BAB I PENDAHULUAN 1. 1
Latar Belakang Penelitian Kereta Api di Indonesia ada sejak 137 tahun yang lalu. Jaringan kereta api
di Indonesia sebagian besar merupakan peninggalan Belanda meliputi lintasan sepanjang 6.482 km yang tersebar hanya di Jawa dan Sumatera, dimana 70% diantaranya terletak di pulau Jawa. Di jawa jaringan jaringan kereta api ini menghubungkan dua kota metropolitan yaitu Jakarta di bagian barat dan Surabaya di bagian timur dengan jarak ±826 km. Usia jaringan KA umumnya sudah sangat tua, yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 29%, usia antara 10-70 tahun 44,4% dan yang paling tua berusia antara 70-137 tahun 25%. Di jawa, terdapat tiga lintas pelayanan utama, yaitu: Jakarta-Bandung; Jakarta-Semarang-Surabaya (disebut lintas utara) dan JakartaJogyakarta-Surabaya (disebut lintas selatan). Sementara itu di sumatera terdapat tiga sub-jaringan kereta api yang terpisah satu sama lain yakni : sub-jaringan Sumatera bagian utara; sub jaringan sumatera bagian barat dan sub-jaringan Sumatera bagian selatan. Meskipun kereta api memiliki sejarah panjang di Indonesia sejak 1842, namun tidak ada peningkatan jaringan justru terjadi pengurangan jalur pada lintas yang tidak dioperasikan sepanjang 1.781 km (pulau Jawa dan secara parsial di pulau Sumatera) dari total jalur yang pernah ada sepanjang 6.811 km. Dari tahun 1939-2000 (61 tahun) panjang rel kereta api mengalami penurunan sebesar 41%, jumlah stasiun dan pemberhentian dari tahun 1955-2000 (45 tahun) juga mengalami penurunan sebesar 62%, dan jumlah lokomitif dari tahun 1940-2000 (60 tahun) mengalami penurunan sebesar 60%, sedangkan jumlah penumpang dari tahun 1955-2000 terus mengalami kenaikan sebesar 30% seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Pada kondisi sekarang infrastruktur rel kereta api di Indonesia kurang memadai, dari 6.811 km yang tersisa sekarang hanya 5.030 pada tahun 2000. Dari sekitar 5.030 km panjang rel, baru sebagian kecil saja yang infrastrukturnya
memadai, terutama di jalur yang sudah double track (jalur ganda). Sedangkan sebagian besar lainnya yang single track masih merupakan rel sisa peninggalan Belanda. Kelembagaan penyelenggaraan telah berubah-ubah status mulai dari jawatan sampai dengan dipisah antar fungsi kepemerintahan dan kepengusahaan (dari perumka menjadi persero), namun belum dapat melakukan penggantian prasarana dan sarana yang memadai. Akibat kurang memadainya sarana dan prasarana yang disediakan akan mengakibatkan beberapa hal seperti : penurunan jumlah penumpang dan barang karena orang lebih baik menggunakan transportasi darat lainnya seperti menggunakan kendaraan bermotor, dan juga banyak terjadinya kecelakaan di jalur kereta api yang tidak sedikit menelan banyak korban. Dengan kondisi sarana dan prasarana perkeretaapian yang sudah tua, banyak dari sarana dan prasarana tersebut yang sudah tidak sesuai dengan standar/ kebutuhan atau sudah tidak layak lagi untuk digunakan. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan prasarana dan sarana sesuai dengan standar atau ketentuan yang berlaku yang disebut
juga
backlog.
Backlog
dapat
dikatakan
sebagai
beban
untuk
merekondisikan kembali prasarana dan sarana yang kondisinya di bawah standar Kebutuhan transportasi dari berbagai moda dalam tahun 2002 tumbuh untuk angkutan penumpang sebesar 6%, untuk angkutan barang sebesar 5,8%. Khusus untuk angkutan kereta api, pertumbuhan angkutan penumpang sebesar 1% dan angkutan barang sebesar -4,6%. Pertumbuhan negatif tersebut disebabkan karena terjadinya peningkatan backlog. Untuk mengembangkan tranportasi kereta api di Indonesia, dituntut komitmen kuat dan perubahan cara pandang. Komitmen yang kuat dibutuhkan karena untuk membangun infrastruktur transportasi kereta api dibutuhkan biaya yang sangat tinggi. Sementara perubahan cara pandang adalah dengan melihat kereta api dari sudut pandang publik penggunanya, bukan sekadar kereta api sebagai alat trnasportasi yang memiliki jalur khusus. Total backlog pada kereta api menunjukan jumlah yang sangat besar yaitu diperhitungkan ± Rp. 11,1 trilyun
yang terdiri dari sarana Rp. 5,1 trilyun dan prasarana Rp. 5,9 trilyun, jumlah ini sebagai indikasi betapa seriusnya kondisi sarana dan prasarana kita. Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara efektif mulai berlaku tahun 2005, hal ini membawa banyak hal baru dan mencipta kemelut dalam pembahasan DIPA 2005 Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memuat perubahan yang mendasar baik dalam pendekatan penyusunan anggaran maupun pelaksanaan anggaran negara. Penyusunan anggaran dengan perspektif jangka menengah, pengganggaran secara terpadu, dan penganggaran berdasar kinerja adalah aspek penganggaran yang baru. Dengan perspektif jangka menengah akan meningkatkan keterkaitan proses perencanaan dan penganggaran, meningkatkan disiplin fiskal, dan alokasi sumberdaya yang rasional. Penganggaran secara terpadu berarti memuat semua kegiatan instansi pemeritah dalam APBN sekaligus mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang selama ini menimbulkan dikotomi yang tidak perlu. Akhirnya penganggaran berbasis kinerja dimaksudkan untuk memperjelas tujuan dan indikator kinerja sehingga mendukung efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Segala perubahan yang diamanatkan kedua undang-undang tersebut harus dapat dimulai pelaksanaannya pada tahun anggaran 2005. Artinya pada tahun 2005 penyusunan dan pelaksanaan anggaran telah sepenuhnya berdasarkan kedua undang-undang tersebut. Untuk tidak menimbulkan gejolak yang tidak perlu maka Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2005 disebut sebagai masa transisi yang rencananya hingga DIPA 2007. Sifat transisional tersebut terlihat dari belum dapatnya dengan tepat ditetapkan kebutuhan anggaran tahun berikutnya (prakiraan maju), integrasi anggaran rutin dan pembangunan masih mengakomodasi sifatsifat keduanya, dan perhitungan alokasi anggaran belum didasarkan atas jumlah keluaran atau hasil yang direncanakan. Sebagai masa transisi maka masih perlu ada pembenahan dan pengaturan lebih lanjut.
Penelitian ini dilakukan penulis pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang baru berdiri Agustus 2005 di bawah Departemen Perhubungan. Melihat pentingnya peranan Direktorat Jenderal Perkerataapian terhadap pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana kereta api. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Terhadap Efektivitas Penanganan Backlog” (studi kasus pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian)
1. 2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas , penulis mengidentifikasikan
masalah : Bagaimana analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dalam menunjang
efektivitas
penanganan
backlog
pada
Direktorat
Jenderal
Perkeretaapian
1. 3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : Untuk mengetahui analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
dalam menunjang efektivitas penanganan backlog
1. 4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna bagi
berbagai pihak antara lain bagi : 1. Penulis Dengan melakukan penelitian langsung di lapangan, penulis dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi serta hambatan yang dihadapai dalam proses pelaksanaan DIPA dalam Direktorat Jenderal Perkeretaapian, sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengukuran kinerja DIPA terhadap backlog.
2. Direktorat Jenderal Perkerataapian Penulis berharap agar penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Direktorat Jenderal Perkerataapian dalam menunjang efektivitas penanganan backlog 3. Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.
1. 5
Kerangka Pemikiran Dalam setiap organisasi membutuhkan suatu anggaran, baik sektor swasta
maupun sektor publik (pemerintah). Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran. Penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi. Dalam organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Hal tersebut berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif kecil nuansa politisnya. Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan, dan diberi masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dimiliki pemerintah adalah uang rakyat dan anggaran menunjukan rencana pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat tersebut. Anggaran merupakan blue print keberadaan sebuah negara dan merupakan arahan di masa yang akan datang. Menurut Revirsond Baswir (2000;26) secara umum Anggaran Negara diartikan sebagai : “Suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan,
serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu” Penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi dan perencanaan strategik yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Menurut National Committee On Governmental Accounting (NCGA), saat ini Governmental Accounting Standarts Board (GASB), definisi anggaran (budget) sebagai berikut : “Rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu” Aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran sektor publik meliputi : 1. Aspek perencanaan 2. Aspek pengendalian 3. Aspek akuntabilitas publik Anggaran publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang.
Sedangkan secara khusus mengenai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah suatu rencana keuangan tahunan yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasional, pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana dan juga untuk meningkatkan efisensi dan efektivitas. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menyelenggarakan kegiatan, karena : 1. Menentukan jumlah dana yang akan dikeluarkan untuk membiayai kegiatan opersional dan pembangunan 2. Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan perencanaan kegiatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang 3. Merupakan suatu cara untuk, melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Direktorat Jenderal Perkeretaapian dengan secara yang lebih mendalam dan berhasil guna 4. Digunakan sebagai alat motivasi (Motivation Tool) agar kegiatan dapat dilaksanakan secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam pencapaian target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan Efektivitas merupakan salah satu aspek penelitian terhadap prestasi manajemen
dalam
mengelola
perusahaan.
Oleh
karena
itu
efektivitas
mendapatkan perhatian khusus dari manajemen. Efektivitas itu sendiri berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi. Pengertian efektivitas tersebut dijelaskan oleh Mardiasmo (2002;4), sebagai berikut : “Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang
ditetapkan.
Secara
sederhana
ekeftivitas
merupakan
perbandingan outcome dengan output” Efektivitas menyatakan sejauh mana tujuan yang ingin dicapai telah dilaksanakan. Pengertian efektivitas manurut Arens et al (2005 ; 775) adalah sebagai berikut: “Efectiveness is the degree to wich the organization’s objective are accomplished”.
Pengertian efektivitas manurut pendapat dari Anthony dan Govindarajan (2001:111), adalah: “Effectiveness is determined by the relationship between the responsibility center’s output and it’s objectiveness.” Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan semakin efektif pula unit tersebut. Baik di dalam sasaran maupun di dalam keluaran dari suatu unit kerja seringkali sulit pula untuk ditetapkan secara terinci. Oleh karena itu, biasanya tingkat efektivitas ini digambarkan dalam besaran yang bersifat kuantitatif saja. Jadi, efektivitas dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai derajat keberhasilan suatu organisasi (sampai seberapa jauh suatu organisasi dapat dinyatakan berhasil) dalam usaha untuk mencapai apa yang telah menjadi tujuannya. Dapat dikatakan pula, efektivitas merupakan pencapaian sasaran yang telah dipilih sesudah mempertimbangkan alternatif yang bersangkutan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas merupakan suatu ukuran pencapaian tujuan perusahaan bila dihubungkan dengan hasil yang dicapai pusat pertanggungjawaban. Menurut
Memorandum
Departemen
Perhubungan
(2005;IV-1)
Backlog adalah kesenjangan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan prasarana dan sarana sesuai dengan standar atau ketentuan yang berlaku. Sehingga backlog dapat dikatakan sebagai beban untuk merekondisikan kembali prasarana dan sarana yang kondisinya dibawah standar. Penyebab terjadinya backlog adalah : 1. Keterbatasan dana, sehingga menyebabkan : a. Perawatan baik untuk sarana dan prasarana dari tahun ke tahun semakin menurun b. Ketertinggalan teknologi c. Jarangnya dilakukan peremajaan 2. Bencana alam (banjir)
Tujuan dari penaganan backlog menurut Memorandum Departemen Perhubungan (2005;IV-1) dimaksud adalah : 1. Memulihkan jasa pelayanan sarana dan prasarana ke tingkat normal dititikberatkan pada kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan dengan prioritas untuk meningkatkan keselamatan dan kelancaran kegiatan perkeretaapian. 2. Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana, yang diarahkan untuk menunjang peningkatan permintaan pelayanan yang telah melebihi kapasitas dan untuk mendukung terwujudnya sistem transportasi yang efektif dan efisien. Dari kerangka pemikiran tersebut penulis menarik hipotesis bahwa dengan analisis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dapat menunjang efektivitas penanganan backlog
1. 6
Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nasir,1999;63). Tujuan dari pemikiran deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Dalam metode ini data dikumpulkan setelah semua kejadian telah selesai berlangsung dan mengamati secara seksama aspek-aspek tertentu yang berkaitan erat dengan masalah yang diteliti sehingga diperoleh data-data yang menunjang penyusunan laporan penelitian, baik data primer maupun data sekunder. Data-data yang diperoleh tersebut akan diolah dan dianalisis lebih lanjut dengan dasar-dasar teori yang telah dipelajari sehingga memperoleh gambaran mengenai objek tersebut dan dapat disimpulakan mengenai masalah yang diteliti. Untuk melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan (Field Research) a. Penelitian
lapangan
adalah
penelitian
yang
dimaksudkan
untuk
memperoleh data primer yaitu data yang diperoleh melalui : b. Pengamatan (Observation), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengamati secara langsung objek yang diteliti. c. Wawancara (Interview), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara Tanya jawab dengan pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang berhubungan langsung dengan objek yang penulis teliti. 2. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yaitu data yang merupakan faktor penunjang yang bersifat teoritis/ keputusan
1. 7
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis melakukan penelitian
pada Direktorat Jenderal Perkerataapian yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat No.8 Jakarta Pusat. Sedangkan waktu penelitian di mulai pada bulan November 2006.