BAB 8 KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI
1. Batasan Pengertian Kepemimpinan dalam Organisasi
1.1. Pengertian Kepemimpinan merupakan elemen penting dalam organisasi. Kegagalan atau keberhasilan suatu organisasi terletak pada kepemimpinan dari organisasi itu. Dalam kehidupan sehari-hari banyak contoh yang dapat dilihat. Ketika suatu perusahaan atau organisasi bisnis mengalami keberhasilan, dimana perkembangan usahanya menunjukkan
pertumbuhan
yang
cukup
tinggi,
maka
yang
pertama-tama
mendapatkan sanjungan adalah para pemegang kendali dari perusahaan itu, yaitu para manajer yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Contoh yang lain misalnya dalam suatu universitas, jika pelaksanaan tugas perguruan tinggi itu dalam hal penduidikan,
penelitian
maupun
pengabdian
pada
masyarakat
mengalami
perkembangan yang pesat, sehingga tidak saja kegiatan belajar mengajar berjalan lancar dan mengfhasilkan keluaran yang handal, kualitas penelitian dari tenaga akademiknya cukup menonjol dan inovatif, sedangkan pada sisi pengambdian masyarakat berkembang pula sehingga masyarakat mendapatkan manfaat yang besar dari kegiatan itu, maka sanjungan yang pertama diberikan adalah kepada para pimpinan universitas tersebut. Contoh yang lain lagi, seorang manajer tim sepak bola nasional akan mendapat sanjungan karena tim sepak bola yang dipimpinnya mampu berprestasi dan menjuarai suatu kejuaraan yang bergengsi. Sebaliknya, jika suatu usaha bisnis mengalami kebangkrutan, misalnya salah urus dalam manajemen sehingga mengalami kerugian besar dan terjadi kebocoran anggaran serta penyimpangan lainnya yang menyebabkan kekacauan dalam keuangan dan macetnya kegiatan usaha itu maka yang pertama akan dituding dan bahkan akan diganti adalah para pengambil keputusan dalam usaha itu, yaitu para manajer yang menjalankan kepemimpinan dalam organisasi bisnis itu. Demikian juga jika suatu tim nasional sepakbola mengalami kekalahan yang menyakitkan karena salah urus, maka yang pertama mendapatkan sasaran kegagalan itu adalah manajer tim yang memimpin kesebelasan itu. Adalah tidak mudah menjelaskan batasan pengertian tentang kepemimpinan. Sharma (1982) misalnya, menyatakan bahwa pernah ada penelitian tentang definisi dari kepemimpinan ini. Hingga pada tahun 1949 saja, telah dapat diinvertarisasikan
Universitas Gadjah Mada
sebanyak tidak kurang dari 130 definisi tentang kepemimpinan. Tidak terlalu mengejutkan jika dewasa ini terdapat lebih banyak lagi definisikarena makin banyak ahli yang menaruh perhatian terhadap fenomena kepemimpinan ini. Munculnya banyak definisi menganai kepemimpinan ini juga disebabkan karena fenomena kepemimpinan menjadi pusat perhatian berbagai cabang ilmu sosial. Selain ilmu politik, sosiologi, ilmu sejarah, semua cabang ilmu sosial yang lain juga memiliki perhatian pada masalah kepemimpinan ini. Bagi ilmu politik yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, maka masalah kepemimpinan menjadi perhatian utama. Demikian juga bagi sosiologi, yang salah satu kajiannya adalah mengenai struktur sosial, masalah kepemimpinan ini merupakan hal yang penting untuk dikaji. Bagi ilmu sejarah, kepemimpinan merupakan kajian yang sangat penting mengingat
para
pemimpin
dengan
kepemimpinannyalah
yang
sebenarnya
"membuat" sejarah. Demikian juga ilmu-ilmu yang lain, kepemimpinan ini merupakan bagian yang penting dalam kajiannya mengenai berbagai hal yang termasuk dalam bidang studi ilmu tersebut. Telah sejak lama perhatian terhadap fenomena kepemimpinan ini menjadi perhatian dari para ahli. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa banyak dari lembaran sejarah berisikan cerita tentang para pemimpin militer, pemimpin agama, pemimpin politik dan pemimpin dalam bidang lainnya. Gambaran tentang pemimpin yang berani dan pandai menjadi isi dari banyak legenda, cerita dan mitos. Cerita yang demikian tidak hanya tertuang dalam berbagai buku atau kitab sejarah, tetapi juga menghiasi hampir semua sejarah lisan dan cerita tutur lainnya. Perhatian yang besar tentang masalah kepemimpinan juga berkaitan dengan pandangan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses yang "misterius" dan pengaruh yang dihasilkannya secara nyata dapat menyentuh kehidupan setiap orang. Makna "misterius" disini antara lain berkaitan dengan kenyataan bahwa hadirnya seorang pemimpin pada suatu jaman tertentu, pada kenyataannya tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Kepemimpinan secara umum menunjuk pada kemampuan atau kecakapan, kualitas dan tingkah laku yang berkaitan dengan peran pemimpin kelompok. Peran ini dapat dimiliki seseorang berdasarkan pada pengalaman dan karakteristik seseorang, atau dimiliki berdasarkan tradisi dan atau posisi yang diduduki. Menurut pendapat Theodorson (1979:227), kepemimpinan menunjuk pada pelaksanaan pengaruh atau wewenang dalam suatu hubungan sosial atau dalam suatu kelompok sosial yang dilakukan oleh satu atau beberapa anggota kelompok
Universitas Gadjah Mada
sosial tersebut. Sedangkan fungsi dari kepemimpinan yang utama adalah mengkoordinasikan berbagai aktifitas kelompok menuju pencapaian tujuan yang ditentukan. Dominasi dan penghargaan yang berkaitan dengan peran dari seseorang yang menjalankan kepemimpinan merupakan hasil atau akibat dari terjadinya pemusatan kemampuan dan kewenangan untuk melakukan koordinasi dan menyatukan berbagai aktifitas . informasi dan pengambilan keputusan. Menurut pandangan Etzioni (Hall, 1991), kepemimpinan menunjuk pada kemampuan atau kecakapan, yang bersumber dari kualitas personal yang dimiliki seorang pemimpin, untuk mendapatkan ketaatan sukarela dari para pengikut dalam beberapa hal. Kepemimpinan juga dapat dipandang sebagai proses dipengaruhinya berbagai aktifitas dari seseorang atau sekelompok orang dalam upaya untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu situasi tertentu. Mengikuti pendapat Blanchard (Sharma, 1982), proses tersebut dapat formulasikan sebagai berikut:
𝐾 = 𝑓 (𝑃𝑖, 𝑃𝑒, 𝑆𝑖) dimana K adalah kepemimpinan, Pi adalah pemimpin, Pe adalah pengikut dan Si adalah situasi. Dari formulasi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan variabel situasi yang lain. Dari formulasi diatas dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki pengaruh, dikatakan seorang manajer karena
berada
dalam
situasi
dimana
organisasi
dimana
ia
menjalankan
kepemimpinan itu adalah suatu organisasi formal, dikatakan seorang pemimpin informal, karena ia berada dalam organisasi informal, misalnya sebagai kepala keluarga.
1.2. Beberapa Pendekatan dalam Studi Kepemimpinan Menurut Sharma (1982) terdapat tiga pendekatan utama dalam studi fenomena kepemimpinan. Tiga pendekatan itu adalah (1) pendekatan ciri bawaan dari pemimpin, (2) pendekatan tingkah laku dari pemimpin, dan (3) pendekatan
Universitas Gadjah Mada
situasi dimana pemimpin itu melaksanakan kepemimpinannya. Pendekatan pertama sangat populer pada periode sekitar tahun 1930-1950-an, pendekatan kedua populer pada sekitar tahun 1950-1960-an, sedang pendekatan ketiga mulai 1970-an sampai sekarang. Ketika pendekatan pertama sedang berkembang untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan dengan menekankan pada ciri bawaan dari pemimpin, pendekatan kedua mulai banyak dipergunakan. Pada pendekatan ini perhatian yang diberikan tidak hanya pada ciri dari pemimpin dan perilakunya dalam melakukan kepemimpinan, tetapi juga pada bagaimana para pengikut dari pemimpin itu dan karakteristik situasi dimana kepemimpinan itu dijalankan. Pendekatan ketiga muncul dengan memperhatikan apa yang dilakukan dua pendekatan terdahulu, dan menambahkannya dengan beberapa variabel lain yang penting. Untuk
mengetahui
masing-masing
pendekatan
tersebut
dan
kritik
terhadapnya, berikut ini akan diuraikan secara singkat. 1.2.1. Pendekatan Ciri Bawaan Pemimpin Pada kenyataannya di dalam masyarakat atau dalam organisasi hanya terdapat sangat sedikit orang yang menjadi pemimpin, sedangkan sebagian terbesar lainnya adalah sebagai pengikut. Hal yang kemudian menjadi penting untuk dipersoalkan adalah apa yang sebenarnya membedakan pemimpin dengan bukan pemimpin atau apa yang membuat seseorang berhasil menjadi pemimpin. Dalam pendekatan ini, diasumsikan ada sesuatu yang secara bawaan sejak lahir dimiliki oleh pemimpin, sedangkan para pengikut tidak memiliki itu. Jadi, pendekatan ini lebih menekankan pada kualitas ciri bawaan yang dimiliki seseorang yang menjadi pemimpin. Salah satu cara untuk mengetahui ciri-ciri bawaan itu adalah dengan menanyakan langsung pada para pemimpin itu, bagaimana ia merasakan dirinya berbeda dari orang lain yang menjadi pengikutnya, atau apa karakteristik yang ia miliki. Cara yang lain untuk mengetahui ciri-ciri bawaan yang dimiliki para pemimpin adalah dengan melakukan analisa mengenai kondisi masa lalu dan masa sekarang dari pemimpin itu, dengan memperhatikan latar belakang keluarganya, pendidikan, pengalaman kerja dan karirnya, dan sebagainya. Sebagai hasil dari cara-cara itu adalah didapatkannya suatu daftar dari ciriciri yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Pada kedua cara itu, kehidupan seorang pemimpin menjadi sangat menarik hanya karena seseorang itu kemudian menjadi pemimpin. Tetapi daftar dari ciri-ciri pemimpin itu sama sekali tidak memiliki
Universitas Gadjah Mada
kekuatan sebagai dasar untuk melakukan prediksi, meskipun penelitian itu kemudian diperluas dengan melihat tulisan tangan pemimpin, bentuk tengkorak kepala, bahkan dengan pengaruh ramalan bintang atau zodiac. Beberapa studi telah banyak dilakukan dengan memakaicara itu dan hasilnya berguna untuk membedakan antara pemimpin yang berhasil dan yang tidak berhasil dengan para pengikutnya. Pada umumnya ciri-ciri yang diamati itu adalah:
(a) karakteristik fisik, seperti umur, tinggi badan dan penampilan (b) latar belakang sosial, seperti pendidikan, status sosial dan mobilitas. (c) intelegensia, seperti pengetahuan, pendapat, ketegasan dan kelancaran berbicara. (d) kepribadian, seperti ketajaman perhatian, kemandirian, kreatifitas, rasa percaya diri.
(e) karakteristik yang berhubungan dengan kegiatan, seperti dorongan untuk maju, inisiatif, orientasi kerja dan berusaha dan ketekunan.
(f) karakteristik
sosial,
seperti
kemenonjolan
dihadapan
orang-orang
lain,
ketenaran, kemudahan untuk diterima orang lain, dan keahlian dalam menciptakan hubungan dengan orang lain. Jika semua studi dengan cara ini ditampilkan maka sebagai hasilnya adalah suatu daftar yang panjang mengenai ciri-ciri seorang pemimpin. Meskipun demikian, terdapat suatu kesepakatan diantara para ahli dalam pendekatan ini bahwa seorang pemimpin secara umum memiliki intelegensia, kematangan secara sosial, memiliki hubungan sosial yang luas, memiliki motivasi diri dan dorongan untuk maju, serta memiliki suatu sikap dalam melakukan hubungan sosial. Ciri yang demikian pada umumnya tidak secara lengkap dimiliki oleh para pengikut. Pendekatan ini memiliki banyak kelemahan. Beberapa kritik yang penting terhadap pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini tidak memberikan secara jelas ciri-ciri untuk membedakan pemimpin yang berhasil dan yang tidak berhasil. Adalah sangat sukar untuk melihat dan mengukur percampuran dari berbagai ciriciri yang dimiliki seorang pemimpin. Selain itu, antar ciri-ciri dengan tingkah laku pada kenyataannya tidak selalu konsisten. Pendekatan ini juga tidak melihat apa yang dilakukan oleh pemimpin, terlalu mengabaikan peranan para pengikut dan pengaruh para pengikut terhadap pemimpin. Tidak dapat dipakai untuk menjelaskan adanya pemimpin dan bukan pemimpin serta pemimpin yang "baik" dan yang "tidak baik", karena kenyataannya antara etika dan moral seseorang kadang tidak
Universitas Gadjah Mada
berhubungan secara konsisten dengan cara pelaksanaan kepemimpinan terhadap para pengikut. Pendekatan ini memang memiliki banyak kelemahan dan dewasa ini telah banyak ditinggalkan oleh para ahli yang mengkaji masalah kepemimpinan. Meskipun pendekatan ini dinilai banyak kelemahan, namun pendekatan ini memiliki peranan yang penting sebagai dasar dari perkembangan pendekatan lainnya. Jadi pendekatan ciri bawaan pemimpin ini memiliki at yang penting bagi pendekatan yang lain, yang muncul pada perode berikutnya. 1.2.2. Pendekatan Perilaku Pemimpin Pendekatan ciri bawaan yang diuraikan di atas secara jelas menunjukkan adanya kelemahan yang mendasar. Ketika secara jelas dasar ciri bawaan tidak dapat dipergunakan dengan baik untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan, para ahli kemudian mulai mengalihkan perhatiannya pada studi mengenai perilaku pemimpin. Dasar utama pendekatan ini adalah hubungan antara manajemen dengan para pekerja. Dalam pendekatan manajemen tradisional, manusia dianggap malas dan tidak guiat. Oleh karena itu, fungsi dari manajemen adalah untuk memaksa, mengarahkan dan memotivasi para pekerja melalui suatu imbalan ekonomi (upah atau bonus). Manajemen berusaha untuk mengurangi pemborosan waktu dan bahan material untuk mencapai efisiensi, tanpa ada suatu pertimbangan bahwa para pekerja juga merupakan suatu modal atau asset. Dengan kata lain, manajemen tradisional melihat pekerja itu pada dasarnya malas, tidak kreatif dan tidak
bertanggung
jawab,
sehingga
pemimpin
memiliki
kewajiban
untuk
mengarahkan dan memerintah. Perkembangan pada pendekatan ini terjadi ketika studi tentang kelompok informal, pemimpin informal dan penekanan pada pentingnya hubungan informal dilakukan oleh Elton Mayo (Sharma, 1982:217). Studi itu menunjukkan bahwa hubungan interpersonal yang demikian memiliki sumbangan yang berarti pada produktifitas. Ini merupakan babak baru pada pendekatan ini, dimana di satu sisi terdapat penekanan pada hasil atau keluaran, sedangkan pada sisi yang lain, perhatian pada hubungan antar pekerja mulai mendapat perhatian pula. Semua ini memberikan dasar bagi studi tentang kepemimpinan, yang dilakukan dengan menggunakan gaya kepemimpinan sebagai dasar yang penting. Dalam hal ini gaya kepemimpinan terdiri dari dua tipe, yang pertama yaitu gaya
Universitas Gadjah Mada
kepemimpinan yang diktatorial atau otokratis atau otoriter, dan yang kedua adalah gaya kepemimpinan yang demokratis atau konsultatif atau partisipatif atau gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan atau tanpa kekangan. Studi mengenai kepemimpinan ini menekankan pada pengaruh gaya kepemimpinan tertentu terhadap perilaku perorangan atau kelompok. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang diktatorial adalah pemimpin yang memiliki kewenangan mutlak dan menggunakan paksaan dan hukuman untuk memerintah para pekerja. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan otoriter adalah pemimpin yang memakai cara lain untuk menggunakan kewenangan bagi kepentingan dirinya untuk memerintah atau memberi imbalan pada pera pekerja. gaya kepemimpinan otoriter ini menggunakan hubungan fromal sebagai sarana hubungan antara pemimpin dengan para pekerja. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin yang memperhatikan pendapat para pekerja bawahannya dalam urusan organisasi, memberi arahkan dalam menghadapi masalah pekerjaan, secara emosional melibatkan dirinya dalam membantu pekerja untuk mencapai tujuan perorangan maupun tujuan organisasi. Pada gaya kepemimpinan yang bebas atau tanpa kekangan, pemimpin memberikan informasi kepada para pekerja, tetapi dengan keterlibatan emosi yang rendah dan tidak banyak terlibat dalam berbagai aktifitas yang dilakukan para pekerja. Dari hasil studi ini nampak adanya beberapa hal yang bertentangan. Sebagai contoh, pemimpin dengan gaya kepemimpinan otoriter dan otokratik menghasilkan peningkatan produksi, tetapi mengabaikan unsur pekerja sebagai modal atau aset secara serius. Dalam kasus pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang demokratik, hasil yang diperoleh dalam produksi tidak setinggi pada gaya kepemimpinan otoriter atau otokratik, tetapi secara kualitas lebih baik dan masalahmasalah pekerja menjadi sangat berkurang. Meskipun organisasi menghadapi masalah yang bertentangan, yaitu antara kenaikan hasil produksi dengan pengabaian unur manusia, atau sebaliknya memperhatikan unsur manusia tetapi hasil produknya tidak optimal, namun hasil akhir dari studi itu menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang demokratik merupakan gaya kepemimpinan yang dianggap paling tepat karena gaya kepemimpinan ini melibatkan para pekerja dalam pengambilan keputusan. Dalam perkembangannya, pada pendekatan ini terdapat beberapa studi yang dilakukan untuk melihat fenomena kepemimpinan dari sudut perilaku pemimpinnya (Sharma, 1982:218-222). Beberapa studi yang dilakukan itu memang
Universitas Gadjah Mada
memberikan beberapa temuan baru, tetapi tetap saja terdapat beberapa kelemahan yang ditemui, Beberapa studi itu melihat bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif ditandai oleh dipentingkannya prakarsa dan berbagai pertimbangan. Sebaliknya, tidak efektifnya tingkah laku pemimpin jika prakarsa dan pertimbangan tidak dikedepankan. Kelemahan dari studi ini misalnya tidak dapat menjelaskan bahwa dalam organisasi angkatan bersenjata di masa perang, prakarsa yang dipentingkan, sedangkan berbagai pertimbangan tidak mendapatkan tempat yang penting. Demikian pula halnya dengan regu pemadam kebakaran yang harus segera bertindak ketika terjadi kebakaran, dalam kasus ini, prakarsa lebih dipentingkan sedang pertimbangan kurang dipentingkan. Secara umum pendekatan ini telah berupaya untuk menjelaskan fenomena kepemimpinan dari sisi perilaku pemimpin. Hal yang penting bagi pendekatan ini adalah apa yang dilakukan oleh pemimpin, bukan pada karakteristik perorangan dari pemimpin itu. Kesimpulan dari beberapa studi yang dilakukan dalam pendekatan ini masih memiliki beberapa kelemahan. Dari apa yang dikemukakan pendekatan ini nampak bahwa pencarian bentuk atau tipe kepemimpinan yang efektif merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan. apa yang oleh pendekatan ini dianggap gaya kepemimpinan yang terbaik, ternyata tidak selalu tepat jika diterapkan dalam suatu organisasi modern yang kompleks. Jika suatu gaya kepemimpinan dianggap sebagai yang terbaik bagi setiap organisasi dalam semua tingkatan kegiatan, ini berarti telah mengabaikan faktor lain yang memiliki pengaruh penting, misalnya ciri-ciri dari para pekerja atau anggota organisasi, ciri-ciri dari kegiatan yang dilakukan, perbedaan budaya yang ada, perbedaan kebiasaan dan tradisi, tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi dan sebagainya. Suatu kepemimpinan tidaklah berada di dalam suatu ruang hampa dan kepemimpinan itu ditujukan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain. Ini berarti faktor situasi tidak dapat diabaikan dan dalam studi tentang fenomena kepemimpinan, tidak cukup hanya melihat karakteristik bawaan pemimpin dan tingkah lakunya, tetapi harus pula melihat bagaimana faktor situasi ini ikut menentukan kepemimpinan.
1.2.3. Pendekatan Situasi Kepemimpinan Pendekatan ciri bawaan pemimpin mencoba menjelaskan fenomena kepemimpinan melalui beberapa ciri yang dimilki oleh para pemimpin. Kemudian, pendekatan perilaku pemimpin telah menambah pengetahuan mengenai fenomena
Universitas Gadjah Mada
kepemimpinan melalui
penjelasan tentang gaya
kepemimpinan.
Keduanya
sebagaimana telah diterangkan di muka, memiliki kelemahan-kelemahan, meskipun memberikan sumbangan bagi pemahaman fenomena kepemimpinan dan menjadi landasan bagi perkembangan pendekatan yang lebih baru. Dua pendekatan terdahulu ini telah gagal untuk menjelaskan faktor situasi sebagai faktor yang sangat penting dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dengan demikian, bukan hanya didukung oleh faktor bawaan pemimpin dan faktor perilaku pemimpin, tetapi juga terdapat faktor laun, yaiti situasi kepemimpinan. Pendekatan situasi kepemimpinan tidak mementingkan gaya kepemimpinan yang terbaik, tetapi gaya semacam apa yang efektif dalam suatu situasi tertentu. Dengan demikian, suatu gaya kepemimpinan dalam situasi yang satu tidak sama dengan gaya kepemimpinan pada situasi yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang sesuai pada lingkungan industri, barangkali gaya kepemimpinan itu tidak relevan untuk lingkungan lembaga pendidikan. Bahkan, dalam satu lembaga pendidikan misalnya, gaya kepemimpinan yang relevan untuk staf administrasi, barangkali tidak relevan untuk staf pengajar. Jadi sejumlah gaya kepemimpinan merupakan kepemimpinan yang efektif atau tidak efektif, sangat tergantung pada elemen situasi yang penting itu. Kepemimpinan sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh serangkaian faktor situasi. Faktor situasi yang mempengaruhi perilaku pemimpin antara lain karakteristik manajemen yang ada, karakteristik bawahan yang dihadapi, faktor kelompok-kelompok dalam organisasi serta faktor-faktor lain yang ada dalam organisasi dan sebagainya, yang semua itu merupakan lingkungan dari pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya. Sangat tidak mudah untuk menyebutkan semua faktor yang dinyatakan sebagai lingkungan bagi pemimpin ini, tetapi semua itu secara jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses yang kompleks. Hal yang paling penting dari pendekatan situasi kepemimpinan ini adalah menegnai kesiapan dari orang yang dipimpin, yang sering disebut dengan anggota atau pengikut. Pemimpin menjalankan kepemimpinannya terhadap anggota atau pengikut. Menurut pendekatan ini, kesiapan atau kematangan dari para anggota atau
pengikut
ini
merupakan
unsur
yang
penting
dalam
pelaksanaan
kepemimpinan. Jadi tingkat kesiapan atau kematangan dari pengikut atau anggota itu bervariasi, dan ini sangat menentukan efektif tidaknya suatu kepemimpinan. Pemimpin untuk menjalankan suatu kepemimpinan yang efektif harus melihat
Universitas Gadjah Mada
tingkat kesiapan dan kematangan para pengikut atau anggota ini. Meskipun demikian, kemampuan pemimpin untuk menilai tingkat kesiapan atau kematangan anggota atau pengikut ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor pula, termasuk anggapan dari pemimpin itu sendiri. Meskipun pendekatan yang ketiga ini merupakan pendekatan yang dinilai paling baik dalam menggambaran fenomena kepemimpinan, tetapi sampai sekarang ini belum mencapi bentuk akhirnya. Artinya, di bawah pengaruh pendekatan situasi kepemimpinan ini sampai kini para ahli masih terus melakukan studi mengenai kepemimpinan. Berbagai studi yang dilakukan memang kemudian mampu memperjelas dan memperluas apa yang menjadi dasar dan ciri utama dari pendekatan ini, bahwa kepemimpinan itu berkaitan dengan serangkaian situasi tertentu serta kepemimpinan itu merupakan suatu proses yang kompleks. 1.3. Komponen dari Kepemimpinan Dengan melihat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses yang kompleks, maka dapat dipahami bahwa komponen dari kepemimpinan ini juga terdiri dari berbagai macam komponen dan menjalin suatu hubungan yang relatif rumit. Untuk memberikan gambaran mengenai komponen dan hubungan antar komponen dari kepemimpinan ini, Yukl (Hall, 1991:138-139) menyusun suatu sintesa dari berbagai faktor kepemimpinan dan hubungan antara berbagai faktor kepemimpinan
tersebut.
mengidentifikasikan
Keunggulan
faktor-faktor
yang
dari
sintesa
Yukl
mempengaruhi
ini,
selain
kepemimpinan,
dapat juga
menunjukkan berbagai kelompok faktor yang diidentifikasi tersebut. Keuntungan lain dari sintesa Yukl ini adalah bahwa model yang dikemukakannya dapat dipergunakan untuk menjelaskan berbagai tingkat kepemimpinan di dalam organisasi. Faktor-faktor yang menjadi komponen dari kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan oleh Yukl itu adalah: (a). Ciri Bawaan dan keahlian Pemimpin, yang meliputi:
Motivasi manajerial
Rasa percaya diri
Tingkat energi
Kematangan emosional
Keahlian teknis
Keahlian dalam hubungan antar manusia
Universitas Gadjah Mada
Keahlian konseptual
Penampilan phisik
(b). Perilaku Pemimpin, yang meliputi:
Perilaku yang berorientasi pada tugas/pekerjaan
Perilaku untuk memelihara kelestarian kelompok
Usaha mempengaruhi bawahan
Perilaku yang bertujuan mewakili anggota
(c). Kekuasaan Pemimpin, yang meliputi:
Kekuasaan karena keahlian
Kekuasaan yang diakui para anggotanya
Kekuasaan sah yang diperoleh dari Organisasi
Kekuasaan untuk memberi imbalan
Kekuasaan untuk memaksa/menghukum
Kekuasaan ke atas
Kekuasaan ke samping
(d). Variabel Situasional yang bersifat eksternal, terdiri dari:
Karakteristik kegiatan kerja dan tingkat teknologi
Cakupan dari kewenangan formal
Kondisi politik dan sistem hukum
Kekuatan-kekuatan dari lingkungan
Kebutuhan, nilai-nilai dan kepribadian bawahan
(e). Variabel Antara, terdiri dari:
Usaha dan tanggung jawab bawahan
Keahlian bawahan
Peranan unit kegiatan dalam organisasi
Kelompok kerja dan ikatan kelompok
Kejelasan peran bawahan
Hubungan antara pemimpin dengan bawahan
Dukungan pelayanan dan sumber-sumber.
(f). Variabel Hasil Akhir, terdiri dari:
Penampilan dan kinerja kelompok
Pencapaian tujuan
Kemampuan kelompok
Universitas Gadjah Mada
Perkembangan dan kesehatan mental anggota
2. Kekuasaan, Otoritas dan Efektifias Kepemimpinan
2.1. Kekuasaan Konsep kekuasaan atau power merupakan konsep yang banyak dipunakan dalam membahas masalah kepemimpinan dan organisasi. Selain kekuasaan, juga terdapat konsep lain yang juga banyak diperhunakan dalam membicarakan masalah kepemimpinan dan organisasi, yaitu wewenang atau authority. Antara kekuasaan dan wewenang dalam bahasa sehari-hari seringkali dianggap sama, padahal sesungguhnya secara konseptual, antara kekuasaan dan wewenang ini memiliki perbedaan yang jelas. Banyak ahli mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan kekuasaan ini, namun sejauh ini belum terdapat adanya satu batasan tungga! yang memadai mengenai konsep kekuasaan ini. Akan tetapi, diantara para ahli itu terdapat kesepakatan bahwa kekuasaan berkaitan dengan hubungan antar dua atau lebih aktor dimana perilaku dari salah satu atau lebih aktor, dipengaruhi oleh aktor yang lain. Jadi kekuasaan pada dasarnya menggambarkan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain. Masalah kekuasaan berkaitan dengan pertanyaan "siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana". Seorang ahli politik Dahl (Hall, 1991:109) membuat ilustrasi tentang pengertian kekuasaan dengan membuat contoh bahwa A memiliki kekuasaan terhadap B jika A dapat menyuruh B melakukan sesuatu yang B tidak dapat berbuat lain kecuali melakukannya. Ini merupakan inti dari pengertian kekuasaan. Hal yang penting tetapi seringkali diabaikan adalah bahwa kekuasaan itu senantiasa berada dalam konteks suatu hubungan antar aktor (orang, kelompok orang atau masyarakat). Aktor (orang atau kelompok) tidak dapat memiliki kekuasaan ketika berada dalam suatu situasi yang terisolasi. Kekuasaan baru dapat dimiliki atau dirasakan keberadaannya ketika aktor itu berhubungan dengan pihak lain (orang atau kolektifitas lainnya). Kekuasaan itu tidak memiliki arti apapun kecuali kekuasaan itu diterapkan. Kekuasaan dengan demikian, baru memiliki makna atau arti ketika kekuasaan itu dipergunakan. Kekuasaan dapat berada pada tempat atau posisi yang tidak dapat diperkirakan. Oleh sebab itu, sangat tidak mudah untuk menentukan letak dari pusat kekuasaan. Namun yang pasti, kekuasaan itu ada meskipun keberadaannya justru tersembunyi di dalam ketergantungan salah satu pihak kepada pihak lain.
Universitas Gadjah Mada
Kekuasaan
dapat
memiliki
dasar
yang
bermacam-macam.
Dasar
kekuasaan menunjuk pada apa yang oleh pemegang kekuasaan dapat digunakan untuk menguasai atau mempengaruhi perilaku pihak yang dikuasai. Sesuatu yang menjadi dasar kekuasaan haruslah sesuatu yang memiliki nilai atau dihargai oleh pihak yang dikuasai. Diantara para ahli, terdapat penekanan yang berbeda-beda mengenai dasar kekuasaan ini, Di satu pihak ada yang menunjuk kemampuan memberikan ganjaran, kemampuan melakukan paksaan, adanya legitimasi, keahlian dan kemampuan memberikan pelayanan bagi pihak yang dikuasai (para anggota atau pengikut) sebagai dasar dasar kekuasaan. akan tetapi ada pula yang menyatakan bahwa kesempatan mendapatkan pengetahuan dan informasi, pertalian keluarga juga diidentifikasi sebagai dasar dari kekuasaan. Menurut French dan Raven (Sharma, 1982:82), seseorang yang memiliki kekuasaan dapat memiliki dasar sebagai berikut:
(a). Legitimasi Pihak yang dikuasai sangat memahami bahwa kekuasaan dari pemegang kekuasaan yang diperoleh secara sah atau mendapatkan pengesahan dan pihak yang dikuasai tunduk pada perintah pemegang kekuasaan dalam kaitannya dengan upaya mencapai tujuan yang mereka miliki.
(b). Ganjaran Pihak
yang
dikuasai mengetahui bahwa pemegang kekuasaan memiliki
kekuasaan untuk memberikan suatu bantuan, perangsang yang bernilai ekonomi atau ganjaran lain yang dapat diberikan jika pihak lain tunduk pada kekuasaannya.
(c). Paksaan Pihak yang dikuasai mengetahui bahwa bila mereka tidak tunduk pada kekuasaan dari pemegang kekuasaan, maka pemegang kekuasaan memiliki kekuasaan untuk memaksanya.
(d). Keahlian Pihak
yang
dikuasai mengetahui bahwa pemegang kekuasaan memiliki
kekuasaan karena keahlian yang dimiliki, sedangkan pihak yang dikuasai tidak memiliki keahlian itu. (e). Pengakuan Pihak yang dikuasai merasa tertarik kepada pihak pemegang kekuasaan karena tingkah lakunya yang baik, kepribadiannya yang baik dan kedudukannya dalam suatu lingkungan tertentu.
Universitas Gadjah Mada
Ligitimasi, ganjaran dan paksaan merupakan tiga sumber kekuasaan menunjukkan suatu kekuasaan yang berkaitan dengan posisi tertentu dalam suatu struktur. Sedangkan keahlian dan pengakuan merupakan dasar kekuasaan lebih berkaitan dengan karakteristik individual yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan. Pada setiap kekuasaan yang dipergunakan oleh pemegang kekuasaan, dapat saja dipengaruhi oleh satu dasar kekuasaan tunggal, tetapi yang seringkali terjadi adalah bahwa kekuasaan itu dipengaruhi oleh beberapa dasar kekuasaan sekaligus. Kekuasaan yang didasarkan pada dasar pengakuan pada umumnya memiliki cakupan yang paling luas, sedangkan kekuasaan yang didasarkan pada dasar keahlian, pada umumnya memiliki cakupan yang paling sempit. Hal ini disebabkan karena kekuasaan berdasar pengakuan pada umumnya meliputi bidang yang relatif luas, baik yang berkaitan dengan kegiatan pokok maupun di luar kegiatan pokok, sedangkan pada kekuasaan yang berdasarkan keahlian, bidangnya relatif terbatas, yaitu hanya pada suatu bidang berdasarkan keahlian tertentu saja, sehingga kekuasaan itu barangkali hanya bisa berpengaruh pada bidang yang terbatas itu saja. Dasar kekuasaan yang paling kuat akan menghasilkan kekuasaan yang besar. Dalam hal ini, dasar kekuasaan yang paling kuat adalah legitimasi sedangkan yang paling lemah adalah kekuasaan dengan dasar paksaan. Paksaan akan menyebabkan terjadinya suatu penurunan daya tarik dari pusat kekuasaan dan
sebaliknya
meningkatkan
perlawanan.
Sebaliknya,
ganjaran
akan
meningkatkan daya tarik pusat kekuasaan, sebaliknya akan menurunkan perlawanan. Kekuasaan paling tidak dapat memiliki tiga macam bentuk, yaitu:
(a). Kekuatan. Kekuatan merupakan bentuk kekuasaan dimana kekuasaan ini mempengaruhi perilaku pihak yang dikuasai melalui penggunaan cara-cara yang bersifat
phisik,
misalnya
melalui
penyerangan,
pengekangan
dan
sebagainya.
(b). Dominasi Dominasi merupakan bentuk kekuasaan dimana kekuasaan secara jelas dilihat oleh pihak yang dikuasai, untuk melakukan sesuatu melalui perintah, permintaan dan sebagainya.
Universitas Gadjah Mada
(c). Manipulasi Manipulasi merupakan bentuk kekuasaan dimana kekuasaan tidak secara jelas dilihat oleh pihak yang dikuasai, untuk melakukan suatu perilaku yang diperintahan oleh pihak yang berkuasa untuk dilakukan oleh pihak yang dikuasai, tetapi tetap dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan. Melalui penggunaan kekuasaan. pemegang kekuasaan mempengaruhi proses pengambilan keputusap. Oleh karena pengambilan keputusan merupakan fungsi dari perubahan di dalam dan respon terhadap pengaruh dari luar yang berlangsung terus menerus, maka pengambilan keputusan senantiasa terjadi didalam suatu organisasi. Oleh karena itu, kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu proses yang berlangsung secara terus menerus pula. Kekuasaan dalam organisasi dapat memiliki beberapa sumber. Sumber kekuasaan yang ada di dalam organisasi itu secara umum adalah:
(a). Posisi struktural dalam suatu organisasi Sumber kekuasaan ini menunjukkan bahwa posisi tertentu dalam suatu struktur organisasi dapat memberikan kekuasaan bagi seseorang. Ini terutama berkaitan dengan dasar legitimasi kekuasaan. Kekuasaan yang di delegasikan dari atas ke bagian yang lebiuh bawah dalam suatu struktur dapat menjadi sumber kekuasaan.
(b). Karakteristik Personal Sumber kekuasaan ini menunjukkan bahwa ciri individual yang dimiliki seseorang dapat memberikan kekuasaan pada orang itu. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kharisma dapat memiliki kekuasaan terhadap pihak lain.
(c). Keahlian Sumber kekuasaan berupa keahlian dapat terjadi jika keahlian yang dimiliki seseorang dipergunakan dalam organisasi, kemudian keahlian itu menjadi dasar kekuasaan seseorang di dalam organisasi, meskipun hanya dalam bidang tertentu atau untuk waktu tertentu saja.
(d). Campuran Sumber kekuasaan dapat juga berasal dari kombinasi berbagai faktor atau berbagai
dasar
kekuasaan,
yang
memungkinkan
kekuasaan
dapat
dipergunakan.
Universitas Gadjah Mada
2.2. Otoritas Sebagaimana
kekuasaan,
istilah
otoritas
(authority)
seringkali
dipergunakan dalam berbagai arti. Dalam pembicaraan sehari-hari seringkali kata otoritas digunakan untuk menyatakan beberapa makna. Misalnya, "saya tidak punya otoritas untuk masalah itu" atau "saya punya otoritas atas mereka". Pada kalimat pertama, kata otoritas menunjukkan beberapa pengertian, antara lain seseorang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, seseorang merasa tidak memiliki kehalian dalam suatu bidang tertentu atau dapat juga berarti seseorang tidak punya hak untuk melakukan sesuatu. Pada kalimat kedua, kata otoritas dapat memilki arti seseorang dapat mengontrol pihak lain atau seseorang berada pada posisi lebih tinggi dari orang lain. Ini semua menunjukkan bahwa dalam pembicaraan sehari-hari, kata otoritas sering dipergunakan tetapi tidak memiliki suatu arti yang tunggal. Meskipun demikian sangat jelas terlihat bahwa kata otoritas memiliki konotasi dengan hak tertentu dalam pengambilan keputusan. Dalam pandangan Max Weber kekuasaan dan otoritas merupakan dua konsep yang berbeda. Kekuasaan berkaitan dengan kekuatan atau paksaan. Kekuasaan hanyalah salah satu faktor yang penting dalam suatu organisasi. Di lain pihak, otoritas adalah salah satu bentuk kekuasaan yang tidak berkaitan dengan kekuatan. Otoritas berkaitan dengan penerimaan kekuasaan dan berkaitan pula dengan proses pengambilan keputusan. Sebagaian besar ahli menyatakan bahwa otoritas dapat diiihat sebagai kekuasaan yang sah. Oleh sebab itu banyak yang mengartikan otoritas dengan wewenang. Otoritas sering dikatakan netral terhadap individu. Hal ini disebabkan karena otoritas berkaitan dengan posisi tertentu dalam suatu struktur, sedang individu yang menduduki suatu posisi pada struktur itu bisa saja berganti-ganti. Otoritas merupakan sesuatu yang dimiliki dan diberikan oleh institusi pada suatu posisi tertentu. Masuknya individu pada suatu posisi dalam struktur sehingga memiliki otoritas tertentu sesuai dengan posisi itu dapat menyebabkan terjadinya demoralisasi pada individu. Pada sisi yang lain, otoritas juga seringkali dilihat sebagai insentif yang bersifat non-material dan dengan suatu otoritas tertentu, individu juga dapat memiliki akses terhadap berbagai sumber yang ada. Karena berkaitan dengan suatu .struktur, maka ketika suatu struktur organisasi dibentuk, secara bersamaan ditentukan apa dan seberapa besar otoritas ditentukan pada setiap posisi dalam struktur itu, tanpa memperhatikan siapa yang akan menduduki posisi itu. Jika suatu struktur telah dibentuk dan apa
Universitas Gadjah Mada
otoritas yang dimiliki serta seberap? besar otoritas itu dimiliki oleh setiap posisi, barulah kemudian individu memasuki dan menduduksi suatu posisi tertentu dari struktur itu. Jadi Individu harus berada pada suatu posisi tertentu untuk dapat memiliki suatu otoritas. Setiap posisi dalam suatu struktur selalu berkaitan dengan suatu tugas atau kegiatan tertentu, oleh karena itu maka setiap otoritas yang ada pada suatu posisi tertentu juga memberikan suatu beban tanggung jawab tertentu pula. Ini berarti bahwa otoritas juga berkaitan dengan kontrol dan evaluasi atau penilaian dalam organisasi, dimana dengan otoritas yang dimilikinya, seseorang dapat melakukan kontrol dan evaluasi atau penilaian mengenai kegiatan atau tugas yang dijalankan oleh pihak lain. Setiap institusi menentukan secara khusus otoritas macam apa dan seberapa luas yang dimiliki oleh suatu posisi tertentu. Setiap organisasi menentukan pesyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan menduduki suatu posisi tertentu dalam organisasi itu. Misalnya, setiap individu yang akan menduduki suatu posisi dalam organisasi haruslah memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menjalankan otoritas yang secara tetap terlekat pada suatu posisi tertentu itu. Jadi, pemberian otoritas pada suatu posisi bukanlah untuk selamanya dan bukanlah tanpa batas. Pada saat suatu otoritas dari suatu posisi tertentu diberikan maka pada saat yang sama struktur itu juga memberikan batasan, seberapa besar otoritas yang dimiliki oleh posisi itu. Adanya kejelasan mengenai batasan otoritas yang dimiliki suatu posisi ini akan memberikan kemudahan bagi setiap individu yang akan menempati posisi tertentu itu untuk mengidentifikasi batas-batas dari otoritas yang dimilikinya dan dapat dipergunakannya, yang mengatur tingkah laku posisionalnya, dan memberikan dasar keabsahan bagi tindakannya. Di sisi yang lain, kejelasan mengenai batasan otoritas yang dimiliki suatu posisi itu juga akan memberikan kepada pihak lain yang melakukan hubungan dengannya suatu kejelasan akan batas wewenang dan keabsahan tindakannya ketika berhubungan dengan pihak lain itu. Suatu tindakan yang sah atau memiliki legitimasi dapat dipatuhi tetapi dapat juga tidak dipatuhi. Pihak bawahan sebagai manusia yang memiliki pertimbangan rasional, dapat menerima atau menolak suatu perintah yang berasal dari atasannya dengan akibat tertentu. Meskipun demikian, pada umumnya di dalam organisasi, sebagian besar orang mengikuti prinsip dasar organisasi
Universitas Gadjah Mada
dimana orang akan mentaati perintah dari pihak lain yang memiliki otoritas atau tindakan yang sah dalan. suatu hal. Setiap penolakan pada perintah yang memiliki legitimasi akan menghadirkan sanksi tertentu atau hukuman tertentu, mulai dari yang paling ringan sampai yang terberat, misalnya dari sekedar ditegur atau diberi peringatan sampai dikeluarkan atau dipecat. Sebaliknya, penerimaan, kepatuhan atas suatu perintah yang sah akan menghasilkan suatu bentuk ganjaran, misalnya mendapat pujian, penghargaan, promosi jabatan dan sebagainya. Dilihat dari sisi yang lain, otoritas`dapat terpusat atau tersentralisasi atau sebaliknya, terbagi atau terdesentralisasi. Sentralisasi otoritas menunjuk pada suatu penempatan otoritas secara sistematis dan konsisten pada suatu titik di pusat atau sentral dari pengambilan keputusan. Desentralisasi otoritas menunjuk pada suatu penempatan otoritas tidak pada satu titik di pusat atau sentral pengambilan keputusan, tetapi otoritas didelegasikan sevcara sistematis kepada berbagai posisi tertentu di dalam organisasi. Meskipun terjadi sentralisasi ataupun desentralisasi otoritas, akan tetapi pada hal-hal tertentu, otoritas tetap berada pada tingkat tertinggi dari pemegang otoritas dalam organisasi. Sentralisasi atau desentralisasi otoritas menunjukkan adanya aliran distribusi otoritas dari suatu tingkatan ke tingkatan lain yang lebih rendah, dengan tingkat pemberian otoritas yang bervariasi untuk setiap fungsi atau tingkat yang berbeda-beda. Esensi dari konsep otoritas adalah bahwa perintah yang diberikan oleh pihak atasan, secara sukarela ditaati oleh pihak bawahan. Adapun kriteria dari otoritas meliputi:
(a) mentaati secara sukarela suatu perintah yang sah (b) menggantungkan keputusan pada perintah dari pihak yang lebih atas (c) terdapat orientasi nilai yang menunjukkan bahwa penggunaan kontrol adalah sah. Otoritas memiliki perbedaan dari bentuk lain perilaku. Pada kenyataannya, seseorang dengan suka rela berada di bawah pengaruh pihak lain tidak selalu menunjukkan suatu hubungan otoritas. dapat saja hal itu berakiatan dengan perilaku lain, misalnya persuasi, sugesti atau dapat pula menunjukkan penerapan suatu kekuasaan tanpa otoritas. Seseorang yang mendapat persuasi dari pihak lain menerima itu hanya sebagai salah satu dasar yang menguatkan pilihan seseorang, tetapi pilihan itu tetap berada di tangan orang yang mendapatkan sugesti itu. Persuasi juga memberikan alasan untuk menerima atau menolak suatu tindakan, tetapi pilihan tetap berada di tangan orang yang akan menentukan
Universitas Gadjah Mada
pilihan, bukan pemberi persuasi. Ini berkaitan erat dengan pendirian seseorang. Otoritas dari seorang atasan diterima oleh bawahan, tidak berkaitan dengan pendirian seseorang, kesukaan atau ketidak sukaan, atau ada tidaknya peluang menentukan pilihan. Pada setiap otoritas terdapat suatu penundukan total atau kepatuhan sepenuhnya. Otoritas dapat dilaksanakan jika perintah yang sah dari pemegang suatu posisi ditaati secara sukarela dari bawahan. Menurut Max Weber, sumber dari otoritas dapat berasal dari tradisi, kharisme atau peraturan. Oleh sebab itu menurut Weber terdapat tiga tipe otoritas, yaitu:
(a). Otoritas tradisional. Tipe otoritas ini berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap tradisi zaman dahulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan penting orang taat pada struktur otoritas tradisi ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Hubungan antara pihak yang memiliki otoritas pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Orang-orang yang patuh memiliki rasa setia secara pribadi kepada pemegang otoritas, sebaliknya pemegang otoritas mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan orang-orang yang patuh padanya. Walaupun antara pemegang otoritas dan orang-orang yang patuh padanya terikat pada peraturan-peraturan tradisional, tetapi masih terdapat suatu keleluasaan bagi para pemegang otoritas itu secara pribadi dalam mempergunakan otoritasnya.
(b). Otoritas Kharismatik Tipe otoritas kharismatik didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki oleh orang yang memiliki otoritas atau pemimpin, sebagai seorang pribadi. Otoritas kharismatik berbeda dengan otoritas biasa. Istilah kharisma dipergunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pemimpin. daya tarik seperti itu mampu menarik para pengikut yang setia kepada pemimpin yang memiliki kharisma itu secara pribadi. Kepatuhan para pengikut tergantung baik pada identifikasi emosional dengan pemimpin itu sebagai seorang pribadi maupun pada komitmen terhadap nilai-nilai absolut yang dikekukakan dan diajarkan pemimpin itu. Tidak seperti sistem otoritas tradisional, kepemimpinan kharismatik tidak diorientasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Kalau otoritas tradisional dipergunakan untuk
Universitas Gadjah Mada
mempertahankan status-quo, maka kepemimpinan kharismatik biasanya menentang status-quo.
(c). Otoritas Legal Tipe otoritas legal merupakan otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Karena berkaitan dengan rasionalitas instrumental, otoritas ini sering juga dikatakan sebagai otoritas legal rasional. Otoritas legal berbeda dengan otoritas tradisional dan kharismatik dalam hal sifat impersonal pelaksanaannnya. Orang yang sedang melaksanakan otoritas legal rasional adalah karena orang itu memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang sah. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki itu didefinisikan menurut peraturan yang sah sebagai yang harus tunduk dalam bidang-bidang tertentu. Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas legal itu atau posisi bawahan juga diatur secara jelas oleh peraturan yang secara resmi adalah sah.
2.3. Efektifitas Kepemimpinan Organisasi Kepemimpinan
dapat
dipandang
sebagai
suatu mekanisme
untuk
mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dalam kepemimpinan organisasi, kekuasaan dan otoritas merupakan dua elemen yang penting. Dalam setiap organisasi selalu terdapat seseorang atau sekelompok orang yang berada pada suatu posisi, yang dapat menjalankan kekuasaan melalui perintah atau membuat keputusan. Jika kekuasaan yang diperoleh itu diberikan oleh organisasi sebagai suatu institusi, maka kekuasaan itu disebut otoritas karena merupakan kekuasaan yang sah atau legal. Jadi otoritas senantiasa berkaitan dengan dua hal, yaitu adanya suatu posisi yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan dan adanya suatu norma atau aturan yang legal, yang mengatur pembagian dan penggunaan kekuasaan itu. Struktur otoritas relatif lebih stabil dan relatif lebih efektif untuk mengontrol, dibandingkan dengan struktur kekuasaan. Kepemimpinan organisasi merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor, terutama yang penting adalah posisi yang dimiliki dalam organisasi. Posisi dalam struktur organisasi ini memberikan dasar kekuasaan bagi pemegang kekuasaan dalam organisasi dan membawa pihak yang tidak memiliki kekuasaan pada
Universitas Gadjah Mada
harapan bahwa kekuasaan itu sah serta para pemegang kekuasaan itu akan menggunakan kekuasaan dalam proses kepemimpinannya dengan pemikiran dan tindakan yang ditujukan bagi organisasi itu sebagai suatu keseluruhan. Selain itu, juga
menggunakan
kekuasaan
dalam
proses
kepemimpinannya
untuk
menjalankan fungsi kepemimpinan bagi organisasi sebagai suatu keseluruhan. Harapan ini sangat nampak dalam kepemimpinan organisasi yang mengalami situasi konflik disekitar pergantian kepemimpinan, dimana para anggota memiliki harapan agar pemimpin yang baru dalam organisasi itu melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh para pemimpin yang sebelumnya. Mengenai fungsi kepemimpinan, menurut Zelznick (Hall, 1991) terdapat empat fungsi dari kepemimpinan, yaitu:
(a) kepemimpinan memberikan batasan dan definisi mengenai peran dan misi organisasi. Fungsi ini sangat penting terutama dalam berbagai organisasi yang ada dalam masayarakat yang sedang mengalami perubahan dengan pesat sehingga menuntut kemampuan untuk memberikan kejelasan mengenai peran dan misi yang diemban oleh organisasi. Selain itu, perubahan yang cepat juga menuntut adanya daya tanggap dari pemimpin, yang memandang tugas itu sebagai suatu proses yang dinamis.
(b) kepemimpinan berfungsi mewujudkan tujuan institusional atau organisasional. Fungsi ini menunjuk pada usaha untuk menciptakan dan memutuskan berbagai kebijakan organisasi, yang diterapkan dalam organisasi. Adapun tujuan dari hal itu adalah untuk menentukan cara-cara yang dapat ditempuh atau dapat dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
(c) kepemimpinan berfungsi mempertahankan keutuhan organisasi. Dalam hal ini terdapat dua aspek yang berkaitan, yaitu nilai dalam organisasi dan hubungan dengan pihak luar organisasi. Dalam hubungannya dengan pihak luar, pemimpin mewakili organisasi dan anggota-anggotanya dan sekaligus merusaha akar anggota yang diwakilinya dapat menerima keputusan yang diambil serta menjalankan keputusan itu dengan baik. (d) kepemimpinan berfungsi menata kembali dan meredakan berbagai konflik yang muncul dalam organisasi. Fungsi ini berkaitan dengan konflik yang muncul secara internal, dimana kebutuhan akan adanya kekuatan untuk meredakan konflik sangat dibutuhkan dan kemudian menata kembali hubungan yang ada sehingga akibat dari konflik yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin.
Universitas Gadjah Mada
Kepemimpinan merupakan salah satu kunci penting untuk memahami organisasi. Keberhasilan atau sebaliknya kegagalan suatu organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana kepemimpinan dalam organisasi itu dapat dijalankan secara efektif. Jadi salah satu elemen penting dalam penetuan keberhasilan suatu organisasi mewujudkan tujuannya adalah efektifitas kepemimpinan. Meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat beberapa masalah ketika konsep efektifitas kepemimpinan ini dipergunakan. Kajian mengenai efektifitas kepemimpinan merupakan kajian yang tidak mudah dilakukan. Hal ini berkaitan dengan beberapa hal. Pertama, dalam kajian mengenai efektifitas terdapat masalah yang serius berkaitan dengan penentuan kriteria mengenai efektifitas itu sendiri. Jadi apa yang menjadi ukuran atau kriteria sesuatu itu efektif atau tidak efektif, selalu tidak jelas. Kedua, tidak semua kriteria yang dipergunakan untuk menunjukkan efektifitas dapat diukur atau diestimasikan. Ketiga, tidak ada cara tunggal yang dapat dipakai untuk mengukur efektifitas. Selain beberapa kesulitan di atas, masih terdapat kesulitan lain dalam mengukur efektifitas, antara lain dalam mengukur efektifitas berkaitan dengan suatu kepentingan tertentu sehingga ukuran yang dibuat sangat dipengaruhi oleh kepentingannya itu. Kesulitan pertama berkaitan dengan penentuan kriteria yang dipergunakan untuk mengukur efektifitas kepemimpinan. Dalam hal ini tidak terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai kriteria apa yang paling tepat dapat dipakai untuk menentukan suatu kepemimpinan itu efektif. Kesulitan kedua, tidak semua kriteria yang dapat dipakai untuk menunjukkan efektifitas kepemimpinan itu dapat diukur. Artinya, meskipun suatu kriteria mengenai efektifitas kepemimpinan dapat dirumuskan, tetapi rumusan secara metodologis itu tidak selalu dapat diukur. Kesulitan yang berikut berkaitan dengan kenyataan bahwa dalam studi tentang kepemimpinan terdapat beberapa perspektif atau pendekatan sehingga dalam menentukan efektifitas kepemimpinan terdapat beberapa cara pandang yang berbeda-beda. Semua ini menyebabkan penentuan suatu kepemimpinan itu efektif atau tidak tidak mudah dilakukan. Meskipun terdapat beberapa kesulitan, akan tetapi hal itu bukan berarti tidak terdapat cara menjelaskan masalah efektifitas kepemimpinan, meskipun setiap cara yang dipakai sangat disadari memiliki kelemahan atau kekurangan tertentu.
Universitas Gadjah Mada
Salah satu cara yang dapat dipakai untuk menjelaskan efektifitas kepemimpinan adalah dengan kembali memahami esensi dari organisasi. Setiap organisasi
senantiasa
memiliki
tujuan
tertentu
yang
hendak
dicapai.
Kepemimpinan dikatakan efektif jika kepemimpinan itu dapat membawa semua potensi dan sumber-sumber yang ada dalam dan di luar organisasi kearah pencapaian
tujuan
tertsebut.
Jadi
efektifitas
kepemimpinan
diukur
dari
kemampuan kepemimpinan untuk dapat mewujudkan tujuannya. Pernyataan ini secara teoritik benar, tetapi selain terlalu menyederhanakan masalah yang ada, juga tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan efektifitas kepemimpinan. Kepemimpinan ada dalam setiap
organisasi
memungkinkan
dan
pada
bekerjanya
berbagai proses
tingkatan
dalam
kepemimpinan.
organisasi
Dengan
juga
demikian,
kepemimpinan bukanlah sesuatu yang seherhana sehingga tidak terlalu mudah menjelaskan efektifitas kepemimpinan hanya dengan melihat dari segi pencapaian tujuannya secara umum. Fiedler (1967) menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan dengan melihat kemampuan pemimpin melakukan kepemimpinannya, dalam hal ini ditunjukkan oleh prestasi suatu kelompok terutama dalam perbandingan dengan kelompok lain. Apa yang dinyatakn oleh Fiedler ini memang lebih jelas dan barangkali secara metodologis memungkinkan untuk diukur. Meskipun demikian hal itu bukan berarti suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Efektifitas kepemimpinan juga dapat diukur dari bagaimana kepemimpinan itu dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan. Dalam hal ini, mengikuti Zelznick (Hall, 1991) terdapat empat fungsi dari kepemimpinan, yaitu kepemimpinan memberikan batasan dan definisi mengenai peran dan misi organisasi, kepemimpinan berfungsi mewujudkan tujuan institusional atau organisasional, kepemimpinan berfungsi mempertahankan keutuhan organisasi, kepemimpinan berfungsi menata kembali dan meredakan berbagai konflik yang muncul dalam organisasi. Oleh karena itu, suatu kepemimpinan dapat dinyatakan efektif apabila keempat fungsi ini dapat dijalankan dan menunjukkan hasil yang secara nyata dapat dilihat. Ukuran dalam menentukan efektifitas kepemimpinan dari segi fungsi kepemimpinan ini adalah apa bila kepemimpinan itu dapat secara tepat memberikan batasan dan definisi mengenai peran dan misi organisasi. Selain itu, kepemimpinan yang efektif harus dapat berfungsi mewujudkan tujuan institusional atau organisasional. Penentuan tujuan ini merupakan hal yang
Universitas Gadjah Mada
sangat penting bagi organisasi sehingga kepemimpinan yang efektif salah satu tolok ukurnya adalah kemampuan mewujudkan tujuan ini secara relatif. Artinya, setiap organisasi pada dasarnya tidak akan dapat mewujudkan semua tujuannya secara sempurna sehingga pada tingkat tertentu suatu tujuan dapat dicapai di bawah suatu kepemimpinan, maka kepemimpinan itu dapat dipandang memiliki efektifitas. Efektifitas kepemimpinan juga memiliki fungsi mempertahankan keutuhan organisasi. Jika fungsi ini dapat dilakukan oleh suatu kepemimpinan, maka kepemimpinan ini dapat dipandang efektif. Selain itu, kepemimpinan yang efektif dapat menjalankan fungsi menata kembali dan meredakan berbagai konflik yang muncul dalam organisasi. Meskipun memiliki masalah yang kurang lebih sama dengan cara lain yang telah di kemukakan di atas, cara ini memberikan gambaran yang lebih memadai dalam melihat efektifitas kepemimpinan. Pendapat lain (Hall, 1991:140-142) melihat efektifitas kepemimpinan dikaitkan dengan bagaimana pemimpin membangun hubungan sosial dan emosianal dengan bawahan. Ini meliputi beberapa bentuk:
(a). Mempertimbangkan bawahan Pemimpin mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan pilihan-pilihan yang dimiliki oleh bawahan atau yang dipimpin. Pemimpin memperlakukan bawahan sesuai dengan martabatnya dan jasajasanya serta tidak melakukan tindakan yang mengarah pada penerapan hukuman pada bawahan.
(b). Konsultasi dalam Pengambilan Keputusan Pemimpin meminta masukan dari yang dipimpin berdasarkan pandangan dan opini mereka sebelum pemimpin itu mengambil keputusan. Jadi dalam hal ini selain bersifat konsultatif, juga partisipatif dan demokratis karena yang dipimpin ikut memberikan sumbangan berupa masukan dan opini dalam proses pengambilan keputusan.
(c). Melakukan Pengawasan Umum Pemimpin melakukan pada tingkat keseluruhan saja, sedangkan pada bagianbagian tertentu diserahkan kepada tiap bagian itu sendiri-sendiri. Pemimpin mendelegasikan otoritas kepada para bawahan sehingga bawahan pada tingkat tertentu memiliki otoritas untuk melaksanakan tugasnya. Mengikuti pandangan pendekatan situasi kepemimpinan, kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu memanfaatkan semua potensi
Universitas Gadjah Mada
yang ada dalam suatu situasi untuk melaksanakan kepemimpinannya sehingga tujuan yang ditentukan dapat dicapai. Dalam hal ini kemampuan pemimpin itu sendiri juga ikut menentukan. Jadi efektifitas kepemimpinan dapat dilihat sebagai suatu fungsi dari dasar motivasional yang dimiliki pemimpin dan interaksi berbagai faktor situasi. Dalam pendekatan ini suatu kepemimpinan dapat dijalankan secara efektif atau tidak tergantung pada situasi kepemimpinan yang menguntungkan atau tidak serta bagaimana kemampuan pemimpin itu memanfaatkan situasi tersebut. Jadi sangatlah tidak mudah untuk menunjukkan atau menentukan sesuatu kepemimpinan itu efektif atau tidak, hal ini dapat dikembalikan pada kenyataan bahwa konsep kepemimpinan itu merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor. Berbagai faktor yang mempengaruhi kepemimpinan itu adalah, posisi organisasi itu sendiri, situasi khusus yang dihadapi, karakteristik dari individu yang terlibat dalam kepemimpinan dan beberapa faktor Iainnya. Dengan demikian, tidaklah mudah mendapatkan suatu ukuran yang secara tepat dapat menunjukkan suatu kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif.
Universitas Gadjah Mada