BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak Jepang kalah Perang Dunia II pada tahun 1945 Jepang harus menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu yang dipimpin oleh Amerika. Sejak saat itu banyak sekali campur tangan Amerika dalam pemerintahan Jepang, salah satunya adalah pembuatan dan pengesahan Undang-Undang Dasar Negara bernama Democratic Constitution yang merubah segala sistem pemerintahan Jepang dan juga US-Japan Security Alliance atau (日本国とアメリカ合衆国と の間の安全保障条約) pada tahun 1951 yang sangat berpengaruh terutama dalam bidang keamanan dan militer. Hal ini disebutkan dalam pasal 9 konstitusi demokrasi bahwa Jepang dilarang memiliki militer karena akan dikhawatirkan agresi militer Jepang dapat kembali terjadi di masa mendatang. Semenjak konstitusi demokrasi ditetapkan Jepang menjadi negara tanpa kekuatan militer dan hanya memiliki (Japan Self Defense Force) JSDF yang disebut dengan Jietai 自衛隊 yang memiliki fungsi ke dalam untuk membantu warga dan menjaga dari segala ancaman tanpa aksi agresif.1 Masyarakat Jepang pun ditanami rasa cinta damai dan menjadi negara pasifis yang benci perang. Hal ini juga dikarenakan bayangan perang yang masih ada dalam bayangan sejarah Jepang yang ditakuti oleh masyarakatnya, sehingga mereka sangat mendukung gerakan yang menanamkan pasifisme untuk menciptakan dunia yang stabil, aman dan damai. Jepang pun tidak dikhawatirkan secara mendalam dalam hal militer dan keamanannya karena sudah dijamin dalam US-Japan Security Alliance. Aliansi yang pada awalnya dianggap Jepang hanya menguntungkan pihak Amerika saja, seiring berjalannya waktu Jepang menyadari keuntungan yang bisa diperoleh dari aliansi yang sangat kuat ini. 1
Dewi Agustina. (2004, 2 Juli). Persenjataan Militer Jepang Hanya untuk Membela Diri. Tribun News. Retrieved from http://www.tribunnews.com/internasional/2014/07/03/persenjataan-militerjepang-hanya-untuk-membela-diri
Sesuai dengan penelitian yang saya lakukan pada saat pertukaran pelajar di Jepang selama satu tahun, saya temukan bahwa seiring berjalannya waktu dalam dunia kontemporer ini militer Jepang yang awalnya tidak diizinkan berpartisipasi dalam collective security act semakin terlibat dalam dalam menunjukkan rasa cinta damai mereka, terutama pada era Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. Sebelum itu pun Jepang bahkan sempat mengirimkan pasukan (Self Defense Force) SDF-nya ke Afghanistan pada tahun 20012 dan ke Irak pada tahun 20123 sebagai misi perdamaiannya. Dalam pengiriman tersebut Jepang banyak menuai kontroversi dari masyarakat dan bahkan dunia internasional karena hal itu bertentangan dengan konstitusi Jepang pasal 9 negaranya, namun Perdana Menteri yang menjabat membenarkan hal itu sebagai kebijakan atas partisipasi Jepang dalam United Nations Peace Keeping Operation (UNPKO) dalam menjaga negara dan nama bangsa Jepang serta perdamaian dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi militer Jepang pada era kontemporer ini semakin bergeser menjadi lebih fleksibel dalam beroperasi. Tentunya peran Amerika juga menjadi faktor determinan dalam kebijakan ini. Dalam pemerintahan era ini oleh Perdana Menteri Shinzo Abe sejak tanggal 26 September 2012 Parlemen Jepang yang dikenal dengan nama Diet banyak dikuasai oleh Liberal Democratic Party (LDP) yang lebih cenderung right-winged dalam menjalankan politik negaranya. Dalam militer Jepang juga dapat ditunjukkan dengan semakin eratnya US-Japan Security Alliance sekarang ini. Bahkan sebelum masa pemerintahan Shinzo Abe pun banyak sekali perubahan kebijakan keamanan yang dilakukan demi kemajuan Jepang, seperti dirubahnya Department of Defense menjadi Ministry of Defense pada bulan Januari 2007 dengan menteri pertama Fumio Kyuma.4 Namun kebijakan-kebijakan ini banyak sekali menuai kontroversi, seperti halnya banyak yang beranggapan bahwa Shinzo 2
Gatra News (2001, 21 November). Jepang akan Kirim 1000 Pasukan Bantu Amerika. Gatranews. Retrieved from http://arsip.gatra.com/pasal.php?id=12243 3 Radio Australia (2012, 11 April). Jepang akan Teruskan Rencana Kirim Pasukan ke Irak: PM. Radioaustralia. Retrieved from http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2003-12-01/jepangakan-teruskan-rencana-kirim-pasukan-ke-irak-pm/800308 4 Ministry of Defense Japan. (2007, 9 Januari). About Ministry; The Defense Agency has Become the ‘Minister of Defense’ on January 2007. Retrieved from http://www.mod.go.jp/e/about/remarks/2007/press01.html
Abe sangat radikal dalam menentukan undang-undang baru, dan juga sikap Abe yang terlalu pro kepada Amerika dapat menjadi potensi memperburuk hubungan Jepang dengan Cina dan Rusia. Hal ini dikarenakan adanya banyaknya treaty antara Jepang dan Amerika, seperti pembaharuan US-Japan Security Alliance, dan beberapa perjanjian lainnya yang membuat hubungan interdependensi erat antara Jepang dan Amerika. Terutama dalam bidang keamanan, dimana sejak Shinzo Abe terpilih menjadi perdana menteri Jepang ia mencetuskan translasi yang berbeda pada pasal 9 konstitusi Jepang mengenai militer, bahwa Jepang sebetulnya berhak mengembangkan militernya dan beranggapan bahwa budget militer Jepang harus ditingkatkan, sesuai dengan prinsip PBB Act of Belligerence. Hal lain adalah mengenai pentingnya turut campur Jepang dalam collective security act lebih dalam lagi untuk melindungi stabilitas keamanan dunia dan tidak hanya membantu melalui check book diplomacy saja namun juga turut campur dalam mengirimkan pasukan untuk peacekeeping operation. Hal ini juga di didukung oleh Amerika karena ia membutuhkan Jepang dalam menjaga stabilitas keamanan Asia Pasifik, terutama mengenai aktifitas nuklir Korea Utara dan juga uprising dari Cina. Dalam era Shinzo Abe ini terdapat banyak respon yang terjadi dikarenakan ia memilih untuk menjadi right-winged dengan meningkatkan US-Japan Security Alliance. Salah satunya adalah aksi masyarakat Jepang yang pada awalnya tidak terlalu menyuarakan suara pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah, sekarang ini sangat aktif dalam melakukan demonstrasi untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka dalam rapat peningkatan anggaran militer Jepang yang menjadi tanda reaktifasi dari militer Jepang. Hal ini dikarenakan sudah dalamnya penerapan dari pasifisme yang diterapkan dan telah mengkar di masyarakat Jepang. Banyak sekali demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang di jalan-jalan di berbagai kota di Jepang pada era Abe. Namun terdapat pula pro yang lebih banyak terdengar dari para remaja masyarakat Jepang, mereka beranggapan bahwa militer sebagai komponen utama yang penting dalam menjaga keamanan negara, selama tidak digunakan untuk agresifitas maka hal itu wajar.
Sedangkan di mata dunia internasional Jepang masih dianggap berbahaya jika mempunyai kekuatan militer yang besar ditambah pula jika US-Japan security alliance semaki ditingkatkan. Banyak sekali negara, terutama negaranegara bekas jajahan Jepang, yang menolak demiliterisasi Jepang. Hal ini dikarenakan sisa-sisa konflik dari perang dunia masih membekas dalam kehidupan negara-negara bekas jajahan Jepang, seperti Cina dan Korea. Contoh konfliknya adalah konflik territorial Jepang dengan Cina dalam sengketa pulau Senkaku dan konflik teritorial dengan Korea mengenai sengketa pulau Takeshima. Hubungan mereka semakin diperburuk dengan fakta sejarah agresifitas Jepang terhadap Cina dan Korea yang membuat mereka bersikap lebih keras terhadap Jepang. Latar belakang sejarah ini menjadi salah satu faktor kuat mengapa hubungan Jepang dengan Cina disebut sebagai frienemy karena mereka dekat dalam hubungan ekonomi namun jauh dalam hubungan lain, terutama diplomasi politik. Dengan semakin dekatnya Jepang dengan Amerika maka akan membuat Cina dan negara-negara lainnya menjadi semakin curiga akan Jepang. Dibalik itu Jepang berada dalam keadaan terdesak dimana ia harus mempertahankan national securitynya dalam segala macam ancaman. Ancaman kontemporer yang dimaksud adalah teroris. ISIS sebagai organisasi terorisme internasional telah menembus dinding defensif Jepang yang membuat Jepang semakin ingin aktif untuk terjun dalam usaha collective security act yang juga sangat didukung oleh pihak Amerika. Selain itu ancaman nuklir dari Korea dan juga The Uprising of China membuat posisi Jepang sangat terpojok dan meningkatkan kebijakan keamanannya dengan meningkatkan aktifitas militernya, salah satunya dengan meningkatkan anggaran militer. Parlemen Jepang pada akhirnya telah membuat perubahan besar dalam militer selama 7 dekade, yaitu yang awalnya anggaran militer Jepang hanya sebesar 0,1% dari GDP negara menjadi 4,98 Trilliun Yen pada bulan Januari lalu.5 Dengan desakan ini Abe semakin yakin untuk mempererat aliansinya dengan Amerika.
5
BBC News (2015, 14 Januari). Japan Approves Record 4.98 Trilliun Yen Defence Budget. BBCnews.com. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-asia-30808685
Perdana Menteri Shinzo Abe yang berada di dalam dua pilihan antara leftwinged supaya dinamika hubungannya dengan Cina, Korea dan Rusia, ditambah pula mempertahankan status quonya atau memilih right-winged dengan bekerja sama dengan Amerika supaya keamanannya
lebih terjamin, lebih memilih
cenderung untuk lebih dekat dengan Amerika dikarenakan dianggap lebih menjanjikan dan dinamis dibandingkan harus berusaha untuk mendekatkan diri dengan Cina. Seiring juga dengan semakin flexibelnya militer Jepang dan juga banyaknya amandemen dalam US-Japan Security Alliance, pihak Jepang sendiripun juga merasa takut jika aliansi ini terlepas. Pihak Jepang berusaha sekeras mungkin untuk menjadi lebih longgar dalam perjanjian keamanan dengan Amerika namun dibalik itu Jepang juga tidak ingin perjanjian aliansi ini dibatalkan. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan national security Jepang yang masih tergantung dengan Amerika. B. Pertanyaan Penelitian Dari uraian di atas maka dapat ditarik dua pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana sikap Perdana Menteri Shinzo Abe terhadap US Japan Security Alliance? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kebijakan Shinzo Abe? C. Landasan Konseptual Untuk menjawab pertanyaan permasalahan diatas, dalam skripsi ini akan menggunakan dua teori untuk menjawab: “The Trends Of Time”, merupakan politik luar negeri Jepang yang dicetuskan oleh Roberto Bendini yang menjelaskan bahwa politik luar negeri Jepang yang mengejar kepentingan nasionalnya menggunakan pendekatan bukan berdasarkan agenda
internasional,
menyebarkan
ideologi
tertentu,
atau
bahkan
mempromosikan sistem dunia berdasarkan visinya, namun dengan menggunakan
pendekatan lingkungan eksternal dan membuat kebijakan pragmatis supaya bisa terus maju ke depan.6 Politik luar negeri ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, pertama yaitu permasalahan
lingkungan
geografis
yang
diperpanjang
dengan
konteks
internasional dimana posisi Jepang sangat rapuh terhadap dinamika eksternal dan memiliki kelemahan jika terdapat suatu kebijakan diterapkan. Hal ini terutama Jepang terletak didalam posisi bipolar structure, yaitu berada diantara Amerika dan Cina, dimana Amerika merupakan aliansi Jepang yang sangat dan juga Cina yang dianggap sebagai ancaman namun juga kesempatan bagi Jepang. Faktor yang mempengaruhi yang lainnya adalah kebijakan domestik. Memori kejayaan dan juga kekalahan Jepang berkontribusi terhadap fragmentasi dan polarisasi debat dalam negeri akan kebijakan luar negeri Jepang. Hal ini juga dikarenakan Jepang sangat mempehatikan prinsip ketat pasifisme yang ditetapkan Jepang pasca Perang Pasifik yang juga dituliskan ke dalam konstitusi negara.7 Berdasarkan teori di atas sikap Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri Jepang tidak menekankan arah negara yang berdasarkan ideologi namun berdasarkan kondisi dinamika domestik dan internasional dalam decision-making process dan juga menentukan suatu kebijakan. Melihat kinerja Shinzo Abe dalam era kontemporer ini dapat dilihat dari sifat Abe yang flexible dan tidak terpaku dari suatu ideologi dan visi semata. Selain teori diatas dalam penulisan skripsi ini juga menggunakan landasan konseptual:
6
Bendini, Roberto (2015, Agustus). In Depth Analysis of Japan Foreign and Security Policy at the Crossroads. European Union. DG EXPO/B/PolDep/Note/2015_251 7 Bendini, Roberto (2015, Agustus). In Depth Analysis of Japan Foreign and Security Policy at the Crossroads. European Union. DG EXPO/B/PolDep/Note/2015_251
“Game Theory” “Game Theory is the subset of rational choice theory that deals with strategic interaction, that is, situation which what each player wants to do depends in part on what it thinks others will do.”8 Sebagai cabang dari rational choice theory, Game Theory mengasumsikan bahwa aktor bersikap rasional dan memilih strategi yang ia anggap terbaik. Teori ini sangat cocok digunakan dalam hubungan para pemimpin negara, baik bilateral maupun multilateral dalam memutuskan suatu kebijakan dengan mencapai suatu understanding yang juga memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat. Hal ini dikarenakan aktor secara rasional selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya dan meminimumkan kerugiannya dengan langkah-langkah seperti membuat daftar prioritas, mengestimasi probabilitas, dan beruaha untuk menentukan dan memprediksi apa yang akan dilakukan oleh aktor lainnya. Dalam Game Theory bukanlah two-person zero-sum-game, dimana satu aktor mendapatkan keuntungan maksimal sedangkan aktor lainnya merugi, melainkan lebih cenderung mengarah pada positive-sum-game dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan, walaupun dalam porsi yang berbeda.9 Oleh karena itu dalam teori ini menerpakan win-win solution terhadap pihak-pihak yang terkait. Teori ini terbentuk dikarenakan dunia politik internasional yang dinamis dalam berbagai bidang, contohnya dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana karakter dan sikap Abe dalam hubungan bilateral dengan Amerika, khususnya dalam menjalani US Japan Security Alliance. Sikap-sikap Abe dalam memutuskan apakah ia akan meningkatkan aliansi atau justru berusaha untuk lebih mandiri akan dilandasi dengan teori ini, yaitu bagaimana Abe dapat membuat suatu kebijakan agar dapat
8
Kydd, Andrew H. (2015, Januari) International Relations Theory. Cambridge, UK. Cambridge University Press 9 Tema, Malvina (2014, Januari). Basic Assumptions in Game Theory and International Relations”, International Relations Quaterly, Vol. 5. No.1. diambil dari http://www.southeasteurope.org/pdf/17/dke_17_a_e_Malvina-Tema_Game-Theory-and-IR.pdf
terjalinnya win-win solution antara pihak Jepang dan Amerika melalui US Japan Security Alliance. D. Argumen Utama Berdasarkan uraian dan dua konsep diatas dapat diambil argumen utama bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe memilih untuk mempererat kerjasama USJapan
Security
Alliance
dengan
menerapkan
kebijakan-kebijakan
pro
Amerikanya. Dimana Jepang berusaha untuk menjadi lebih flexible namun di saat yang sama berusaha untuk tidak lepas dari lindungan Amerika dalam perjanjian aliansi. Dari perjanjian ini Jepang lambat laun berhasil meningkatkan JSDFnya menjadi kekuatan militer negara yang lebih kuat. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi Abe untuk memilih mempererat aliansi dengan Amerika, yaitu konflik territorial, the uprising of China dan dinamika internasional. Demi menjaga keamanan nasional, US-Japan Security Aliiance merupakan media pendorong utama Jepang untuk mengembangkan SDF nya untuk melindungi keamanan negaranya dan juga aktif dalam collective security act untuk menjaga perdamaian dunia. Rasional bagi Shino Abe untuk mengembangkan kerjasama aliansi dikarenakan memberikan keuntungan besar bagi Jepang, terutama dalam bidang keamanan nasional. E. Jangkauan Penelitian Dalam skripsi ini akan fokus pada periode kontemporer Jepang, yaitu pada saat pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, yaitu sejak periode I pemerintahannya pada tahun 2006 hingga 2007 dan periode II pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2012 hingga sekarang. F. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif yang diperoleh melalui data sekunder dan juga data primer. Data sekunder akan diperoleh melalui buku, jurnal dan juga website yang berkaitan, terutama pdf laporan tahunan Ministry of Defense Jepang. Sedangkan untuk data
primer diperoleh dari wawancara langsung kepada masyarakat Jepang serta kepada dosen dan politisi Jepang. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yaitu pada Bab I penulis akan menjelaskan kerangka utama dari isi skripsi, seperti Pertanyaan Penelitian, Landasan Konseptual, Argumen Utama, Jangkauan Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Pada Bab II penulis akan mulai masuk kedalam bahasan utama skripsi, yaitu mengenai keadaan domestik Jepang dalam menghadapi security alliance dan karakter kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe. Dalam bab ini akan dibagi menjadi dua sub bab yaitu keadaan domestik Jepang yang akan dibagi lagi dengan sub bab kekalahan Jepang dan ditetapkannya pasa 9 konstitusi 1947 dan US-Japan Security Alliance. Sedangkan sub bab dua akan membahas mengenai karakter kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe. Pada Bab III penulis akan membahas mengenai kebijakan Shinzo Abe terhadap US-Japan Security Alliance. Dalam bab ini akan diuraikan secara sistematis dan akan dituliskan analisis dari bab sebelumnya dimulai dari periode pertama masa pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2006 hingga 2007, periode kedua masa pemerintahan Shinzo Abe pada tahun 2012 hingga sekarang dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi dilemma US-Japan Security Alliance, yang diuraikan menjadi empat sub bab. Yaitu konflik teritorial, The Uprising of China, Dinamika Keamanan Internasional dan Semakin eratnya US-Japan Security Alliance dan ditingkatkannya SDF Jepang. Pada bab keempat atau bab terakhir penulis akan membahas mengenai kesimpulan dari semua bahasan skripsi.