BAB I “MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN ?” MELEPAS BINGKAI PEMAKNAAN DALAM KEBIJAKAN
A. Meletakkan Kebijakan sebagai Wacana Awal studi ini muncul karena melihat kecenderungan berbagai macam kebijakan selalu menggunakan klaim kesejahteraan. Kebijakan memang seringkali dipahami sebagai sesuatu yang menyangkut urusan publik. Kesejahteraan, dengan demikian, selalu diasosiasikan sebagai kepentingan publik yang paling hakiki, dan kepentingan itu berusaha dipenuhi melalui instrumen kebijakan. Masalahnya, banyak sekali kebijakan yang ternyata membuat publik; ‘bukan hanya tidak sejahtera, namun malah sengsara’. Karena itu, penelitian ini berhasrat untuk melakukan studi kebijakan dengan melacak bagaimana wacana kesejahteraan dibentuk dan dibangun untuk memuluskan sebuah proses kebijakan. Artinya, penelitian ini bukan hendak melihat apakah instrumentasi kebijakan mampu menyejahterakan atau tidak, namun lebih pada menjajaki bagaimana wacana kesejahteraan menjadi perangkat untuk memahami dinamika kebijakan. Untuk memenuhi keinginan itu, penulis akan mengangkat sebuah fenomena berupa konflik kebijakan khususnya di sektor pertambangan. Adapun kasus yang jadikan bahan kajian adalah konflik kebijakan pertambangan di Rembang, terutama terkait pro-kontra pertambangan semen disana. Konflik kebijakan ini melibatkan pemerintah daerah (Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang) dan korporasi (PT. Semen Indonesia) berhadapan dengan masyarakat lokal di dua desa, yakni Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan.1 Bagi negara dan korporasi, kehadiran pertambangan dinilai sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan
1
Dua desa ini berada di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Adapun sebagian besar lahan yang akan ditambang oleh PT Semen Indonesia berada di wilayah kedua desa tersebut.
1
masyarakat lokal yang tidak mampu mengembangkan kehidupan ekonominya. Sebaliknya, bagi masyarakat lokal keberadaan pertambangan dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup dan kerusakan lingkungan. Dua kepentingan yang berbeda ini saling berkontestasi dalam kebijakan pertambangan di Rembang. Kebijakan pertambangan, dalam hal ini, dilihat sebagai arena kontestasi kepentingan dari beragam identitas sosial. Definisi seperti ini penting digunakan untuk membaca dinamika politik dalam kebijakan. Artinya, cara analisis studi kebijakan yang dikerjakan dalam penelitian ini bukan dalam model teknokratisme ataupun proseduralisme. Sebagaimana dipahami, model teknokratis-proseduralis lebih cenderung melihat kebijakan sebagai seperangkat prosedur atau skema, yang bersifat bertahap, dan melalui proses pengimplementasian yang rigid, bahkan memiliki
kesepakatan
untuk
memperlakukan
sentralisasi
peran
negara
(pemerintah) sebagai satu-satunya pihak yang menentukan kebijakan. Model semacam ini selalu memahami kebijakan sebagai sesuatu yang netral dan tidak menyediakan ruang untuk mempertanyakan benar tidaknya tujuan atau misi yang dicanangkan. Ada over-confidence akan bekerjanya nalar policy makers yang diandaikan sanggup mencerna rasionalitas setiap orang dan cukup komprehensif untuk memperhitungkan segala hal. Pada saat yang sama, dengan begitu populernya model ini justru abai akan dinamika politik yang ada. Kritik utama model analisis teknokratis maupun produralis terletak pada asumsinya yang meletakkan negara sebagai satu-satunya aktor yang mampu mengatasi persoalan-persoalan publik (Santoso, Hanif, dan Gustomy ed. 2004: xxvi). Cara analisis demikian dianggap mengerdilkan persoalan kebijakan hanya pada persoalan prosedur, tahapan, sekuel alur yang mesti dilalui dari kebijakan. Bertolak dari kecenderungan demikian, maka studi kebijakan dinilai perlu untuk mengkalkulasikan kenyataan politik keseharian yang hadir di akar rumput. Karena bagaimanapun juga, kajian kebijakan yang sensitif terhadap politik keseharian lebih mampu mengedepankan aktualisasi potensi dan kepentingan warga melalui partisipasi (Santoso 2008:vii). Isu yang diangkat pun kemudian bukan persoalan para elit, melainkan isu sehari-hari yang dekat dengan kehidupan individu (Savirani 2
2003:66). Dengan demikian, penting sekiranya mengkaji kebijakan dengan mengedepankan aspek politik keseharian (day to day politics) di tingkat bawah. Sensitifitas terhadap day to day politics ini mengantarkan kita pada kenyataan bahwa, dalam hampir setiap ide kebijakan senantiasa ada kontestasi wacana. Salah satu cara untuk melakukan studi kebijakan yang sensitif terhadap dimensi kekuasaan dan dinamika politik adalah memosisikan kebijakan sebagai wacana. Menempatkan kebijakan sebagai wacana memang masih belum terlalu umum dalam studi kebijakan di Indonesia. Namun, studi semacam ini sebenarnya tidak terlalu asing dalam beberapa studi kebijakan di negara lain. Harry Jones (2009) dalam tulisannya Policy-making as discourse: a review of recent knowledge-to-policy literature, dan Sally Hewitt (2009) dalam tulisannya Discourse Analysis and Public Policy Research sudah pernah menguraikan bagaimana ‘kebijakan sebagai wacana’ didudukan dalam studi kebijakan. Penempatan kebijakan sebagai wacana penting dilakukan karena dengan menganalisis wacana yang ada, maka bekerjanya operasi kekuasaan dalam kebijakan bisa dipahami. Pentingnya menjadikan kebijakan sebagai wacana adalah untuk meletakkan posisi pengetahuan dalam kebijakan. Hal ini berbeda dengan gagasan positivisme yang memahami ‘pengetahuan’ hanya sebatas pada kumpulan data, informasi, kemudian dijadikan justifikasi untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Padahal, pengetahuan sejatinya merupakan kekuasaan itu sendiri, atau dalam istilah populer Nietsczhe (1968) dikenal dengan “kehendak untuk mengetahui adalah kehendak untuk benar, dan kehendak untuk benar adalah kehendak untuk berkuasa”. Dengan begitu, penetapan atas sebuah pengetahuan sesungguhnya merupakan dimensi kekuasaan tersendiri. Dengan memahami kebijakan sebagai kontestasi wacana, maka praktis bisa dikatakan penelitian ini sedang membongkar seluruh relasi kekuasaan yang ada dalam kebijakan. Guna memenuhi harapan tersebut, penelitian ini akan menggunakan perangkat konseptualisasi Laclau dan Mouffe (2008) tentang bekerjanya hegemoni, khususnya hegemoni yang berlangsung dalam kebijakan yang menyokong rencana pertambangan skala besar di tingkat lokal. Hegemoni 3
disini merujuk pada proses pengakhiran sebuah wacana yang sulit untuk diubah lagi. Artinya, kebijakan-kebijakan yang menopang rencana pertambangan merupakan bagian yang hendak dibangun negara sebagai hegemoni, sebaliknya menjadi arena yang hendak dirusak/direbut oleh warga penolak tambang. Secara sederhana bisa dibahasakan: ‘negara hendak membangun hegemoni pembangunan berbasis pertambangan’. Disini, wacana kesejahteraan menarik untuk digeluti karena negara telah berusaha memakai bingkai pemaknaan itu dalam berbagai produk hukumnya. Salah satu pembingkaian makna kesejahteraan tersebut disematkan dalam regulasiregulasi pertambangan. Hal ini terlihat jelas dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Minerba, dimana tujuan pertambangan adalah “meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat”.2 Karenanya, tidak mengherankan apabila semua jenis kebijakan pertambangan selalu diklaim sebagai bagian dari usaha menyejahterakan warga. Berangkat dari kehendak untuk menghadirkan kesejahteraan itulah, negara melakukan berbagai praktik artikulasi untuk menciptakan pemaknaan bahwa substansi kebijakan pertambangan adalah kesejahteraan itu sendiri. Meskipun begitu, bangunan wacana kesejahteraan yang dibentuk negara melalui berbagai kebijakan pertambangn tidak pernah menuntaskan pemaknaan secara penuh dalam ruang sosial. Bahkan, bangunan wacana kesejahteraan yang dibentuk negara tetap membuka melahirkan diskonsensus dalam ruang sosial yang lebih luas. Kesejahteraan yang disamatkan negara dalam praktik pertambangan ternyata merespon banyak gugatan dari warga Akibatnya, lahirlah antagonisme warga yang terekspresi dalam gerakan menolak kebijakan pertambangan yang berusaha merusak bahkan membentuk bangunan wacana yang sama sekali lain dibanding versi negara. Kondisi demikian memicu munculnya banyak perlawanan terhadap rencana pertambangan sekaligus definisi-definisi baru tentang kesejahteraan. Pertambangan, bagi warga yang menolak, bukan sekedar
2
Garis bawah dari penulis.
4
ketidakpercayaan atas kemampuan menciptakan kesejahteraan, namun juga ancaman bagi ruang hidup mereka yang selama ini berlangsung dengan aman dan tentram. Hidup dalam usaha pertanian, dalam kasus Rembang, dianggap sebagai satu-satunya jalan yang paling masuk akal untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Hal ini bertentangan dengan cara pandang negara yang melihat pertambangan adalah jalan utama menuju masyarakat sejahtera. Negara melihat keberadaan pertambangan akan mampu mendongkrak ekonomi sebuah daerah, terutama daerah yang masih ‘tertinggal’. Dua pertentangan makna ini merupakan pertarungan wacana yang tidak pernah tuntas menciptakan pemaknaan tunggal (universal). Kedua pemaknaan yang berbeda ini pun berlangsung dalam berbagai praktik artikulasi dan arena yang beragam. Berangkat dari latar belakang di atas, maka pertanyaan dasar dari penelitian ini adalah “Bagaimana pertarungan wacana kesejahteraan berlangsung dalam kebijakan pertambangan?”. Artinya, wacana kesejahteraan merupakan arena pertarungan makna untuk memenangkan hegemoni. Dalam hal ini, negara berusaha membentuk hegemoni pembangunan berbasis tambang dengan menjadikan wacana kesejahteraan sebagai titik pijaknya. Sebaliknya, warga penolak tambang berusaha untuk menolak jalinan pemaknaan dibentuk negara. Untuk itu, maka ada dua pertanyaan turunan yang butuh dielaborasi. Pertama, “Bagaimanakah wacana kesejahteraan dibentuk negara untuk menyokong hegemoni pembangunan berbasis pertambangan?”. Di sisi sebaliknya, “bagaimana antagonisme warga menggoyahkan makna kesejahteraan yang dibentuk negara sekaligus membangun wacana kesejahteraan dengan caranya sendiri?”. Kedua pertanyaan tersebut merupakan kunci dalam memahami keseluruhan isi naskah ini. Dengan memahami pertarungan wacana dalam kebijakan, maka penelitian ini diharapkan mampu memenuhi beberapa tujuan penting yang selama ini tidak banyak dielaborasi studi kebijkan sebelumnya. Pertama, hendak menyuguhkan pembacaaan tentang bagaimana sebuah kebijakan dibentuk dari pertarungan wacana. Kedua, ingin mendapatkan sebuah definisi baru tentang kebijakan, yang menggugat kesepakatan-kesepakatan baku dalam studi kebijakan mainstreampada 5
umumnya. Ketiga, bermaksud untuk meletakkan antagonisme yang terekspersikan dalam gerakan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam studi kebijakan. Terakhir, berhasrat untuk mengajukan refleksi teoritis untuk melakukan studi kebijakan yang sensitif terhadap kaum yang lemah.
B. Tinjauan Pustaka: Keluar dari Teknokratisme dan Proseduralisme Ada kecenderungan umum dalam studi kebijakan, yakni model analisis teknokratis dan proseduralis yang begitu mainstream dan nyaris dipakai dalam seluruh naskah atau tugas akhir akademik di universitas, terlebih di Indonesia. Kedua cara analisis ini memiliki ciri yang khas yang secara sepihak memisahkan antara ‘pembuat’ dan ‘penerima’ kebijakan. Pemisahan ini adalah penegasan atas keberadaan hubungan yang dominatif. Dalam hal ini, penerima hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif yang berfungsi sebagai penunggu datangnya ‘kebaikan’ sang policy maker. Artinya, penerima kebijakan selalu menjadi pihak yang tersubordinasi oleh para pembuat kebijakan. Selain itu, model teknokratisproseduralis juga mengunci studi kebijakan dalam tahapan-tahapan, prosedurprosedur, yang berjalan linear, dan bisa diuji setiap sekuel alurnya. Akibatnya, studi kebijakan kehilangan sisi politisnya, dimana dinamika, konflik, pertentangan, dan kontestasi, seakan-akan sirna dalam unit analisis kebijakan. Kenyataan hilangnya politik dalam studi kebijakan bisa ditemukan dalam karya-karya yang mengangkat judul bernuansa: analisis perumusan, implementasi, evaluasi, dan faktor-faktor penyebab gagal-berhasilnya kebijakan, maupun tematema sejenis. Literatur semacam itu banyak ditemukan di perpustakaan berbagai perguruan tinggi. Tidak hanya itu, buku-buku kebijakan yang memiliki logika dasar teknokratisme maupun proseduralisme (seperti Nugroho 2003 & 2009, Suharto 2012, Dunn 2003),3 ternyata juga menjadi buku pegangan wajib bagi para calon sarjana di seluruh Indonesia yang mengambil studi kebijakan. Oleh sebab itu, tidak 3
Beberapa buku ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak pegangan wajib mahasiswa-mahasiswa di Indonesia yang melakukan studi kebijakan. Ada banyak buku sejenis yang intinya memberikan panduan praktis dalam memahami kebijakan secara teknokratis dan proseduralis.
6
mengherankan pula jika para policy maker yang ada saat ini memiliki kecenderung memahami kebijakan secara teknokratis-proseduralis. Meskipun ‘tidak banyak’ studi kebijakan yang sensitif terhadap dinamika politik, bukan berarti tidak ada studi semacam itu. Disertasi Purwo Santoso (1999) yang berjudul “The Politics of Enviromental Policy Making in Indonesia: A Study of State Capacity”, 1967-1994” adalah salah satu studi spesifik yang menunjukkan dinamika politik yang sangat kompleks dalam suatu kebijakan. Santoso (1999) melihat bahwa perubahan kebijakan lingkungan di era Orde Baru sangat ditentukan oleh perkembangan konflik yang ada antara aparatus negara, NGO, dan aktor-aktor dalam negara Orde Baru. Namun begitu, studi ini masih melihat kebijakan sebagai ‘milik’ negara, dimana kapasitas negara melaksanakan kebijakan merupakan fokus utama. Bisa dikatakan, meski memiliki sensitifitas pada dimensi kekuasaan, studi ini bisa digolongkan sebagai kajian state-actor oriented. Sedangkan studi kebijakan yang sensitif dengan dimensi kekuasaan, dan menggunakan pendekatan society-actor oriented bisa ditemukan dalam beberapa naskah tesis, diantaranya studi kebijakan yang dilakukan Sukardi (2003) yang berjudul “Modal Sosial dan Reorientasi Kebijakan Publik: Studi Utilisasi Modal Sosial dalam Proses Reorientasi Kebijakan Agraria Lokal pada Kasus Sengketa Properti Tanah Petani Melawan PTPN XII di Kawasan Malang Selatan”. Tesis ini memperlihatkan bagaimana modal sosial warga dihimpun menjadi kekuataan besar yang mampu mengubah kebijakan agraria di wilayah Blitar. Dengan memakai teoritisasi modal sosial, studi ini berusaha untuk mengisi celah teoritik seputar kebijakan publik. Studi lain yang serupa dilakukan oleh Manalu (2006) dalam tesisnya yang kemudian dibukukan dengan judul Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti Indorayon Utama di Sumatra Utara. Dalam tesis tersebut, Manalu (2009) menunjukkan bahwa gerakan sosial berkontribusi besar dalam perubahan kebijakan, bahkan lebih efektif (berdampak pada warga) dibanding dengan ‘berharap’ kebijakan dilakukan negara. Dalam hal ini, Manalu (2009) memakai kaca mata gerakan sosial sebagai kerangka teoritis yang dipakai untuk memasuki perdebatan akademik seputar kebijakan. 7
Bisa jadi beberapa kalangan tidak sepakat dan mengganggap beberapa studi di atas bukan studi kebijakan, namun lebih pada studi politik. Akan tetapi, pandangan demikian tidak tepat sepenuhnya. Sebab, materi dasar dari ketiga literatur diatas menempatkan kebijakan sebagai pokok persoalan yang diperdebatan. Sebagai contoh pembanding, studi Mochtar (2006) dalam disertasi berjudul Politik Mobilisasi Dukungan Pembangunan Industri Semen Tuban (19891998), adalah salah satu studi politik yang tidak menjadikan kebijakan sebagai pokok persoalan yang dibedah, meski fenomena yang diangkat seharusnya memiliki keterkaitan dengan kebijakan (pertambangan). Dalam disertasi tersebut, Mochtar (2006) memilih lebih berfokus pada persoalan politik mobilisasi dukungan dibanding usaha untuk mendalami dinamika kebijakan. Hal ini didasarkan pada ekstraksi kesimpulan yang berusaha melengkapi teoritisasi tentang politik mobilisasi, bukan untuk sumbangsih dan pemikiran dalam studi kebijakan. Ini menunjukan bahwa studi Mochtar (2006) bukan termasuk studi kebijakan, sedangkan ketiga studi sebelumnya masuk dalam katagori studi kebijakan. Dari sini terlihat, studi yang dilakukan Santoso (1999), Sukardi (2003), dan Manalu (2006) mencoba menabrak sekat antar bidang studi yang selama ini diyakini para akademisi secara umum, yakni adanya pemisahan yang tegas antara: mana yang studi kebijakan dan mana yang studi politik. Dengan menabrak sekat itu, bisa dipahami bahwa ketiga penulis tersebut sadar betul akan kemandekan studi kebijakan mainstream saat ini, yakni studi kebijakan lalai akan dinamika politik (kekuasaan), sedangkan studi politik abai terhadap advokasi kebijakan. Oleh karena itu, tujuan menyuguhkan studi kebijakan yang sensitif terhadap dimensi kekuasaan, selain untuk mendobrak sekat bidang studi yang kaku, juga untuk mendorong semangat advokasi dalam kebijakan. Dari berbagai pemetaan literatur di atas, penulis juga hendak menempatkan posisi penelitian ini ditengah studi lain yang pernah dilakukan. Penulis menempatkan studi ini dalam dua posisi. Pertama, studi ini persis memiliki semangat untuk menyuguhkan uraian tentang dinamika politik yang berlangsung dalam kebijakan, sebagaimana telah dilakukan oleh tiga studi di atas, terlebih yang 8
menggunakan pendekatan society-actor oriented. Artinya, studi ini adalah ihktiar untuk memperkaya cara pandang kebijakan dengan kaca mata politik yang selama ini masih belum banyak dilakukan para peminat studi kebijakan di Indonesia. Kedua, studi yang akan dikerjakan ini langsung ke jantung persoalan dalam kebijakan, yakni mendefinisikan ulang makna dari kebijakan itu sendiri. Untuk menjalankan hasrat itu, maka studi ini akan dirangkai menggunakan analisis wacana. Itu berarti, menempatkan kebijakan sebagai wacana itu sendiri. Dengan cara demikian, studi ini memiliki perbedaan dengan tiga literatur sebelumnya, yakni tidak sedang berfokus pada apa yang mempengaruhi perubahan kebijakan, namun berfokus pada upaya de-ontologi dengan cara mencari redefinisi baru dari kebijakan yang ada.
C. Kerangka Teoritik: Kebijakan sebagai Medan Pertarungan Wacana Jika kebijakan dipahami sebagai medan pertarungan wacana, berarti kebijakan diletakkan sebagai lokus perebutan hegemoni. Artinya, kebijakan menjadi arena dimana konsensus dan diskonsensus saling berebut satu dengan yang lainnya. Hegemoni sendiri bukan merupakan praktik kuasa dengan cara kekerasan (coersive), namun sebagai praktik berkuasa berbasis konsensus.4 Meski demikian, konsep hegemoni Laclau dan Mouffe (2008) sangatlah berbeda dengan konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci dalam bukunya Selection from The Prisson Notebook.5Bagi Gramsci, hegemoni berlangsung efektif jika kelas penguasa berhasil menundukan kekuatan-kekuatan oposisi, dan kemudian berhasil menciptakan konsensus atas subordinasi kelas yang dikuasai (Gramsci 1986: 104-
4
Dominasi lebih menekankan pada kekuasaan yang ditopang oleh kekuataan fisik, sedangkan hegemoni lebih menekankan pada terbentuknya persetujuan/konsensus terhadap subordinasi pihak yang dikuasai (lihat Soegiono 1999: 31). 5 Ada tiga pokok gagasan yang membedakan konsep hegemoni Laclau dan Mouffe dengan para teoritikus Marxis. Pertama, penolakan terhadap pembagian basis dan superstruktur yang ditentukan (determined) oleh logika ekonomi, karena bagi Laclau dan Mouffe memahami formasi kemasyarakatan sebagai produk kewacanaan. Kedua, penegasian atas penguraian masyarakat yang terpilah-pilah dalam kelas-kelas tertentu. Ketiga, penolakan atas identitas dan formasi kelompok yang bisa ditetapkan secara objektif. Bagi Laclau dan Mouffe, identitas tidak pernah tetap (fixed) bergantung pada medan kewacanaan apa identitas ditempatkan. (lihat Jorgensen & Phillips 2010: 63-64).
9
105). Artinya, teori hegemoni yang dikembangkan Gramsci menempatkan kelas sebagai dasar pijakan teoritis. Hal ini berlainan dengan teori Hegemoni Laclau dan Mouffe (2008) sebagaimana dirangkum dalam buku Hegemoni dan Strategi Sosialis. Bagi Laclau dan Mouffe (2008), konsep hegemoni diletakan pada nalar berlangsungnya sebuah wacana, bukan subordinasi kelas.6 Laclau dan Mouffe (2008) menegaskan bahwa hegemoni dipahami sebagai pengakhiran dari proses kewacanaan. Dengan kata lain, kemapanan wacana bisa dianggap sebagai sebuah hegemoni. Dalam kerangka berfikir
demikian
penelitian
ini
dikembangkan,
yakni
konflik
kebijakan
pertambangan di Rembang tidak dilihat sebagai persoalan konflik kelas untuk merebut sumber ekonomi, namun konflik antar berbagai aktor dalam memenangkan medan kewacanaan. Dalam hal ini, wacana kesejahteraan adalah medan kewacanaan yang diperebutkan antara negara dan korporasi berhadapan dengan warga atau para petani. Karena konsep hegemoni diletakkan pada nalar bekerjanya wacana, maka penting untuk mendudukan seperti apa dan bagaimana wacana itu berlangsung. Wacana sendiri didefinisikan oleh Laclau dan Mouffe (2008) sebagai totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktik artikulasi. Adapun praktik artikulasi adalah praktik apapun yang berusaha menetapkan hubungan antara makna-makna sehingga identitas dalam makna tersebut dimodifikasi dan bisa ditetapkan (Jorgensen & Phillips 2010: 53). Sebagai contoh, batu merupakan sebuah makna tersendiri, namun batu bisa menjadi karya seni, material bangunan, dan sebagainya tergantung pada praktik artikulasi apa yang menopang makna batu tersebut. Batu menjadi sebuah karya seni apabila dibarengi oleh praktik artikulasi seperti pameran, pernyataan seniman, dan sebagainya. Persis dalam penelitian ini, wacana kesejahteraan ditetapkan maknanya melalui berbagai praktik artikulasi, mulai dari regulasi, pernyataan pejabat negara, pernyataan korporasi, dokumen, framing media, mobilisasi kesepakatan dan lain sebagainya. Dengan adanya praktik 6
Inilah yang menjadikan Laclau dan Mouffe dikenal sebagai teoritikus post-marxis, dimana semangat dan cita-cita (logos) Marxisme masih melekat, namun keluar dari analisis kelas yang biasa digunakan oleh teori Marxis umumnya.
10
artikulasi yang momodifikasi makna, maka kesejahteraan bisa didefinisikan dalam cara tertentu sehingga membedakannya dengan makna kesejahteraan yang lain. Meski demikian, tidak semua wacana akan berhasil menjadi sebuah hegemoni. Wacana akan berhasil menjadi hegemoni manakala wacana yang ada mampu menjadi angan-angan sosial yang diterima secara luas. Untuk menjelaskan ini, Laclau (1990) mempernalkan dua konsep lain, yakni mitos (myth) dan anganangan sosial (social imaginary). Laclau (1990) menjelaskan bahwa mitos akan hadir jika ada struktur yang terdislokasi. Mitos menyediakan sebuah pembacaan pokok yang memungkinkan aktor politik melakukan penafsiran atas penyebab krisis sosial, dengan menekankan peristiwa tertentu dan kemudian menyarankan solusi tertentu (Torfing 2003: 164). Selama adanya krisis atau struktur yang terdislokasi belum terselesaikan, maka mitos akan tetap menjadi ruang representasi baru (new spaces of representation) yang menjahit berbagai dislokasi tersebut (Howarth & Stavrakakis 2000). Ketika suatu mitos mampu menjadi yang simbolis dan bisa mendominasi peristiwa-peristiwa empiris, maka disaat itulah mitos bertransformasi menjadi angan-angankan sosial (Torfing 2003: 164). Dengan kata lain, transformasi mitos menjadi angan-angan sosial bisa terjadi ketika mitos berhasil menetralisir struktur yang terdislokasi dan menggabungkan menjadi tuntutan sosial secara luas (Howarth & Stavrakakis 2000). Dalam penelitian ini, wacana kesejahteraan hadir sebagai akibat dari struktur yang terdislokasi berupa kondisi tidak sejahtera atau miskin. Dengan demikian, kemiskinan disini dipahami sebagai kondisi krisis. Dengan adanya kondisi seperti itu, maka aktor-aktor politik berpeluang untuk memberikan penafsiran-penafsiran atas penyebab krisis, sekaligus membangun narasi tentang jalan keluar (solusi). Dari sinilah para aktor dari negara dan korporasi mulai membangun mitos “tambang untuk kesejahteraan”. Selama makna tentang kondisi miskin (tidak sejahtera) belum terselesaikan, maka mitos “tambang untuk kesejahteraan” akan tetap dipakai sebagai representasi bagi jalan kesejahteraan. Namun, pertanyaannya, apakah mitos “tambang untuk kesejahteraan” mampu bertransformasi secara simbolis menjadi tuntutan sosial yang luas. Jika mitos tersebut tidak bisa menjadi 11
representasi simbolis dari tuntutan kolektif banyak orang, maka mitos ini juga tidak akan menjadi angan-angan sosial bersama. Itu artinya, bangunan hegemoni yang terbentuk tetapakan selalu rapuh. Adapun proses wacana menjadi hegemoni berlangsung dalam praktikpraktik artikulasi yang bekerja untuk memodifikasi penanda-penanda mengambang (floating signifiers) agar tersedimentasi menjadi sebuah titik nodal (nodal point) yang sepenuhnya kokoh. Penanda pengambang adalah makna-makna yang diperjuangkan oleh wacana-wacana yang berbeda guna menginvestasikan makna dengan caranya sendiri. Sedangkan titik nodal merupakan titik kristal dalam upaya menetapkan makna terhadap makna-makna yang penting, atau bisa disebut titik tanda persetujuan. Sebagai misal, ‘tubuh’ merupakan titik nodal dari wacana medis, namun ‘tubuh’ juga penanda mengambang bagi perjuangan wacana medis dan wacana pengobatan alternatif (Jorgensen & Phillips 2010). Selain itu, agar wacana mampu mencapai posisi hegemoni, sebuah wacana harus digerakkan oleh intervensi hegemoni. Adapun yang dimaksud intervensi hegemoni adalah praktik artikulasi yang terus-menerus guna menetapkan makna tunggal dan meniadakan makna-makna yang lainnya. Itu berarti, intervensi hegemoni
berlangsung
dengan
menetapan
makna
tertentu,
sekaligus
mengosongkan makna yang lain, atau mengeluarkan kelebihan makna yang mensubversinya. Intevensi hegemoni ini diperlukan agar makna-makna yang ada selalu terjalin dalam satu logika kesamaan/ekuivalensi (logic of equivalence) (Laclau & Mouffe 2008: 204-205). Sebab hegemoni hanya akan terjadi jika praktik artikulasi yang menetapkan sebuah titik nodal berada di dalam sebuah jalinan yang sama (chain of equivalence) (Hutagalung 2008: xxxiv). Apabila, makna yang ada masih tersekat dalam kepentingan yang berbeda-beda (logic of difference), maka hegemoni sulit untuk diwujudkan. Dalam konteks penelitian di Rembang, kesejahteraan menjadi titik nodal dalam formasi wacana.7Dengan demikian, kesejahteraan merupakan titik nodal 7
Dalam penulisan naskah ini, istilah “kesejahteraan” sering disematkan dalam beberapa konteks yang berbeda. Setidaknya ada dua konteks berbeda yang ditempatkan disini. Pertama, disebut ‘wacana kesejahteraan’ merujuk pada formasi wacana yang menjadi arena pertarungan makna. Artinya,
12
yang diperjuangankan negara dan korporasi untuk menciptakan hegemoni pembangunan berbasis pertambangan. Sebaliknya, kesejahteraan juga merupakan penanda mengambang bagi perjuangan hegemoni warga yang memiliki definisi tersendiri tentang kesejahteraan. Demi menegaskan titik nodal kesejahteraan ini, maka intervensi hegemoni dilakukan oleh para pejabat negara melalui berbagai praktik artikulasi agar penanda-penanda mengambang yang terserak mampu terjahit dalam satu jalinan kesamaan dan tidak direcoki oleh keberadaan maknamakna yang lain. Jadi, intervensi hegemoni yang dilakukan melalui regulasi, pernyataan, klaim, maupun berbagai aktifitas lainnya dari negara dan juga korporasi, yang memiliki fungsi untuk meneguhkan pemaknaan kesejahteraan melalui jalan pertambangan. Adapun penanda-penanda mengambang yang digunakan negara, akan diamati dalam praktik pertambangan, praktik kebijakan, dan mobilisasi dukungan. Ketiga praktik ini nantinya akan dicermati untuk melihat sejauh mana titik tanda persetujuan dibentuk. Dengan cara semacam itu, maka makna kesejahteraan bisa dipakai sebagai konsensus untuk melapangkan kebijakankebijakan yang menopang rencana pertambangan skala besar. Agar makna-makna yang dibentuk tidak terjebak dalam jalinan perbedaan (chain of difference), maka intervensi yang dilakukan harus mencapai posisi “politik dan objektif” dalam sebuah batas politik (political frontier) yang sama. Politik dipahami sebagai pengorganisasian dari sisi tertentu dengan cara tertentu dengan meniadakan kemungkinan adanya cara lain. Sedangkan objektif dimengerti bukan seperti positivisme; ‘sebagai kebenaran yang bisa diuji’, namun objektifitas oleh Laclau dan Mouffe dimengerti sebagai istilah untuk menyebut apa yang dianggap sebagai sesuatu yang ditetapkan (given) dan sulit diubah karena perbedaan dari sesuatu yang lain (Jorgensen & Phillips 2010: 68-70).8 Adapun batas politik inilah
kesejahteraan menjadi makna yang diperebutkan antara Negara dan korporasi berhadapan dengan warga. Kedua, disebut ‘titik nodal kesejahteraan” merujuk pada kristalisasi penanda-penanda mengambang yang diciptakan Negara untuk menopang hegemoni pembangunan berbasis pertambangan. 8 Lebih lanjut Jorgensen & Phillips (2010: 70) menjelaskan bahwa: “Semua makna, sifatnya cair dan semua wacana mungkin. Objektifitaslah yang menyamarkan ketergantungan dan agar bisa menyamarkan kebergantungan seperti itu objektifitas harus menyembunyikan kemungkinan-kemungkinan alternatif
13
yang memisahkan antara ‘kami’ dan ‘mereka’ secara berseberangan, dengan kata lain antara yang menghegemoni dan yang sedang merebut hegemoni. Dalam konteks semacam itu, maka bisa dilihat bahwa terjadinya inklusi dan eksklusi dalam dinamika kebijakan sepenuhnya harus dimengerti sebagai pertarungan wacana untuk merebut posisi politik dan objektif, yakni dengan mengadakan sekaligus meniadakan saluran pemaknaan tertentu. Dalam kerangka teoritik studi kebijakan seperti ini, maka harus dipahami bahwa penetapan saluran “legal dan tidak legal” atau “akademik-non akademik” adalah upaya menegaskan jarak batas politik. Sedangkan, pemosisian sebuah saluran tertentu (legal atau akademik) sebagai saluran yang “benar” dan saluran lainnya dianggap “salah”, adalah upaya untuk mencapai posisi politik dan objektif. Dengan demikian, siapa yang berhasil memenangkan pertarungan wacana dan memperoleh posisi politik dan objektif, maka wacana yang diusungnya yang akan menjadi hegemoni. Akan tetapi yang perlu dicatat, meski sebuah pemaknaan mampu menempati posisi hegemoni, hegemoni masih selalu bersifat kontigensi (contigency) dan tidak pernah secara penuh/tetap menuntaskan wilayah sosial dari pemaknaan (Hutagalug 2008: xxviii). Karena sifatnya yang demikian, maka perlu mendudukan dua sandaran konseptual Laclau yang lain, yakni antagonisme (antagonism) dan dislokasi sosial (social dislocation). Antagonisme didefinisikan sebagai “bukti dari ketidakmungkinan terciptanya sebuah proses tenunan yang bersifat final”, sebab kondisi ini “merupakan pengalaman akan batas ranah sosial”. Antagonisme juga “tidaklah bersifat internal, namun bersifat eksternal dari masayarakat” (Laclau & Mouffe 2008: 189). Jadi, antagonisme adalah sebuah kesaksian atas ketidakmungkinan dari batas-batas yang objektif, sehingga apa yang tidak dikatakan bisa disampilkan (Biglieri dan Perello 2011: 51-52). Adapun dislokasi sosial adalah kondisi yang tidak bisa dioperasikan dari sesuatu yang simbolis ke dalam sesuatu yang riil (Biglieri dan Perello 2011: 56). Pengertian demikian menunjukkan hubungan kedua konsep, yakni dislokasi sosial
yang bila tidak demikian tentu kemungkinan alternatif tersebut bisa mencuat. Karena itu objektifitas bisa dikatakan bersifat ideologis.”
14
menjadi ruang bagi kehadiran antagonisme karena celah yang disisakan oleh yang simbolis tidak pernah tuntas. Oleh karenanya, dislokasi adalah sumber dari kebebasan, bukan dalam pengertian identitas positif, namun lebih pada kebebasan dari kesalahan struktural yang memungkinkan untuk membangun ulang identitas lain melalui tindakan identifikasi (Laclau, 1990: 60). Jadi, dengan menggupas dislokasi sosial dan antagonisme warga, semua makna yang telah ditepikan negara untuk membangun hegemoninya bisa diperlihatkan kembali. Dengan meletakkan dislokasi sebagai sumber kebebasan, maka dislokasi sosial juga bisa diposisikan sebagai kondisi yang memungkinkan aksi politik terjadi. Aksi politik inilah yang dalam pandangan Laclau disebut dengan perjuangan hegemoni (hegemony struggle). Adapun perjuangan hegemoni bertujuan untuk mengartikulasikan titik yang berbeda (dari hegemoni yang eksis) menjadi suatu proyek politik yang kredibel yang mampu menjawab permasalahan yang hadir di dalam masyarakat (Torfing 2005 :165). Sebab, bagaimanapun juga, tidak ada wacana yang bersifat tertutup; karena senantiasa mengalami transformasi-transformasi akibat adanya interaksi dengan wacana yang lainnya (Jorgensen & Phillips 2010: 12). Melalui adanya konsep dislokasi sosial, maka menjadi krusial untuk mengajukan pertanyaan: Apakah wacana kesejahteraan berbasis tambang berhasil menjadi representasi simbolis dari yang riil? Guna menemukan jawaban tersebut perlu melacak apakah industri pertambangan sepenuhnya ramah terhadap lingkungan, serta apakah pengambilan kebijakan sepenuhnya hadir tanpa kontradiksi. Jika ternyata ditemukan banyak kontradiksi dalam kebijakan maupun bangunan wacana kesejahteraan yang dibentuk negara, maka hal ini akan memicu munculnya dislokasi sosial yang berpotensi menciptakan antagonisme warga yang menolak
formasi
wacana
dibangun
sebelumnya.
Jika
antagonisme
ini
terkonsolidasikan dalam sebuah ekuivalensi lain yang mengganggu kemapanan wacana kesejahteraan yang menopang rencana pertambangan, maka antagonisme ini bisa menjadi perjuangan hegemoni, yang tidak saja merusak hegemoni yang mapan sebelumnya, namun juga bisa menjadi jalinan makna lain yang sama sekali berbeda. 15
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa hegemoni dan antagonisme ibarat dua sisi mata uang. Keduanya merupakan satu bagian yang sama. Antagonisme yang mengalami sedimentasi, dalam pengertian berhasil menundukkan antagonime lain adalah bentuk dari hegemoni. Dasar pijakan berlangsungnya antagonisme maupun hegemoni ada dalam medan kewacanaan. Hubungan antara wacana satu dengan wacana lain berlangsung saling antagonistik. Jika wacana satu dirusak dan berhasil ditundukkan oleh wacana lain, maka disitulah berlangsung jalur pembentukan hegemoni. Atau bisa dikatakan, pemaknaan parsial yang mengalami universalisasi merupakan wujud dari hegemoni. D. Strategi Analisis Wacana: Mengungkap Makna Kebijakan Bagaimana melakukan analisis wacana dalam kebijakan? Untuk sementara, pernyataan Foucault berikut bisa menjadi jawaban awal. “Jika Anda ingin mengerti perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, temukanlah berbagai wacana yang dominan disana. Dan jika Anda ingin mengerti mengapa sebuah wacana begitu berkuasa, jadilah seorang arkeolog sosial: dengan menelusuri asal-usul cara mengetahui, dengan melakukan dekonstruksi, dan mengerti landasan yang ada pada kekuasaan berada hinga akhirnya menjadi dominan” (Foucault dalam Jones 2009: 174) Sederhannya, analisis wacana merupakan upaya untuk mendekonstruksi strukturstruktur yang dianggap ada begitu saja (take for granted). Struktur yang dinilai “lumrah dan lazim” diposisikan sebagai struktur dominan, yang terbentuk melalui proses sosial yang kompleks, bukan lantaran hadir begitu saja. Dalam konteks studi kebijakan ini, maka analisis wacana dilakukan dengan mengamati struktur-struktur dominan yang ada dalam sebuah kebijakan. Ada ragam cara melakukan analisis wacana. Dalam hal ini, penulis memilih menggunakan analisis wacana Laclau. Penggunaan analisis wacana Laclau (dan Mouffe) banyak dikatagorikan ahli meta teori sebagai analisis wacana kontruktivis. Hal ini yang membedakan dengan analisis wacana kritis maupun psikologi kewacanaan (Jorgensen & Phillips 2010). Bagi analisis wacana kontruktivis, mereka percaya bahwa struktur sosial yang berlangsung sepenuhnya merupakan ciptaan 16
dari produk wacana. Itulah yang membedakan dengan jenis analisis lain, dimana masih ada pembedaan antara struktur diskursif dengan non-diskursif. Bagi Laclau, pembedaan kedua struktur itu tidak diakui lantaran keseluruhan proses yang membentuk struktur sosial dihasilkan oleh wacana itu sendiri (Jorgensen & Phillips 2010). Dasar berfikir inilah yang banyak mendapat kritikan selama ini. Namun bagi aliran kontruktivisme asumsi semacam itu adalah sebuah keniscayaan. Sebab, bagi kontruktivisme, tidak ada kebenaran universal, yang ada hanyalah kebenaran parsial yang di(ter)universalkan. Dengan menggunakan cara berfikir kontruktivis, maka praktis penelitian ini bisa dianggap sebagai kebalikan dari cara analisis teknokratis-proseduralis yang cenderung sangat positivistik. Dalam kerangka berfikir positivistik, keberadaan data, informasi, bahkan keputusan dalam kebijakan diasumsikan selalu bisa dikalkulasikan dengan cermat karena dianggap dapat dirasionalisasikan secara netral. Sebaliknya, cara pandang konstruktivis menekankan bahwa seluruh dinamika dalam kebijakan digerakkan oleh kepentingan-kepentingan yang saling berebut makna. Dengan cara seperti itu, maka analisis kebijakan konstruktivis bertujuan untuk mengungkap makna-makna yang hadir dalam kebijakan. Dalam melakukan analisis, penelitian ini lebih memilih menggunakan istilah strategi analisis wacana, daripada metode analisis wacana. Untuk itu, penggunaan istilah ‘strategi analisis wacana’ perlu dibedakan dengan ‘metode analisis wacana’. Andersen (2003: xiii) menjelaskan bahwa strategi analisis tidak terdiri dari seperangkat aturan metodologis, namun merupakan strategi untuk membahas bagaimana seorang peneliti akan mengonstruksi pengamatannya terhadap sesuatu, menjadi objek dari pengamatannya sendiri, untuk mendeskripsikan apa yang dia deskripsikan (lihat Tabel 1). Melalui pengertian semacam itu, maka penulis merupakan peneliti yang berusaha mengamati persoalan –dan secara bersamaan– menjadi objek dari pengatannya sendiri. Posisi demikian menjadikan peneliti sekaligus sebagai aktivis yang terlibat bersama warga dalam dinamika kebijakan yang menyokong praktik pertambangan skala besar di Rembang.
17
Tabel 1 Perbedaan Metode dengan Strategi Analisis Metode
Strategi Analisis
Pengamatan terhadap objek
Pengamatan atas pengamatan
Tujuannya adalah menghasilkan pengetahuan yang benar dari objek
Tujuannya adalah mempertanyaakan keadaan untuk melakukan de-ontologi
Aturan metodologis
Strategi menganalisis
Tujuannya mengikuti seperangkat prosedur yang dibutuhkan untuk menghasilkan pengetahuan yang ilmiah
Tujuannya menghasilkan pengetahuan yang secara kritis berbeda dari sistem pemaknaan yang ada
Sumber: diadaptasi dan diterjemahkan penulis dari Andersen (2003: xiii) Mengacu pada tabel diatas, maka penulis mengambil beberapa posisi dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini bukan menanyakan tentang “apa” atau “mengapa” sesuatu kebijakan bisa hadir, namun ‘bagaimana’ sesuatu kebijakan dihadirkan. Kedua, penelitian tidak bertujuan untuk menemukan realitas yang sebenarnya terjadi dalam kebijakan, namun mengungkap bagaimana pembentukan realitas dalam kebijakan sehingga dianggap benar dan lazim. Ketiga, proses penelitian tidak dilalui dengan seperangkat aturan dan prosedur penelitian dalam kebijakan, tetapi melalui strategi keterlibatan langsung untuk menemukan praktik pemaknaan yang berbeda dari sistem pemaknaan yang mapan. Dari ketiga posisi itu, maka fokus studi yang dikerjakan ini bukan saja untuk memahami mengapa muncul sebuah kebijakan, namun juga mengapa kebijakan muncul dengan cara tertentu. Karena menjadi bagian dari objek, maka penulis bertindak sebagai pihak yang sedang melakukan counter atas wacana dominan. Oleh sebab itu, penulis pun terlibat dalam beragai aktivitas yang dilakukan warga. Mulai dari tinggal bersama warga, rapat dan kosolidasi bersama warga, demonstrasi, berjejaring dengan aliansi, hingga menghadiri sidang-sidang terkait gugatan warga atas kebijakan 18
pertambangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, sepenuhnya dikerjakan untuk menemukan berbagai makna yang berbeda dari sistem pemaknaan yang dominan. Adapun tentang data penelitian, strategi analisis wacana tidak membedakan antara data primer dan sekunder, karena semua data adalah data primer. Semua yang ditemukan adalah bagian penting dalam penelitian. Entah itu dokumen negara, surat perizinan, perundang-undangan, bahkan pernyata berbagai aktor yang terlibat dalam medan kewacanaan, merupakan kekayaan data yang bisa digunakan. Termasuk lagu, puisi, poster, foto, video juga menjadi bagian data yang bisa mendiskripsikan proses sebuah wacana. Tidak hanya itu saja, data berupa berbagai publikasi media, catatan, monograf, laporan penelitian, dan berbagai literatur merupakan data yang sangat penting. Sedangkan tentang cara menganalisis data, ada dua strategi yang dipakai, yakni melalui dekonstruksi dan analisis hegemoni (lihat Tabel 2). Dekonstruksi merupakan cara untuk melihat dualitas persoalan, yakni yang universal dan yang pratikular. Dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa sesuatu yang universal tersebut sesungguhnya adalah sesuatu yang partikular. Sedangkan analisis hegemoni merupakan cara untuk memperlihatkan bagaimana sebuah formasi hegemoni
bisa
berhasil,
melalui
mekanisme
eksklusi-inklusi,
konsensus-
diskonsensus, dan equivalence-defference. Adapun bagaimana analisis disusun secara sistematis sepenuhnya dikerjakan dengan mengikuti kerangka teoritik yang telah ditetapkan sebelumnya. Tabel 2 Strategi Analisis Laclau Strategi
Dekonstruksi
Pertanyaan Umum Pemaknaan seperti apakah yang bangun dalam sebuah dualitas (konflik) yang spesifik?
Pertanyaan Spesifik
Dengan cara apa wacana tertentu dibangun secara universal/parsial? Sedangkan wacana yang lain menjadi tidak terungkap? 19
Analisis Hegemoni
Bagaimana sebuah wacana dibangun dari sebuah pertarungan wacana-wacana yang berbeda, hingga terjadi pengendapan berbagai elemen mengambang.
Dengan cara apa penanda ‘tertentu dibentuk, diberi makna, dan difiksasi dari berbagai konflik wacana melalui strategi jalinan kesamaan dan perbedaan (equivalence/deference).
Sumber: diadaptasi dan terjemahkan dari Andersen (2003: 62) Dengan mengikuti tabel diatas, maka data-data yang terkumpul diposisikan sebagai makna yang berserak. Makna-makna tersebut kemudian ditetapkan secara parsial dengan mengamati praktik artikulasi yang mengikutinya. Dengan menguraikan makna-makna yang telah bisa ditetapkan itulah, maka dekonstruksi dan analisis hegemoni bisa dikerjakan. Pemaknaan atas wacana “tambang untuk kesejahteraan” yang dibangun negara dan korporasi adalah wacana yang akan didekonstruksi. Artinya, kehadiran wacana “tambang untuk kesejahteraan” harus melihat asal-asul dibentuknya, serta mencermati praktik artikulasi apa saja yang menopangnya. Adapun pertarungan wacana dalam kebijakan akan menjadi bagian dari analisis hegemoni. Masing-masing aktor harus dipahami sedang melakukan pertarungan yang berusaha membentuk, memberi makna, dan memenangkan wacana. Dengan begitu, maka analisis dekonstruksi dan analisis hegemoni bukan dua hal yang terpisah, namun merupakan satu kesatuan yang melengkapi dalam strategi analisis wacana Laclau. E. Sistematika Pembahasan Untuk memahami secara utuh pertarungan wacana yang terjadi dalam kebijakan pertambangan di Rembang, penulis membagi tulisan ini dalam enam BAB pembahasan utama. Setelah bab ini, penulis akan mengulas di BAB II tentang bagaimana sebuah mitos (myth) tentang kemiskinan diciptakan untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang menyokong rencana pertambangan. Di bagian ini akan diulas bagaimana sebuah mitos dihadirkanketika ada kondisi krisis dan mengharuskan ada solusi yang diambil. Bagi negara, kemiskinan merupakan kondisi 20
krisis yang membutuhkan sebuah solusi untuk menyelesaikannya. Adapun solusi itu adalah pertambangan skala besar yang mampu memaksimalkan potensi-potensi di daerah. Dari sini kemudian diciptakanlah mitos “tambang untuk kesejahteraan” guna menetapkan penanda-penanda lain agar terjadi konsensus dalam rencana pertambangan. Di BAB III, penulis akan melacak bagaimana wacana kesejahteraan digunakan untuk
membangun
hegemoni
pembangunan
berbasis
pertambangan.
Kesejahteraan sendiri merupakan titik nodal tempat dimana sedimentasi berbagai tenunan penanda mengambang dibentuk. Oleh karenanya, bagian ini mengupas bagaimana berbagai penanda mengambang itu diberi makna dan diteguhkan posisinya melalui praktik artikulasi sehingga menjadi satu jahitan komplit dalam titik nodal yang sama. Beberapa penanda mengambang itu akan diamati dalam tiga praktik utama, yakni praktik pertambangan, praktik kebijakan, dan praktik mobilisasi
dukungan.
Dalam
praktik
pertambangan,
berbagai
penanda
mengambang dikonstruksikan dalam makna pertambangan ramah lingkungan sebagai jalan yang paling tepat untuk mengelola sumber daya. Sedangkan dalam praktik kebijakan konstruksi dibentuk dengan menempatkan kebijakan yang sesuai prosedur dan kajian ilmiah “pasti benar”. Adapun untuk praktik konstruksi mobilisasi dukungan, dikontruksikan bahwa adanya banyak restu merupakan bukti rencana pertambangan harus segera dilakukan.Penanda mengambang yang ada dalam tiga praktik artikulasi ini yang dijahit untuk mengukuhkan hegemoni pembangunan berbasis tambang. Kemudian di BAB IV, penulis akan menyajikan uraian tentang celah-celah yang dihasilkan oleh jalinan makna dari hegemoni pembangunan berbasis pertambangan. Selama membentuk hegemoni, negara telah menutupi berbagai kelidan makna yang dianggap menggangu. Melalui pembahasan dalam bab ini, berbagai makna yang ditutupi itu tampilkan lagi. Klaim green industry yang ramah lingkungan ternyata memiliki efek kerusakan, baik terhadap alam maupun relasi sosio-kultural yang melekat dalam masyarakat. Selain itu, kebijakan prosedurali dan teknokratis yang diklaim benar ternyata mlakukan berbagai pelanggaran yang 21
manipulatif dan koruptif. Dengan terbukanya celah-celah itu, maka munculah antagonisme warga yang melawan dan menolak seluruh jalinan makna tentang kesejahteraan yang dibentuk negara. Sebaliknya, warga membangun sendiri makna kesejahteraan dalam jalan hidup dengan bertani. Sedangkan di BAB V, penulis mengupas perbandingan antar pendekatan dalam kebijakan, sembari memperkenalkan model alternatif hasil refleksidari temuan-temuan dalam penelitian. Refleksi itu adalah upaya merekonstruksi sebuah studi yang secara ontologis bergerak dalam nalar konstruktivis, yakni kebenaran merupakan sebuah kontruksi dari berbagai konsensus dan diskonsensus yang ada didalamnya. Model alternatif yang ditawarkan ini hadir untuk menjawab limitasi yang ditinggalkan oleh pendekatan rasional yang cenderung “netral dan apolitis”, yang terlalu percaya diri dan menganggap negara mampu memahami semua kebutuhan warganya. Terakhir di BAB VI, penulis akan menyimpulkan hasil penelitian di level teoritis, baik secara mikro untuk menjawab pertanyaan seputar penelitian di Rembang, juga secara makro untuk memberikan sumbangsih dalam perdebatan analisis kebijakan. Selain itu, penulis juga akan menyisakan sebuah pekerjaan rumah yang bisa digeluti oleh pada pengkaji kebijakan
22