis menyertakan referensi atau daftar pustaka jika mereka menggunakan atau meminjam pemikiran orang lain. 6. Memperhatikan Website dari informasi yang digunakan, apakah berasal dari personal home pages, special interest sites, professional sites, news and journalistic sites, atau commercial sites. 7. Memperhatikan nama domain, seperti: (.edu)- education sites, (.gov)government sites, (.org)- organization sites, (.com) commercial sites, (.net) – network infrastructures, dan seterusnya. Serupa dengan literasi media massa, literasi digital memerlukan beberapa kompetensi untuk dikuasai. Akan tetapi, kompetensi yang diperlukan untuk menguasai literasi digital sedikit banyak berbeda dengan kemampuan yang diperlukan untuk menguasai literasi media. Pertama, Dobson T dan Willinsky J menyebutkan kompetensi literasi informasi berupa penguasaan bagaimana mengakses informasi dan bagaimana menggunakan informasi yang telah dikumpulkan. Selama mengakses media digital, pengguna akan dihadapkan pada metode kolaboratif yang difasilitasi internet, yakni berupa tagging, feeds, dan social media sites like. 4 Tagging merupakan metode yang digunakan untuk menandai seseorang apabila pengguna lain membuat tautan ke profilnya. Feeds merupakan metode yang dapat menampilkan berita sesuai aktivitas ataupun 4
Ketiga metode kolaboratif umumnya dapat dijumpai dalam media sosial, tetapi bukan berarti tidak ditemui di situs lainnya.
13
koneksi yang dimiliki oleh seorang pengguna. Social media sites like merupakan metode untuk memberi tahu teman bahwa Anda menikmati postingannya, tanpa meninggalkan komentar. Kedua, kompetensi collaborative tools berupa pemahaman yang benar terkait etika dan ketrampilan menggunakan media sosial (online) agar dimungkinkan memperoleh kolaborasi dan kontribusi informasi. Ketiga, kemampuan negosiasi disebutkan juga oleh Jenkins (2007) sebagai “kemampuan untuk mendekati komunitas yang beragam, memahami berbagai perspektif, dan memegang serta mengikuti norma-norma”. Keempat, reproduction literacy berupa menggunakan peralatan digital untuk mengedit dan mengkombinasi informasi menjadi bentuk yang baru. Kelima, social-emotional literacy berupa penggambaran sosial dan emosional melalui komunikasi secara online. Sejauh ini, terlihat bagaimana perbedaan literasi media massa dengan literasi digital pada aspek penggunaan teknologi digital yang dimungkinkan untuk mengkombinasi informasi dan penggunaan pesan multimedia. Selain itu, perbedaannya terdapat pada aspek interaktivitas yang sangat ditonjolkan oleh media digital, yakni menciptakan informasi yang sebelumnya dalam media massa tidak bisa dilakukan secara interaktif. Implikasinya, pemahaman lebih mendalam dan kritis diperlukan oleh pengguna media digital untuk mengidentifikasi setiap pesan yang disampaikan dalam media digital (merujuk pada internet). Hal lainnya yang baru dalam literasi digital ialah kemampuan membangun hubungan sosial dan membentuk jaringan online yang disebutkan oleh EuropeanCommission (2009) sebagai kemampuan berkomunikasi. c. Mengukur Tingkat Literasi Digital Berbasis
Individual
Competence EuropeanCommission (2009) mengatakan, “Dengan alasan kompleksitas dari literasi media, dan guna membangun criteria yang dapat diukur, sebuah peta konseptual harus diciptakan.” Maka dari itu, mereka menyusun suatu tingkatan kemampuan literasi media ke dalam tiga level, sebagai berikut:
14
Tingkatan Basic
Medium
Advanced
Tabel 1.1 Tingkat Kemampuan Literasi Media Deskripsi Individu memiliki seperangkat kemampuan yang memungkinkan penggunaan dasar dari media. Ada penggunanaan terbatas media. Pengguna mengetahui fungsi dasar, mengartikan kode dasar dan menggunkakannya untuk tujuan-tujuan tertentu dan menentukan alat. Kapasitas pengguna untuk menganalisa secara kritis informasi yang diterima terbatas. Kemampuan komunikasi melalui media juga terbatas. Individu fasih dalam penggunaan media, mengetahui dan mampu melaksanakan fungsi tertentu, operasi yang lebih kompleks. Penggunaan media diperpanjang. Pengguna tahu mendapatkan dan menilai informasi yang dia butuhkan, serta mengevaluasi (dan meningkatkan) strategi pencarian informasi. Individu sangat aktif dalam penggunaan media, menyadari dan tertarik pada kondisi hokum yang mempengaruhi penggunaannya. Pengguna memiliki pengetahuan yang mendalam tentang teknik dan bahasa dan dapat menganalisis (dan, pada akhirnya) mengubah kondisi yang mempengaruhi hubungan komunikasinya dan pembuatan pesan. Di bidang sosial, pengguna mampu mengaktifkan kelompok kerja sama yang memunkinkan dia untuk memecahkan masalah. Sumber: European Commission, 2009
Tingkat kemampuan literasi media sebagaimana yang disusun oleh European Commission di atas dapat diketahui menggunakan Individual Competences, yang selanjutnya sering dipergunakan oleh masyarakat di negara Uni Eropa untuk mengukur tingkatan literasi media mereka. Individual competence merupakan “seorang pribadi, kapasitas individu yang berkaitan dengan melatih kemampuan-kemampuan tertentu (akses, analisis, komunikasi). Kompetensi ini ditemukan di dalam sebuah set kapasitas yang luas yang meningkatkan level kehati-hatian, analisis kritis, dan kapasitas kreatif untuk menyelesaikan masalah (EuropeanCommission, 2009: 31).” Jadi, individual competence mencakup kemampuan seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan media, di antaranya kemampuan untuk menggunakan, memproduksi, menganalisis, dan mengkomunikasikan pesan melalui media. Pengukuran ini dapat digunakan untuk berbagai jenis media, termasuk media digital. Sebagaimana definisi literasi media yang dikemukan oleh
15
EuropeanCommission
bahwa literasi media mencakup semua jenis media,
termasuk internet (2009: 22). Masing-masing kriteria Individual Competence memiliki bobot penilaian sebagai berikut: Tabel 1.2 Komponen dan Bobot Penilaian Komponen Literasi Media Individual Competences Personal Competences Social Competences (77%) (23%) Use Critical Understanding Communicative (67%) (33%) (100%) Balanced &active use of Knowledge about media and Participation (50%) media (50%) media regulation (40%) Computer & Advanced User Understanding Social Content Internet internet behaviour media content Relation creation Skills (20%) use (30%) (30%) (20%) (30%) (30%) Keterangan: Setelah mengetahui bobot tiap komponen di atas, selanjutnya dilakukan perhitungan dengan bobot tiap komponen penelitian. Pembagian Nilai Berdasar European Commission: <70 : basic 70-130 : medium >130 : advanced *Hasil perhitungan kemudian dianalisis dan dijadikan dasar penentuan tingkatan yang telah dipaparkan sebelumnya. Sumber: European Commission, 2009
Kemampuan teknis terbagi menjadi tiga komponen, yakni kemampuan menggunakan internet, yakni kemampuan mengoperasikan internet menggunakan perangkat teknologi. Perangkat teknologi terbagi menjadi dua, yakni perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras meliputi PC, notebook dan smartphone (Pratama, 2014: 65). Sementara itu, terdapat beragam perangkat lunak, di antaranya perangkat lunak untuk komunikasi dan mobile application. Perangkat lunak komunikasi terdiri dari e-mail, web browser (seperti: Mozilla Firefox dan Google Chrome), Instan Messaging, Voice Over Internet Protocol, Blogging (seperti: Wordpress dan Blogger), Video Conference (seperti: Skype, Facebook Messenger), sedangkan mobile application merupakan perangkat lunak yang dibuat khusus untuk dijalankan dalam tablet ataupun smartphone, seperti:
16
apple apps store, samsung apps, windows store, dan google playstore (Irwansyah, 2014: 59-61). Sementara kemampuan menggunakan secara aktif dan seimbang merupakan kompenen yang mengukur kemampuan menggunakan layanan yang disediakan internet. Kemampuan ini dapat melihat apa saja kegiatan yang dilakukan pengguna, mulai dari chatting, mengirim e-mails, bermain games online, menggunakan internet untuk mengisi waktu luang, hingga mencari informasi, (Mishra, 2013). Berdasar uraian kegiatan yang dapat dilakukan menggunakan internet dapat terlihat fungsi-fungsi dasar internet sebagai suatu media, yakni fungsi internet sebagai media komunikasi, media hiburan, media informasi sekaligus media belajar. Kemampuan internet advanced use merupakan kemampuan menggunakan internet untuk kepentingan yang lebih luas dengan kegiatan yang lebih canggih. Pengguna mampu memanfaatkan fungsi layanan internet semaksimal mungkin. Mishra (2013) membagi tiga kategori sekaligus menyebutkan indikator pengguna yang sudah menggunakan internet secara advanced, yakni: 1. Blogger atau pengguna yang suka menuliskan informasi melalui blog. Bagi mereka yang sudah level advanced, maka mereka akan selalu memikirkan kualitas tulisan dan menghasilkan judul tulisan yang menarik, mereka secara rutin (daily or monthly) memperbarui informasi dan tulisan di blog, mereka menjaga kualitas tampilan blog dengan tidak menaruh iklan terlalu banyak dan mengganggu pembaca, mereka juga mengikuti jejaring sosial (umumnya facebook dan twitter), mereka juga menempatkan kata kunci yang mudah dicari melalui search engines dalam judul atau tulisan, 2. Viewer atau pembaca blog. Bagi mereka yang sudah level advanced, maka
mereka
akan
mengikuti
beberapa
link
berikut
dan
membagikannya kepada pembaca lain: Google’s official blog, Latest Gadgets, Popular blogs and websites, Microsoft development community, Latest News and headlines, Software Updates, What the other bloggers are doing?, Online Newspaper of all countries
17
3. Pengguna yang mengumpulkan uang lewat internet. Bagi mereka yang sudah level advanced, maka mereka tidak perlu menggunakan website atau blog atau media sosial untuk mendapatkan uang. Mereka akan menjual e-book, mereka membuat iklan bagi website perusahaan, mereka menulis artikel untuk beberapa blog yang membayar penulis lepas, atau mereka membuat review sebuah buku kemudian dibayar. Komponen kedua untuk mengukur tingkat literasi media adalah pemahaman kritis, yang terdiri dari memahami konten internet, pengetahuan terhadap regulasi yang berlaku selama menggunakan internet, dan perilaku pengguna selama menggunakan internet. Komponen ketiga untuk mengukur literasi media adalah kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui internet yang terdiri. Di dalam kemampuan inilah suatu pedoman yang mengatur perilaku pengguna internet dibutuhkan, yakni netiket. Sementara itu, kemampuan partisipasi dalam masyarakat melalui internet dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya social movement yang pernah dilaksanakan di Indonesia dan terbilang besar untuk menggandeng kontribusi banyak orang (Hidayat, 2014): 1. Blood4Life (blood4life.web.id) 2. Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf.or.id) 3. Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org) 4. Indonesia Berkebun (indonesiaberkebun.org) 5. Akademi Berbagi (akademiberbagi.org) 6. Coin A Chance (coinachance.com) 7. Bike to Work Indonesia, (b2w-indonesia.or.id) 8. AIMI ASI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) (aimi-asi.org) 9. Nebengers (nebengers.com) 10. Sedekah Rombongan (sedekahrombongan.com) 11. Bincang Edukasi (bincangedukasi.com) 12. Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org) 13. Buku untuk Papua (bukuntukpapua.org) 14. Shave for Hope (shaveforhope.com)
18
15. Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org) 16. Indonesia Mengajar (indonesiamengajar.org) 17. Selamatkan Ibu (selamatkanibu.org) 2. Pentingnya Netiket dalam Membangun Relasi Sosial Lewat Internet a.
Perbedaan Etika dan Etiket
Di dalam pembahasan sebelumnya mengenai literasi digital dan individual competences yang diperlukan pelajar sebagai pengguna internet dijelaskan bahwa terdapat tiga kompetensi yang perlu dimiliki, yakni kemampuan teknis, pemahaman kritis, dan kemampuan sosial. Perkembangan teknologi digital yang diikuti dengan peningkatan kuantitas digital native kenyataannya masih belum diikuti dengan peningkatan kualitas penggunanya. Banyak dari pengguna media, terutama dari kalangan digital native yang menguasai penggunaan teknologi internet secara fisik, tetapi tidak secara kemampuan sosial. Dalam berinternet, ada etika dan etiket yang perlu diikuti oleh pengguna (netter). Keduanya wajib diikuti, ditaati, dan dilaksanakan oleh pengguna selama mengakses layanan internet yang meliputi Milis, Forum, dan Jejaring Sosial (Pratama, 2014: 383). Definisi yang sama juga dikemukakan oleh LaQuey (1997) dan Yuhefizar (2008), yakni “segelintir etika dan aturan dalam berkomunikasi sesama pengguna internet bisa dalam ber-e-mail, mailing list, chatting dan sebagainya.” Jadi, sebagai digital native, penguasaan skill berinternet bukan satusatunya kemampuan yang harus dimiliki, tetapi juga penguasaan etika dan etiket berinternet. K. Bertens dalam Pratama (2014: 470) mendefinisikan etika sebagai sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Berbeda dengan etiket yang didefinisikan sebagai tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat (Pratama, 2014: 471). Jadi, etiket berlaku jika individu berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain. Sementara etika berlaku meskipun individu sendirian. Hal lain yang membedakan etika dan etiket ialah bentuknya. Bentuk
19
etika pasti tertulis, misal kode etik Jurnalistik, sedangkan etiket tidak tertulis (konvensi). Yuhefizar (2008: 15) menyebutkan beberapa etika berkomunikasi di internet, meliputi: (1) Jangan menggunakan huruf besar atau kapital; (2) Apabila mengutip dari internet, kutip seperlunya; (3) Memperlakukan e-mail sebagai pesan pribadi; (4) Berhati-hati dalam melanjutkan e-mail ke orang lain; (5) Membiasakan menggunakan format plain text dan jangan sembarangan menggunakan format html; (6) Jangan kirim file berukuran besar melalui attachment tanpa izin terlebih dahulu dari penerima pesan. Sementara LaQuey (1997) menjelaskan standar etiket berinternet selama menggunakan e-mail, mailing list atau forum meliputi: (1) Menulis e-mail dengan ejaan yang benar dan kalimat sopan; (2) Tidak menggunakan huruf kapital semua; (3) Membiasakan menuliskan subject e-mail untuk mempermudah penerima pesan; (4) Menggunakan BCC (Blind Carbon Copy) bukannya CC (Carbon Copy) untuk menghindari tersebarnya e-mail milik orang lain; (5) Untuk mailing list atau forum, dilarang mengirim e-mail berupa spam, surat berantai, surat promosi, dan surat lainnya yang tidak berhubungan dengan mailing list; (6) Menghargai hak cipta orang lain, (7) Menghargai privasi orang lain; dan (8) Jangan menggunakan kata-kata jorok dan vulgar. Netiket dibutuhkan untuk mengatur interaksi sesama pengguna internet secara online (Pratama, 2014: 382). Artinya, pengguna internet dari berbagai belahan dunia perlu mengindahkan netiket untuk kenyamanan sesama pengguna. Oleh sebab itulah, sebuah badan bernama IETF (The Internet Engineering Task Force) menetapkan standar netiket. 5 Beberapa poin diatur dalam netiket oleh IETF yang terbagi dalam tiga kategori, yakni one to one communications (misalnya e-mail atau talk), one to many communication (mailing list dan
5
IETF (The Internet Engineering Task Force) adalah sebuah komunitas internasional yang merupakan kumpulan dari peneliti, perancang jaringan dan operator yang berperan dengan pengoperasian internet. Mereka mengeluarkan RFC 1855 yang dapat dilihat pada https://datatracker.ietf.org/doc/rfc1855/?include_text=1 sebagai panduan untuk berkomunikasi dengan baik di interenet.
20
netnews), dan information services yang di dalamnya terdapat ftp, www, Wais, Gopher. b.
Netiket dalam Milis, Forum, dan Jejaring Sosial
Sebagaimana
telah
disebutkan
dalam
beberapa
definisi
netiket
sebelumnya bahwa pengguna internet perlu mematuhi netiket yang ditetapkan selama mengakses layanan internet berupa Milis atau Mailing List, dalam Forum online, dan Jejaring Sosial. Berikut penjelasan lebih spesifik mengenai netiket yang berlaku di masing-masing ranah publik online: 1.
Milis atau Mailing List
Milis atau Mailing List merupakan layanan surat elektronik berantai di jaringan internet ataupun intranet yang banyak digunakan untuk menggantikan fungsi forum diskusi online, misalnya Yahoo Mail untuk akun e-mail Yahoo (dalam Pratama, 2014: 383). Selanjutnya, Pratama dalam bukunya yang sama menyebutkan beberapa netiket yang berlaku selama penggunaan Milis, yakni:
Tidak menjadikan Milis sebagai tempat menyebarluaskan pornografi, kekerasan, dan pelanggaran hak cipta
Melakukan forward e-mail secara bijak tanpa melakukan spam, Cross Posting, apalagi mengubah isi di dalamnya
Menggunakan bahasa sopan, terbuka, dan memperhatikan tanda baca, huruf kalpital, smile (emoticon)
Diskusi dilakukan secara sehat dan sportif tanpa melakukan penyerangan terhadap pribadi anggota Milis
Melakukan penyuntingan seperlunya dalam mengirim atau meneruskan e-mail
Menggunakan kata singkatan seperlunya
Fokus pada topik pembahasan 2.
Forum online
Forum diskusi online atau lebih dikenal dengan Forum merupakan salah satu media komunikasi di internet ataupun intranet yang menyajikan lebih baik dibanding Milis (dalam Pratama, 2014: 384). Di Indonesia, salah satu Forum yang paling populer dan paling banyak pengikutnya adalah KASKUS. Berbeda dengan 21
Milis, Forum menyediakan banyak topik bahasan dalam bentuk thread, yang selanjutnya dapat disisipi file, emoticon, quote, bahkan hingga chatting dan video conference. Adapun netiket yang berlaku selama mengakses layanan Forum:
Membiasakan diri melihat daftar pertanyaan yang telah diajukan pengguna lain melalui FAQ (Frequently Asking Question), menu search,atau melihat Thread, sehingga tidak mengulang pertanyaan yang sudah diajukan
Membaca petunjuk di dalam forum untuk pemanfaatan sekaligus membaca cermat Forum yang ingin diikuti
Menggunakan bahasa sopan, terbuka, dan memperhatikan tanda baca, huruf kalpital, emoticon
Tidak memancing keributan dalam Forum, seperti menyerang pribadi anggota Forum lain atau berkata kasar
Membiasakan mengucap terima kasih untuk bantuan yang diterima, sebaliknya, membiasakan untuk membantu anggota Forum lain
Tidak menjadikan Milis sebagai tempat menyebarluaskan pornografi, kekerasan, dan pelanggaran hak cipta 3.
Jejaring Sosial
Jejaring sosial merupakan bentuk dari hubungan antarpengguna jaringan komputer (dalam hal ini media sosial di internet) ke dalam bentuk ketertarikan yang sama untuk hobi, topik, dan pemikiran (dalam Pratama, 2014: 251). Salah satu jejaring sosial yang sangat populer di kalangan pelajar (sebagai remaja) ialah Facebook. Di dalam Facebook, mereka diberi kesempatan untuk berbagi informasi, pengetahuan, atau sekedar menulis status dan kondisi saat ini di dalam kolom status, serta memberi komentar atau likes terhadap status atau informasi lainnya. Adapun Netiket yang berlaku selama mengakses jejaring sosial:
Menggunakan bahasa sopan, terbuka, dan memperhatikan tanda baca, huruf kalpital, emoticon
Pertemanan online yang dijalin sebaiknya berawal dari perkenalan terlebih dahulu, misal melalui pesan singkat, sehingga terhindar dari akun palsu 22
Jejaring sosial hakikatnya adalah ranah publik (meski bisa diatur privasi di dalamnya), tetapi sebaiknya tidak semua hal yang berada di ruang private menjadi konsumsi publik
Jangan mempublikasi informasi penting tentang diri pengguna secara detail, misal nomer telpon seluler dan alamat rumah
Tidak menyalahgunakan jejaring sosial untuk menyebarluaskan pornografi, kekerasan, pelanggaran hak cipta, black
campaign, isu
SARA
Menggunakan jejaring sosial untuk menjalin hubungan baik dan berbagi informasi atau pengetahuan penting antarpengguna.
Itulah beberapa netiket yang berlaku untuk pengguna internet, termasuk pelajar sebagai pengguna terbanyak dan teraktif. Meskipun, tentunya ada beberapa standar netiket lain yang terus berkembang seiring berkembangnya ketiga fitur tersebut. Berdasar standar netiket yang diuraikan secara umum dan spesifik dari tiga layanan internet di atas dapat diketahui bahwa netiket ditujukan kembali untuk kepentingan semua pengguna internet. Oleh karenanya, netiket menjadi pedoman penting agar komunikasi secara online melalui media digital dapat terlaksana dengan baik dan tanpa menimbulkan kerugian bagi sesama pengguna, termasuk bagi diri pelajar. 3. Pelajar dan Internet Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan status yang disandang oleh remaja yang tengah menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas atau setara (SMK/SMTi). Untuk memahami karakteristik mereka yang tengah menjalani masa remaja, berikut pembahasan mengenai batasan dan karakteristik dari masa remaja itu sendiri dilihat dari berbagai sudut pandang. Setiap manusia akan melalui proses menjadi remaja, sebelum mereka menjadi dewasa. Kata ‘remaja’ berasal dari bahasa Inggris adolescence yang diambil dari bahasa Latin adolescere yang berarti “to grow into adulthood” (R. Lerner dan Steinberg, 2009) dalam Steinberg (2011: 5). Definisi remaja atau adolescence juga dikemukakan oleh Larson, Wilson, Rickman (2009) dan Schlegel (2009) dalam Steinberg (2011: 5) sebagai berikut:
23
“Di seluruh masyarakat, masa remaja adalah masa pertumbuhan, perpindahan dari kanak-kanak ke dewasa, bagian dari persiapan untuk masa depan.” Definisi di atas menyuratkan tiga karakter dari masa remaja, yakni petama pertumbuhan yang ditandai dengan perubahan secara fisik, kedua perkembangan mental dari mental kanak-kanak menjadi mental yang lebih dewasa dan bertanggung jawab dengan pilihannya. Schlegel (2009) dalam Steinberg (2011: 8) menjelaskan bahwa “a change in social status is a universal feature of adolescene.” Perubahan sosial yang paling dapat dirasakan oleh remaja ialah social participation. “Dengan pencapaian status dewasa, seorang pemuda terkadang diizinkan berpartisipasi lebih luas dalam pengambilan keputusan di masyarakat.” (Steinberg, 2011: 97). Di Indonesia, batas usia seseorang dapat menggunakan hak suaranya untuk urusan politik pun dimulai sejak usia 17 tahun. Karakter ketiga pemikiran mereka untuk mempersiapkan masa depan mereka sendiri. Sedangkan
untuk
batasannya,
banyak
ilmuwan
sosial
yang
mengkategorikan masa remaja ke dalam tiga tahapan, yakni: Tabel 1.3 Batasan Usia Remaja
Early adolescence
10-13 years
Middle adolescence
14-17 years
Late adolescence
18-21 years
Sumber: Steinberg (2011: 6) Di Indonesia, pelajar SMA pada umumnya masuk ke dalam kategori middle adolescence. Secara emosional Steinberg memberi contoh bahwa masa remaja akan dilalui seseorang dengan cara ‘melepaskan diri’ mereka dari orangtuanya. Seorang remaja lebih memilih menghabiskan banyak waktunya dengan teman sepermainan atau sebaya mereka dibanding dengan keluarga atau kedua orangtua. Waktu yang dihabiskan oleh remaja pun akan lebih banyak di luar lingkungan keluarga. Hal tersebut ditegaskan Steinberg (2011: 121) yang mengatakan bahwa “Karena remaja menghabiskan sebagian besar waktunya untuk temanteman mereka (dan karena banyak waktu yang dihabiskan dalam kegiatan 24
sosial seperti gaya busana, musik, dan seterusnya sangatlah penting) pilihan remaja kemungkinan besar akan terbentuk oleh pengaruh dari lingkungan di luar keluarga.” Faktor lain mengapa remaja memilih lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya karena remaja memiliki ketertarikan yang berbeda dengan orangtua mereka. Seorang remaja bisa saja tertarik dengan hal yang tidak disukai oleh orangtua mereka, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itulah terkadang terjadi perbedaan pendapat dan konflik antara remaja dengan orangtua mereka sendiri. Laursen dan Collins (2009) dalam Steinberg (2011: 121) mengatakan bahwa generation gap6 yang dialami oleh remaja dan orang tua biasanya terjadi di aspek gaya berpakaian, pilihan musik, dan pola kegiatan yang dilakukan di waktu senggang. Termasuk salah satu generation gap ialah penguasaan teknologi internet. Bagi remaja, internet merupakan bagian pokok dari kehidupan bersosial mereka. Sparks (2001) menyebutkan bahwa seringkali tujuan remaja bermedia ialah untuk membangun
pertemanan,
pelarian
diri,
kebiasaan,
menunjang
proses
pembelajaran, menghabiskan waktu luang, dan sekedar relaksasi. Melalui internet remaja membangun pertemanan online lewat jejaring sosial, seperti Facebook atau twitter. Melalui jejaring sosial pula remaja mampu ‘melarikan diri’ dari aktivitas sekolah. Kelebihan internet turut dimanfaatkan oleh sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang bertanggung jawab pada pelajar untuk menyediakan kegiatan pembelajaran secara digital bernama E-learning (dalam Pratama, 2014: 81). Elearning mendukung proses pembelajaran, misal untuk penyediaan lumbung buku digital. Selain itu, di dalam e-learning pelajar dimudahkan untuk pengumpulan tugas secara online dan memperoleh modul pembelajaran secara online yang diupload oleh guru. Berbeda dengan e-learning, ada pula istilah e-commerce yang menjadi populer semenjak tahun 1990-an (Pratama, 2014: 156). Jika e-learning berkaitan dengan bidang pendidikan, maka e-commerce berkaitan dengan bidang transaksi 6
Generation gap merupakan istilah populer untuk konflik yang terjadi antara remaja dengan orangtua karena perbedaan nilai dan sikap yang dianut
25
jual beli dan pembayaran secara online. Baourakis, Kourgiantakis, dan Migdalas (2002) dalam Pratama (2014: 156) mendefinisikan e-commerce sebagai bentuk perdagangan barang dan informasi melalui jaringan internet. Sementara dalam kacamata komunikasi, pelajar dan internet dapat dilihat menggunakan teori kegunaan dan gratifikasi. Teori ini mengasumsikan mengenai peran aktif mereka sebagai pengguna media baru untuk mengakses beragam konten di internet sesuai tujuan dan kebutuhan mereka. Aktif dalam teori ini diorientasikan pada tujuan (West dan Turner, 2008: 104). Artinya, keaktifan pelajar dilihat dari usaha mereka menyelesaikan tujuan menggunakan internet. Misal, tujuan menjalin pertemanan online, maka remaja perlu aktif menggunakan jejaring sosial untuk membangun relasi. Sedangkan fungsi internet dijelaskan Rasul (2008) bagi pelajar ialah (1) sebagai media informasi yang menyajikan beragam informasi lengkap dari berbagai sumber, (2) sebagai media komunikasi yang memudahkan komunikasi jarak jauh, misal e-mail, dan chatting, (3) sebagai media belajar, misalnya e-learning, (4) sebagai media hiburan misalnya permainan, musik, video online yang menghibur. Meskipun awalnya teori ini mencakup media massa, tetapi pada perkembangannya John Dimmick, Yan Chen, dan Zhan li (2004) melakukan penelitian yang menghasilkan “meskpun internet sebuah media baru, internet bersinggungan dengan media tradisional dalam hal kegunaan dan gratifikasi” (dalam West dan Turner, 2008: 113). Beralih pada pandangan yang mengatakan bahwa pelajar sekarang ini merupakan digital natives, yakni mereka yang lahir di era teknologi digital, salah satunya internet. Berbeda dengan generasi guru dan orangtua mereka, pelajar sekarang ini mampu menguasai perkembangan teknologi lebih cepat. Pelajar mampu beradaptasi dengan pesatnya layanan yang diberikan internet lantaran mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengakses internet. Palfrey dan Gasser mengatakan “digital natives are spending more and more time online, much of it unsupervised” Hasil penelitian oleh APJII atau Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (2014) menunjukkan bahwa 49% pengguna internet di Indonesia merupakan digital natives. Meskipun tidak ada salahnya bagi mereka untuk
26
menggunakan internet secara rutin, tetapi ada dampak yang menyertainya ialah kesulitan kontrol akan diri mereka. Artinya, mereka menjadi kesulitan untuk mengontrol apa yang mereka lakukan menggunakan internet. Begitu pula dengan guru dan orangtua mereka yang sudah kesulitan dalam mengejar ketertinggalan penguasaan teknologi digital, kemudian ditambahi kesulitan untuk mengontrol apa yang pelajar lakukan menggunakan internet. Palfrey dan Gasser mengatakan “digital natives to frequently post their personal info online to social network site, photo sharing sites, discussion boards, forum, blog, website”. Keduanya juga menambahkan bahwa “kebanyakan dari remaja secara sengaja memilih untuk mengungkap informasi pribadi ke permainan online, jejaring sosial, dan situs komersial online lainnya. Kebijakan privasi yang panjang yang tertulis didalam legalitas tidak pernah dibaca.” Pelajar banyak menghabiskan waktu menggunakan internet sebagai media sosial online agar terhubung dengan teman-temannya. Mereka tak ragu mengunggah informasi pribadi ataupun foto pribadi untuk konsumsi publik. Padahal, hal itu bisa membahayakan diri mereka sendiri. Itulah mengapa literasi digital menjadi suatu kebutuhan bagi pelajar sebagai digital natives, terlebih di era yang semakin canggih ini. Sebagaimana Palfrey dan Gasser (2008) mengatakan bahwa “kita harus mengedukasi digital natives tentang isu dan bahaya, serta mendorong mereka untuk memilih pilihan secara bijaksana.” F. Kerangka Konsep Penelitian ini berusaha melihat tingkat literasi digital pelajar Sekolah Menengah Atas menggunakan alat ukur literasi media yang telah disusun oleh EuropeanCommission, yakni individual competences. Individual competences merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan media. Pengukuran tingkat literasi media menggunakan individual competences mencakup tiga hal, yakni kemampuan teknis, pemahaman kritis, dan kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui media. Sementara itu, literasi digital merupakan bagian dari literasi media yang menunjukkan aspek mendasar dari media baru, yakni digitalisasi. Untuk selanjutnya, media baru yang dimaksud dalam penelitian ini ialah internet,
27
sehingga literasi digital yang dimaksud merujuk pada penggunaan dan pemanfaatan internet. Berdasarkan uraian teori dan konsep para ahli serta mengacu pada EuropeanCommision, peneliti menarik kesimpulan mengenai literasi digital, yakni kemampuan yang dimiliki oleh pengguna internet (sebagai bagian dari media digital) terdiri dari (1) kemampuan menggunakan perangkat teknologi untuk mengakses internet, (2) pemahaman kritis menganalisis dan mengevaluasi pesan yang ditampilkan lewat internet, dan (3) kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui internet. Tiga kemampuan itu sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur tingkat literasi digital menggunakan
individual
competences
sebagaimana
telah
disusun
dan
diterjemahkan oleh EuropeanCommission serta digunakan untuk meneliti tingkat literasi media di beberapa negara. Kemampuan teknis dibedakan ke dalam tiga aspek. Pertama, ketrampilan mengoperasikan internet menggunakan perangkat teknologi baik keras maupun lunak. Perangkat keras dalam penelitian ini dibedakan menjadi PC, laptop, notebook, dan smartphone. Sementara perangkat lunak yang digunakan untuk penelitian ini meminjam beberapa contoh perangkat lunak komunikasi sebagaimana yang disampaikan Irwansyah:
e-mail, web browser, Instan
Messaging, blogging, video conference, dan mobile apllication. Kedua, kemampuan menggunakan internet secara aktif dan seimbang. Definisi aktif dalam penelitian ini meminjam konsep aktif yang dikemukakan oleh West dan Turner yang mengorientasikan aktif pada tujuan bermedia. Penelitian ini menyimpulkan dari beberapa pendapat ahli bahwa tujuan seseorang mengakses internet di antaranya untuk mencari informasi, berkomunikasi dengan orang lain, menunjang proses pembelajaran, dan memperoleh hiburan. Oleh karena itu, kemampuan teknis menggunakan internet secara aktif dan seimbang didefinisikan sebagai frekuensi seseorang dalam menggunakan internet untuk mencari informasi, berkomunikasi dengan orang lain, menunjang proses pembelajaran, dan memperoleh hiburan. Ketiga, kemampuan teknis menggunakan internet secara advanced didefinisikan sebagai frekuensi pengguna memanfaatkan fungsi layanan internet
28
semaksimal mungkin dan menggunakan internet untuk kepentingan yang lebih luas dengan kegiatan yang lebih canggih. Peneliti menyimpulkan beberapa pemikiran ahli untuk mengklasifikasikan kemampuan teknis menggunakan internet secara advanced, meliputi: menulis artikel di online blog, bergabung dalam
komunitas
maya,
memanfaatkan
sistem
informasi
e-learning,
memanfaatkan e-commerce untuk bertransaksi jual beli atau melakukan pembayaran secara online, dan membaca portal berita online dari berbagai negara. Pemahaman kritis terhadap suatu pesan meliputi tiga aspek. Pertama, kemampuan memahami konten internet. Untuk mengukur kemampuan memahami konten internet, peneliti menggabungkan pemikiran Potter mengenai alat untuk meraih kesadaran kritis bermedia khalayak dengan pendapat Virginia Montecino mengenai kredibilitas sumber web, sehingga diperoleh: 1. menganalisis nama domain situs web yang digunakan, apakah (.edu)education sites, (.gov)- government sites, (.org)- organization sites, (.com) commercial sites, (.net) – network infrastructures 2. mengevaluasi
objektivitas
tulisan,
apakah
penulis
bermaksud
memberikan informasi ataukah mempromosikan suatu produk, apakah penulis memang ahli di bidang yang ia tulis 3. melakukan sintesis terhadap konten, yakni memeriksa kembali apakah tulisan dari penulis pernah diulas oleh cendekiawan atau profesional, memeriksa penggunaan referensi atau daftar pustaka jika penulis meminjam pemikiran orang lain Kedua, memiliki pengetahuan tentang aturan yang berlaku dalam internet. Sebagaimana berkomunikasi secara langsung atau lewat media massa, berkomunikasi menggunakan internet memerlukan aturan yang digunakan untuk mengatur perilaku pengguna internet yang disebut dengan netiket. Salah satu aturannya adalah tidak menjadikan layanan internet, yakni Milis, Forum, dan Jejaring sosial sebagai media penyebaran pornografi, kekerasan, dan pelanggaran hak cipta. Pengguna yang berpikir kritis menyadari bahwa ada aturan yang melarang penggunaan ketiga layanan internet tersebut sebagai media penyebaran pornografi, kekerasan, dan pelanggaran hak cipta, sehingga mereka berusaha
29
menghindari mengakses sekaligus penyebarluasan konten pornografi, kekerasan, dan melanggar hak cipta. Ketiga, penelitian ini melihat perilaku pengguna dalam mengkritisi pesan di internet dengan meminjam beberapa perilaku pengguna dalam Forum online. Forum online merupakan salah satu layanan internet yang menyediakan banyak topik bahasan dalam bentuk thread. Pengguna yang berpikir kritis membiasakan diri melihat daftar pertanyaan yang telah diajukan pengguna lain melalui FAQ (Frequently Asking Question), menu search, atau melihat Thread, sehingga tidak mengulang pertanyaan yang sudah diajukan. Kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi terbagi dalam tiga aspek. Aspek pertama, kemampuan membangun relasi sosial merupakan upaya pengguna membangun hubungan sosial lewat media sosial online, meliputi Facebook, Twitter, Instagram, BBM, Whatsapp, Line, Path, dan media sosial. Di sinilah netiket digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan pengguna lain. Netiket diartikan sebagai pedoman yang mengatur perilaku pengguna intenet selama berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan pengguna lain. Aturan dalam netiket tidak berlaku bagi pengguna internet yang tidak menjalin interaksi dan hubungan sosial dengan pengguna lain. Standar netiket yang digunakan peneliti mengacu pada standar netiket yang mengatur Milis, Forum, dan Jejaring Sosial yang sudah diuraikan sebelumnya. Peneliti merangkum poin yang sama dari standar netiket ketiganya, yakni: (1) menggunakan internet untuk berbagi informasi bermanfaat, inspiratif, mendidik, dan menghibur antarpengguna karena hakikatnya internet merupakan media berkomunikasi, (2) menghindari kalimat yang kasar,vulgar dan memicu pertengkaran sesama pengguna. Kedua kemampuan berpartisipasi dengan masyarakat melalui internet. Di dalam penelitian ini, kemampuan berpartisipasi pelajar dilihat dari partisipasi mereka dalam menyuarakan pendapatnya lewat internet. Adapun contoh partisipasi yang digunakan dalam penelitian meminjam beberapa contoh social movement yang diuraikan Hidayat, di antaranya: Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf.or.id), Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org), Akademi Berbagi (akademiberbagi.org), Coin A Chance (coinachance.com), Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org).
30
Ketiga, kemampuan memproduksi dan mengkreasi konten merupakan kemampuan pengguna dalam memproduksi serta mengkreasi pesan lewat layanan internet sebagaimana yang disebutkan Pratama, yakni Milis, Forum, dan Jejaring Sosial, meliputi mengunggah tulisan, mengunggah gambar atau foto, mengunggah pesan multimedia. Penelitian ini juga melihat kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi pengguna dalam menggunakan metode kolaboratif yang difasilitasi internet berupa tagging, sharing, commenting, dan media site likes. Tagging adalah metode dalam internet yang dapat menautkan profil atau akun orang lain dan diri sendiri pada suatu pesan. Sharing adalah metode dalam internet yang memungkinkan pengguna untuk berbagi pesan kepada orang lain. Commenting adalah metode dalam internet yang memungkinkan pengguna untuk meninggalkan pesan teks atau gambar. Media site likes adalah metode dalam internet yang memungkinkan pengguna menandai ‘suka’ pesan tanpa meninggalkan komentar. Tingkatan Literasi Digital
Individual Competences
Advanced Kemampuan Teknis
Pemahaman Kritis
Berkomunikasi dan Berpartisipasi
Medium Netiket
Literasi Digital
Basic
Bagan 1. Kerangka Konsep Penelitian Tingkat Literasi Digital
Apabila diurutkan, penelitian ini nantinya akan menggunakan individual competences yang disusun EuropeanCommission dan diolah oleh peneliti sesuai tujuan dan kebutuhan penelitian, terdiri dari kemampuan teknis, pemahaman kritis menganalisis dan mengevaluasi pesan, dan kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi untuk mengukur tingkat literasi digital yang telah tersusun menjadi tiga tingkatan, yakni basic, medium, advanced. Di dalam kemampuan sosial,
31
peneliti memasukkan konsep netiket untuk mengukur kemampuan pengguna berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial yang berpedoman pada netiket. Tingkatan basic merupakan tingkatan dasar di mana pelajar masih terbatas menggunakan perangkat teknologi keras ataupun lunak untuk mengakses internet. Pelajar hanya menguasai beberapa perangkat teknologi keras ataupun lunak saja. Keaktifan mereka menggunakan internet juga terbatas. Mereka hanya mengetahui fungsi dasar internet dan belum bisa memanfaatkan fungsi internet secara maksimal. Kemampuan pemahaman kritis mereka juga masih rendah. Pengetahuan terhadap regulasi internet belum tercerminkan pada perilaku mereka. Begitu pula kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi mereka.
Mereka
menggunakan media sosial tetapi belum mengindahkan netiket. Tingkatan
medium
merupakan
tingkatan
di
atas
basic
yang
memperlihatkan bahwa pelajar tidak lagi terbatas menggunakan perangkat teknologi keras ataupun lunak. Begitu pula dengan keaktifan mereka menggunakan
internet.
Mereka
mengetahui
fungsi
internet
dan
mulai
memaksimalkan fungsi-fungsi internet sesuai kebutuhan mereka. Pelajar sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi konten dan pesan dalam internet. Pengetahuan mengenai regulasi mulai terlihat dengan patuh pada beberapa aturan. Kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi mereka rata-rata (tidak rendah tetapi belum advanced). Mereka mulai mengindahkan netiket. Tingkatan advanced merupakan tingkatan paling tinggi dalam literasi digital yang mencerminkan kemahiran pelajar dalam menggunakan perangkat teknologi keras ataupun lunak untuk mengakses internet. Mereka sangat aktif dan seimbang dalam memanfaatkan internet. Mereka sangat memaksimalkan fungsifungsi yang dimiliki internet. Pelajar juga mahir dalam mengkritisi konten dan fungsi internet. Pengetahuan mereka mengenai regulasi dalam internet sudah sangat tercermin dalam perilaku mereka selama menggunakan internet, atau dengan kata lain mereka sudah patuh menjalankan regulasi internet. Kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi mereka tak terbatas. Mereka menggunakan media sosial online untuk menjalin relasi dengan sangat baik dengan mengindahkan dan mencerminkan pemahaman netiket.
32
Tabel 1.4 Komponen dan Bobot Penilaian Komponen Literasi Media Individual Competences Personal Competences Social Competences (77%) (23%) Use Critical Understanding Communicative (67%) (33%) (100%) Balanced &active use of Knowledge about media and Participation (50%) media (50%) media regulation (40%) Computer & Advanced User Understanding Social Content Internet internet behaviour media content Relation creation Skills (20%) use (30%) (30%) (20%) (30%) (30%) Keterangan: Setelah mengetahui tiap komponen di atas, selanjutnya dilakukan perhitungan dengan bobot tiap komponen penelitian. Pembagian Nilai Berdasar European Commission: <70 : basic 70-130 : medium >130 : advanced *Hasil perhitungan kemudian dianalisis dan dijadikan dasar penentuan tingkatan yang telah dipaparkan sebelumnya. Sumber: European Commission, 2009
Untuk mengetahui lebih jelas kategori, dimensi, dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1.5 berikut: Tabel. 1.5 Dimensi dan Indikator Penelitian Literasi Digital Kategori Dimensi Indikator Skala Kemampuan Kemampuan Mampu mengoperasikan Ordinal Teknis menggunakan perangkat teknologi keras, Tidak perangkat contoh: PC, laptop, notebook, mahir teknologi dan smartphone Kurang Mampu mengoperasikan mahir perangkat teknologi lunak, Cukup contoh: e-mail, web browser, mahir Instan Messaging, blogging, Mahir video conference, dan mobile Sangat apllication. mahir Kemampuan frekuensi menggunakan Ordinal: menggunakan internet untuk mencari Selalu internet secara informasi Sering aktif dan frekuensi menggunakan Kadangseimbang internet untuk berkomunikasi kadang dengan orang lain Jarang frekuensi menggunakan Tidak internet untuk menunjang Pernah proses pembelajaran frekuensi menggunakan 33
Kemampuan menggunakan internet secara advanced
Pemahaman Kritis
Kemampuan memahami konten internet
Memiliki pengetahuan tentang etiket yang berlaku di internet (netiket)
internet untuk memperoleh hiburan. frekuensi menggunakan internet untuk menulis artikel di online blog frekuensi menggunakan internet untuk bergabung dalam komunitas maya frekuensi menggunakan internet untuk memanfaatkan sistem informasi e-learning frekuensi menggunakan internet untuk memanfaatkan e-commerce untuk bertransaksi jual-beli, melakukan pembayaran secara online frekuensi menggunakan internet untuk membaca portal berita online dari berbagai negara. menganalisis nama domain situs web yang digunakan, apakah (.edu)- education sites, (.gov)government sites, (.org)- organization sites, (.com)- commercial sites, (.net)- network infrastructures mengevaluasi objektivitas tulisan, apakah penulis bermaksud memberikan informasi ataukah mempromosikan suatu produk, apakah penulis memang ahli di bidang yang ia tulis melakukan sintesis terhadap konten, yakni memeriksa kembali apakah tulisan dari penulis pernah diulas oleh cendekiawan atau profesional, memeriksa penggunaan referensi atau daftar pustaka jika penulis meminjam pemikiran orang lain Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten pornografi Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten kekerasan
34
Ordinal: Selalu Sering Kadangkadang Jarang Tidak Pernah
Ordinal: Sangat Sesuai Sesuai Raguragu Tidak Sesuai Sangat Tidak Sesuai
Ordinal: Sangat sesuai Sesuai Raguragu
Kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi
Perilaku pengguna
kemampuan membangun relasi sosial
kemampuan membangun relasi sosial menerapkan netiket
Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten yang melanggar hak cipta
Tidak sesuai Sangat tidak sesuai Ordinal: Menggunakan menu search Sangat Melihat daftar FAQ sesuai Melihat Thread atau topik Sesuai bahasan yang disediakan Raguragu Tidak sesuai Sangat tidak sesuai Menggunakan media sosial Nominal online Facebook Menggunakan media sosial online Twitter Menggunakan media sosial online Instagram Menggunakan media sosial online BBM Menggunakan media sosial online Whatsapp Menggunakan media sosial online Line Menggunakan media sosial online Path Menggunakan media sosial online Lainnya (sebutkan) Menggunakan media sosial Ordinal: untuk berbagi informasi Sangat bermanfaat Sesuai Menggunakan media sosial Sesuai untuk berbagi informasi Raguinspiratif ragu Menggunakan internet untuk Tidak berbagi informasi mendidik Sesuai Menggunakan internet untuk Sangat berbagi informasi menghibur Tidak Menghindari kalimat yang Sesuai kasar selama berkomunikasi Menghindari kalimat yang vulgar selama berkomunikasi Menghindari bahasan yang memicu pertengkaran selama berkomunikasi
35
Kemampuan menggunakan metode kolaboratif
Kemampuan berpartisipasi dengan masyarakat melalui internet
Kemampuan memproduksi dan mengkreasi konten
Menggunakan metode Tagging untuk mentautkan pesan kepada teman Menggunakan metode sharing untuk berbagi pesan dengan teman Menggunakan metode commenting untu k meninggalkan pesan teks atau gambar Menggunakan metode media site likes untuk menandai ‘suka’ terhadap pesan tanpa meninggalkan komentar Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf.or.id) Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org) Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Akademi Berbagi (akademiberbagi.org) Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Coin A Chance (coinachance.com) Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org) Menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online Lainnya Mengunggah tulisan di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial Mengunggah gambar atau foto di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial Mengunggah pesan multimedia di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial
36
Ordinal: Selalu Sering Kadangkadang Jarang Tidak Pernah
Nominal
Ordinal: Selalu Sering Kadangkadang Jarang Tidak Pernah
G. Definisi Operasional Indikator
pengukuran
tingkat
literasi
digital
berbasis
individual
competences di atas belum sepenuhnya siap untuk diukur karena masih memerlukan beberapa dimensi yang dapat diukur secara berbeda. Oleh karena itu, diperlukan definisi operasional untuk melaksanakan pengukuran. Singarimbun menjelaskan bahwa definisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (1989: 46). Atau dengan kata lain, petunjuk untuk melaksanakan pengukuran. Definisi operasional pada penelitian ini berbasis individual competence yang dikembangkan oleh European Commission tahun 2009 untuk mengukur tingkat literasi media dengan beberapa pengembangan dan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Kemampuan teknis diukur menggunakan tiga dimensi, yakni (1) kemampuan menggunakan perangkat teknologi untuk mengakses internet, (2) kemampuan menggunakan internet secara aktif dan seimbang, serta (3) kemampuan menggunakan internet secara advanced. Untuk
mengukur
kemampuan
menggunakan
perangkat
teknologi
digunakan dua indikator: 1. Mampu mengoperasikan perangkat teknologi keras, contoh: PC, laptop, notebook, dan smartphone 2. Mampu mengoperasikan perangkat teknologi lunak, contoh: e-mail, web browser, Instan Messaging, blogging, video conference, dan mobile apllication. Pelajar akan diminta memberi penilaian terhadap kemampuan mereka dalam mengoperasikan perangkat teknologi. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Tidak mahir, Kurang mahir, Cukup mahir, Mahir, Sangat Mahir. Berikut contohnya: Tandai (√) Jawaban:
Pernyataan: Mampu mengoperasikan personal
Tidak mahir
computer (PC)
Kurang mahir
37
Cukup mahir Mahir Sangat mahir
Untuk mengukur kemampuan menggunakan internet secara aktif dan seimbang digunakan beberapa indikator, yakni: 1. frekuensi menggunakan internet untuk mencari informasi 2. frekuensi menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan orang lain 3. frekuensi menggunakan internet untuk menunjang proses pembelajaran 4. frekuensi menggunakan internet untuk memperoleh hiburan Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat frekuensi menggunakan internet secara aktif dan seimbang sesuai kondisi mereka. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Selalu, Sering, Kadang-kadang, Jarang, Tidak pernah. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Menggunakan
internet
untuk
Selalu
mencari informasi
Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Untuk mengukur kemampuan menggunakan internet secara advanced digunakan beberapa indikator, yakni: 1. frekuensi menggunakan internet untuk menulis artikel di online blog 2. frekuensi menggunakan internet untuk bergabung dalam komunitas maya 3. frekuensi menggunakan internet untuk memanfaatkan sistem informasi e-learning
38
4. frekuensi menggunakan internet untuk memanfaatkan e-commerce untuk bertransaksi jual-beli, melakukan pembayaran secara online 5. frekuensi menggunakan internet untuk membaca portal berita online dari berbagai negara. Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat frekuensi menggunakan internet secara advanced. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Selalu, Sering, Kadang-kadang, Jarang, Tidak pernah. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Menggunakan
internet
untuk
Selalu
menulis artikel di online blog
Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Pemahaman kritis diukur dengan tiga dimensi, yakni (1) kemampuan memahami konten dan fungsi internet, (2) memiliki pengetahuan tentang etiket yang berlaku di internet (netiket), (3) perilaku pengguna. Untuk mengukur kemampuan memahami konten dan fungsi internet digunakan beberapa indikator: 1. menganalisis nama domain situs web yang digunakan, apakah (.edu)education sites, (.gov)- government sites, (.org)- organization sites, (.com)- commercial sites, (.net)- network infrastructures 2. mengevaluasi
objektivitas
tulisan,
apakah
penulis
bermaksud
memberikan informasi ataukah mempromosikan suatu produk, apakah penulis memang ahli di bidang yang ia tulis 3. melakukan sintesis terhadap konten, yakni memeriksa kembali apakah tulisan dari penulis pernah diulas oleh cendekiawan atau profesional, memeriksa penggunaan referensi atau daftar pustaka jika penulis meminjam pemikiran orang lain
39
Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat kesesuaian memahami konten. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Sangat sesuai, Sesuai, Ragu-ragu, Tidak sesuai, Sangat tidak sesuai. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Menganalisis nama domain situs
Sangat Sesuai
web yang digunakan apakah (.edu)-
Sesuai
education sites, (.gov)- government
Ragu-ragu
sites, (.org)- organization sites,
Tidak Sesuai
(.com)- commercial sites, (.net)-
Sangat Tidak Sesuai
network infrastructures
Untuk mengukur kemampuan pelajar memiliki pengetahuan tentang etiket yang berlaku di internet (netiket) digunakan beberapa indikator: 1. Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten pornografi 2. Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten kekerasan 3. Menghindari mengakses dan menyebarluaskan konten yang melanggar hak cipta Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat kesesuaian memiliki pengetahuan tentang etiket yang berlaku di internet (netiket). Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Sangat sesuai, Sesuai, Ragu-ragu, Tidak sesuai, Sangat tidak sesuai. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Memilih untuk menghindari akses konten
pornografi
tersebut
karena
melanggar
Sangat sesuai
hal
Sesuai
etiket
Ragu-ragu
berinternet
Tidak sesuai Sangat tidak sesuai
Untuk mengukur perilaku pengguna, dalam penelitian ini adalah pelajar SMA, digunakan indikator: 1. Menggunakan menu search
40
2. Melihat daftar FAQ 3. Melihat Thread atau topik bahasan yang disediakan Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat kesesuaian perilaku mereka. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Sangat sesuai, Sesuai, Ragu-ragu, Tidak sesuai, Sangat tidak sesuai. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Membiasakan diri melihat daftar
Sangat sesuai
pertanyaan yang telah diajukan
Sesuai
pengguna
lain
melalui
FAQ
Ragu-ragu
(Frequently Asking Question)
Tidak sesuai Sangat tidak sesuai
Kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi diukur dengan empat dimensi, yakni: (1) kemampuan membangun relasi sosial menerapkan netiket, (2) kemampuan menggunakan metode kolaboratif, (3) kemampuan berpartisipasi dengan masyarakat melalui internet, dan (4) kemampuan memproduksi dan mengkreasi konten. Untuk mengukur kemampuan membangun relasi sosial digunakan indikator: menggunakan media sosial online. Alternatif jawaban untuk indikator ini adalah: Facebook, Twitter, Instagram, BBM, Whatsapp, Line, Path, Lainnya (sebutkan). Jenis pertanyaan untuk indikator ini adalah semi terbuka. Responden bisa memilih jawaban yang sudah disediakan dan atau mengisi jawaban yang tidak disediakan dalam pilihan. Berikut contohnya: Jawab dengan memberi ( √ ) pada kolom jawaban yang dianggap sesuai dengan diri Saudara. Jawaban boleh lebih dari satu. Di antara media sosial berikut, yang aktif saya gunakan adalah facebook twitter Instagram
41
BBM Whatsapp Line Path Lainnya (Sebutkan).......
Untuk mengukur kemampuan membangun relasi sosial menerapkan netiket digunakan indikator: 1. Menggunakan media sosial untuk berbagi informasi bermanfaat 2. Menggunakan media sosial untuk berbagi informasi inspiratif 3. Menggunakan internet untuk berbagi informasi mendidik 4. Menggunakan internet untuk berbagi informasi menghibur 5. Menghindari kalimat yang kasar selama berkomunikasi 6. Menghindari kalimat yang vulgar selama berkomunikasi 7. Menghindari
bahasan
yang
memicu
pertengkaran
selama
berkomunikasi Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat kesesuaian kemampuan mereka membangun relasi sosial menerapkan netiket. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Sangat sesuai, Sesuai, Ragu-ragu, Tidak sesuai, Sangat tidak sesuai. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Saya media
bermaksud sosial
menggunakan untuk
Sangat sesuai
berbagi
Sesuai
informasi yang bermanfaat
Ragu-ragu Tidak sesuai Sangat tidak sesuai
Untuk
mengukur
kemampuan
menggunakan
metode
kolaboratif,
digunakan indikator: 1. MenggunakanTagging untuk mentautkan pesan kepada teman
42
2. Menggunakan Sharing untuk berbagi pesan dengan teman 3. Menggunakan Commenting untuk meninggalkan pesan teks atau gambar 4. Menggunakan media site likes untuk menandai ‘suka’ pesan tanpa meninggalkan komentar. Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat frekuensi menggunakan metode kolaboratif sesuai kondisi mereka. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Selalu, Sering, Kadang-kadang, Jarang, Tidak pernah. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Saya suka menautkan (nge-tag)
Selalu
akun orang lain pada postingan
Sering
milik saya
Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Untuk mengukur kemampuan berpartisipasi dengan masyarakat melalui internet, digunakan indikator menyuarakan pendapat di internet melalui gerakan sosial online. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf.or.id), Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org), Akademi Berbagi (akademiberbagi.org), Coin A Chance (coinachance.com), Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org), dan yang lainnya. Berikut contohnya: Jawab dengan memberi ( √ ) pada kolom jawaban yang dianggap sesuai dengan diri Saudara. Jawaban boleh lebih dari satu. Saya berpartisipasi dalam masyarakat lewat internet dengan mengikuti gerakan: Earth Hour Indonesia (earthhour.wwf.or.id) Indonesia Bercerita (indonesiabercerita.org) Akademi Berbagi (akademiberbagi.org) Coin A Chance (coinachance.com) Indonesia Berkibar (indonesiaberkibar.org) Lainnya (Sebutkan)
43
Untuk mengukur kemampuan memproduksi dan mengkreasi konten, digunakan indikator: 1. Mengunggah tulisan di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial 2. Mengunggah gambar atau foto di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial 3. Mengunggah pesan multimedia di Milis, Forum, dan Jejaring Sosial Pelajar akan diminta untuk memilih tingkat frekuensi memproduksi dan mengkreasi konten sesuai kondisi mereka. Alternatif jawaban yang diberikan ialah: Selalu, Sering, Kadang-kadang, Jarang, Tidak pernah. Berikut contohnya: Tandai ( √ ) jawaban
Pernyataan Saya memposting tulisan di Milis
Selalu Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
H. Metodologi 1. Jenis dan Metode Penelitian Sebagaimana topik penelitian, yakni penelitian survei tingkat literasi digital pelajar, maka jenis dari penelitian ini ialah kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Singarimbun dan Effendi (1989: 3) menyatakan bahwa “penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.” Ciri khas dari penelitian ini tentu saja pengumpulan data yang banyak menggunakan kuesioner. Peneliti memilih survei karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin menjadikan individu sebagai objek penelitian. West dan Turner (2008: 79) menyebutkan bahwa penelitian survei paling baik digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu yang menjadikan individu sebaga unit analisis atau objek penelitiannya. Wallace (1973) menggambarkan penelitian survei sebagai proses untuk mentransformasikan lima komponen informasi ilmiah, yang terdiri atas: (1) teori, (2) hipotesa, (3) observasi, (4) generalisasi empiris, dan (5) penerimaan atau 44
penolakan hipotesa, dengan enam kontrol metodologi, yang terdiri atas: (1) deduksi logika, (2) interpretasi,penyusunan instrumen, skala, dan penentuan sampel, (3) pengukuran penyederhanaan data dan perkiraan parameter, (4) pengujian hipotesa, inferensi logika, dan (5) formulasi konsep dan proposisi dan penataan proposisi. Penelitian survei diawali dengan munculnya minat peneliti terhadap suatu fenomena sosial tertentu, dalam hal ini peneliti beminat untuk melihat tingkat literasi digital pelajar SMA. Minat tersebut selanjutnya disusun menjadi masalah penelitian yang jelas dan lebih sistematis menggunakan teori yang sudah ada. Melalui deduksi logika, teori kemudian diterjemahkan dalam bahasa peneliti dan disesuaikan dengan tujuan penelitian hingga memunculkan hipotesa, yang memberikan informasi tentang variabel (dalam Singarimbun dan Effendi, 1989). Variabel penelitian kemudian dirumuskan sedemikian rupa, hingga akhirnya tersusun instrumen penelitian, yakni kuesioner. Kuesioner itulah yang dibagikan kepada responden penelitian. Dalam penelitian survei, pemilihan responden yang sesuai dengan tujuan penelitian harus ditentukan dari penentuan sampel. Sampel itu sendiri diambil menggunakan teknik-teknik tertentu dari jumlah populasi yang besar. Peran sampel sangat signifikan dalam penelitian survei karena merekalah yang nantinya akan mengisi kuesioner. Hasil jawaban mereka akan menjadi data primer penelitian. Singkatnya, penelitian survei terlebih dulu dilakukan dengan merumuskan teori atas masalah yang akan diteliti, kemudian baru dilakukan pengumpulan data untuk mencari dukungan empiris bagi teorinya melalui pertanyaan tertulis (kuesioner) yang disebarkan kepada responden. Penelitian survei dapat digunakan untuk beberapa maksud, di antaranya: eksploratif
atau
penjajagan,
deskriptif,
eksplanatori,
evaluasi,
prediksi,
operasional, dan pengembangan indikator sosial (Singarimbun dan Effendi, 1989: 4) Maksud dari penelitian ini ialah mendeskripsikan atau memberikan gambaran tingkat literasi digital pelajar SMA, sehingga jenis survei yang akan dilakukan dalam penelitian ini ialah penelitian survei deskriptif. Penelitian ini juga dimaksudkan agar pengukuran tingkat literasi digital pelajar lebih cermat.
45
Sebagaimana kelebihan dari penelitian survei yang disebutkan oleh West dan Turner (2008), yakni memungkinkan peneliti untuk dapat melakukan kontrol terhadap pengukuran karena penelitilah yang menyusun pertanyaan itu sendiri. 2. Objek Penelitian Populasi atau universe ialah semua orang yang masuk dalam kategori tertentu (West dan Turner, 2008: 79). Sementara Singarimbun dan Effendi (1989: 152) mendefinisikan populasi sebagai “jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga.” Populasi dibedakan menjadi dua, yakni populasi sasaran dan populasi sampling (dalam Singarimbun dan Effendi, 1989:152). Populasi sampling merupakan keseluruhan objek yang diteliti, sedangkan populasi sasaran merupakan populasi yang benar-benar dijadikan sumber data. Dalam penelitian ini, populasi sampling-nya ialah semua pelajar tingkat menengah (SMA) di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan untuk populasi sasarannya ialah pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah ditentukan menggunakan teknik sampling. Peneliti menggunakan teknik multistage sampling. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menentukan sampel secara acak dan bertahap. Tahapan pertama, sampel dibagi ke dalam beberapa kluster yang dipilih secara acak. Tahapan berikutnya, peneliti menentukan subjek yang benar-benar dijadikan objek penelitian dari masing-masing kluster. Tahapan pertama menentukan kluster Sekolah di mana pelajar menempuh pendidikan, yakni menggunakan teknik acak sistematis (systematic sampling). Teknik acak sistematis merupakan suatu metode pengambilan sampel yang digunakan dengan langkah, pertama memilih secara acak untuk unsur pertama, kemudian, langkah kedua ialah memilih secara sistematis unsur-unsur berikutnya. Kelebihan teknik ini dibanding lainnya ialah teknik sampel sistematis menghasilkan kesalahan sampling (sampling error) yang lebih kecil, sebab anggota sampel memencar secara merata (dalam Singarimbun dan Effendi, 1989: 160). Metode ini dapat dijalankan dalam kondisi tertentu, yakni (1) apabila nama atau identifikasi dari satuan-satuan elementer dalam populasi terdapat dalam
46
suatu daftar, sehingga satuan-satuan tersebut dapat diberi nomor urut (dalam Singarimbun dan Effendi, 1989: 160), (2) populasi (N) harus besar, sehingga pengambilan sampel dapat dilakukan dengan acak, dan (3) populasi bersifat homogen. Penelitian ini mengambil populasi dengan jumlah banyak dan bersifat homogen, sehingga dua dari tiga syarat telah terpenuhi. Peneliti menilai populasi homogen dengan asumsi bahwa Sekolah Menengah Atas Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh standar pendidikan (berdasar kurikulum yang disepakati bersama) mengenai Teknologi Informasi dan Komunikasi, juga karena sekolah-sekolah sekarang ini telah memfasilitasi internet sebagai penunjang sarana laboratorium komputer. Peran penting sekolah menjadi acuan peneliti untuk menilai diri pelajar karena banyak waktu yang mereka habiskan di sekolah. Sementara itu, daftar populasi untuk menentukan sampel kluster yang akan digunakan peneliti mengacu pada daftar masing-masing Sekolah Menengah Atas Negeri kabupaten/ kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.7 Berikut cara penggunaan teknik sampel sistematis: s = satuan elementer pertama yang k=N÷n dipilih secara acak N = Jumlah satuan elementer dalam Unsur pertama =s populasi Unsur kedua =s + k n = besar sampel yang akan diambil Unsur ketiga =s+2k+dan k (N÷n) = interval sampel seterusnya
Adapun sampel yang diperoleh berdasar teknik sampel sistematis untuk penelitian ini: unsur pertama atau s = 2 (dipilih acak) , n = 2 Tabel 1.6 Sampel Penelitian Kluster Wilayah
Nilai k
Nilai S2 Sampel Sekolah
Kota Yogyakarta
11 ÷ 2 = 5,5
8
,=6
7
-SMA N 6 Yogyakarta -SMA N 8 Yogyakarta
Daftar populasi atau kerangka sampling dapat dilihat di lampiran. 47
Kabupaten
19 ÷ 2 = 9,5
Bantul
, = 10
Kabupaten
16 ÷ 2 = 8
12
-SMA N 1 Banguntapan -SMA N 1 Piyungan
10
Sleman
-SMA N 1 Depok -SMAN 1 Prambanan
Kabupaten
11 ÷ 2 = 5,5
Kulonprogo
,=6
Kabupaten
12 ÷ 2 = 6
8
-SMA N 1 Girimulyo -SMA N 1 Sentolo
8
Gunung kidul
-SMA N 2 Wonosari -SMA N 1 Pathuk
Sumber: Daftar SMA Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta (Terlampir) Tahapan berikutnya, dari masing-masing sekolah akan diambil 40 pelajar untuk mewakili tiap sekolah, sehingga total sampel yang dipakai untuk penelitian adalah 400. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian Peneliti berfokus di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta karena dinilai sebagai salah satu wilayah yang luas dengan populasi pelajar yang tinggi. Selain itu, peneliti berasumsi bahwa pelajar di wilayah ini merupakan pelajar yang sudah dapat mengakses internet baik di sekolah ataupun luar lingkungan sekolah. Sementara untuk waktu penelitian, berikut rancangannya Tabel 1.7 Rencana Waktu Penelitian
No 1 2 3 4 5 6
Kegiatan
April Mei Juni Juli Agustus Sept Okt Nov 12341234123412341234123412341234
Persiapan Penelitian Studi Pustaka Penelitian Lapangan Analisis Data Penulisan Laporan Publikasi
48
4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian survei, teknik pengumpulan data yang utama dan menjadi ciri khas ialah kuesioner. Singarimbun dan Effendi (1989: 175) menyebutkan bahwa tujuan pokok dari pembuatan kuesioner ialah (1) Untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survei, dan (2) memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi mungkin. Lebih lanjut, keduanya juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa cara dalam menggunakan kuesioner, yakni: a. Kuesioner digunakan dalam wawancara tatap muka dengan responden b. Kuesioner diisi sendiri oleh responden c. Wawancara melalui telepon d. Kuesioner diposkan Dalam penelitian ini nantinya, responden sendirilah yang akan mengisi kuesionernya. Peneliti akan bekerjasama dengan sekolah atau langsung dengan pelajar SMA yang masuk dalam kriteria untuk diberikan daftar pertanyaan (kuesioner). Apabila dengan sekolah, maka nantinya diharapkan semua responden dapat mengerjakannya secara serentak. Untuk jenis pertanyaan yang nantinya akan diajukan berjenis kombinasi terbuka dan tertutup. Artinya, dalam kuesioner yang diajukan kepada responden nantinya peneliti akan memberikan pilihan jawaban sekaligus isian titik-titik jawaban. 5. Teknik Analisis Data Setelah kuesioner selesai diisi dan dikembalikan kepada peneliti, langkah berikutnya
ialah
penganalisisan
data.
Analisis
data
merupakan
proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan
(Effendi
dan
Manning,
1989:
264).
Adapun
tahapan
penganalisisan data yang nantinya akan dilakukan oleh peneliti sebagai berikut: a. Tahap Penyuntingan Di dalam tahap penyuntingan, peneliti memeriksa kelengkapan data atas kuesioner yang dikembalikan. Peneliti akan mempertimbangkan
49
kelengkapan isian jawaban tiap pertanyaan dalam kuesioner, kejelasan tulisan responden, kejelasan maksud jawaban (makna), dan relevansi jawaban. b. Tahap Input Data Dalam tahap input data, peneliti akan memberi simbol berupa angka (kode) pada jawaban yang selesai diperiksan kelengkapannya (disunting). c. Tahap Tabulasi Tahapan selanjutnya ialah memindahkan data yang telah dikode ke dalam program SPSS (Statistical Program for Social Science). Program ini digunakan untuk memudahkan peneliti mengolah data dan menampilkan hasilnya dalam bentuk persentase, tabel, atau diagram. d. Tahap Analisis Tahapan terakhir ialah analisis data yang telah ditabulasi. Data-data yang berbentuk persentase angka, tabel, atau diagram diinterpretasikan secara terbatas. Artinya, peneliti hanya melakukan interpretasi atas data dan hubungan yang ada dalam penelitian ini. Untuk mengetahui tingkatan pelajar SMA Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, peneliti mengikuti cara European Commission menentukan bobot penilaian masing-masing komponen (lihat tabel 1.8 Komponen dan Bobot Penilaian Komponen Literasi Media) Peneliti menggunakan nilai modus (nilai yang sering keluar) untuk menghitung rata-rata karena data yang digunakan dalam penelitian menggunakan variabel kategorik, yakni data hasil pengkodean. Berikut cara perhitungan yang digunakan penelitian berdasarkan pengembangan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh European Commission: Frek.Nilai Modus EU(%) x bobot tiap indikator (%) = N (%) (N (%) x bobot komponen EU (%)) x 100 = Y N=bobot nilai sebelum dikalikan dengan bobot komponen EU Y=hasil nilai komponen
50
Keterangan: 1. Frekuensi nilai modus EU merupakan frekuensi nilai modus yang sudah disesuaikan dengan standar European Commission. Pada Hasil studi literasi media yang pernah dilakukan oleh European Commission diketahui bahwa nilai EU diperoleh dari nilai 100 dibagi dengan salah satu nilai data hasil frekuensi, yakni 23. Peneliti menggunakan patokan selisih angka yang sudah diperoleh European Commission agar bersinambung dengan pembagian tingkatan yang sudah ditetapkan. 2. Bobot tiap indikator merupakan bobot yang dimiliki masing-masing indikator yang digunakan oleh peneliti. Dalam pemberian bobot ini, peneliti membagi rata setiap indikator.8
8
Nilai setiap bobot indikator penelitian dan hasil perhitungan dapat dilihat dalam lampiran
51