BAB I I.1 Latar Belakang Masalah Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya, dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas 3 macam yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Doktrin ini untuk pertama kali di kemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesqiue (1689-1755). Filsuf Inggris, Jhon Locke mengemukakan konsep yang ditulisnya ini ke dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690). Dalam bukunya, Jhon Locke mengemukakan bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (membuat peraturan dan perundang – undangan), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang – undang sekaligus mengadili), dan kekuasaan federatif (menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain), yang masing – masing terpisah satu sama lain. 1 Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1784, filsuf Prancis Montesqieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des Louis ( The Spirit of Law ). Dalam uraiannya, Montesqieu membagi kekuasaan pemerintahan kedalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi ) maupun alat perlengkapan ( organ ) yang menyelengarakannya.
1
Miriam Budihardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal 282.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia kekuasaan membuat undang – undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). Menurut Undang - Undang no 32 tahun 2004 pasal 40 dijelaskan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga legislatif DPRD memiliki 3 fungsi yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 41 Undang - Undang no 32 tahun 2004 yakni: (1) Legislasi, yaitu membuat undang-undang dalam hal ini peraturan daerah ;(2) Controlling/pengawasan, yaitu mengawasi eksekutif (dalam hal ini adalah Bupati) dan peraturan daerah yang telah dibuat; (3) Budgeting/Anggaran, yakni bersama-sama dengan Kepala Daerah menyusun dan menetapkan APBD. DPRD memiliki tugas dan wewenang dalam membahas dan menyetujui rancangan perda mengenai APBD bersama kepala daerah. DPRD juga melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang – undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 42 ayat 1 butir b dan c Undang - Undang no 32 tahun 2004. Simalungun, seperti halnya dengan kabupaten/kota yang lain juga memiliki Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut pasal 1 ayat 14 Undang – Undang no 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebelum APBD menjadi Peraturan Daerah (Perda), Kepala Daerah yang bersangkutan membuat rancangan anggaran yang kemudian diajukan kepada DPRD dan DPRD membahas bersama Kepala Daerah agar Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (RAPBD) dapat menjadi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD),
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud adalah perda mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun. Dalam pembuatan peraturan daerah diperlukan tahapan – tahapan didalamnya, yakni : 1. Tahapan pengusulan raperda. 2. Tahapan pembahasan raperda. 3. Tahapan penetapan raperda menjadi perda. 4. Tahapan evaluasi perda Dalam proses tahapan pembuatan perda mengenai Anggaran Penerimaan Belanja Daerah tersebut biasanya terjadi tarik ulur kepentingan yang mungkin terjadi didalam pembahasan mengenai rancangan APBD tersebut. DPRD yang berfungsi untuk mengontrol budgeting pemerintah daerah sedangkan pemerintah daerah butuh anggaran yang besar untuk menjalankan program – program kerja pemerintah tersebut. Simalungun seperti halnya daerah lainnya juga melalui tahapan – tahapan dalam penyusunan peraturan daerah dalam hal ini adalah peraturan daerah mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah, juga mungkin mengalami proses yang dapat dikatakan tarik ulur kepentingan dalam penyusunan perda mengenai APBD tersebut. APBD Simalungun untuk tahun anggaran 2011 yaitu pada pendapatan daerah sebesar Rp. 1.006.510.043.930,- dan pada pengeluaran belanja daerah yaitu sebesar Rp. 1.051.208.762.290,- dan kemudian dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten Simalungun dan Bupati Simalungun menetapkan perda No. 1 Tahun 2011 tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011. Seperti yang dikemukakan diatas maka dapat kita lihat bahwa ini merupakan proses pembentukan peraturan daerah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana
Universitas Sumatera Utara
kemudian APBD tersebut menjadi sebuah peraturan daerah atas persetujuan DPRD. Hal ini dikuatkan oleh definisi tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di provinsi maupun di Kabupaten/Kota yang merupakan penjelasan dalam pasal 1 butir 10 undang – undang nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan juga Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang, Kepala Daerah dan DPRD menyampaikan materi yang sama mengenai Peraturan Daerah, maka hal yang akan dibahas adalah rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah dipergunakan sebagai bahan persandingan. Tidak jauh beda dengan daerah lainnya, penyusunan rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun sebelum menjadi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah, dibahas bersama-sama oleh pemerintah kabupaten dalam hal ini yaitu Bupati Simalungun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun. Setelah itu, maka rancangan yang telah dibahas tadi akan dibuat menjadi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah yang akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi peraturan daerah (perda). Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah yang dimuat dalam ketentuan pasal 15 undang – undang nomor 10 tahun 2004 mengenai pembentukan peraturan perundang - undangan, sehingga diharapkan agar tidak
terjadi
tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan Daerah, dalam hal ini peraturan daerah
Universitas Sumatera Utara
proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten tahun 2011 Kabupaten Simalungun.
I.2. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ingin dikaji yakni “Bagaimana proses pembentukan Peraturan Daerah mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011?”
I.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus terhadap permasalahannya, maka lebih baik jika dibuat pembatasan masalahnya. Pada proposal penelitian ini adapun masalah yang ingin diteliti adalah :
1. Proses pengusulan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun Anggaran 2011. 2. Proses pembahasan raperda mengenai APBD Kabupaten Simalungun tahun Anggaran 2011. 3. Proses penetapan raperda
menjadi perda mengenai APBD Kabupaten
Simalungun tahun Anggaran 2011.
I.4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana sebenarnya proses pembentukan Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2011 mengenai APBD Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2011.
Universitas Sumatera Utara
I.5. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis maupun metodologis, Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi perwakilan politik di Indonesia. 2. Bagi akademisi, khususnya Departemen Ilmu Politik, Penelitian ini dapat menjadi bahan acuan maupun referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia. 3. Bagi masyarakat sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat sendiri mengenai proses pembentukan peraturan daerah mengenai Anggaran Penerimaan Belanja Daereah.
I.6 Kerangka Teori
Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian perlu adanya dasar berpikir yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana permasalahan akan diteliti. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. 2
I.6.1 Fungsi Legislatif
Woodrow Wilson mengemukakan bahwa legislation is an aggregate, not a simple production. Namun sebelumnya Jeremy Bentham dan John Austin memberikan konsep legislasi
2
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES. Hal 37
Universitas Sumatera Utara
sebagai “any form of law-making”. Karenanya bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted law”, “statute”, atau undang-undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi merupakan fungsi dalam pembentukan perundang-undangan. 3
Lebih lanjut Jimmly Assiddiqie, mengemukakan bahwa fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu Pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation), Kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process), Ketiga, persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval), dan Keempat, pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan international dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya. 4
Muchtar Pakpahan membagi fungsi DPR secara garis besar kedalam tiga fungsi yaitu, legislative function (fungsi legislatif), controlling function (fungsi pengawasan) dan budgeting function (fungsi budget atau anggaran). 5
Fungsi pokok DPR adalah membuat undang-undang yang berarti menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Menurut Miriam Budiardjo bahwa “lembaga legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggotaanggotanya dianggap mewakili rakyat.” 6 sedangakan menurut David E. After bahwa badan
3 Jimly Assiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang Di Indonesia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. hal. 31-32 4 Ibid hal. 34 5 Muchtar Pakapahan. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. hal. 18 6 Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.173
Universitas Sumatera Utara
legislatif terdiri dari wakil-wakil rakyat dan semua penetapan undang-undang harus disetujui oleh legislatif. 7
Pada hakekatnya fungsi utama dari legislatif adalah membuat undang-undang (legislasi), hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan (controlling) juga merupakan bagian fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga fungsi angggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga ditetapkan dengan peraturan Daerah APBD setiap tahun anggaran, dan ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di daerah. 8
Maka yang menjadi fungsi pokok dari DPR adalah pembentukan undang-undang sebagai landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam konsep demokrasi menempatkan partipasi sebagai intinya, berarti menghendaki diikutsertakannya masyarakat dalam perbuatan kebijakan publik (public policy).
I.6.2 Teori Perwakilan Politik
Dalam perwakilan politik, kita mengetahui ada 2 jenis perwakilan. Yakni perwakilan langsung dan perwakilan tidak langsung. Sejarah perwakilan telah mulai di perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep baru dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk 7 8
David E. Apter.1985. Pengantar Analisa Politik, Jakarta : CV Rajawali. hal. 230-234 Peraturan DPRD Kabupaten Simalungun No. 13 tahun 2010 mengenai Tata Tertib DPRD Kabupaten Simalungun Pasal 2 Ayat
5
Universitas Sumatera Utara
membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap yang diwakili) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin (1957).
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas.
Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia dan Pitkin sudah lebih mendalam dari perwakilan politik. Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan dilaksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno dan Romawi. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang disebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Konsep perwakilan pada saat itu ialah
Universitas Sumatera Utara
konsep perwakilan langsung. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini. 9
Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsungnya demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan feodal. Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat raja menginginkan penambahan tentara dan pajak, maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan sesuatu, maka raja tinggal memanggil mereka.
Sebagai konsekuensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalah-masalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan 9
Deliar dan Noer.1999. Pemikiran Politik di negeri Barat. Cetakan IV. Mizan. Bandung. hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia Regis’’ dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang. 10
Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga perwakilan pertama di era modern. House of lord dalam perjalannya mempunyai kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan kaum menengah yang menjadi korban manakala raja membuat kebijakan, maka rakyat minta agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam house of lord didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenangan, maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum Consilium , yang terdiri dari para wakil rakyat yang perkembangan selajutnya adalah bahwa house of commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan ’’mosi tidak percaya’’ yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuah kabinet dan itu berlangsung sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang lebih berkuasa adalah house of lord yang dipilih melalui pemilihan umum sedangkan house of lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari para orang-orang yang dipilih secara turun-temurun. 11
10
Ibid, hal. 44. Ibid, hal. 45.
11
Universitas Sumatera Utara
Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia tidak terlepas dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan dan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar kepentingannya tersalurkan bagai sebuah kanal. Terbentuknya majelis (dewan perwakilan) juga merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah memandatkannya apabila terjadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat ’’absolut’’ karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “Leviathan” (binatang buas). Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah dengan menyerahkan kekuasaan dan kekuasaan seluruhnya pada satu orang. Sejatinya dewan rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan perbantahan. Fokusnya majelis berada dalam heredity power. 12
Menurut Montesqiue Kekuasaan yang menampung, membicarakan dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif”. Mutlak perlu dibentuk legisltif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut
12
Ibid, hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah ’’suara minoritas (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan. Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar (chamber) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masingmasing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya, masing-masing kekuasaan politik haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang untuk saling mengawasi. 13
Salah satu teori yang menjelaskan tentang lembaga perwakilan adalah Teori Mandat. Dalam Teori Mandat ini dibagi lagi ke dalam 3 bagian. Teori yang pertama ialah teori mandat bebas, teori mandat imperatif, dan teori mandat yang ketiga ialah teori mandat representative. Teori mandat menjelaskan bahwa seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion.
Menurut mandat Imperatif, bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.
13
Ibid, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
Teori mandat bebas berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orangorang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori mandat representatif.
Teori mandat representatif mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk meminta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan terhadap rakyat pemilihnya.
Dalam teori perwakilan, biasanya ada 2 kategori yang dibedakan. Kategori pertama ialah Perwakilan Politik (Polotical representation) dan Perwakilan Fungsional (Fungsional Representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai pengemban “mandat” perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini, anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini yang disebut dengan perwakilan politik (political representation). 14
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam
14
Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal.317.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat terutama dibidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari berbagai-bagai golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari golongan kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat sebagai majelis tinggi.
Dari uraian tentang perwakilan politik dapat kita ambil kesimpulan, bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Disamping itu, beberapa negara merasa bahwa asas functional or occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingannya disamping sistem perwakilan politik.
I.6.2.1 Badan Legislatif di Indonesia
Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi badan legislatif yaitu legislate, atau membuat undang – undang. Di Indonesia sendiri badan legislatif disebut dengan DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ) yang berada di pusat dan DPRD yang berada di daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Indonesia sendiri, sebagai negara demokrasi, badan legislatif disusun secara sedemikian rupa sehingga badan legislatif tersebut dapat mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab terhadapnya. Dengan perkataan lain, negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Dalam masalah perwakilan, biasanya ada dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama yakni perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai trustee, dan perannya sebagai pengemban mandat perwakilan. Dewasa ini anggota badan legislatif pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Disamping itu ditemukan bahwa di beberapa negara termasuk Indonesia (pada penyelenggaraan Pemiliahan Umum 1971 dengan mengikutsertakan asas perwakilan fungsional yaitu golongan karya), asas perwakilan politik diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau sekurang
–
kurangnya
dilengkapi
dengaan
asas
perwakilan
fungsional
(functional
representation). Hal ini perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingan di samping sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan sifat professional ke dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Badan legislatif juga memiliki fungsi yang paling penting yaitu :
1. Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang – undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang – undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama di bidang budget atau anggaran 2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan – kebijakan yang telah ditetapkan. 15
Badan legislatif di Indonesia telah ada mulai dari penjajahan Belanda, kemudian pada masa awal kemerdekaan, era orde lama, era orde baru, era reformasi, sampai era pasca reformasi sekarang ini. Berikut ini Badan Legislatif di Indonesia dari zaman Belanda hingga sekarang :
1. Volksraad : 1918 – 1942 2. Komite nasional Indonesia : 1945 – 1949 15
Ibid hal 322.
Universitas Sumatera Utara
3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat : 1949 – 1950 4. DPR Sementara : 1950 – 1956 5. a. DPR (hasil pemilihan umum 1955) : 1956 – 1959 b. DPR Peralihan : 1959 – 1960 6. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Terpimpin : 1960 – 1966 7. DPR Gotong – Royong – Demokrasi Pancasila : 1966 – 1971 8. DPR hasil pemilihan umum 1971 9. DPR hasil pemilihan umum 1977 10. DPR hasil pemilihan umum 1982 11. DPR hasil pemilihan umum 1987 12. DPR hasil pemilihan umum 1992 13. DPR hasil pemilihan umum 1997 14. DPR hasil pemilihan umum 1999 15. DPR hasil pemilihan umum 2004 16. DPR hasil pemilihan umum 2009 16
I.6.3 Proses Pengambilan Kebijakan
1.6.3.1. Perumusan Kebijakan
Pendefinisian Masalah (Defining Problem)
Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan 17. Agar dapat merumuskan kebijakan
16 17
Ibid hal 329. Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo. Hal 45
Universitas Sumatera Utara
dengan baik, maka masalah-masalah publik harus harus didefinisikan dengan baik, karena pada dasarnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Kegagalan suatu kebijakan publik sering disebabkan aleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi pendefinisian suatu masalah merupakan langkah yang sangat krusial dalam perumusan suatu kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang nantinya akan di bahas lebih mendalam dan mendetail pada agenda setting.
1.6.3.2.Tahapan Kebijakan
Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, proses pengambilan kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan kita dalam memahami proses pengambilan kebijakan publik 18.
a. Tahap Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Di sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan, namun masalah-masalah tersebut tidak langsung mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Setiap masalah publik harus mendapatkan pengorganisasian agar masalah tersebut menjadi isu kebijakan yang akan dibahas para pembuat kebijakan. Setelah suatu masalah diorganisasikan dengan baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan.
18
Charles Lindblom. 1986. Proses Penetapan Kebijakan Publik. Jakarta: Airlangga. Hal 54-55
Universitas Sumatera Utara
Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian dari para pejabat publik, untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah dibutuhkan peranan partai politik, kelompok kepentingan, maupun masyarakat secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat untuk menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan sampai di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini dikarenakan banyaknya persoalan (isu kebijakan) yang sama-sama membutuhkan penyelesaian. Pada tahapan ini suatu masalah (isu kebijakan) mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah yang pembahasannya ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung ditanggapi / dibahas oleh para pengambil kebijakan. b. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Masalah (isu kebijakan) yang telah masuk dalam agenda setting kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu dirumuskan melalui proses analisa yang cermat tentang pendefinisian masalah tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan bagaimana dampaknya. Pemecahan masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini, pembuat kebijakan akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanifestasikan kepentingannya di dalam subsitansi kebijakan. c. Tahap Penetapan Kebijakan (Policy Adoption) Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak (untung-rugi) suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara menerapkan alternatif. Setelah melakukan penelahaan yang sangat cermat, para pengambil
Universitas Sumatera Utara
kebijakan akan menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang ditawarkan para perumus kebijakan. d. Tahap Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Tahap ini, suatu kebiajakan yang telah ditetapkan harus diimplemetasikan agar kebijakan itu tidak hanya sebagai catatan elit semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan para pelaksana kebijakan (birokrat) agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di dalam masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para pelaksana kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan kebijakan tersebut. e. Tahap Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan akan dievaluasi atau dihakimi (judged), untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan tersebut bisa dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa saja dinyatakan gagal apabila penerapan suatu kebijakan justru mendatangkan persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
I.7. Metodologi Penelitian
Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial suda tentu membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi ialah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan instrumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan
Universitas Sumatera Utara
dapat dianalisa utntuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan 19
I.7.1 Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif ialah langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian deskriptif biasanya memiliki 2 tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian dicantumkan kedalam tabel-tabel frekuensi. 2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.
Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya, pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan peengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitiaan eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori. 20
Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan terlalu ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan, membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai 19 20
Antonius Birowo. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gintanyali. hal. 71-72. Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
keadaan saat ini. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran maupun peristiwa pada masa sekarang.
Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif tentang gejalagejala yang terdapat didalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah:
1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitisn dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual. 2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,di iringi dengan interpretasinasional yang memadai.
Menurut nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk menentukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena individu
atau
kelompok,
menentukan
frekuensi
terjadinya
suatu
keberadaan
untuk
meminimalkan bias dan memaksimalkan reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy facto” yang artinya data dikumpulkan, setelah semua kejadian berlangsung. 21
I.7.2 Jenis Penelitian
Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
21
Mohammad Nasir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 22
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kagiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.
Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi, akan tetapi mungkin saja berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan demikian data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan, kalimat yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan ditafsirkan sebagai usaha untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.
I.7.3 Deskripsi Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kantor DPRD Kabupaten Simalungun Komplek Perkantoran Pemkab Simalungun Pamatang Raya – Sumatera Utara.
22
Lexy J. Moleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
I.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam melahirkan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation).
Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh terhadap obyeksifitas hasil penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan keharusan untuk memenuhi validitas dan realibilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.Untuk memperoleh data atau informasi, keteranganketerangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu dengan mewawancarai Ketua Badan Anggaran DPRD Kabupaten Simalungun yakni Bapak Bintaon Tindaon, SPd , Wakil Ketua Badan Anggaran yakni Bapak Ojak Naibaho, SH. 2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
I.7.5 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dengan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema permasalahan. Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa, dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti
I.8. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II : PROFIL DPRD DAN KABUPATEN SIMALUNGUN
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di DPRD Kabupaten Simalungun. Antara lain, profil Kabupaten Simalungun, sejarah singkat tentang DPRD Kabupaten Simalungun, profil DPRD Simalungun.
BAB III : PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH NO. 1 TAHUN 2011 MENGENAI APBD KABUPATEN SIMALUNGUN TA. 2011
Universitas Sumatera Utara
Pada bab ini akan membahas mengenai Bagaimana proses pembentukan peraturan daerah tentang Anggaran Penerimaan Belanja Daerah Kabupaten Simalungun
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dalam bab ini akan berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembagalembaga yang terkait secara umum.
Universitas Sumatera Utara