BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata masih menjadi salah sektor andalan bagi negara berkembang, termasuk dalam hal ini adalah Indonesia. Bagi negara berkembang sektor ini termasuk prioritas guna meningkatkan devisa Negara, Selain itu pariwisata merupakan industri gaya baru yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor lain di dalam negara penerima wisatawan. Di samping itu pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks, mampu menghidupkan sektorsektor lain meliputi industri-industri seperti industri kerajinan tangan, industri cinderamata, penginapan, dan transportasi.1 Disebutkan pula bahwa pariwisata sebagai industri jasa yang digolongkan sebagai industri ke tiga cukup berperan penting dalam menetapkan kebijaksanaan mengenai kesempatan kerja, dengan alasan semakin mendesaknya tuntutan akan kesempatan kerja yang tetap sehubungan dengan selalu meningkatnya wisata pada masa yang akan datang.2 Bagaimanapun pariwisata tidaklah lepas dari sektor ekonomi, kedua sektor ini saling berhubungan erat baik secara akademis maupun prakteknya. Banyak studi, kajian, maupun penelitian terkait dengan pariwisata dengan ekonomi. Misalnya dalam studi yang dilakukan Sarinen dan Manwa (2008) yang mengambil kasus di Botswana, dimana pariwisata berperan dalam meningkatkan 1
Salah Wahab. 1976. Manajemen Kepariwisataan Terjemahan Frans Gromang Jakarta: PT Pradnya Paramita, halaman. 5. 2 James J. Spillane.1993. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya .Yogyakarta: Kanisius.halaman. 47.
dan menumbuhkan ekonomi masyarakat. Sebagai akibatnya pariwisata menjadi masalah sosial dan politik yang mempengaruhi tidak hanya pemandangan fisik, penggunaan lahan, tetapi juga berpengaruh terhadap struktur sosial, budaya lokal, kehidupan sehari-hari masyarakat dan mata pencaharian. Studi Ho (2000) di tiga wisata pedesaan di China antara lain di Hongcun di Selatan Profinsi Anhui, Linjiang di Provinsi Yunan barat daya Barat Cina, serta di Pingshan di Hong Kong, menyimpulakan bahwa dikembangkanya pariwisata mayoritas untuk kepentingan ekonomi, dimana sejarah dan nilai-nilai sengaja diciptakan, Sedangkan proses pelestarian warisan tradisi dan kepentingan penduduk lokal (penerima wisatawan) terabaikan. Disatu sisi secara ekonomi dampak pariwisata sangat menguntungkan, disisi lain juga berdampak pada ranah sosial budaya. Berdasarkan penelitiannya di kepulauan Pasific, Mac Naught (1982) mengatakan bahwa pariwista telah mencabut masyarakat dari bentuk ekspresi budaya-nya karena kepentingan pariwisata. Mungkin apa yang dikatakan oleh Mac Naught (1982) ini menjadi delemanya sendiri ketika ranah tradisional sudah tidak lagi bertahan maka dengan adanya agenda pariwisata masayarakat sudah tercerabut dari akar budaya aslinya.
Ekspresi-ekspresi
kultural
sudah
seakan
mulai
dibuat-dibuat
menyesuaikan agenda pariwisata. Begitu juga dengan kesenian, sebagai salah satu komoditas pariwisata kesenian seakan sudah tidak lagi berdasarkan pada ekspresi budaya masyarakat tetapi sudah atas dasar kepentingan pariwisata. Selain itu juga terjadi perubahan dan dinamika masyarakat sebagai akibat adanya proses pariwisata. Berkembangnya pariwisata akan memberikan banyak
pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di lokasi wisata itu sendiri. Retnowati (2004) menjelaskan bahwa pariwisata juga berpotensi memicu terjadinya perubahan perilaku masyarakat, memudarnya nilai dan norma sosial, kehilangan identitas, konflik sosial, pergeseran mata pencaharian dan pencemaran lingkungan. Berbagai hal tersebut rentan terjadi di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan pariwisata. Selain memiliki dampak negatif, pengembangan pariwisata juga dapat meningkatkan pendapatan dan tingkat ekonomi masyarakat. Tema pariwisata sudah menjadi kajian yang menarik di kalangan ilmuwan antropologi, sejak 1970an. Bagi para antropolog fenomena pariwisata dapat menjadi jalan masuk dalam mengkaji isu-isu seperti: ekonomi politik, perubahan sosial dan pembangunan, pengelolaan sumberdaya alam, identitas budaya dan ekspresi3. Dengan perspektif holistiknya ilmu antropologi menjadi penting dalam mengeksplorasi fenomena pariwisata yang ada. Secara konseptual Stronza (2001) menjadi dua bagian, satu yang berfokus pada memahami asal-usul pariwisata dan salah satu yang bertujuan untuk menganalisis dampak pariwisata. Studi tentang asal-usul pariwisata cenderung fokus pada wisatawan, sedangkan pada tema dampak pariwisata cenderung menganalisis hanya penduduk setempat. Pada penelitaian ini peneliti cenderung membawa tema pariwista cenderung menganalisis dampak budaya yang aktivitas pariwisata yang berfokus pada masyrakat penerima wisatawan atau house community dalam bahasa lain disebut juga winisatawan, khususnya damapak pada pranata ekonomi.
3
Lihat Amanda storonza. 2001. Anthropology of Tourism: Forging New Ground for Ecotourism and Other Alternatives. Annual Review of Anthropology, Vol. 30 (2001), pp. 261-283
Pariwisata dengan segala aspek kehidupan yang terkait di dalamnya akan menuntut konsekuensi dari terjadinya pertemuan dua budaya atau lebih yang berbeda, yaitu budaya para wisatawan (guest) dengan budaya masyarakat sekitar (host) obyek wisata (Smith,1978 ; Nash,1998). Budaya-budaya yang berbeda dan saling bersentuhan itu akan membawa pengaruh yang menimbulkan dampak terhadap segala aspek kehidupan dalam masyarakat sekitar obyek wisata. Pada hakekatnya ada empat bidang pokok yang dipengaruhi oleh usaha pengembangan pariwisata, yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Dampak positif yang menguntungkan dalam bidang ekonomi yaitu bahwa kegiatan pariwisata mendatangkan pendapatan devisa negara dan terciptanya kesempatan kerja, serta adanya kemungkinan bagi masyarakat di daerah tujuan wisata untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup mereka. Dampak positif yang lain adalah perkembangan atau kemajuan kebudayaan, terutama pada unsur budaya teknologi
dan
sistem
pengetahuan
yang
maju.
Dampak
negatif
dari
pengembangan pariwisata tampak menonjol pada bidang sosial, yaitu pada gaya hidup masyarakat di daerah tujuan wisata. Gaya hidup ini meliputi perubahan sikap, tingkah laku, dan perilaku karena kontak langsung dengan para wisatawan yang berasal dari budaya berbeda4. Berbagai penelitian baik dalam maupun luar negeri sudah banyak yang menunjukan dampak dari kegiatan pariwisata khusunya dari segi ekonomi, Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh: Aradhyula and Tronstad (2003), IUOTO (1975), Rodernburg (1980), Udayana University (1975), Walope (2000) 4
Nyoman S.1990. Pendit, Ilmu Pariwisata “Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT. Pradana Paramita hlm. 79-80.
dan Wilson (2008), Ahimsa (2012), dan sebagainya. Tetapi sedikit sekali yang kemudian meneliti dampak budaya dari kegiatan ekonomi kepariwisataan, khusunya diwilayah pariwisata pedesaan. Disinilah tugas para antropolog dalam mengakji fenomena itu, meskipun para antropolog sudah banyak mengakajinya misalnya studi-sudi yang dilakukan oleh Cohen (1979a,b), de Kadt (1979), Farrell (1977a), Finney dan Watson (1975), Knox dan Suggs (1979), Smith 1977,1978,1980). Tetapi jarang sekali penelitian yang membahas proses perubahan kebudayaan (akulturasi) dari sektor ekonomi pariwisata, khususnya pada tataran mikro ekonomi, dengan melihah aktivitas mata pencaharian masyarakat lokal penerima wisatawan. Apa lagi sektor pariwisata pedesaan ini masih kurang mendapat perhatian dari tangan–tangan peneliti sosial budaya, terlebih beberapa dekade ini dikenal istilah “desa wisata”. Fenomena “Desa Wisata” pada beberapa dekade ini mewarnai dunia pariwisata, khususnya pariwisata pedesaan di Yogyakarta. Meskipun secara konseptual “Desa wisata” masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Tetapi hadirnya desa wisata mampu menjadi sebuah gejala sosial baru yang mengubah tatanan sosial yang ada di pedesaan. Dimana desa-desa yang memiliki potensi wisata kemudian disulap menjadi “desa wisata” oleh Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten, yang tujuan utama adanya desa wisata ini adalah untuk mensejahterakan masyarakat local,khusunya dalam hal ekonomi. Motif ekonomi inilah kemudian menghasilkan proses perubahan sosial dan budaya yang tidak jarang mengahasilkan masalah sosial bahkan friksi dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan kajian serius dan mendalam mengenai
perubahan kebudayaan sebagai akibat hadirnya desa wisata, khusunya dalam bidang ekonomi. Dari kacamata birokrasi “desa wisata” yang dipahami sebagai suatu strategi resmi pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah, yang dipicu antara lain oleh paradigma baru dalam pembangunan pariwisata yang lebih melibatkan masyarakat, adanya minat masyarakat untuk mengembangkan dan membangun desa mereka sendiri dan adanya paradigma pembangunan daerah yang memanfaatkan pariwisata sebagai satu motor penggeraknya5. Secara umum desa wisata ini adalah desa yang dikemas sebagai objek wisata tanpa menghilangkan keaslian dari lokal yang ada di desa. Biasanya desa yang dibentuk menjadi Desa Wisata memiliki potensi wisata berupa keindahan alam yang tak ternilai, budaya, dan sejarah yang dapat dijadikan keunggulan di desa wisata masing-masing. Ada beberapa syarat yang kemudian harus dipenuhi oleh desa jika ingin dijadikan sebagai desa wisata. Syarat-syarat tersebut antara lain memiliki potensi wisata dan budaya yang khas, lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam rute paket perjalanan wisata yang sudah dijual, diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih dan pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya, adanya aksesibilitas dan infrastruktur yang mendukung program Desa Wisata serta terjaminnya keamanan, ketertiban,
5
Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra. 2011. Pariwiwsata di Desa dan Respon Ekonomi: Kasus Dususn Brayut di Sleman, Yogyakarta. Patrawidya, vol 12, No. 4, Desember 2011, hal 636
dan kebersihan6. Selain syarat yang harus dipenuhi seperti diatas, desa wisata harus memiliki tema-tema atau segmen-segmen tertentu seperti: desa wisata budaya, desa wisata kreatif, desa wisata bahari, dan masih banyak yang lainya. Di Yogyakarta terdapat beberapa “Desa Wisata” yang terbagi ke dalam tiga kategori besar yaitu desa wisata mandiri, desa wisata berkembang, dan desa wisata tumbuh. Kabupaten Sleman ini menurut wawancara peneliti dengan salah seorang Staf di Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, terdapat 38 desa wisata yang terdiri dari 12 desa wisata tumbuh, 13 desa wisata bekembang, dan 13 desa wisata yang tergolong kedalam kategori desa wisata mandiri. Dari 38 desa wisata ini menurut Firdaus (Ahimsa-Putra: 2011) terbagi lagi menjadi enam segmen desa wisata yaitu (1) desa wisata budaya, (2) desa wisata pertanian, (3) desa wisata kerajinan, (4) desa wisata fauna, (5) desa wisata merapi, dan (6) desa wisata pendidikan. Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting dalam etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada saat ini hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi suatu masyarakat yang berbasiskan pada sektor pertanian. Tetapi seiring berjalanya waktu sistem mata pencaharian masyarakat mengalami perubahan, sebagai akibat adanya arus modernisasi. 6
Agus Muriawan Putra.Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata, Juni 2006, Volume 5, Nomor 1
Perubahan sistem mata pencaharian pada masyarakat ini menurut Koentjaraningrat 7 sudah tercermin pada proses historis keberadaan manusisa yaitu pada masa berburu dan meramu. Terbukti bahwa berburu dan meramu adalah sistem mata pencaharian yang paling tua dan paling awal yang dilakukan oleh manusia. “Ekonomi pengumpulan pangan “ ini sering disebut juga dengan istilah “food gathering” artinya dalam kehidupan manusia berburu dan meramu ini sudah mulai mengenal mengenai bagaimana cara mencari dan mengumpulkan berbagai tanaman dan binatang yang dijadikan sebagai pangan pokok agar bisa bertahan hidup. Kemudian mengalami perubahan dengan cara mulai bercocok tanam. Pada konteks pariwisata ini, proses transformasi mata pencaharian tak ubahnya seperti yang digambarkan oleh Koentjaraningrat (1990) yang dahulunya berburu dan meramu yang kemudian berubah menjadi proses bercocok tanam atau bertani. Secara mikro fenomena perkembangan pariwisata berdampak juga terhadap sistem mata pencaharian penduduk penerima wisatawan (host community). Dimana dalam proses pariwisata ini terdapat kontak sosial antara Wisatawan (guest) dan penerima wisatawan (host), sehingga berdampak pada perubahan pola-pola kehidupan termasuk juga dalam hal ini adalah perubahan sistem mata pencaharian. Misalnya wisatawan mulai tergiur dan mencicipi kue yang disediakan winisatawan, kemudian proses itu terus menerus. Sehingga berakibat pada berpindahnya mata pencaharian dari sektor agraris ke sektor industri makanan untuk pariwisata. Proses perubahan mata pencaharian ini terjadi 7
Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat
sebagai salah satu bentuk akulturasi kebudayaan. Dimana kebudayaan yang ada pada pihak penerima (host) dibenturkan dengan para pendatang atau wisatawan. Diadobsinya unsur-unsur kebudayaan asing dalam satu masyarakat tertentu akan membawa konsekuensi-konsekuensi sosial 8 , termasuk di Desa wisata. Berbagai macam prnata sosial yang ada di desa akan sedikit bnyak mengalami perubahan. Desa yang bertumpu pada sektor agraris seperti pertanian dan perternakan akan berubah menjadi pariwisata. Perubahan atau proses adobsi kebudayaan akan memperoleh respon dari anggota msyarakat. Ada yang kemudian menerima dan adapula yang kemudian menolak adanya perubahan pranata sosial yang ada. Tingkat penerimaan terhadap adobsi budaya yang baru ini sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam. Penelitian etnografi ini diharapkan dapat menjadi alternatif dalam menelaah dan mengakaji fenomena “Desa Wisata”, yang berdasarkan pada temuan-temuan empiris yang berasal dari penelitian lapangan yang cukup mendalam. Sebelumnya banyak kajian mengenai “desa wisata” yang ada di Yogyakarta, tetapi jarang sekali yang menyentuh aspek ekonomi sebagai suatu dampak atau gejala social yang ditimbulkan dari adanya implementasi konsep “desa wisata” di pedesaan Yogyakarta. Satu kajian menarik dari Ahimsa-Putra (2011) yang meneliti respon ekonomi penduduk di Brayut ketika desa mereka pelan-pelan menjadi desa wisata. Tetapi etnografi ini tidak menekankan pada respon ekonomi, melainkan pada proses akulturasi ekonomi yang kemudian
8
Heddy Ahimsa Putra. 2014. Pariwisata dan Perubahan Kebudayaan : Desa Wisata Sebagai Arena Akulturasi Budaya. Proposal penelitian: Tidak diterbitkan, hal 2
dijelaskan dalam konsep “ekonomi hibrida” atau “hybrid economic”, sebagai sebuah dampak yang ditimbulakan dalam proses pariwisata pedesaan. Penelitian ini dilakukan di salah salah satu dukuh di Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman yang juga merupakan salah satu desa wisata, yaitu Dukuh Grogol yang sejak 2001 ditetapkan dalam kategori “desa wisata budaya”. Desa Wisata Budaya Grogol ini digolongkan menjadi desa wisata tumbuh dari 2001, dan baru menjadi desa wisata berkembang setelah 2010. Setelah semakin berkembangnya Desa Wisata Budaya Grogol yang ditandai dengan semakin meningkatnya aktivitas wisata, pada akhir 2014 Desa Wisata Budaya Grogol berhasil meraih penghargaan sebagai Juara II Lomba Desa Wisata Berkembang di Tingkat Kabupaten Sleman, dan Harapan III di tingkat Provinsi DI Yogyakarta pada bulan april 2015. Menjadi menarik karena penelitian ini melihat proses akulturasi yang terjadi pada fenomena pariwisata dengan mengambil konsentrasi pada perubahan sistem mata pencaharian masyarakat. Perubahan mata pencaharian masyarakat sebagai salah satu dampak yang ditimbulkan adanya proses pariwisata ini melahirkan kebudayaan baru seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka penelitian ini mencoba melihat realita pariwisata dengan fokus pembahasan pada dampak yang ditimbulkan atau pengaruhnya terhadap sistem mata pencaharian masyarakat di Desa Wisata. B. Masalahan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diasumsikan, bahwa perubahan budaya akibat proses desa wisata yang dominan adalah pranata
ekonomi atau mata pencaharian masyarakat local penerima wisata atau guest community. Proses perubahan pada pranata ekonomi (mata pencaharian) masyarakat diperoleh melalui kontak kebudayaan, baik diperoleh dari wisatawan, aktor-aktor inovasi, pelatihan atau work shop, media, dan banyak agen-agen perubahan lainnya. Kemudian kebudayan baru yang dibawa aktor-aktor tersebut akan berakulturasi dengan budaya lokal. Maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses perubahan kebudayaan yang terjadi pasca ditetapkanya Dukuh Grogol sebagai Desa Wisata Budaya? 2. Bagaimana proses akulturasi pranata ekonomi (sistem mata pencaharian) masyarakat yang kemudian dapat menghasilkan suatu model ekonomi baru yaitu ekonomi hibrida pada masyarakat Desa Wisata Budaya Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman DIY? 3. Apa sajakah hasil dari proses akulturasi pada pranata ekonomi (mata pencaharian masyarakat lokal dalam hal ini adalah masyarakat Dukuh Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman DIY? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum, ditujukan untuk menggali proses perubahan kebudayaan pasca ditetapkannya sebuah desa, kampung, dusun atau dukuh sebagai “Desa Wisata”. Penyematan sebagai desa wisata ini pasti menimbulkan perbubahan kebudayaan. Karena dengan disematkan sebagai sebuah “desa wisata” sebuah kampung atau dukuh akan menerima tamu (wisatawan) yang memiliki unsur-unsur budaya yang berbeda dari masyarakat lokal, sehingga terjadi kontak
budaya dan akulturasi kebudayaan. Darisinilah peneliti bertujuan untuk mengetahui proses perbuhan dan hasil dari perubahan budaya. Adapun penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui proses perubahan kebudayaan yang terjadi pasca ditetapkanya Dukuh Grogol sebagai Desa Wisata Budaya, 2. Untuk mengetahui proses akulturasi pranata ekonomi (sistem mata pencaharian) masyarakat yang kemudian dapat menghasilkan suatu model ekonomi baru yaitu ekonomi hibrida pada masyarakat Desa Wisata Budaya Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman DIY. 3. Untuk mengetahui hasil dari proses akulturasi pada pranata ekonomi (mata pencaharian masyarakat lokal dalam hal ini adalah masyarakat Dukuh Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman, DIY D. Manfaat Penelitian Apa saja yang dihasilkan dalam penelitian diharapkan memeperoleh dua manfaat yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis. Manfaat praktis adalah pengetahuan – pengetahuan baru yang didapatkan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan
masalah-masalah
kehidupan
masyarakat,
khususnya
yang
berkenaan dengan kebudayaan dan pariwisata, sedangkan manfaat teoritis adalah pengetahuan-pengetahuan yang relevan dengan teori-teori mengenai perubahan kebudayaan dan pariwisata, yang dimungkinkan dilakukan prediksi (perkiraan) atas gejala-gejala tersebut (kebudayaan dan pariwisata) 9.
9
Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra. 2014. Ibid. Halaman 3
a. Manfaat Teoritis 1. Memperoleh pengetahuan baru mengenai adobsi unsur-unsur budaya baru atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan khususnya pada unsur mata pencaharian, sebagai sumbangan pemikiran mengenai teori difusi kebudayaan 2. Memperoleh pengetahuan baru mengenai dampak sosial budaya akibat adanya proses pariwisata, baik diterima atau tidaknya budaya baru tersebut ditengah masyarakat, sebagai sumbangan pemikiran mengenai teori perubahan kebudayaan dan akulturasi. 3. Memperoleh pengetahuan baru mengenai relasi kausal maupun fungsional antara gejala kebudayaan dan aktifitas kepariwisataan sebagai penyubang pemikiran mengenai kajian fenomena pariwisata dan kebudayaan. b. Manfaat Praktis 1. Mendapat informasi yang relefan mengenai situasi kondisi sosial budaya suatu masyarakat yang dapat menguntungkan bagi upaya pengembangan kepariwisataan di pedesaan 2. Memberikan informasi yang relefan kepada masyarakat mengenai akulturasi dan masalah akulturasi yang dialaminya, sebagai akibat adanya proses pariwisata. 3. Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah dan masyarakat dalam rangka mengembangkan pariwisata pedesaan.
E. Tinjauan Pustaka Pada kajian ini kita perlu membatasi ruang paradigma yang digunakan. Ada beberapa paradigma yang diketemukan olah Ahimsa Putra (2014), dalam mengkaji masalah perubahan kebudayaan oleh ilmuwan sosial-budaya yakni: a)paradigma
historis
prosesual,
b)paradigma
kontektual-fungsional,
dan
c)paradigma analisis variabel10. Pada penelitian ini mengambil dua paradigma yaitu paradigma historis-prosesual dan paradigma kontekstual fungsional karena dirasa sesuai dengan apa yang dikaji. a. Paradigma Historis Prosesual Tema besar dalam penelitian ini adalah masalah perubahan kebudayaan, yang di peroleh melalui proses akulturasi. Robert L Bee dalam bukunya yang berjudul “Patterns and Process” (1974) menyebutkan bahwa dalam setiap proses perubahan kebudayaan melewati tiga langkah yang harus dilalui. Pertama “difusi” yaitu perpindah gagasan atau sifat. Kedua “evaluasi” yaitu unsur-unsur yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter persepsi dan interpretatif. Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses evaluasi usur kebudayaan tersebut dapat diterima maka terjadilah proses yang namanya proses integrasi. Pada proses difusi sendiri terdapat beberapa tahapan (Rogers: 1983) mulai dari pengetahuan, persuasi, diskusi, implementasi samapai konfirmasi. Proses-proses perubahan kebudayaan ini akan dapat dilihat dengan lebih rinci dan lebih jelas dengan menggunakan “Paradigma historis-prosesual”.
10
Heddy Ahimsa Putra. 2014. Ibid. Halaman 4-5
Paradigma historis prosesual ini paling tepat jika digunakan dalam memahami, menjelaskan atau menafsirkan fenomena perubahan kebudayaan yaitu akulturasi. Fenomena akulturasi ini menyuguhkan sebuah fenomena, ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya terlibat dalam kontak secara langsung dan disertai dengan perubahan secara terus menerus (Linton dan Herskovitz, dalam Berry, 1995:528). Proses akulturasi budaya ini menjadi menarik dalam kajian Antropologi yang menitik beratkan proses yang sifatnya partikular. Kelahiran kajian akulturasi ini, sejak 1937 oleh M.P Herskovitz, yang berpendapat bahwa dalam kajian akulturasi jalan sejarah adalah wajib11. Menurut
Ahimsa-Putra
(2014)
paradigma
historis-prosesual
atau
paradigma sejarah ditunjukan untuk mengungkap proses akulturasi yang terjadi, mulai dari saat kedatangan suatu kebudayaan di suatu kawasan, pertemuanya dengan kebudayaan lain di kawasan tersebut, hingga pengambilan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh satu atau beberapa kebudayaan di kawasan itu. Paradigma sejarah ini ditunjukan untuk mengungkap proses perubahan kebudayaan yang terjadi, mulai dari saat kedatangan suatu kebudayaan disuatu kawasan, pertemuannya dengan kebudayaan lain dikawasan tersebut, hingga pengambilan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh satau atau beberapa kebudayaan di kawasan itu. Studi dengan hasil diskriptif ini umumnya memaparkan bagaimana dalam keadaan seperti apa suatau budaya lokal dimasuki unsur-unsur kebudayaan asing atau budaya Ero-Amerika, unsur-unsur budaya 11
C. A. Valentine. Uses of Ethnohistory in an Acculturation Study. Ethnohistory, Vol. 7, No. 1 (Winter, 1960), pp. 1-27
asing dapat diambil alih oleh budaya lokal, saluran-saluran sosial apa yang menjadi sarana masuknya unsur-unsur budaya asing, lapisan sosial mana yang menerima unsur budaya tersebut, bagaimana reaksi masyarakat pendukung budaya lokal terhadap masuknya unsur budaya asing dalam kehidupan mereka (Koentjaraningrat, 1990:249)12 . Penelitian Trevor Denton (1966) mengenai perubahan kebudayaan dalam struktur masyarakat Kanada Perancis, ditengah dominasi budaya Inggris. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis kronologis yang melihat akulturasi yang terjadi di Kanada mulai tahun 1759-1800.
Denton melihat
bagaimana reaksi adaptif sebagai suatau bentuk penolakan terhadap dominasi budaya Inggris pada masyarakat Kanada Perancis. Reaksi adaptif yang diikuti ditandai dengan adanya fenomena akulturasi biasa seperti: ada kekakuan, mekanisme koreksi dan batas pemeliharaan. Sehingga arugumen utamnya dalam akulturasi atau kontak budaya dua budaya sepenuhnya kehilangan otonomi mereka. Adaptasi reaktif yang terjadi mengakibatkan keseimbangan. Paradigma sejarah ini juga digunakan dalam penelitian Hussey (1989), yang menceritakan secara historis kronologi mengenai perkembangan pariwisata di pedesaan Bali dalam hal ini Kuta pada tahun 1970 sampai dengan 1984. Pada tahun 1970, Kuta adalah sebuah desa nelayan yang begitu penting di Pulau Bali. Empat belas tahun kemudian, ekonomi-pun berubah dari subsisten seperti memancing dan pertanian tanaman kering, kemudian berubah ke sektor pariwisata dan ekonomi tersier lainnya kegiatan. Kuta telah tumbuh menjadi pusat perkotaan 12 Ahimsa, Op Cit. hal 4
kecil dengan populasi resmi 14.000 dan merupakan salah satu lokasi tujuan wisata utama di Pulau Bali. Pengembangan pariwisata di Kuta telah memdapatkan hasil baik positif dan negatif. Argumen dalam penelitian Hussye ini juga hampir sama dengan Mitchell, yang beragumen bahwa dengan adanya pariwisata semua bisa dikomodifikasi termasuk dalam hal ini adalah kemiskinan. Ada suatau paradigma yang menarik dalam studi akulturasi yang dilakukan oleh Goul, Fowler, dan Catheine (1972) melihat sejarah akulturasi ekonomi Western Desert Aborigin dari Australia dan India Numic - berbicara tentang Great Basin Amerika Utara dibandingkan dengan cara yang sama dengan yang digunakan oleh Murphy dan Steward (1955) dari kajian mereka di Northeastern
Algonkians
dan
Mundurucit
Amerika
Selatan.
Studi
ini
menggunakan paradigma pararel historis untuk menjelaskan akulturasi ekonomi yang ada antara Great Basin India pada abad ke-19 dan abad ke-20 Western Desert Aborigin Australia.
Dalam studi ini dicatat banyak perubahan ekonomi
sosial yang spesifik spesifik dalam bentuk parallel. Temuan studi ini bahwa kedua masyarakat gurun berburu dan pengumpulan ini memiliki diikuti pola akulturasi ekonomi ditandai dengan meningkatnya ketergantungan pada makanan dan barang-barang Eropa bukan oleh pembentukan hubungan yang layak untuk ekonomi dunia . b. Paradigma Kontekstual-Fungsional: Sosial Budaya Paradigma ini lebih mengarahkan perhatian pada konteks situasi dan kondisi masyarakat penerima terutama pada hubungan fungsional yang terjadi antara unsur budaya baru yang diterima dengan situasi kondisi sosial tersebut.
Kalau pada paradigma historis para peneliti lebih tertarik pada keunikan-keunikan dari proses yang terjadi pada setiap masyarakat dan kebudayaan; pada paradigma kontekstual-fungsional para ahli berminat pada upaya generalisasi gejala-gejala akulturasi, terutama pada kondisi-kondisi yang mendukung atau memudahkan diterimanya, atau diambilnya unsur-unsur budaya tertentu oleh budaya lain, dan kondisi sebaliknya, yang menghambat penerimaan budaya asing, oleh karena itu kajian ini lebih bersifat teoritis13 Penelitian Mischa Titiev (1972), yang melihat akulturasi antara orang Indian Hopi dan Kulit putih di Arizona, Amerika Srikat. Titiev sampai pada kesimpulan bahwa ada unsur budaya yang dibawa kulit putih yang diterima oleh orang Hopi, tetapi banyak juga yang ditolak. Banyak kemudian pranata sosial orang Hopi masih dipertahankan seperti santet, selera makan, kepercayaan lama, dan ritus-ritus ritual terhadap roh nenek moyang. Pada tema pariwisata, Humpton (2003) meneliti tentang dampak pariwisata di Yogyakarta, yang menyiapkan masyarakat lokal untuk memasuki industri ini. Humpton mengambil kasus dari sebuah kampung kecil di Kota Yogyakarta yang bernama Sosrowijayan yang dulunya merupakan kampung, karena letaknya berdekatan dengan akses utama di Kota Yogyakarta yaitu Stasiun Tugu dan juga semakin banyak wisatawan berdatangan di kota ini sejak tahun 1970. Kemudian perkampungan ini bertansformasi menjadi guest houseguesthouse atau homestay, dan juga masyarakat berbisnis catering yang cukup murah tentunya dengan segmen wisatawan backpacer. Jadi yang dulunya adalah 13
Ahimsa, Ibid. hal 5
murni perkampungan penduduk sekarang berubah menjadi kampung wisata, dengan industri wisata berupa penginapan dan juga katering bagi wisatawan. Respon inilah yang menunjukan adanya konsep pariwisata pro-poor dalam proses transformasi ekonomi masyarakat lokal. Dalam penelitian Turnock (1999) melakukan studi tentang kemunculan desa wisata dalam kontek kesmiskinan di Rumania. Berakhirnya komonisme di tahun 1989 menyebabkan perubahan struktural yang begitu cepat, dengan menekankan pada berkembangnya perkotaan dan pembangunan industri, mengakibatkan keluarga di pedesaan hanya bisa bergantung pada pertanian kecil yang telah mereka terima dari restitusi tanah. Sehingga memunculkan sumbersumber tambahan penghasilan yang mendesak bagi rumah tangga miskin. Dalam konteks Carpathians Rumania lapangan pekerjaan di pedesaan ini merupakan urusan dari Badan Pembangunan Daerah yang diciptakan 1990. Untuk itulah diciptakakanya desa wisata untuk menanggulangi masalah tersebut, yang kemudaian mendapat respon postif dari pemerintah juga sumber-sumber ekternal. F. Kerangka Teori Kerangka pemikiran dalalam memahami gejala sosial berupa proses akulturasi budaya, adalah dengan menggunakan paradigma historis-prosesual dan paradigma kontekstual-fungsional: sosial dan budaya. Penggunaan kedua paradigma tersebut diharapkan dapat menjelaskan gejala sosial berupa proses akulturasi budaya lebih rinci dan jelas juga didapatkan pemahaman kontekstual yang lebih akurat. Berikut ini kerangka teori yang membingkai penelitian
mengenai akulturasi dalam mata pencaharian atau pranata ekonomi masyarakat, sebagai akibat adanya proses pariwisata: 1. Kebudayaan Sebagai Perangkat Simbol: Empat Aspek, Sepuluh Unsur Berangkat dari asumsi dasar dari bahwa manusia merupakan “animal simbolicum” (Ernst Cassirer:1945). Dalam menjalani kehidupannya manusia ini memiliki kemampuan bersimbolisasi baik untuk berinteraksi dengan sesamanya, bahakan untuk memepertahankan kehidupnya. Dalam pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri. Geertz (1974) menganggap bahwa kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atas kebudayaan tidak lantas merupakan sebuah ilmu ekperemental untuk mencari hukum melainakan untuk mencari makna. Maka tugas seorang antropolog adalah untuk mencari mencari makna dibalik simbol-simbol yang ada. Seperti yang diterapkan oleh Geertz sendiri dalam karya fenomenalnya bagi ilmu-ilmu sosial budaya di Indonesia yaitu “Religion of Java” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Abangan, Santri, dan Priyayi”14. Dalam etnografi tersebut terdapat komentar yang ditulis oleh Harsya W Bachtiar 15 , yang menyatakan bahwa di dalam bukunya Geertz tidak memberikan uraian yang adil mengenai pembentukan simbol di masing-masing varian. Untuk abangan hanya disebutkan simbol-simbol berupa magis, mitologi, dan ritual, untuk santri Geertz 14
Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesiaberjudul: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, III, 1989) 15 lihat bagian akhir Geertz, Ibid. 1989 atau sudah diterbitkan dari “ The Religion of Java, a Commentary”. Majalah Ilmu Sastra di Indonesia No.1 Januari 1973, Jilid V
menyimbolkan pada organisasi sosial keagamaan, dan sedangkan untuk priyayi lebih kepada simbol-simbol monopoli terhadap kesenian klasik dan popular. Simbol-simbol yang berkonteks seperti di atas yang digali dalam menjawab pertanyaan dari penelitian ini. Sebagai dasar kebudayaan sebagai sebuah perangkat simbol terdapat pengertian kebudayaan menurut Ahimsa-Putra (2009; 2011; 2013; 2014), didefinisikan sebagai keseluruhan tanda dan simbol yang diperoleh manusia dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau komunitas, dan digunakan untuk beradaptasi dengan lingungan atau mempertahankan sebagai mahluk hidup. Pengertian ini menempatkan simbol sebagai suatu yang fundamental dalam kehidupan manusia, karena manusia sendiri tidak lepas dari adanya simbol. Dengan adanya simbol-simbol manusia dapat melangsungkan kehidupannya, seperti halnya sebagai sarana berkomunikasi antara manusia satu dengan lainnya melalui sistem kebahasaan atau simbol-simbol tertentu yang menyampaikan pesan dan makna di dalamnya. Pengertian lain dari kebudayaan yang lain dan sudah menjadi konsensus di kalangan ilmuan sosial budaya khususya ilmu antropologi di Indonesia adalah dari Koentjaraningrat (2009) yang menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Perbedaan yang mendasar dari pengertian kebudayaan yang pertama dan yang kedua terletak pada aspek, tujuan, cara memperoleh. Tetapi peneliti pada pengertian pertama merupakan pelengkap yang lebih kompleks dari pengertian yang kedua.
Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan memiliki empat aspek atau wujud. Dimulai dari yang kongkrit ke yang abstrak, empat aspek tersebut adalah : (a) aspek atau budaya material; (b) aspek perilaku atau budaya perilaku; (c) aspek kebahasaan; (d) aspek gagasan atau pengetahuan. Wujud aspek material kebudayaan berupa misalnya benda-benda, mulai dari yang kecil-kecil seperti jarum, kancing baju, hingga banguan yang besar-besar seperti gedung dengan puluhan lantai, candi bahkan berupa kawasan. Aspek perilaku kebudayaan berupa perilaku manusia, aktivitas bersama, berbagai interaksi sosial, relasi social, lapisan dan golongan sosial. Aspek kebahasaan kebudayaan berupa bahasa atau lebih kongkrit lagi berupa istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, peribahasa, nyayian rakyat, mitos, foklor, dan sebagainya. Aspek gagasan berupa pengetahuan, gagasan-gagasan kolektif seperti pandangan hidup, nilai-nilai, norma dan aturan aturan. Sebagain besar ahli antropologi berpendapat bahwa unsur kebudayaan universal ada tujuh16, ketujuh unsur unsur tersebut antara lain: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi dan (7) kesenian. Berangkat dari pengertian dan aspek-aspek kebudayaan yang berbeda, ada pandangan lain mengani unsur kebudayaan dari Ahimsa-Putra (2013), bahwa unsur kebudayaan yang bersifat universal ada sepuluh unsur yaitu: (1) Keagamaan,
mengatasi masalah (2) klasifikasi, berfungsi untuk mengatasi
masalah perhitungan; (3) komunikasi, berfungsi untuk mengatasi masalah 16
lihat kontjaraningrat, 2009. Op. Cit. halaman 165
individu; (4) permainan; berfungsi untuk mengatasi masalah kebosanan; (5) pelestarian, berfungsi untuk mengatasi masalah kehilangan atau kepunahan; (6) organisasi berfungsi untuk mengatasi masalah reproduksi sosial; (7) kesehatan, berfungsi untuk mengatasi masalah sakit; (8) ekonomi, berfungsi untuk mengatasi masalah kelangkaan atau kekurangan; (9) kesenian, berfungsi untuk mengatasi masalah ekpresi kejiwaan; (10) transportasi, berfungsi untuk mengatasi masalah pemindahan tempat. Dari masing-masing unsur terbut memiliki empat aspek (aspek material, aspek perilaku, aspek kebahasaan, dan aspek gagasan). Selanjutnya dari masing-masing unsur ini memiliki sub-sub unsur yang lebih kecil, dan kesemua dari sub-sub unsur ini diperlakukan sebagai tanda atau simbol, karena kehidupan manusia terbangun atas unsur-unsur gugusan tanda dan simbol. Pada penelitian ini mengambil salah satu unsur kebudayaan yaitu unsur ekonomi atau dalam unsur kebudayaan Koentjaraningrat disebut dengan istilah mata pencaharian. Berfokus pada unsur ekonomi atau mata pencaharian masyarakat dapat diharapkan penelitian ini dapat membedah perubahan sosial atau akulturasi sebagai akibat adanya kontak kebudayaan. Penelitian pada proses akulturasi pada unsur ekonomi atau mata pencaharian, dapat dilihat dengan melihat pada aspek-aspek budaya yang berubah setelah ada proses akulturasi, baik berupa gagasan, kebahasaan, perilaku, maupun benda material yang mengalami perubahan.
2. Desa Wisata: Sebagai Arena Kontak Kebudayaan dan Arena Akulturasi Tourism as commercialized hospitality“ Cohen (1984) itulah kata yang tepat dalam menggambarkan pariwisata termasuk di dalamnya dalam pariwisata pedesaan. Dimana para wisatawan disambut dengan hangat oleh masyarakat lokal dengan segala macam tradisi yang dimiliki meskipun pada dasarnya merupakan suatu bentuk komersialisasi. Tetapi dalam konteks pariwisata kususnya pariwisata pedesaan, wisatawan diberikan status dan peran sementara di tengah-tengah masyarakat yang mereka kunjungi (von Wiese 1930; cf Knebel 1960: Eric Cohen, 1984). Dengan memamahami “Tourism as commercialized hospitality“ Cohen (1984) mengklaim bahwa pendekatan ini dapat berhasil dalam menangani permasalahan atau konflik antara wisatwan dengan penduduk setempat. Pariwisata adalah suatu aktivitas yang kompleks, yang dipandang sebagai suatu sistem besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial dan budaya.17 Jika kita menganalisis pariwisata sebagai sebuah sistem maka tidak akan lepas dari subsistem yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena subsistem-subsistem tersebut akan saling terkait sata dengan yang lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mill and Marrison18 pariwisata adalah sistem yang tersusun seperti laba-laba: “like spider’s web tauch one part of it and reverberitions will be felt trought”. Desa wisata adalah suatau bentuk terminologi yang menggambarkan proses pariwisata yang berbasis pada pedesaan. Terlepas dari kontroversi konsep 17
IGede Pitana dan Putu Gayatri, Sosiologi Pariwisata (Yogyakarta: Andi, 2005). hlm 92 Robert Mill and Alistair Morrison, The Tourist System (New Jersey: Prentice Hall International, 1985). 18
desa wisata ini, Pengertian Desa itu sendiri adalah hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungnnya. Hasil perpaduan itu berwujud pada kenampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut juga hubungannya dengan daerah lain. 19 Dalam menganalisis perubahan kebudayaan yang terjadi sebagai akibat aktivitas pariwisata harusnya dipandang secara “emik” dan menolak yang “etik”, Dengan ini memahami konteks kebudayaan yang lebih spesifik, dengan mencari “makna simbolis” yang berdasarkan pada yang terlibat baik guest maupun host community (Cohen,1984). Ada tipologi wisatawan yang dikembangkan oleh VL. Smith’s (1977) dan Cohen’s (1972) yang keduanya memiliki perbedaan yang cukup tajam. Smith’s (1977) didasarkan pada kombinasi jumlah wisatawan dan adaptasi mereka dengan norma-norma lokal, sedangan Cohens (1972) lebih menekankan pada respon wisatawan terhadap lingkungan tempat dimana mereka berwisata, tipologi ini terbagi menjadi kedalam empat tipologi wisatawan yaitu: wisatawan individu, wisatawan teroganisir, penjelajah dan komunitas touring. Di Dukuh Grogol atau Desa Wisata Grogol seorang definisi wisatawan bagai para masyrakat lokal atau host community adalah mereka yang mengambil paketan wisata di Desa Wisata, dalam artian lebih kepada tipologi wisatawan yang teroganisir dalam tipologi Cohen’s (1972). Terlepas dari kritikan mengenai pemilihan terminilogi desa wisata, bentuk pariwisata model ini menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan. Karena 19
Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, hal 11-12
hibitus masyarakat desa, kekeyaan alam, sosial budaya menjadi atraksi tersendiri bagi wisatawan. Daya tarik inilah yang menggiring para wisatawan untuk mencoba pariwisata berbasis pedesaan sebagai alternatif wisata, dan tidak menutup kemungkinan para wistawan kemudian bermalam di desa dan membuat kontak dengan warga desa. Darisinilah memungkinkan kedua belah pihak mengenal kebudayaan masing-masing dan melakukan kontak sampai pada akhirnya terjadilah akulturasi kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat
(1990:91),
akulturasi
(acculturation)
merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat-laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaannya sendiri. Dengan adanya proses wisata berakibat pada terbukanya akulturasi, baik secara fisik atau materi, ide (kognisi), perilaku, dan juga bahasa. Koentjaraningrat dalam bukunya “Sejarah Teori Antropologi Jilid II” (1990) menjelaskan bahwa bila suatan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan asing, lambat laun maka kebudayaan itu diintegrasikan dan diakomondasikan ke dalam kebudayaan sendiri. William A Havalian dalam bukunya Antropologi Jilid 2 (1993) menyebutkan bahwa akulturasi adalah perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi dari akibat adanya kontak kebudayaan yang berlangsung lama. Selanjunya Ember (1984) menyebutkan juga bahwa akulturasi merupakan perubahan kebuadayaan akibat adanya kontak secara
intensif antar kebudayaan yang berbeda. Dari sinilah dapat terlihat bahwa akulturasi merupakn akibat adanya kontak kebudyaan, dalam hal ini adalah proses pariwisata di desa wisata. Robert L Bee dalam bukunya yang berjudul “Patterns and Process” (1974) menyebutkan bahwa dalam setiap proses akulturasi melewati tiga langkah yang harus dilalui. Pertama “difusi” yaitu perpindah gagasan atau sifat. Kedua “evaluasi” yaitu unsur-unsur yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter perseptual dan interpretatif. Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses evaluasi usur kebudayaan tersebut dapat diterima maka terjadilah proses yang namanya proses integrasi. Pada proses integrasi ini Bee membaginya menjadi beberapa pola yaitu: inkorporasi, sinkritisme atau fusi, dan kompartementilisasi atau isolasi. Dari proses ini kita dapat melihat bagaimana sebenarnya kebudayaan ini berkaulturasi sehingga memunculkan kebudayaan baru yang disebut sebagai kebudayaan hibrida atau hybrid culture. Proses difusi sendiri mnurut Rogers (1983: 163-166) ada 5 tahap dari pengetahuan, persuasi, diskusi, implementasi, dan konfirmasi. Pada tahap diskusi ini terjadi keputusan apakah memakai secara penuh suatu inovasi sebagai tindakan terbaik atau tidak untuk mengadopsi suatu inovasi. Jika suatu inovasi itu diadopsi maka yang terjadi kemudian adalah proses konfirmasi, dan sebaliknya jika inovasi ditolak maka yang terjadi tidak mengkonfirmasi inovasi tersebut. Tetapi hal ini pada saat tertentu akan menjadi terbalik, suatu penolakan akan menjadi penerimaan jika unsur-unsur baru dalam sebuah inovasi berhasil dikonfirmasi,
atau bahkan sebaliknya dari yang diterima kemudian pada saat tertentu menjadi sebuah penolakan. Kemudian yang menjadi cukup penting adalah aktor dalam proses adobsi kebudayaaan. Rogers (1983) aktor dalam adobsi kebudyaan ini dikategorikan menjadi empat golongan yaitu: Inovator, adobter awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan lamban. Pertama, inovator adalah orang yang pertama mencetuskan ide dan inovasi, orang ini menurut Rogers (1983) akan sering berurusan dengan pihak luar sistem. Kedua, Adobter awal, lebih mungkin untuk memegang peran kepemimpinan dalam sistem sosial, anggota lain datang kepada mereka untuk mendapatkan nasihat atau informasi tentang inovasi. Ketiga, mayoritas dini memiliki interaksi yang baik dengan anggota lain dari sosial sistem, mereka tidak memiliki peran kepemimpinan yang pengadopsi awal miliki. Namun, jaringan interpersonal mereka adalah masih penting dalam proses inovasi-difusi. Keempat, mayoritas akhir mencakup sepertiga dari seluruh anggota sistem sosial yang menunggu sampai sebagian besar rekan-rekan mereka mengadopsi inovasi. Meskipun mereka skeptis tentang inovasi dan hasil-hasilnya, kebutuhan ekonomi dan tekanan teman sebaya dapat menuntun mereka untuk adopsi inovasi"yang akhir mayoritas merasa bahwa aman untuk mengadopsi "(Rogers, 1983, hal. 284). Kelima, yang terakhir adalah lamban. Lamban memiliki pandangan tradisional dan mereka lebih skeptis tentang inovasi dan mengubah agen daripada mayoritas terlambat. Sebagai kelompok yang paling lokal dari sistem sosial, interpersonal mereka jaringan terutama terdiri dari anggota lain dari sistem sosial dari kategori yang sama. Selain itu, mereka tidak memiliki peran kepemimpinan.
Dengan demikian, lamban cenderung memutuskan setelah melihat apakah inovasi tersebut berhasil diadopsi oleh anggota lain dari sistem sosial di masa lalu. Karena untuk semua karakteristik ini, periode inovasi-keputusan lamban 'relatif panjang. Denton (1966), dengan adanya fenomena akulturasi biasa seperti: ada kekakuan, mekanisme koreksi dan batas pemeliharaan. Setiap kemunculan kebudayaan baru pasti melahirkan respon dari masyarakat. Respon terbut dapat berupa penerimaan, penolakan bahkan resistensi terhadap adanya perubahan kebudayaan yang terjadi. Kajian antropologi banyak kemudian mengakaji mengenai bagaimana masyarakat merespon perubahan kebudayaan di lingkungan tempat tinggal dengan beragam wujud respon yang diberikan. Berdasarkan dari kajian para ahli di atas peneliti mengasumsikan bahwa akulturasi pada dasarnya terbagi menjadi dua kategori. Pertama akulturasi yang sudah berhasil mengasilkan wujud baru dari unsur kebudayaan, dan yang kedua akulturasi yang masih dalam proses karena masih belum diterimanya unsur-unsur budaya antar dua atau lebih kebudayaan yang mengalami akulturasi. Tidak dikatakan “gagal” dalam pembahasan ini karena akulturasi pada dasarnya adalah sebuah proses yang tidak ada henti-hentinya. Untuk mempermudah jalan penelitian ini peneliti merumukan indikator mengenai kedua kategori tersebut yang diambil dari kajian-kajian akulturasi sebelumnya. Akulturasi yang dapat dikatakan “berhasil” dalam konteks penelitian ini jika: a) adanya harmoniasi antar aktor, b) adanya kontak kebudayaan yang relative lama, c) proses dari pengetahuan, persuasi, diskusi, sampai konfirmasi unsur-unsur kebudyaan baru berjalan lancar, dan d) muncul unsur-unsur baru yang dapat dilihat dari simbol-
simbol yang ada, dari keempat aspek kebudaayan (ide, kebahasaan, perilaku dan material). Sedangkan untuk kategori akulturasi dalam proses menurut bahasa Rogers (1983) disebut dengan “lamban”, seperti pada pembahasan sebelumnya. 3. Ekonomi Hibrida: Model Ekonomi yang Merupakan Akibat Adanya Akulturasi di Pranata Ekonomi Ekonomi hibrida merupakan salah satu model ekonomi, yang lahir satu dasawarsa terakhir. Pada dasarnya ekonomi hibrida merupakan sudatu model ekonomi yang merupakan perpaduan dari dua model ekonomi sebelumnya. Model ini berangkat dari asumsi Polanyi (1957) yang mengungkapkan bahwa kajian mengenai pranata ekonomi bertitik tolak dari bentuk perkonomian masyarakat, yang membentuk relasi seperti: reciprocity, redristibution, dan exchange. Polanyi menambahkan perilaku timbal balik inimengakibatkan terbentuknya intergrasi perekonomian. Asumsi selanjutnya berangkat dari Berger, yang menjelaskan bahwa penelitian mengani pranata ekonomi akan menjelejahi konteks social budaya, dimana proses-proses ekonomi tertentu itu beroprasi. Pranata ekonomi tidak berada dalam ruang hampa, melainkan dalam datu konteks struktur social budaya. Maka pada penelitian ini tidak hanya melihat ekonomi hibrida yang lahir dari proses integasi dua model ekonomi saja, tetapi pemahaman mengenai konteks struktur social budaya, dalam hal ini adalah konteks pengembangan pariwisata pedesaan dengan konsep desa wisata di Dukuh Grogol. Sudah banyak kajian mengenai ekonomi hibrida dalam kajian antropologi. Salah satu antropolog yang konsentrasi dengan tema “ekonomi hibrida” adalah Jon Altaman (2007; 2009a; 2009b; 2009c; 2009d). Menurut Altaman model ekonomi hibrida adalah salah satu sarana mengakui keberadaan dan saling
ketergantungan antara satu jenis ekonomi yang beragam dan khas pada kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang pribumi di daerah terpencil Australia. Secara konseptualisasi ekonomi hibrida menurut Altaman (2009d) terbentuk dari sektor ekonomi yaitu sektor ekonomi konvensional (pasar, swasta, dan Negara atau public) dan sektor “adat”. Sektor adat didasari oleh kegiatan non-diuangkan, seperti memancing, berburu dan meramu, yang berlandaskan pada prinsip relasi sosial. Model ekonomi hibrida yang diteliti oleh Altman (2007) awalnya berdasarkan penelitian di Kuninjku, sebuah kampung di barat Arnhem Land tiga puluh tahun yang lalu. Model ini telah dikembangkan terutama dengan mengacu pada perubahan dan kesinambungan dalam ekonomi Kuninjku. Namun, perekonomian hibrida juga telah digunakan untuk menguji konteks Aborigin regional di daerah terpencil lainnya. Berangkat dari apa yang dikembangkan Altman dalam model “ekonomi hibrida” yang berasal dari proses akulturasi antara ekonomi konvensional dengan “adat”, peneliatian ini mencoba mengembangkan konsep “ekonomi hibrida” sebagai sebuah proses dan produk akulturasi antara ekonomi masyarakat dan ekonomi rasional sebagai dampak atas hadirnya pariwisata yang ada di pedesaaan, kususnya dalam kasus Dukuh Grogol, Margodadi, Sleman, DI Yogyakarta.
Selain itu ada pendekatan lain terkait dengan ekonomi hibrida yaitu "Pendekatan genetik "yang dipelopori oleh Forster yang menarik perhatian pada
sifat prosesual pariwisata , yang " menciptakan jenis sebab-akibat kumulatif dan menjadi dasar ekonomi baru (1964 : 218 ) karena menembus daerah baru. Berangkat dari tesis yang dikemukakan oleh Forster (1964) melalui “pendekatan genetiknya”dan dikembangkan kembali oleh Greenwood’s (1972) yang berpendapat bahwa pariwista merupakan sebuah proses yang menciptakan jenis dari penyebab komulatif dan menjadi dasar ekonomi baru yang membantu pemikiran berikutnya. Pelitian mencoba meneruskan pemikiran Foster dengan “ekonomi barunya sebagai akibat pariwisata” tentunya dengan paradigma yang berbeda. Pada kasus ini peneliti mencoba menggali fenomena ekonomi hibrida pada konteks pariwisata, khususnya pariwisata pedesaan. Pada konteks pariwisata pedesaan ini menggambungkan dua model ekonomi yaitu antara model ekonomi tradisional sebagai ciri masyarakat pedesaan (khususnya di Jawa) dengan model ekonomi baru yang dibawa dalam aktivitas pariwisata yang lebih cenderung ke sector jasa. Ciri-ciri pokok dari ekonomi tradisional (Boeke dan Burger, 1973) antara lain: a) melebih-lebihkan hubungan social sampai merugikan hubungan ekonominya, b) terlalu meengutamakan kepentingan umum, c) menyamakan hubungan kerja dengan hubungan patriakal. Sedangkan untuk model ekonomi yang dibawa oleh jasa pariwisata dipedesaan dengan lebih menekankan dimensi rasional untuk memperoleh keuntungan. Menurut Ahimsa-Putra (2003:131) rasional artinya dilatarbelakangi keinginan mendapat keuntungan. Kedua model ini asumsinya akan saling terintegrasi baik model respositas, interseksi, ataupun hubungan timbal baliknya, sehingga dari penggabungan kedua model ekonomi
tersebut akan menghasilkan sebuah model baru ekonomi yang kemudian diberinama ekonomi hibrida. G. Metode Penelitian ini adalah penelitian etnografis dengan melihat fenomena perubahan mata pencaharian yang terjadi pada masyarakat di Desa wisata. Fokus kajian penelitian ini adalah melihat proses akulturasi yang berlangsung, maka untuk mengobservasi proses akulturasi dengan mengamati masyarakat yang sedang mengalami pengaruh kebudayaan asing. Metode yang digunakan penelitian ini yaitu metode komparatif sinkronik, serta pendekatan fungsional terhadap akulturasi (the functional approach to acculturation) berupa kerangka “tiga kolom” yang dilakukan Malinowski dalam artikelnya yang berjudul “The Dinamics Of Culture Change: an Inquiry Into Race Relation in Africa” namun sepengetahuan Koentjaraningrat sudah tidak diterapkan lagi karena kecaman M. Gluckman yang mengatakan bahwa hal itu memecah-mecah suatu kebudayaan yang hidup secara vertikal ke dalam kolom-kolom vertikal dan secara horizontal ke dalam unsur-unsur yang saling terpisah 20. Tetapi bagaimanapun juga metode ini masih sangat relevan dalam melihat rangkaian sejarah, melalui rentetan peristiwa akulturasi yang terjadi di suatu masyarakat daerah tertentu21
20
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi Jilid II. Jakarta : UI Perss. Hlm 89-96
21
Lihat Kodiran. 1998. Akulturasi sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan. Humaniora No.8 Juni-Agustus 1998. Halaman 89
1. Pemilihan Lokasi Lokasi dalam penelitian ini adalah Desa Wisata Grogol, yang terletak di Dusun Grogol, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegen, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa wisata ini tergolong dalam kategori sebagai desa wisata budaya, karena pada berarti aktivitas budaya seperti upacara adat tahunan dan kehidupan budaya masyarakat didaerah tersebut masih dipegang erat baik oleh sesepuh maupun generasi penerusnya. Desa ini memiliki potensi budaya yang bagus dan siap pentas sewaktu-waktu seperti Keroncong, Cokekan, Karawitan, Seni Pedalangan, pembuatan wayang kulit, Sanggar Tarian Klasik, Ketoprak, dan Jatilan. Asumsi yang digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah bahwa fenomena pariwisata dan perubahan kebudayaan sangat terlihat. Selain itu desa wisata ini dikenal sebagai desa wisata budaya. Juga fenomena-fenomena yang sudah dirumuskan sebelumnya dapat dilihat pada desa wisata budaya ini, seperti segemen mata pencaharian pedesaan (petani dan peternak), bidang jasa seperi jasa hiburan, jasa pengelolaan pariwisata, juga jasa home stay, selain itu dalam bidang perdagngan juga nampak pada desa ini. 2. Pemilihan Informan Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tujuan penelitian, yang mencari perubahan pada pranata ekonomi masyarakat penerima wisatawan atau host community. Subjek penelitian ini adalah warga masyarakat yang bermata pencaharian berkaitan dengan proses pariwisata yang ada di pedesaan atau dalam kasus ini adalah desa wisata. Dengan sebelumnya peneliti
menentukan siapa yang menjadi informan, pada tiap mata pencaharian yang berkaitan dengan proses perkembangan desa wisata khusunya dalam hal ini adalah warga Dukuh Grogol, diharapkan dapat menggali informasi secara mendalam untuk menjawab pertanyaan dari penelitian ini. Pada teknis pengambilan sampel dalam penelitian ini peneliti terlebih dahulu menghubungi perangkat desa, sekertariat desa wisata, dan beberapa komunitas yang ada. Setelah mendapat keterang dari mereka peneliti dapat menyesuaikan sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya seperti: mata pencaharian, umur, dan jenis kelamin. Sehingga dapat dianggap mewakili masyarakat desa wisata. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan dalam mewawancarai informan berdasarkan pada kategori mata pencaharian. Setiap mata pencaharian yang berkaitan dengan pariwisata disampel 2-3, tergantung kejenuhan datanya. 3. Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa tahap pengumpulan data yang digunkan dalam penlitian ini: Pertama, Data Skunder berupa studi pustaka yaitu dengan penelusuran literatur mengenai topik desa wisata, pranata sosial dan akulturasi yang bersumber dari jurnal internasional, skripsi, tesis, desertasi dan data Pengelola Desa Waisata, Dukuh, dan Kelurahan. Kedua, Data primer yaitu dengan partisapasi observasi, wawancara, dan juga life history. Pertama,partisipasi observasi yaitu melalukan pengamatan lapangan yang berfokus pada proses pariwisata dan akulturasi pada pranata sosial dalam masyarakat. Observasi partisipatif ini meliputi pengamatan lingkungan fisik (tempat tinggal atau home stay, kondisi alam, beberapa destinasi wisata, pola kerja), dan non fisik seperti (upacara atau ritual, hubungan antar
masyarakat, hubungan keluargam hubungan kerja dan proses berwisata). Selama obeservasi berlangsung diperoleh catatan lapangan sesusi dengan urutan kejadian. Dan yang terlebih penting dalam tahap partisipasi observasi ini adalah peneliti terlibat langsung dalam aktivitas keseharian subjek penelitian, yaitu dengan cara tinggal langsung di lokasi Desa Wisata Grogol dimulai akhir september sampai dengan pertengahan november. Kedua, wawancara baik wawancara secara mendalam (indept interview) juga wawancara langsung (dept interview). Wawancara mendalam kepada mereka yang terlibat langsusng atau bersinggungan dengan proses pariwisata atau pelaksanaan wisata di Desa Wisata Grogol, Desa Margodadi, Kecamatan Syegan, Kabupaten Sleman. Sedangkan untuk wawancara langsung dilakukan kepada informan sebagai data pelengkap atau sebagai trianggulasi data. Wawancara dilakukan dengan alat bantu voice recorder yang kemudian ditranskripkan kedalam bahasa tulisan. Ketiga, melakukan life history dari tokoh masyarakat yang menggas berdirinya desa wisata, juga dengan orang yang terlibat langsung dengan proses pengemngan desa wisata, selain itu dengan pejabat formal dilingkungan desa wisata dalam ini adalah kepala dukuh. Tahap terakhir yaitu dengan melakukan koding dan klasifikasi data serta melengkapi kekurangan dari data-data yang ada. 4. Analisis Data Setelah data dapat terkumpul dengan baik baik berapa data primer maupun sekunder maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data disesuakan dengan paradigma yang digunakan yaitu historis prosesual dan kontekstual
fungsional. Tetapi dalam menganalisis peneliti menggunakan analisis aktor atau pelaku (actor approach), yang secara kronologis merupakan pelaku kebudayaan. Dengan menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah konteks kebudayaan peneliti dapat memetakan sejauh mana proses akultuasi ini berlangsung. Karena dalam Difusi Kebudayaan Rogers (1983) terdapat empat kategori aktor yaitu: Inovator, adobter awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan lamban. Dari sinilah selanjutnya peneliti dapat memetakan aktor-aktor kedalam kategori tersebut, sehingga dapat melihat sejauhmana peran dari aktor-aktor ini dalam proses akuturasi kebudayan, khususnya pada usnsur ekonomi. Selain itu juga peneliti dapat menerima informasi baik secara historis maupun fungsional dapat lebih tepat sasaran. Selanjutnya peneliti lebih condong menggunakan metode tiga kolom dalam menganalisis akulturasi yang terjadi pada mata pencaharian masyarakat. Metode ini dirasa sangat tepat untuk mendapatkan gambaran mengenai peristiwa akulturasi yang terjadi akibat proses pariwisata di desa wisata Grogol. Analisis dengan menggunakan tiga kolom, kolom pertama berisi uraian keadaan masyarakat sebelum terjadi kontak kebudyaan, Kolom kedua unsur-unsur yang dibawa kebudayaan asing, dam kolom ketiga proes hubungan atau akibat adanya kontak kebudayaan22.
22
Kodiran. Ibid. halaman 88-89