BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, semakin berkembang pula tujuan dan motivasi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata. Tidak hanya sebatas hiburan melainkan meliputi kepentingan bisnis, pendidikan, pengobatan, kunjungan maupun kepentingan lain. Keadaan ini menjadikan negara di dunia berlomba-lomba untuk meningkatkan serta mengembangkan kondisi pariwisata negara mereka, di mana berbagai cara terus dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan daya tarik dan kedatangan wisatawan asing. Begitu juga yang terjadi di kawasan ASEAN, salah satu upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kondisi pariwisata regional adalah dengan meningkatkan konektivitas antar negara anggota dan mempromosikan pariwisata secara bersama. Upaya meningkatkan konektivitas kawasan tersebut salah satunya dilakukan ASEAN dengan menerapkan kebijakan bebas visa. Kebijakan dengan memberikan pembebasan izin visa yang diterapkan secara regional bagi sesama negara anggota ASEAN yang hendak melakukan perjalanan di kawasan Asia Tenggara. Kebijakan tersebut terbukti berhasil dalam meningkatkan konektivitas kawasan, bahkan secara lebih luas meningkatkan kedatangan wisatawan. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, ASEAN ingin meningkatkan kondisi tersebut menjadi lebih luas jangkauannya kepada wisatawan non-ASEAN dengan menggunakan single visa. Rencana penerapan single visa bagi wisatawan asing ini disebut dengan „ASEAN Single Visa‟. Pada saat ini contoh dari penerapan single visa yang terbukti berhasil telah dilaksanakan di Uni Eropa melalui Visa Schengen. Keberhasilan dari penerapan Visa Schengen tersebut menginsipirasi Thailand untuk menerapkan hal yang sama di kawasan Asia Tenggara. Sehingga mekanisme penerapan single visa ASEAN rencananya akan mengikuti jejak sistem visa Schengen yang telah diterapkan di negara anggota Uni Eropa dan negara non-anggota dalam memfasilitasi wisatawan asing untuk datang ke negara-negara Eropa hanya dengan satu visa. 1 Melalui
penerapan ASEAN single visa ini diharapkan
Arno Maierbrugger, „Planned Common ASEAN Visa Expected to Boost Visits from Mideast‟, Gulf Times, 11 Mei 2014,
, diakses pada 26 Januari 2015. 1
1
nantinya dapat meningkatkan mobilitas para wisatawan asing agar lebih mudah untuk melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain di dalam kawasan regional Asia Tenggara. Di sisi lain, kebijakan tersebut turut diyakini dapat memberikan dampak positif bagi seluruh negara anggota ASEAN, khususnya dalam meningkatkan keberadaan sektor pariwisata. Rencana kebijakan ASEAN Single Visa mulai digagas dalam pertemuan ASEAN Tourism Forum (ATF). Sebelumnya perlu diketahui bahwa ATF merupakan suatu wadah untuk
mendukung keberlangsungan pariwisata di kawasan Asia Tenggara yang sudah
digagas sejak tahun 1981 dan direalisasikan secara tertulis melalui ASEAN Tourism Agreement (ATA) pada 4 November 2002.2 ATF sendiri merupakan upaya regional untuk mempromosikan wilayah ASEAN sebagai tujuan wisata dengan pesona alam dan keragaman budaya sebagai daya tarik utama. Di samping itu, ATF turut membahas persoalan yang dihadapi oleh negara-negara anggota ASEAN dalam bidang pariwisata. Secara rutin kegiatan ini diselenggarakan setiap tahunnya dengan melibatkan semua sektor industri pariwisata dari seluruh negara anggota ASEAN. Pada tahun 2011, pertemuan ATF yang diselenggarakan di Phom Penh, Kamboja menyepakati beberapa strategi khusus di bidang pariwisata yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai single destination bagi wisatawan asing. Strategi tersebut tercantum di dalam ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015 (ATSP).3 Salah satu hal yang dibahas di dalam strategi tersebut adalah terkait dengan penerapan single visa. Rencana kebijakan single visa merupakan bagian dari strategi pariwisata terkait dengan peningkatan dan percepatan fasilitas perjalanan serta konektivitas ASEAN. Kebijakan tersebut dibentuk untuk dapat mewujudkan ASEAN sebagai single destination bagi negara-negara non-anggota. Sejak dimasukkannya single visa kedalam rancangan strategi pariwisata tahun 2011, rancangan ini mendapatkan sambutan baik serta dukungan dari negara anggota ASEAN, yang mana
2
Association of South East Asia Nation, Plan of Action on ASEAN Cooperation in Tourism, diakses 22 Januari 2015. 3
Association of Southeast Asian Nation, ASEAN Tourism Strategic Plan 2011-2015, , diakses pada 22 Januari 2015. 2
rencananya kebijakan tersebut akan direalisasikan setelah persiapan strategi khusus pariwisata selesai dilaksanakan. 4 Pada awalnya sebelum menuju kepada rencana penerapan ASEAN single visa, Thailand melalui Perdana Menteri Thaksin Shinawatra telah mengusulkan gagasan penerapan single visa pada sub-region ASEAN yakin ACMECS (Ayeyawaday-Chao PhrayaMekong Economic Cooperation Strategy).5 Dengan tema „Five Countries-One Destination‟, Thailand mengharapkan bahwa single visa dapat mempromosikan pariwisata kelima negara (Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam). Sebagai salah satu langkah penerapan single visa tersebut, Thailand mengawalinya dengan pelaksanaan single visa dengan Kamboja.6 Melalui penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) diantara kedua negara, serta melalui berbagai proses dan upaya yang dilakukan, akhirnya single visa kedua negara dapat dilaksanakan.7 Berawal dari sana, Thailand kemudian mengharapkan bahwa rencana tersebut dapat dilaksanakan secara lebih luas dalam lingkup regional Asia Tenggara dengan mengangkat isu tersebut ke dalam ASEAN dan mendesak agar rencana dapat segera terwujud. Hingga akhirnya single visa masuk ke dalam salah satu fokus strategi pariwisata dalam ATSP. Dalam hal ini, Thailand sangat mendukung dan mendorong negara-negara lain untuk mempersiapkan diri guna menyambut penerapan kebijakan tersebut. Terbukti bahwa setiap KTT ACMECS diselenggarakan, Thailand selalu mengingatkan dan menegaskan kembali komitmen negara-negara sub regional dalam ACMECS untuk segera bergabung mengambil bagian ke dalam rencana single visa.8 Thailand terus mendesak negara-negara untuk mempersiapkan keadaan negara mereka menyambut kebijakan yang telah disepakati
Anonim, „PH, Three Nations Agree to Work on ASEAN Common Smart Visa‟, Association of Southeast Asian Nations: Aseanvisa.com (online), 5 Juni 2013, , diakses pada 13 Januari 2015. 4
Anonim, „The Second ACMECS Summit in Bangkok‟, 28 Oktober 2005, , diakses pada 10 Februari 2015. 5
6
AEC Tourism Thailand, Single Visa Among Asean Members, , diakses pada 26 Januari 2015. Anonim, „ACMECS Single Visa‟, , diakses pada 10 Februari 2015. 7
Ministry of Foreign Affairs of The Kingdom of Thailand, PM Endorses ACMECS’ Single Production Base and Connectivity to Enhance Competitiveness, 13 Maret 2013, , diakses pada 9 Februari 2015. 8
3
sebelumnya. Di samping itu, Thailand turut bekerjasama dan membantu negara-negara dalam rangka mempercepat pelaksanaan rencana single visa di seluruh kawasan Asia Tenggara. Sedangkan dalam pelaksanaanya, untuk dapat mewujudkan rencana kebijakan single visa masih terdapat banyak hal yang perlu dipersiapkan secara khusus oleh Thailand. Mulai dari kondisi negara yang harus mampu mendukung bagi terciptanya suatu kebijakan, hingga hubungannya dengan negara lain di kawasan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa akan ditemui banyak hambatan bagi negara-negara, khususnya Thailand dalam menerapkan kebijakan single visa. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan single visa. Berawal dari kepentingan Thailand dalam rangka menginisasi penerapan single visa, hingga kepada peluang dan hambatan yang mungkin dihadapi oleh Thailand dalam mewujudkan kebijakan tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut : 1. “Apa kepentingan Thailand dalam mendorong rencana penerapan kebijakan ASEAN single visa? 2. “Apa peluang dan tantangan bagi Thailand di dalam penerapan kebijakan ASEAN single visa?”
C. Landasan Konseptual Pertanyaan di atas akan dijawab menggunakan dua landasan konseptual utama: 1. National Interest Kepentingan nasional (national interest) menurut Hans J. Morgenthau berkaitan erat dengan power.9 Sehingga dapat diartikan bahwa kepentingan nasional yang dimiliki oleh setiap negara adalah untuk mengejar kekuasaaan. Dalam hal ini kekuasaan tersebut adalah berbagai macam hal yang dapat digunakan untuk melakukan, membentuk, mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara atas negara lain. Menciptakan hubungan yang terbentuk antara kekuasaan atau kontrol atas negara lain dapat dilakukan melalui adanya kerjasama maupun paksaan. 9
Scott Burcill, [et. al.], Theories of International Relations, 2nd edition, Great Britain, Creative Print & Design (Wales) Ebbw Vale, 2001, p.79. 4
Selain itu konsep kepentingan nasional juga menyerupai konsep kesejahteraan umum dan hak perlindungan hukum. Kedua hal tersebut meliputi keberlangsungan hidup dari suatu negara, yang mana mencakup berbagai sektor baik politik, ekonomi, identitas, maupun budaya negara. Mempertahankan identitas suatu bangsa, dengan mempertahankan sejarah dan menjaga kondisi politik dan ekonomi di dalamnya merupakan suatu hal yang paling penting. Hal ini dapat menghindarkannya dari berbagai ancaman yang berasal dari negara lain. Dengan begitu suatu negara dapat semakin bijak dalam menentukan sikap terhadap negara lain baik itu untuk bekerjasama atau justru berkonflik. Pada pelaksanaannya, kepentingan nasional menjadi dasar perilaku suatu negara serta sebagai parameter bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. 10 Keberadaan dari kepentingan nasional dianggap cukup penting dan digunakan sebagai landasan dalam menetapkan kebijakan luar negeri suatu negara. Pencapaian dari kepentingan nasional merupakan suatu hal yang diidentifikasi akan memberikan dampak positif. Realisasi utama dari kepentingan nasional adalah dapat mewujudkan peningkatan ekonomi, politik, lingkungan dan atau moral pada rakyat dan negara (aktor) atau keuntungan pada perusahaan yang dimiliki oleh negara.11 Dalam pencapaian kepentingan nasional tersebut, suatu negara harus menyesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Negara harus dapat mengukur dan menilai kemampuan, kebutuhan, serta keinginan mereka, sekaligus dengan seksama menyeimbangkannya dengan kebutuhan dan keinginan aktor lain.12 Tidak hanya sekedar mengetahui dan memahami kepentingan sendiri, melainkan juga memahami kepentingan negara lain. Dalam hal ini Morgenthau berasumsi bahwa dalam sistem internasional ini kemungkinan terjadinya ancaman dan perang dapat dihindari atau dikurangi dengan cara menyesuaikan kepentingan antar negara. Maka pemahaman yang baik atas kepentingan nasional yang dimiliki negaranya maupun negara lain sangat diperlukan. Keadaan tersebut dapat menjadi salah satu cara untuk tetap dapat melangsungkan hidup, atau dengan kata lain cara bagi negara untuk tetap survive atau bertahan di dalam politik internasional.
10
Scott Burcill, [et.al.], Theories of International Relations, p.251.
11
Robert D. Blackwill, A Taxonomy for Defining US National Security Interests in the 1990s and Beyond: in Europe in Global Change, Bertelsmann Foundation Publisher, Germany, 1993, p.103. 12
David M. Keithly, The USA & The World : The World Today Series 2014-2015,USA, The Rowman & Littlefield, 2014, p. 34. 5
Apabila kepentingan nasional ini dikaitkan dengan kepentingan regional, keberadaan kepentingan nasional berada di atas kepentingan regional.13 Sehingga dalam pelaksanaan dan pencapaiannya, kepentingan nasional mendapatkan urutan terdepan. Begitu juga dalam kelompok regional, kepentingan nasional dari negara anggota adalah penting untuk dapat dipahami dan dipenuhi. Hal ini merupakan salah satu kunci yang dapat menjadikan kelompok regional tersebut dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Keuntungan yang didapatkan dari kepentingan itulah yang menjadi landasan bagi adanya suatu kelompok regional. Sedangkan ketika kelompok regional tidak dapat memenuhi kepentingan negara anggotanya, maka keberadaannya tidak akan berjalan lama dan efektif. Secara umum, kepentingan nasional merupakan kepentingan-kepentingan yang ingin diwujudkan oleh negara dalam mencapai tujuan fundamental negara yang dibuat berdasarkan keuntungan nasional. Dalam hal ini keuntungan nasional tersebut adalah suatu hal yang dapat dijelaskan secara kongkrit, tidak hanya berdasarkan pada hal yang abstrak seperti hukum, ideologi, dan moralitas.14 Teori ini akan digunakan untuk melihat kepentingan dari Thailand di dalam menginisiasi kebijakan „single visa‟ ASEAN. Sebagai pencetus rencana kebijakan single visa, tentunya kebijakan tersebut tidak terjadi begitu saja. Melainkan terdapat alasan atau tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh Thailand di dalam menginiasai kebijakan. Khususnya tujuan atau kepentingan tersebut diindikasikan dapat membawa dampak positif terhadap kondisi negara, baik dalam mewujudkan peningkatan ekonomi, pembangunan negara, dan kesejahetaraan masyarakatnya, maupun dalam bidang politik.
2. Strength, Weakness, Opportunities, and Threats (SWOT) SWOT merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasikan suatu keadaan secara sistematis dengan menggunakan kerangka yang menghubungkan keadaan dengan faktor eksternal dan faktor internal yang sedang dihadapi pada saat itu.15 Faktor internal tersebut meliputi Strengths (Kekuatan) dan Weakness (Kelemahan), sedangkan pada faktor eksternal meliputi Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman) yang memiliki kemungkinan memberikan dampak terhadap keadaan yang terjadi. Di dalam melakukan 13
David M. Keithly, The USA & The World : The World Today Series 2014-2015, p. 34.
14
David M. Keithly, The USA & The World : The World Today Series 2014-2015, p. 34.
15
Francois Vellas dan Lionel Becherel, Pemasaran Pariwisata Internasional : Sebuah Pendekatan Strategis, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta, 2008, p. 104. 6
analisis dengan menggunakan SWOT, untuk mendapatkan suatu hasil yang jelas harus didasarkan kepada data yang tepat dari sumber eksternal dan internal dibandingnya dengan persepsi yang ada. Melalui teknik SWOT, dalam menganalisis suatu keadaan dapat juga digunakan untuk mengevaluasi posisi para pesaing dan mengidentifikasi kelemahan yang mereka miliki untuk dapat memanfaatkan keadaan. Begitu juga untuk melihat adanya ancaman yang akan ditimbulkan. Apabila diterapkan di dalam konteks industri pariwisata sebuah negara, di dalam buku Pemasaran Pariwisata Internasional dijelaskan bahwa analisis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kondisi yang ada di dalam sektor atau lingkungan pariwisata yang kompetitif.16 Selain itu dapat digunakan untuk memahami tingkat kesiapan yang dimiliki disetiap sektor dari keseluruhan komponen pariwisata yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. Kemudian dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal baik yang mendukung maupun tidak mendukung dalam pencapaian tujuan. Komponen di dalam SWOT tersebut meliputi: Strength (Kekuatan) merupakan suatu keunggulan sumber daya atau kapabilitas yang dimiliki atau tersedia bagi suatu negara yang membuat negara tersebut relatif lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya dalam rangka mencapai suatu tujuan. 17 Pada bagian ini akan digunakan untuk mengetahui kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh Thailand. Khususnya dengan melihat kondisi pariwisata di dalam negara yang mendukung dan memungkinkan terciptanya single visa di Thailand. Weakness (Kelemahan) merupakan keterbatasan atau kekurangan yang dimiliki dalam satu atau lebih sumber daya maupun kapabilitas suatu negara terhadap para pesaingnya. Dalam hal ini keterbatasan tersebut dapat menjadi hambatan di dalam memenuhi atau mewujudkan tujuan.18 Berdasarkan pada konteks, bagian ini akan digunakan untuk melihat kekurangan kondisi di dalam negara Thailand yang dirasa kurang mendukung dalam terwujudnya pelaksanaan single visa. Mengingat bahwa tidak semua komponen atau sektor
16
Francois Vellas dan Lionel Becherel, Pemasaran Pariwisata Internasional : Sebuah Pendekatan Strategis, p. 104. Pearce dan Robinson, Manajemen Strategis – Formulasi Implementasi dan Pengendalian, 10th edn, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2008, p. 202. 17
18
Pearce dan Robinson, Manajemen Strategis – Formulasi Implementasi dan Pengendalian,
p.202. 7
di dalam pariwisata Thailand telah menunjukkan keadaan yang baik dan memadai dalam mewujudkan kebijakan. Opportunities (Peluang) merupakan situasi utama yang menguntungkan di dalam suatu lingkungan atau keadaan.19 Pada bagian ini akan digunakan untuk melihat keadaan yang berada di luar negara Thailand yang mendukung adanya pencapaian terhadap tujuan utama Thailand mewujudkan pelaksanaan single visa. Keadaan tersebut akan dilihat pada kawasan ASEAN terkait dengan tanggapan yang diberikan terhadap rencana kebijakan tersebut. Threats (Ancaman) merupakan situasi utama yang tidak menguntungkan di dalam suatu lingkungan atau keadaan.20 Ancaman adalah bagian dari penghalang bagi suatu negara atau kawasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan pada konteks, bagian ini akan digunakan melihat keadaan yang dapat mengancam keberadaan Thailand dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kebijakan single visa. Berbagai ancaman tersebut dapat datang dari negara lain yang berada di kawasan ASEAN. Empat komponen tersebut pada dasarnya akan digunakan untuk melihat adanya peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Thailand dalam mewujudkan single visa. Dalam hal ini untuk melihat adanya peluang, akan melibatkan komponen Strength (Kekuatan) dan Opportunities (Peluang). Sedangkan untuk melihat adanya tantangan akan menggunakan komponen Weakness (Kelemahan) dan Threats (Ancaman).
D. Argumen Utama Menurut rumusan masalah yang kemudian dikorelasikan dengan landasan konseptual di atas, penulis beragumen bahwa tujuan Thailand dalam menginisiasi kebijakan single visa dapat terbagi menjadi kepentingan politik dan kepentingan ekonomi-sosial. Kepentingan Thailand dalam bidang politik dapat dilihat pada lingkup domestik dan internasional. Dalam lingkup internasional, Thailand ingin meningkatkan keberadaan kawasan ASEAN yang dapat diwujudkan secara nyata dengan meningkatkan hubungan antar negara dan kerjasama dalam berbagai bidang. Selain itu, Thailand ingin dapat menambah pengaruh negaranya terhadap 19
Pearce dan Robinson, Manajemen Strategis – Formulasi Implementasi dan Pengendalian,
p.201. 20
Pearce dan Robinson, Manajemen Strategis – Formulasi Implementasi dan Pengendalian,
p.201. 8
negara lain terutama di bidang pariwisata. Sedangkan di dalam negara, Thailand berharap dapat menjadi pintu gerbang utama atau pusat bagi kedatangan wisatawan di kawasan ASEAN. Selanjutnya dalam bidang ekonomi-sosial, kepentingan Thailand adalah untuk memberikan jawaban atau solusi terhadap keluhan para wisatawan yang menganggap bahwa mengurus surat izin visa di kawasan ASEAN cukup rumit. Kemudian, dengan kemudahan tersebut Thailand ingin meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan yang semakin banyak khususnya di dalam negaranya. Selain itu, Thailand menginginkan adanya peningkatan jumlah devisa di dalam negara. Serta tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh tempat di berbagai daerah dalam negaranya. Kemudian sehubungan dengan pertanyaan kedua, peluang Thailand dalam mewujudkan single visa dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah kondisi infrastruktur pariwisata Thailand yang telah mendukung. Peluang kedua adalah ide Thailand terkait single visa mendapatkan respon yang baik dari negara anggota ASEAN. Bahkan respon tersebut ditunjukkan dengan banyaknya dukungan yang diberikan dari negara lain bagi Thailand. Ketiga adalah adanya upaya Thailand untuk membangun akses perbatasan dengan negara lain sebagai salah satu tindakan nyata untuk mewujudkan pelaksanaan single visa. Sedangkan tantangan yang dihadapi Thailand dalam mewujudkan pelakasanaan single visa dapat dilihat dari, pertama adanya kompetisi diantara negara ASEAN. Kedua adalah berkurangnya length of stay dari para wisatawan di Thailand. Ketiga adalah berkurangnya devisa negara. Keempat adalah kondisi keamanan Thailand yang kurang mendukung. Kelima adalah sudah adanya penerapan bebas visa bagi negara-negara non-ASEAN.
E. Jangkauan Penelitian Dalam melakukan tinjauan terkait kepentingan, peluang dan tantangan Thailand dalam mewujudkan single visa akan dilihat mulai tahun 2003 hingga tahun 2014. Rencana kebijakan single visa ini pertama kali mulai dicetuskan oleh Thailand pada tahun 2003 di subregional ASEAN yaitu ACMECS. Sehingga Thailand sudah berusaha mempersiapkan keberadaan negaranya untuk menghadapi kebijakan baru. Mulai saat itu tentu banyak usaha dan cara yang dilakukan oleh Thailand dalam mewujudkan kebijakan single visa, baik yang dilakukan di dalam negara maupun usahanya mendorong negara lain dalam mewujudkan kebijakan tersebut. Kemudian pada tahun 2011 rencana kebijakan tersebut mulai masuk ke dalam ATSP. Sehingga pada saat itu negara-negara ASEAN menjadi memiliki tanggung 9
jawab untuk mempersiapkan juga keberadaan dari negara masing-masing. Berbagai upaya mulai dilakukan dan berbagai tantangan dihadapi oleh negara-negara ASEAN khususnya Thailand guna mewujudkan kebijakan. Usaha tersebut terus dilakukan sampai saat ini hingga proses persiapan selesai dilaksanakan. Sehingga tahun 2014 merupakan tahun terkini dalam rangka persiapan menuju penerapan kebijakan ASEAN single visa.
F. Metode Penelitian Dalam proses penulisan skripsi yang membahas terkait kepentingan, peluang dan tantangan Thailand dalam mewujudkan pelaksanaan single visa, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif yang di dukung dengan data jenis kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data atau informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi literatur/kajian pustaka. Adapun bahan bacaan diperoleh dari berbagai sumber seperti artikel internet dan media massa, jurnal, buku, terbitan pemerintah, laporan organisasi internasional dan sumber terkait lainnya baik online maupun cetak. Data kualitatif yang diperlukan dalam melengkapi penelitian ini meliputi kebijakan single visa di kawasan sub-regional ACMECS dan kebijakan single visa di ASEAN dalam ATSP. Sedangkan data kuantitatif yang diperlukan antara lain meliputi data kunjungan wisatawan mancanegara ke Thailand, data pendapatan devisa Thailand, serta laporan hasil Travel dan Tourism Competitiveness Index di ASEAN. Data-data tersebut akan digunakan untuk menyimpulkan kepentingan Thailand beserta dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan pelaksanaan single visa. Adapun proses yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian adalah menggunakan data dan informasi berdasarkan fenomena yang terjadi untuk dikaji dan dianalisis secara lebih lanjut dengan menggunakan landasan konseptual. Pada awal penjelasan akan dipaparkan awal mula Thailand menginisiasi kebijakan single visa. Data yang dibutuhkan dalam penelitian tersebut antara lain sejarah single visa untuk pertama kalinya, yang kemudian menginspirasi Thailand untuk mewujudkan rencana kebiajkan tersebut di dalam kawasan sub-regional ACMECS. Hingga masuknya kebijakan tersebut menjadi fokus pariwisata ASEAN. Kemudian dari sana akan dilihat kepentingan yang dimiliki oleh Thailand dalam menginisiasi kebijakan tersebut. Selanjutnya penulis akan melihat adanya peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Thailand di dalam mewujudkan pelaksanaan single visa. Dari sana penulis akan mengumpulkan data terkait dengan kondisi yang mendukung dan dimiliki oleh Thailand 10
yang berpotensi untuk mewujudkan pelaksanaan single visa. Selain itu penulis juga akan mengumpulkan data terkait dengan keadaan yang menjadi hambatan bagi Thailand dalam mewujudkan kebijakan tersebut. Melalui data-data yang ada diharapkan dapat menjawab kepentingan Thailand di dalam menginisiasi kebijakan
single visa, serta dapat
mengelaborasikan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kebijakan tersebut.
G. Sistematika Penulisan Penelitian yang berjudul Inisiasi Thailand dalam Mewujudkan ASEAN Single Visa : Kepentingan, Peluang dan Tantangan akan di bagi menjadi 5 Bab. Bab I : Pendahuluan Pada bab ini penulis akan membahas terkait dengan pendahuluan penelitian yang didalamnya meliputi pemaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, jangkauan penelitian, metode penulisan, serta sistematika penulisan.Dalam bab ini secara umum akan menggambarkan arah penjelasan dari penelitian yang akan dilakukan khususnya dalam menjawab rumusan masalah dengan menggunakan sistematika yang ada. Bab II : Awal Mula Thailand Mendorong Kebijakan single visa A. Sejarah Munculnya Single Visa untuk Pertama Kalinya di Dunia B. Dorongan Kebijakan Single Visa oleh Thailand Negara-Negara Sub Regional ASEAN (ACMECS) C. Dorongan Kebijakan Single Visa oleh Thailand di ASEAN Pada bab ini akan menjelaskan terkait dengan perjalan awal mula kebijakan single visa dapat menjadi fokus pariwisata di kawasan ASEAN. Dalam hal ini akan dijelaskan mulai dari sejarah single visa pertama kali, hingga perjalanannya dapat menjadi bagian dalam strategi pariwista ASEAN yang sebelumnya telah diinisiasi oleh Thailand di dalam subregional ACMECS. Bab III : Kepentingan Thailand dalam Mendorong Kebijakan ASEAN Single Visa Pada bab ini akan menganalisa kepentingan yang dimiliki oleh Thailand, yang hendak diwujudkan di dalam menginisiasi kebijakan single visa. Di dalam menjelaskan kepentingan tersebut akan dilihat dari sisi politik, ekonomi dan sosial. 11
Bab IV : Peluang dan Tantangan Bagi Thailand dalam Pelaksanaan ASEAN Single Visa A. Peluang B. Tantangan Pada bab ini akan menganalisa terkait dengan berbagai macam peluang dan tantangan yang hendak dihadapi Thailand dalam rangka pelakaaan kebijakan single visa. Peluang dan tantangan tersebut dilihat dari dalam kondisi negara Thailand beserta kaitannya dengan negara lain di kawasan ASEAN baik yang mendukung maupun tidak mendukung. Kemudian penulis akan menganalisa data-data tersebut dengan menghubungkannya menggunakan landasan konseptual yang ada. Bab V : Kesimpulan Pada bab ini berisi penjelasan yang berisi rangkuman hasil penelitian dari seluruh data yang telah dianalisis sebelumnya, yang berfungsi dalam memberikan jawaban pertanyaan terkait kepentingan Thailand dalam menginisiasi single visa dan peluang serta tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan kebijakan tersebut
12