1
BAB I MENEMUKENALI LOKUS SINERGI MITIGASI DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA DI TINGKAT LOKAL
1.1. Latar Belakang Dalam pengurangan risiko dan penanggulangan bencana menuju Indonesia tangguh, “sinergi” senantiasa menjadi jargon unggulan, sebagaimana halnya dengan jargon pengelolaan secara “holistik”. Sehingga kita terbiasa dengan telaah normatif yang mengisyaratkan bahwa secara hukum Indonesia menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana dengan terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana (BNPB, 2007). Karena kecenderungan telaah yang jargonik ini jaminan itu tidak segera bisa diwujudkan, sebaliknya fragmentasi dan silang sengkarut dalam manajemen tetap saja mengemuka (Absah, 2008). Memang pergeseran paradigmatik, dari paradigma konvensional menjadi paradigma holistik, dari yang reaktif ke proaktif sangat diperlukan. Hanya saja, karena kecenderungan berfikir jargonik itu, maka kita tidak kunjung menemukan solusi. Kalaulah kita harus mengacu pada jargon tersebut, titik temu dari kedua dimensi perubahan paradigmatik tersebut adalah sinergi dalam manajemen resiko dan panggulangan bencana. Demi pengurangan risiko bencana secara holistik untuk mewujudkan ketangguhan masyarakat, mitigasi dan kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian
2
vital, dan peningkatan dalam kedua hal ini merupakan salah satu agenda strategis. Hanya saja, kita tidak harus meneruskan tradisi melakukan telaah makro. Dalam rangka mewujudkan agenda pengembangan sinergi dalam pengurangan risiko bencana kita diingatkan pada lima hal yang harus diantisipasi. Lima hal tersebut yaitu: 1) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana; 2) kebijakan dan panduan; 3) rencana untuk keadaan darurat bencana; 4) sistim peringatan bencana; 5) kemampuan untuk memobilisasi sumber daya (LIPI-UNESCO/ISD: 2006). Hanya saja, telaah makro seperti ini tidak cukup akurat dalam membimbing solusi praktis mengembangkan sinergi. Sehingga diperlukan suatu telaah yang lebih mikro. Dari telaah mikro, kita tahu bahwa faktor pengetahuan dan sikap tidak berarti sama sekali jika yang diketahui dan disepakati secara diam-diam oleh masyarakat tidak bisa diterima oleh birokrasi karena terlalu birokratisnya mereka bekerja. Di sini, sinergi adalah persoalan perjodohan berbagai cara kerja. Sinergi terwujud manakala cara kerja pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah (BPBD) berjodoh secara sempurna dengan cara kerja birokrasi. Dengan begitu, solusi birokrasi yang diberikan pemerintah memiliki dampak optimal bagi masyarakat, dan sebaliknya kontribusi kebersahajaan masyarakat menjadi energi masyarakat teraktualisasikan secara sempurna. Persoalannya, siapa dan bagaimana menemukannya, dan menjadikan potensi sinergi betul-betul teraktualisasi dalam praktik. Dalam penelitian ini, sinergi diartikan sebagai suatu perilaku kerjasma yang merupakan konsekuensi dari semangat kebersamaan yang kohesif, dimana satu pihak dengan pihak yang lain akan mampu menyatakan dengan terbuka
3
gagasan dan pendapat masing-masing, tanpa merasa diri mereka terancam dan khawatir dengan kemungkinan konflik yang terjadi (Senge, 1996). Dalam konteks yang lebih mikro sinergi kiranya dapat terwujud bila pemerintah/BPBD memegang cara kerja yang tidak sentralistis (disentralistis). Tersirat di balik ungkapan ini, kelembagaan untuk mitigasi dan penanggulangan bencana tidak hanya ada pada tangan pemerintah dengan jajaran birokrasinya, melainkan juga pemerintah daerah bekerja secara kerja bottom up, serta mampu berinovasi, dan masyarakat memiliki keterbukaan dalam menyampaikan gagasan kepada pemerintah/BPBD. Itulah jalan menuju hakikat ketangguhan masyarakat. Ketika sinergi difahami sebagai perjodohan cara kerja, maka sinergi mau tidak mau melibatkan sistim pengetahuan, baik sistim pengetahuan pemerintah maupun pengetahuan masyarakat. Jika pengetahuan pemerintah menjadi instrumen untuk menyiasati masyarakat, maka masyarakat kiranya akan menggunakan sistim pengetahuan yang dimiliki untuk menangkalnya. Adanya kebijakan dan panduan pemerintah tidak dengan serta merta membuat masyarakat mematuhinya, jika pemerintah dan masyarakat sama-sama terjebak dalam situasi saling tidak mempercayai (mutual distrust). Jika kondisi tersebut yang terjadi maka rencana untuk menghadapi keadaan darurat termasuk juga pembangunan sistem peringatan dini hanya sebatas formalitas dan prasyarat pemerintah dalam melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Sehingga kemampuan pemerintah dalam memobiliasi sumber dayapun bisa jadi tidak tepat sasaran. Jelasnya, pelacakan sinergi dalam pengurangan risiko bencana antara masyarakat dengan pemerintah melibatkan perjodohan sistem pengetahuan dari kedua belah pihak. Kegagalan dalam menciptakan dan pengembangan sinergi, sangat mungkin
4
disebabkan oleh kealfaan dalam memetakan persilangan sistem pengetahuan masyarakat dan sistem pengetahuan pemerintah/BPBD. Saling sapa antara sistem pengetahuan pemerintah dengan sistem pengetahuan masyarakat tidak mudah diciptakan mengingat pemerintah biasa dikelola untuk menguasai pihak lain. Hal ini sah-sah saja mengingat pemerintah sebagai aktor kunci dalam penanggulangan bencana, memiliki tanggungjawab dan wewenang yang besar dalam mengembangkan sinergi berbagai hal tersebut di atas, sambil mengembangkan kesiapsiagaan. Hanya saja, besarnya kewenangan justru bisa counter-productive. Bukan hanya sinergi tidak terwujud, melainkan semakin sulit diwujudkan. Kesadaran yang berlebih tentang kewenangan, dan rasa puas bahwa semuanya akan selesai dengan penggunaan kewenangan, justru menjadikan pemerintah selalu merujuk pada dirinya sendiri dengan menganggap masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan daya apapun. Pemerintah memperlakukan dirinya sebagai poros sinergi, dan berharap fihak merujuk dirinya dalam menentukan setiap langkah. Dengan klaim bahwa pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat, sebenarnya pemerintah telah nyaman dengan ilusi untuk mengatasi masalah publik, dalam hal ini bersiapsiaga mengantisipasi bencana.
Para
pejabat
dengan
enteng
mengatakan
bahwa
pemerintah
berkepentingan untuk memastikan seluruh stakeholder memiliki kesiapsiagaan dan membangun mitigasi sebagai upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Hanya saja hal ini tidak segera dan selalu terwujud dalam serangkaian pengorganisasian kegiatan yang dilakukan demi mengantisipasi bencana. Fakta di berbagai wilayah bahkan menunjukkan penanganan tanggap darurat masih jauh
5
dari harapan meski wilayah tersebut diklaim memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Kondisi ini terjadi pada saat gempa bumi di Aceh yang terjadi pada 11 April 2012 lalu, hampir seluruh prosedur darurat tidak berjalan dengan baik, bahkan beberapa perangkat early warning tidak bekerja. Pernyataanpun dilontarkan wakil presiden RI tentang situasi tersebut:
“ini pelajaran yang harus kita ambil, apa yang menjadi masalah, di atas kertas SOP (standard operational procedure) sudah bagus, tapi dengan kejadian kemarin harus kita lihat lagi, apa yang kurang” (www.kompas.com, diakses pada tanggal 25 Januari 2012).
Keinginan agar pemerintah dijadikan poros sinergi tersirat dari kecenderungan untuk menangani persoalan secara top-down. Ketidakberhasilan pelaksanaan tanggap
darurat
dikarenakan
kebijakan dalam membangun
kesiapsiagaan yang diterapkan pemerintah masih bersifat sentralistik dan berkerja secara top down tadi. Sekali lagi, birokrasi pemerintah merasa cukup dengan selalu bersandar kepada atasan, bukan kepada publik secara keseluruhan. Di sisi lain, kita menyaksikan hal yang sebaliknya. Komunitas lokal (local community), termasuk masyarakat Yogyakarta, telah memiliki sistem kesiapsiagaan sebagai bentuk pertahanan terkoordinir yang berasal dari kesepakatan bersama maupun pengetahuan lokal (local knowledge) yang tidak tertulis (Triyana dan Wibowo, 2011). Di saat sebuah sistem yang dibangun pemerintah dengan formalismenya tidak berjalan, maka masyarakat dengan sistem yang mereka buat dapat bekerja dengan rapi. Seringkali kepentingan dan peran masyarakat belum dapat terakomodir dalam dokumen kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Sehingga posisi
6
masyarakat sebagai frontliner pengelolaan resiko bencana menjadi sia-sia. Belajar dari hal tersebut, maka peran atau keterlibatan masyarakat dalam perancangan kebijakan maupun pengambilan keputusan yang sama derajatnya dengan pemerintah dalam hal ini BPBD harus dikedepankan. Tujuannya adalah adalah terrealisasikannya penanggulangan bencana yang bersifat bottom up demi menggalang masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. Sejalan dengan urgensi untuk menelaah tergalangnya sinergi pemerintah dengan masyarakat, kajian ini mengacu pada pengalaman masyarakat di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul telah cukup luas diketahui bahwa masyarakat desa ini telah memiliki bentuk-bentuk mitigasi dan kesiapsiagaan lokal yang tertuang secara implisit, baik itu yang berasal dari tradisi nenek moyang, ataupun dari tradisi yang terbentuk saat ini melalui kegiatan sosial kemasyarakatan, juga melalui kegiatan sosial masyarakat sehari-hari yang lain. Menarik untuk dicatat bahwa di Desa Poncosari ini telah mampu mampu bersinergi dengan sejumlah elemen dari luar untuk kepentingan pengurangan risiko bencana. Sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) telah menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat untuk kepentingan mitigasi dan kesipasiagaan gampabumi dan tsunami. Sejak tahun 2008 atau dua tahun sebelum BPBD terbentuk, sebanyak enam NGO telah melaksanakan beragam agenda mitigasi dan kesiapsiagaan di Desa Poncosari. Untuk mensukseskan seluruh agenda yang dilaksanakan. Kegiatan dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki masyarakat. Beberapa contoh kegiatan sharing pengetahuan, NGO memanfaatkan kegiatan kegamaan yang ada di dalam masyarakat. Pemasangan sirine EWS memanfaatkan
7
pengeras suara dari masjid-masjid yang tersebar di seluruh desa. Dalam berbagai perumusan dokumen pula pelibatan masyarakat sangat ditekankan, sehingga hasil yang dicapai diharapkan memang betul-betul atas prakarsa dari masyarakat sendiri. Dari paparan tersebut menggambarkan bahwa masyarakat bersifat open minded. Tidak ada persoalan mendasar yang menghalangi tergalangnya sinergi dengan fihak luar. Sengguhpun demikian, sinergi dengan pemerintah daerah, khusunya dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah belum terwujud. Kita tahu bahwa keberhasilan menggalang sinergi dalam mitigasi dan kesiapsiagaan akan berkontribusi besar dalam menciptakan efiktivitas dan keberlanjutan dalam penanggulangan bencana (Rivelino, 2010). Yang hendak dilakukan di sini bukanlah membuktikan argumentasi tersebut, melainkan menggali lebih jauh, bagaimana pemerintah daerah dalam hal ini BPBD dapat bersinergi dengan kekuatan-kekuatan yang ada, baik di masyarakat desa maupun dengan organisasiorganisasi kemasyarakatan.
1.2.
Permasalahan Penelitian Tergalangnya sinergi tentu saja melibatkan berbagai faktor, dan
bekerjanya faktor-faktor tersebut perlu ditelaah lebih seksama. Sulasmi (2003) dalam penelitiannya menerangkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sinergi adalah kerjasama, belajar inovatif, dan rasa saling percaya. Namun begitu, hubungan yang dijalin dengan pemerintah akan selalu melibatkan sistim pengetahuan, cara kerja, acuan kerja, dan kepentingan pemerintah (Senge, 1996). Oleh karenanya, faktor-faktor itu juga tidak terlepas terhadap upaya tergalangnya
8
sinergi masyarakat dengan pemerintah/BPBD. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada penelitian ini didedikasikan untuk menjawab pertanyaan dasar: Bagaimanakah rumusan langkah menggalang sinergi antara masyarakat Desa Poncosari denga pemerintah? Untuk mendalami hal itu, diajukan pertanyaan operasional: bagaimana mitigasi dan kesiapsiagaan masing-masing pihak (masyarakat
dengan
pemerintah)
berlangsung?
apakah
keduanya
telah
menggalang sinergi dengan baik, dan jika belum langkah apa yang dapat ditempuh untuk bersinergi? Dengan kerangka masalah tersebut, bukan berarti penelitian ini menutup mata atas peran pihak lain di luar pemerintah dan masyarakat.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah strategis untuk menggalang dan mengembangkan sinergi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkualitas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menemukan solusi atau langkah-langkah praktis dalam mengembangkan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat.
1.4. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian tentang peran serta masyarakat dalam proses pembangunan sudah banyak dilakukan, kebanyakan penelitian tersebut barulah sebatas menelaah proses yang terjadi di masyarakat, tetapi agak kurang sensitif terhadap fenomena
9
di pemerintahan. Pada tabel 1.1. berikut ini akan ditunjukkan beberapa penelitian yang relevan terhadap penelitian ini.
10
Tabel 1.1. Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu yang Relevan No
Peneliti/Prodi/Judul/Tahun
Tujuan
Metode
Hasil
Kontribusi dan Perbedaan pada Penelitian Ini
1
Triyana dan Wibowo/Fakultas Hukum UGM/Pelaksanaan Peraturan Partisipasi dalam Penanggulangan Bencana Gunung Merapi/2011
Menunjukkan pelaksanaan ketentuan Pasal 26 UU PB dan ketentuan Pasal 85 PP PPB tentang partisipasi masyarakat dalam penanggulangan erupsi gunung merapi.
Penelitian hukum empiris
Ditemukan faktor penghambat dan faktor pendukung pelaksanaan peraturan partisipatif, faktor penghambatnya adalah masyarakat tidak mengetahui bahwa dirinya berhak berpartisipasi dalam penanggulangan bencana. Sedangkan faktor pendukungnya adalah adanya koordinasi antar warga yang sudah terjalin, dan pembagian tugas dalam pelaksanaan tanggap darurat.
Penelitian ini berkontribusi pada kajian tentang partisipasi tidak langsung masyarakat dalam penanggulangan erupsi merapi dalam bentuk kegiatan seharihari masyarakat yang dinakaman local knowledge. Serta kajian tentang lemahnya sikap pemerintah dalam peraturan partisipatif. Namun dalam penelitian ini tidak ditunjukkan suatu upaya yang mungkin dilakukan pemerintah untuk menggalang partisipasi aktif masyarakat dalam birokrasi.
2
Adrianus Lesi/Fakultas Hukum Universitas Brawijaya/Interaksi Birokrasi dan LSM dalam Pembangunan/2008
Mengetahui kekuatan dan kelemahan dari sinergi antara (LSM) LPIP Surabaya dengan Birokrasi Pemerintah Daerah dan menyodorkan
Deskriptif kualitatif
Sinergi antara LSM dengan Pemerintah Daerah adalah agar Birokrasi Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pembangunan masyarakat. Aparat birokrasi tidak akan
Penelitian ini berkontribusi dari kajian hubungan NGO dengan pemerintah, tentang pentingnya keduanya menjalin kerjasama dan sinergi. Tetapi dalam kajian ini peran masyarakat tidak begitu menonjol sehingga teori
11
alternatif pemecahan masalah bagi peningkatan peran birokrasi pemerintahan daerah
3
Muthmainnah/Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada/Menggugah Partisipasi dan Membangun Sinergi: Upaya Bergerak dari Stagnasi Ekologi Pengelolaan Sampah/2007
Menunjukkan rekayasa Eksploratif sosial untuk sistem pengelolaan sampah yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
mampu menjangkau seluruh kebutuhan pembangunan khususnya dibidang sosial ekonomi tanpa melakukan pola kemitraan dengan pihak lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sinergi penanganan sampah yang bersifat end of pipe dengan pola clean production, dimana dalam proses sinergi tersebut sangat ditekankan peran dan partisipasi aktif dari seluruh stakeholders yang terkait dengan problem sampah ini. Sebagai sebuah upaya sinergi, maka yang dilakukan kemudian bukanlah menghentikan pola lama (end of pipe) melainkan melengkapi dan memperbaiki pola lama tersebut dengan pola baru (clean production). Di samping itu upaya penanganan sampah jrgu harus mensinergikan ujung pangkal dan ujung akhir persoalan.
sosial masyarakat tidak dapat disandingkan dengan teori birokrasi.
Kontribusi penelitian ini adalah mengkaji tentang sinergi antara metode lama dengan metode baru dalam kasus penanganan sampah. Tetapi tidak dibahas tentang peran stakeholders terkait secara terperinci.
(Peneliti, 2013)