BAB I PEDAHULUA
1.1
Latar Belakang Penelitian Pemerintah memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit dalam melakukan
aktivitasnya,
baik
aktivitas
sehari-hari
maupun
program
pembangunan.
Pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah dirancang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Penerimaan kas Negara berasal dari berbagai sumber seperti hasil pendapatan dari BUMN, penerimaan bukan pajak, pajak dan lain sebagainya. Akan tetapi penerimaan bukan pajak kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Salah satu penyumbang dana yang terbesar dalam APBN yaitu berasal dari pajak yang dibayarkan wajib pajak kepada negara. Dalam 10 tahun terakhir, target penerimaan pajak terus meningkat dari tahun ke tahun. Itu sebabnya, harus dapat dimengerti jika kemudian DJP akan menggunakan segala strategi (sesuai dengan kewenangan menurut undang undang) untuk mengisi pundi pundi penerimaan negara (Suryohadi Djulianto, Divisi Knowledge Management Prijohandojo, Boentoro & Co, 2009). Begitu pula dalam APBN-D Tahun 2008 misalnya, kontribusi pajak dalam mendukung pembiayaan negara mencapai angka Rp.609,227 triliun dari total pendapatan berjumlah Rp.894,990 triliun, itu artinya lebih dari 70% pendapatan dalam APBN bersumber dari penerimaan perpajakan (Nur Hidayat, 2009). Hal ini menunjukan penerimaan yang bersumber dari pajak sudah mutlak menjadi penerimaan yang terbesar, sesuai dengan fungsi pajak yaitu sebagai sumber keuangan Negara (budgetair). Oleh karena itu pemerintah harus
1
2
berupaya mengoptimalkan penerimaan pajak, karena penerimaan pajak benarbenar diharapkan sebagai penyumbang terbesar penerimaan Negara yang dibutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah terus melakukan revolusi-revolusi terhadap system perpajakan di Indonesia yang bertujuan agar wajib pajak semakin taat untuk membayarkan pajaknya kepada Negara. Saat ini di Indonesia diterapkan self assessment system, pemerintah berusaha untuk mendidik agar masyarakat dapat mandiri dan juga berperan aktif
dalam meningkatkan kemakmuran Negara
dengan membayarkan pajak secara rutin. Dalam self assessment system fiskus tidak dapat sewenang-wenang mengenakan tariff pajak kepada wajib pajak, akan tetapi pajak dikenakan atas aktivitas wajib pajak yang menghasilkan uang yang dianggap sebagai objek pajak. Wajib pajak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakanya secara mandiri, dari mulai memperoleh NPWP, menghitung, menyetor, sampai melaporkan pajaknya. Dituntut kesadaran yang tinggi dari wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakanya, karena self assessment system akan berjalan dengan baik apabila wajib pajak sudah dapat membayarkan pajaknya secara sukarela. Dalam membayar pajak, seorang wajib pajak mengalami gejolak emosional, memperhitungkan keuntungan dan kerugian apabila ia memenuhi atau tidak memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak. Yang menjadi permasalahan ialah tidak semua wajib pajak menyadari untuk taat membayar pajak. Wajib pajak yang menyadarinya akan bersikap jujur dan memenuhi kewajiban pajaknya kepada negara, sedangkan wajib pajak yang tidak menyadarinya akan bertindak tidak jujur dan berusaha menghindari pajak dengan melanggar peraturan
3
perpajakan yang berlaku. Pemerintah sebagai penyelenggara pajak harus menyikapi dengan cermat resiko yang ditimbulkan dari penerapan self assessment system. Fungsi pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah harus diterapkan beriringan dengan penegakan hukum pajak. Pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan, bukan iuran sukarela, oleh karena itu hukum-hukum pajak haruslah ditegakan secara adil dan tegas untuk menciptakan penerapan peraturan perpajakan secara adil, konsisten dan konsekuen (Nur Hidayat, 2009). Penegakan hukum pajak dapat dilakukan dengan cara memberikan sanksi atau denda. Sanksi atau denda ditujukan bagi wajib pajak yang tidak patuh, dan telah melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Untuk menjaga agar wajib pajak tetap pada jalur yang telah ditetapkan dengan tidak melanggar peraturan perpajakan yang ada, DJP harus konsekuen dalam melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu pengawasan dan pembinaan ialah melalui pilar-pilar penegakan hukum pajak, salah satu diantaranya ialah melalui pemeriksaan pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak WP yang belum melaporkan kewajiban perpajakannya dengan sebenarnya, sehingga penerimaan pajak selama ini belum optimal. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tersebut, DJP berupaya melakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak melalui pemeriksaan pajak (Nur Hidayat, 2005). Pemeriksaan pajak juga bertujuan untuk meredam kecurangan yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan pajaknya. Dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak, DJP melakukan pemeriksaan rutin kepada wajib pajak. Pemeriksaan rutin biasanya dilakukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak terhadap hak dan kewajiban
4
perpajakanya. Apabila telah dilakukan pemeriksaan dengan baik diharapkan kepatuhan wajib pajak dalam menaati peraturan perpajakan menjadi meningkat, dan berdampak juga terhadap peningkatan penerimaan pajak Negara. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan penerimaan Negara, jumlah penduduk di Indonesia sangatlah banyak, apabila semua penduduk Indonesia sudah sadar dan patuh terhadap pajak maka jumlah penerimaan dari sector pajak akan semakin tinggi. Tingginya tingkat kepatuhan wajib pajak yang diiringi dengan konsistensi pemerintah dalam mengolah hasil penerimaan pajak akan mengoptimalkan penerimaan pajak sebagai penunjang pembiayaan Negara yang digunakan untuk mewujudkan program jangka pendek maupun jangka panjang yang ditetapkan pemerintah untuk membangun Indonesia. Sehingga nantinya bangsa Indonesia akan bangga menikmati sarana dan prasarana yang diperoleh dari hasil kemandirian, kejujuran, dan kesabarannya melalui pembayaran pajak kepada Negara. Pengawasan terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak. Tapi pengawasan yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan yang masih disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk memeras wajib pajak. Untuk mengatasi hal ini, DJP telah melakukan perjanjian kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari Pemda seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan pihak lainnya. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, DJP juga melakukan upaya intensifikasi (mencari sumber-sumber objek pajak yang belum tergarap), ekstensifikasi (menjaring subjek-subjek pajak baru yang selama ini belum terdaftar sebagai
5
WP), dan penyisiran (penelusuran ke tempat-tempat sentra bisnis tertentu yang potensial). Hal ini, diperkuat dengan pernyataan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution yang dilansir oleh Harian Bisnis Indonesia (2006) bahwa pemerintah (DJP) akan meningkatkan persentase jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) yang akan diperiksa. Untuk mendukung rencana tersebut DJP akan menambah tenaga fungsional pemeriksa serta meningkatkan kualitas fungsional pemeriksa (Nur Hidayat, 2009). Menurut Davis dalam Yamit (2004 : 8 ) yang dikutip oleh Arianto Sam (2008) definisi kualitas yang lebih luas cakupannya yaitu kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang dikemukakan Davis menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek akhir yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas proses dan kualitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan produk yang berkualitas. Menurut KMK -545/KMK.04/2000, SE - 03/PJ.7/2001, SE - 06/PJ.7/2004, SE - 02/PJ.7/2005, KEP - 142/PJ./2005 pemeriksa pajak adalah PNS dilingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan dibidang perpajakan Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan kualitas pemeriksa pajak ialah PNS atau orang yang diberi wewenang oleh DJP untuk melakukan kegiatan pemeriksaan pajak yang kinerjanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam melakukan pemeriksaan pajak haruslah dilakukan oleh orang
6
yang berkompeten dan independen. Kompeten berarti pemeriksa harus memiliki keahlian dan kecakapan sesuai dengan tugas yang diembannya, keahlian dalam mengetahui jenis pemeriksaan dan mengerjakan tahapan-tahapan pemeriksaan dengan baik. Dengan adanya pemeriksa pajak yang berkualitas diharapkan tujuan dari pelaksanaan pemeriksaan tercapai, yaitu menguji tingkat kepatuhan wajib pajak. Dalam melakukan pemeriksaan seorang pemeriksa diharapkan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap wajib pajak agar tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku, sehingga mengurangi kecurangan pajak. Dengan penggunaan teknik yang baik dan sesuai dalam melakukan pemeriksaan maka akan menghasilkan pemeriksaan yang bermutu sehingga mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pembinaan yang bertujuan untuk mengendalikan kepatuhan wajib pajak. Kualitas pemeriksa pajak sudah berjalan dengan baik, seperti penguasaan pemeriksa pajak terhadap tugasnya dalam pemeriksaan pajak. Pada prinsipnya Wajib Pajak mempunyai kesempatan yang sama untuk dilakukan pemeriksaan pajak. Siapapun Anda, peluang pemeriksaan tetap terbuka. Pemeriksaan pajak adalah satu hal yang paling dihindari oleh setiap Wajib Pajak. Dalam kenyataannya wajib pajak banyak sekali mengeluh karena Wajib Pajak seringkali harus membayar lagi sejumlah pajak yang dianggap kurang dibayar. Tidak tanggung-tanggung, sangat mungkin jumlah yang harus dibayar itu besarnya puluhan atau bahkan ratusan kali lipat dari jumlah pajak yang telah dibayar (Wajib Pajak Badan, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kualitas pemeriksa pajak yang rendah. Kekeliruan dalam pemeriksaan wajib pajak membuat wajib pajak kapok untuk melaporkan jumlah pajak terutang yang
7
sebenarnya, Karena apabila wajib pajak sudah melaporkan jumlah pajak terutang yang sebenarnya, hasil pemeriksaan masih menganggap bahwa wajb pajak tidak melaporkan jumlah pajak terutang yang sebenarnya, dan wajib pajak harus membayar kekurangan berikut dendanya. Oleh karena itu wajib pajak berusaha untuk meminimalkan pelaporan pajak terutangnya secara illegal. Kualitas pemeriksa yang tidak baik akan membuat pemeriksaan pajak menjadi tidak benar dan tidak tepat. Pemeriksaan yang tidak baik akan mencapai tujuan yang diinginkan dan akan menimbulkan masalah bagi DJP, bukannya membimbing agar wajib pajak patuh terhadap hukum pajak, tetapi membuat wajib pajak terpaksa melakukan pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang akan berpengaruh juga terhadap tingkat penerimaan pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa standar pemeriksa pajak sudah dijalankan agar pemeriksa memiliki kualitas yang tinggi, akan tetapi masih harus di kaji lebih dalam lagi mengenai kualitas pemeriksa pajak. Beberapa temuan yang berhubungan dengan pemeriksaan pajak ialah sebagai berikut : Fiskus terkadang lalai, tidak menguji dokumen pembayaran berupa L/C ataupun rekening koran. Fiskus belum memperhitungkan pajak penghasilan (PPh) dan PPN atas penjualan lokal. Fiskus belum memperhitungkan PPN dan PPh atas penjualan. Fiskus tidak melakukan penghitungan kembali pajak masukan atas penyerahan yang terutang PPN dan penyerahan yang tidak terutang PPN, sehingga pajak masukannya terlalu besar dikreditkan (Fungsional Pemeriksa Pajak, 2010). Pelanggaran peraturan yang dilakukan wajib pajak tentunya akan mempengaruhi penerimaan pajak Negara. Wajib pajak yang lolos dari
8
pemeriksaan pajak dapat disebabkan dari unsur ketidaksengajaan, dan unsur kesengajaan pemeriksa pajak. Ketidak patuhan wajib pajak juga didukung oleh ketidak patuhan aparatur pajak dalam melakukan tugas yang diembannya. Kedua mantan direksi PT Bank Jabar ini didakwa menyuap pemeriksa pajak dari Kantor Pemeriksa dan penyidikan Pajak Bandung Satu (Karipka). Tindakan mereka berawal sekira April 2002, Bank Jabar mengajukan Surat Pemberintahuan Pajak Tahunan
Bank
Jabar
ke
untuk
tahun
pajak
2001
No
PEM/
208/WPJ.09/RP.0101/2002tanggal 28 Agustus 2002 tentang Pemberitahuan Pemeriksa Lapangan sebesar Rp 85,434 miliar. Tim Karipka memeriksa dan pada 13 November 2003 hasil pekerjaan selesai seiring dengan keluarnya Surat Pemberintahuan hasil pemeriksaan tentang pajak kurang bayar nomor Pemb368/WPJ.09/RP.0100.I. 2/2003. Disebutkan kekurangan Pajak kurang bayar Bank Jabar senilai Rp4,979 miliar dari total Rp90,113 miliar. Tapi, kekurangan Rp4,979 miliar itu hasil negosiasi petugas pemeriksa pajak Dedy Suwardi dengan karyawan Bank Jabar Herry Achmad Buchory lalu diteruskan pada Umar Sjarifuddin (Rin. 2010). Dari wacana tersebut dapat dilihat ketidak adilan dalam menegakan hukum pajak, dan terlihat aparatur pajak yang tidak tegas terhadap wajib pajak badan yang mungkir dari kewajibannya. Masih banyak pemeriksa pajak yang tidak mengutamakan kepentingan Negara yang merupakan tanggung jawab akan wewenang yang diembannya. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak diperiksa oleh pemeriksa pajak yang berkompeten, karena sebagai pemeriksa pajak yang memiliki integritas yang baik harus dapat mengarahkan wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik, bukannya melakukan kolusi dengan wajib pajak yang jelas-jelas akan merugikan Negara.
9
Pemeriksa pajak yang terkadang lupa untuk konfirmasi dengan kantor pajak lainnya, sehubungan dengan pajak keluaran dan pajak masukan (fungsional pemeriksa). Dalam proses pemeriksaan pajak diperlukan ketelitian agar pelaksanaanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Konfirmasi antara fungsional pemeriksa dengan kantor pajak lainya sangat diperlukan untuk membuktikan kebenaran pajak masukan dan pajak keluaran yang terjadi pada wajib pajak. Jangka waktu yang ditetapkan saat ini memberatkan pemeriksa pajak, karena jumlah pemeriksaan pajak rutin yang sangat banyak, ruang lingkup yang luas, serta tingkat kesulitan pemeriksaan pajak yang dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern (Fungsional Pemeriksa pajak, 2010). Pemeriksaan pajak rutin diharapkan dapat menanamkan kesadaran wajib pajak dalam rangka pemenuhan perpajakan, dan haruslah dilakukan pemeriksaan yang berkualitas agar wajib pajak benar-benar memahami pentingnya pajak yang mereka
bayarkan
kepada
Negara
bagi
kemajuan
negaranya.
Untuk
menyelenggarakan pemeriksaan yang berkualitas diperlukan pula pemeriksa pajak yang memiliki kualitas yang baik agar pelaksanaan pemeriksaan pajak dapat berjalan sesuai atau bahkan melebihi harapan. Hal ini didukung oleh penelitian Pramono Hadi Soeparlan (2002) yang berpendapat selain untuk melakukan tugas pemeriksaan DJP perlu menyiapkan pemeriksa pajak yang professional. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja DJP dan juga secara langsung maupun tidak lagsung akan mempengaruhi penerimaan Negara dari setor pajak. Berdasarkan hal tersebut, bahwa kualitas pemeriksa pajak sangat penting dalam memperoleh pemeriksaan rutin yang berkualitas, guna menguji kepatuhan
10
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Kualitas Pemeriksa Pajak dan Implikasinya Terhadap Kualitas Pemeriksaan Pajak Rutin”. ( Suatu studi pada KPP Pratama Wilayah kota Bandung ). 1.2
Identifikasi Dan Rumusan Masalah
1.2.1
Identifikasi Masalah Untuk menyelesaikan masalah yang akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya, perlu adanya pengidentifikasian masalah sehingga hasil analisa selanjutnya dapat terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Dilihat dari uraian latar belakang penelitian diatas, diidentifikasikan permasalahan pada KPP PRATAMA Wilayah kota Bandung adalah sebagai berikut : 1. Keakuratan dan kemampuan melakukan pembinaan pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan pajak rutin masih perlu ditingkatkan, hal ini terbukti dari keluhan wajib pajak yang harus membayar kekurangan pajak yang dianggap kurang bayar oleh wajib pajak. 2. Pemeriksaa pajak kurang menggunakan keterampilannya dengan cermat dah seksama, hal ini dibuktikan dengan kinerja pemeriksa pajak yang kurang maksimal, kelalaiannya seperti tidak memperhitungkan kembali PPH dan PPN wajib pajak yang diperiksanya sehingga merugikan Negara maupun wajib pajak tersebut. 3. Pemeriksa pajak masih lalai terhadap kewajibannya, dan tidak jujur terhadap tanggung jawabnya terhadap Negara dan masyarakat.
11
4. Pemeriksaan pajak yang masih harus dikaji lebih dalam lagi, hal ini dilihat dari keluhan wajib pajak yang harus membayar lagi sejumlah pajak yang dianggap kurang bayar. Kurang baiknya persiapan pemeriksaan pajak yang menyebabkan pemeriksa kurang mendapatkan informasi. 5. Pelaksanaan pajak yang kurang teliti menyebabkan kekurangan pembayaran maupun kelebihan pembayaran. 6. Jangka waktu yang dianggap memberatkan pemeriksa pajak. 1.2.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dalam latar belakang penelitian, penulis
merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas pemeriksa pajak pada KPP PRATAMA Wilayah kota Bandung. 2.
Bagaimana kualitas pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah kota Bandung.
3.
Seberapa besar implikasi kualitas pemeriksa pajak terhadap pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah kota Bandung.
1.3
Maksud Dan Tujuan Penelitian
1.3.1
Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi dan data
yang relevan mengenai kinerja pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan pajak rutin dalam hal tahapan-tahapan pemeriksaan, jangka waktu penyelesaian, dan hasil laporan pemeriksaan pajak rutin.
12
1.3.2
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat kualitas pemeriksa pajak pada KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui tingkat kualitas pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pemeriksa pajak terhadap pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1
Kegunaan Akademis Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat baik langsung maupun tidak langsung pada pihak yang berkepentingan, seperti dijabarkan sebagai berikut : 1.
Bagi Penulis Dapat meningkatkan dan memperdalam pengetahuan serta pemahaman penulis mengenai pengaruh kualitas pemeriksa pajak terhadap pemeriksaan pajak rutin.
2.
Bagi KPP PRATAMA Diaharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan masukan bagi instansi pajak sekaligus untuk mempertimbangkan dan menilai kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh perusahaan dalam hal pengaruh kualitas pemeriksa pajak terhadap kualitas pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung.
13
3.
Bagi Pihak Lain Sebagai referensi atau tambahan informasi yang diperlukan untuk pengembangan pengetahuan lebih lanjut mengenai pengaruh kualitas pemeriksa pajak terhadap pemeriksaan pajak rutin.
1.4.2
Kegunaan Praktis Kegunaan praktis yang penulis tujukan pada perusahaan adalah sebagai
berikut : 1.
Bagi KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung yang diteliti memberikan informasi tentang pelaksanaan pengaruh kualitas pemeriksa pajak terhadap pemeriksaan pajak rutin pada KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung sehingga bisa digunakan dalam mengontrol mutu pelaksanaan pemeriksaan.
2.
Bagi karyawan KPP PRATAMA Wilayah Kota Bandung yang diteliti pada bagian Fungsional Pemeriksa, memberikan informasi tentang sejauh mana mutu pelaksanaan pemeriksaan pajak rutin yang dilakukan oleh KPP Pratama Wilayah Kota Bandung guna evaluasi mengenai kualitas pemeriksa pajak dan kualitas pemeriksan pajak rutin.
1.5
Lokasi dan Jadwal Penelitian
1.5.1 Lokasi Penulis melaksanakan penelitian pada wajib pajak, Seksi Pemeriksaan dan Fongsional Pemeriksa pada KPP PRATAMA WILAYAH KOTA BANDUNG. 1.5.2 Jadwal Penelitian Adapun waktu pelaksanaan penelitian, yakni dari mulai Maret sampai dengan Juni 2010.
14
Tabel 1.1 Jadwal Penelitian o
1
2
3 4
5
Kegiatan Pra Survei : a. Persiapan Judul b. Persiapan teori c. Pengajuan Judul Skripsi d. Mencari Perusahaan Proses Usulan Penelitian: a. Penulisan UP b. Bimbingan UP c. Seminar UP d. Revisi UP Pengumpulan Data Pengolahan Data Proses Penyusunan Skripsi: a.BimbinganSkrip si b. Sidang Skripsi c. Revisi Skripsi d. Pengumpulan draf skripsi
Februari Maret 2009 2009 1 2 3 4 1 2 3 4
April 2009 1 2 3 4
1
Mei 2009 2 3
4
Juni 2009 1 2 3
Juli 2009 4 1 2 3 4