BAB 7 IMPLIKASI TEORITIK TEORI TINDAKAN VOLUNTARISTIK
Paparan dalam Bab terakhir (Bab 7) berikut ini, bermaksud untuk menguraikan
hal paling penting dari disertasi ini, yakni; mencoba
memposisikan realitas (gejala) pengambilan keputusan bermigrasi oleh wanita pedesaan di Jawa Timur, untuk memperbaiki kesejahteraan keluarganya itu -- di dalam konstruksi sosial “emansipasi wanita” tani di pedesaan. Dengan kata lain, pada bagian akhir Bab ini akan dipaparkan implikasi dari adanya pergeseran struktur relasi kekuasaan antara laki-laki dan wanita dalam keluarga migran pedesaan sebagai wujud emansipasi wanita dalam menghadapi tekanan hegemoni patriarchi ,norma syari’at dan Fatwa Haram dari MUI . Hasil konstruksi sosial “perjuangan emansipasi wanita petani” melalui pilihan bermigrasi secara legal atau ilegal ke luar negeri, merupakan tesis utama disertasi, yang akan menutup bagian akhir Bab 7 ini.
239
239
7.1. Pengambilan Keputusan Bermigrasi dalam Voluntaristic Theory of Action Dalam kepustakaan ilmu sosial khususnya sosiologi, kemampuan Talcott Parsons (1968) di dalam melakukan elaborasi lanjut atas satu skema teoritis seperti pada teori tindakan (Action theory), nampaknya belum ada yang menandingi. Meskipun ada banyak teori serupa yang dikemukakan oleh ahli lain dalam bidang ini (lihat : Inkeles dan Barber, 1973 ; Loubser, et al.,1976) tetapi sebagian besar dari pemikiran tersebut masih tetap mengkaitkannya dengan nama besar Talcott Parsons (Beilharz, 2003 : 292) Karya terkemuka Parsons yang pertama, The Structure of Social Action, bertujuan untuk membuktikan bahwa, empat teoritisi besar pada masa peralihan abad yang lalu, sebetulnya tidaklah terpisah ke dalam mazhab (aliran-aliran) yang sama sekali berbeda, akan tetapi dalam pemikiran Parsons, justru bersatu dalam skema yang ia pandang amat fundamental. Tiga dari empat teoritisi besar itu adalah ahli ekonomi, yang semuanya pernah membahas aspek-aspek non - rasional ke dalam aktivitas yang bersifat rasional (Beilharz, 2003 : 292) Ekonom Inggris terkemuka seperti Marshall misalnya, pernah menyatakan bahwa akibat paling penting dari suatu perilaku ekonomis adalah pembentukan karakter, dan bukan kepuasan konsumen. Sementara
240
itu, ekonom sekaligus sosiolog terkemuka Italia, Vilfredo Pareto memandang aspek non logik itu sebagai persoalan yang krusial, yang ia pertentangkan dengan faktor-faktor
logik di dalam kehidupan sosial.
Tokoh ketiga yaitu Durkheim, yang menolak anggapan Spencer tentang kontrak individu sebagai basis yang membentuk masyarakat
dengan
merujuk pada pranata kontrak yang melibatkan “elemen-elemen nonkontraktual” ke dalam semua kontrak partikular, melalui hukum dan adat istiadat (Beilharz, 2003 : 292) Pandangan Parsons; yang menjadi penganut kuat pemikiran-pemikiran Durkheim, dan juga pemikiran Weber yang meyakini bahwa, etika sosial Puritan telah mempercepat transisi Eropa dari masyarakat tradisional menjadi kapitalis modern – diakui telah memberikan pengaruhnya dalam perdebatan sosiologi kontemporer era 1960-an. Aspek-aspek pertentangan masa lampau antara materialisme dan idealisme menjadi persoalan penting di dalam karya-karya Parsons, yakni dalam membentuk berbagai positivisme dan idealisme yang kemudian ia rangkai dan ia pertemukan ke dalam teori “Voluntaristic Action” yang ia tulis tahun 1937 (Parsons, 1968) Menurut Parsons, “ tindakan “ adalah perilaku yang disertai oleh adanya “upaya” subyektif dengan tujuan untuk mendekatkan kondisi-kondisi “ situasional ” atau “ isi kenyataan “
241
pada keadaan yang “ ideal “ atau yang ditetapkan secara normatif (Beilharz, 2003 : 293) Bagi Talcott Parsons, teori
Voluntaristic Action,
menunjukkan sebuah sintesis tentang dalil, asumsi dan konsep yang sangat berguna untuk memahami tindakan sosial, yang berasal dari paham utilitarianisme, positivisme dan idealisme. Ketika mengulas kembali pemikiran ahli ekonomi klasik, Parsons mencatat beberapa keunggulan dari konseptualisasi utilitarianisme tentang manusia yang tidak diatur dan atomistik di pasar bebas dan dapat bersaing secara rasional di dalam memilih tindakan-tindakan tersebut, yang dapat memaksimalkan keuntungan bagi dirinya dalam transaksinya dengan orang lain (Turner, 1974 : 30) Bagi Parsons, rumusan tentang tertib sosial (social order) ternyata mengundang beberapa persoalan penting yang ia pertanyakan, antara lain ; (1) “apakah dalam keseharian manusia selalu bertindak rasional ?” ; (2) apakah manusia memang bebas dan tidak teratur atau; (3) bagaimana mungkin tatanan sosial itu ada di dalam sistem persaingan yang tidak teratur ? Dalam hubungan ini, Parsons melihat pandangan utilitarian sebagai ciri-ciri pemikiran yang matang , terutama yang berkaitan dengan para pelaku (actor) yang berupaya mencapai tujuan (keuntungan) dengan menekankan pada kemampuan melakukan pilihan dari berbagai alternatif
242
cara (means) yang tersedia. Dengan pernyataan sederhana, Parsons sebetulnya ingin menunjukkan bahwa, warisan pemikiran utilitarianisme memang memberikan sumbangannya pada upaya pengembangan teori sosiologi secara berkelanjutan (Turner, 1974 : 30) Parsons juga menolak rumusan ekstrim dari para teoritisi positivisme radikal, yang cenderung melihat dunia sosial hanya dalam konteks hubungan sebab akibat, yang dapat diamati melalui sejumlah fanomena fisik. Menurut Parsons, hal semacam ini dapat atau akan mengabaikan fungsi-fungsi simbolik yang kompleks dari pikiran manusia. Lebih jauh Parsons kemudian mulai memilih konsep-konsep penting dari tradisi masing-masing mashab tadi (utilitariansime, positivisme dan idealisme) dan merumuskannya ke dalam “teori tindakan Voluntaristik” . Pada titik awal inilah, sesuai dengan pembentukan strategi teorinya, Parsons mulai menyusun teori fungsional organisasi sosial. Sebagai rumusan awal, Parsons membuat konsep “voluntaristic” sebagai sebuah proses pengambilan keputusan subyektif dari para pelaku individual (actor) , tetapi ia melihat keputusan seperti itu sebagai hasil akhir dari pertimbangan parsial terhadap jenis hambatan tertentu, baik hambatan
normatif
maupun
hambatan
situasional.
Tindakan
“voluntaristik” menurut Parsons mencakup elemen-elemen dasar sebagai
243
berikut : (1) adanya pelaku yang di dalam konsepsi Parsons merupakan pelaku individual (pelaku perorangan) ; (2) yang diasumsikan sebagai orang yang sedang mengejar tujuan (goal) ; dan (3) pelaku juga dianggap memiliki beberapa alternatif cara atau alat untuk mencapai tujuan itu; (4) pelaku dihadapkan pada berbagai macam kondisi dan situasional, seperti pembentukan biologisnya, keturunannya, dan juga berbagai hambatan ekologi eksternal, yang dapat mempengaruhi pemilihan alat untuk mencapai tujuannya itu ; (5) pelaku juga diatur oleh seperangkat nilai, norma dan ide-ide lainnya dimana ide-ide ini mempengaruhi apa yang dianggap sebagai tujuan dan alat, atau cara apa yang dipilih untuk meraih tujuan tersebut; sehingga, (6) tindakan “voluntaristik” dengan demikian mencakup pembuatan keputusan subyektif tentang alat atau cara, yang digunakan untuk meraih tujuan; dimana semuanya itu dipengaruhi oleh value, norms, other idea , kondisi dan situasional tertentu. Konseptualisasi “voluntaristik” dari Parsons ini telah ditunjukkan secara diagramatikal di dalam Bab 2 disertasi ini. Melalui replikasi teori Parsons tersebut, ternyata temuan studi ini mendukung teori Sosiologi Pilihan Rasional yang membingkai penelitian ini. Menurut teori Pilihan Rasional ; para aktor (TKW dalam hal ini) , bertindak untuk mengejar kepentingan secara rasional yaitu untuk
244
memaksimalkan tujuan. Fokus analisis dari model teori Pilihan Rasional ini, lebih pada aktor dan strateginya untuk meraih tujuan -- daripada sistem secara keseluruhan. Teori Pilihan Rasional ini juga merupakan model pendekatan pertikaian (konflik?) di dalam suatu situasi sosial (baca : dalam hukum, peraturan, norma dan nilai-nilai budaya ), dan memberikan kemungkinan tentang cara untuk menjawab pilihan individu, melalui proses pengambilan keputusan (individual decision making processes) di dalam agregasi (keluarga dan masyarakat). Studi ini menemukan bahwa, para TKW; yakni wanita yang berasal dari pedesaan di tiga Kabupaten di Jawa Timur (yang diteliti) ini, adalah individu-individu (actor) yang telah menghadapi tekanan “kemiskinan dan juga tekanan struktur hubungan hegemoni patriarchi ” (condition) di desa asalnya yang ditunjukkan melalui indikator kepimilikan sumber produksi utama yaitu tanah pertanian (yang sempit), dan kesulitan memperoleh pekerjaan di desa asalnya, serta memiliki penghasilan keluarga yang “rendah” dan harus memikul beban domestik yang makin berat. Para individu TKW sebagai pelaku migrasi ini berupaya meraih tujuan (goal), yakni meningkatkan income atau kesejahteraan keluarganya, melalui pengambilan keputusan beremigrasi ke luar negeri untuk memperoleh pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi. Sebagian TKW ini
245
terkendala oleh persyaratan pendidikan, biaya migrasi (condition), juga karena keharusan untuk memiliki paspor, exit permit, medical sertificate dan visa kerja (baca: norms and value ) di negara tujuan; serta tidak memiliki informasi yang jelas (baca: other ideas) tentang jenis pekerjaan dan majikan di negara tujuan. Di sisi lain , lingkungan TKW, yakni sukses migran lama dari luar negeri di kampungnya, (baca: situation) menyebabkan para TKW ini harus melakukan pilihan menyangkut cara atau alternatif cara (means) yang paling mungkin ia tempuh agar dapat ke luar negeri -- guna mewujudkan tujuannya tersebut. Para TKW yang akhirnya memutuskan untuk beremigrasi ke luar negeri tanpa mengikuti prosedure emigrasi dan kelengkapan dokumen ke emigrasian yang sah (karena benturan dan kendala seperti disebutkan di atas), telah memilih cara bermigrasi ilegal ke luar negeri yang dalam studi ini telah dikategorikan sebagai TKW Ilegal. Sebagian TKW lainnya, yang usianya lebih muda, lebih terdidik, belum menikah dan relatif lebih “kaya” dibandingkan kelompok pertama, telah memutuskan untuk beremigrasi ke luar negeri sebagai TKW, dengan menempuh prosedure dan kelengkapan dokumen keemigrasian yang sah melalui jaringan migrasi tenaga kerja resmi, yang dalam studi ini kemudian di kategorikan sebagai TKW legal.
246
Studi ini menemukan bahwa, para TKW; kategori yang kedua ini, adalah juga individu-individu (actor) yang berada dalam kondisi “kekurangan” (condition) di desa asalnya yang ditunjukkan melalui indikator kepimilikan sumber produksi utama yaitu tanah pertanian yang terbatas, juga kesulitan memperoleh pendapatan yang layak di desa asalnya serta kondisi keluarga yang “pas-pasan” . Para individu TKW ini juga berupaya meraih tujuan (goal), yakni
meningkatkan income atau
kesejahteraan keluarganya, melalui pengambilan keputusan beremigrasi ke luar negeri. TKW kategori ini tidak mengalami kendala menyangkut biaya migrasi, karena itu mereka memilih jaringan migrasi tenaga kerja resmi (means) yang membantu prosedur dan proses migrasi (pengurusan paspor, exit permit, dan visa kerja) ke luar negeri (norms, and value constrain) ; serta memiliki informasi yang jelas (other ideas) tentang jenis pekerjaan dan majikan di negara tujuan. Di sisi lain , dorongan keluarganya (situation) di desa asal menyebabkan para TKW ini harus melakukan pilihan menyangkut cara atau alternatif cara (means) yang paling mungkin ia tempuh agar dapat ke luar negeri guna mewujudkan tujuannya tersebut dengan aman dan nyaman. Para TKW yang akhirnya memutuskan untuk beremigrasi ke luar negeri dengan menempuh prosedur emigrasi dan kelengkapan dokumen ke emigrasian yang sah
247
(melalui dukungan jaringan migrasi TKI ke luar negeri), telah memilih bermigrasi secara legal ke luar negeri yang dalam studi ini kemudian dikategorikan sebagai TKW legal. Tetapi, apapun
cara yang telah dipilih dan diputuskan untuk
ditempuh oleh para individu TKW dalam studi ini, (baik legal maupun ilegal) telah sejalan dengan teori tindakan “voluntaristik” menurut Talcott Parsons. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung teori Voluntaristic Action sebagaimana dideskripsikan secara jelas pada halaman 240 alenia ke 3 dan uraian di halaman 241 di muka. Sebagaimana sudah disinggung di dalam Bab 2 tulisan ini, Teori Pilihan Rasional juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Artinya, ada kalanya suatu tindakan yang sudah diperhitungkan secara matang (rasional) -- ternyata memiliki akibat akhir yang tidak diharapkan, dan kadang kala tidak diantisipasi sebelumnya (Ritzer dan Smart, eds., 2001 : 274) Hasil penelitian ini juga membuktikan kelemahan tersebut. Bahwa, tidak semua TKW yang bermigrasi sementara ke luar negeri dalam studi ini sukses meraih apa yang dicarinya. Beberapa di antara mereka ini ada yang gagal (dalam arti ekonomi), yakni masih mempunyai hutang pada Teikong setelah kembali dari bekerja sebagai TKW di luar negeri.
248
7.2. Posisi Teori Pilihan Rasional Dalam Sosiologi Makro.
Seperti halnya gejala – gejala sosial yang lain dalam masyarakat, mobilitas tenaga kerja, yang dalam studi ini adalah proses pengambilan keputusan beremigrasi yang dilakukan oleh wanita pedesaan dari Jawa Timur ke luar negeri, juga merupakan fenomena sosial yang kompleks. Oleh karena itu, pendekatan teoritik tunggal yang dipakai untuk menjelaskan seluruh ikhwal gejala tersebut nampaknya tidak akan mungkin memberikan pemahaman yang komprehensif
sesuai dengan
realita sosial yang sebenarnya terjadi di lapangan. Menyadari akan hal itu, studi ini sejak awal telah mencoba menggunakan pendekatan gabungan antara strategi teoritik sosiologi ditingkat makro, dalam hal ini teori Konsensus meskipun bukan bermakna eklektisisme **, yakni dengan memadukan tiga pendekatan, masing ____________________ ** Sanderson,(1993), menolak menggunakan pendekatan eklektisisme, dengan argumen bahwa, pendekatan demikian itu justru akan menimbulkan kekacauan di dalam penerapannya di lapangan. Sanderson mengajukan alasan bahwa, pendirian seperti itu akan menimbulkan kekacauan teoritik yang krusial, karena berbagai strategi teoritis yang berbeda itu, menggunakan asumsi dan prinsipprinsip yang tidak hanya berbeda, tetapi seringkali pula kontradiktif. Jadi kalau harus menerima semua strategi yang bertentangan tersebut sebagai strategi teori yang valid, maka -- yakni dengan memadukan tiga pendekatan, masingmasing strategi teoritik berarti menerima adanya kontradiksi internal (lihat: Siahaan,H., Kata Pengantar Edisi kedua buku Sosiologi Makro; sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial , Sanderson, S.K., (1993) Jakarta ; Penerbit CV Rajawali Press. hal. vii
249
masing
strategi
teoritik
Struktural
Fungsional,
sebagai
kerangka
pendekatan (teoritical framework) di tingkat Grand Theory, dan teori Sosiologi Pilihan Rasional ditingkat makro yang membingkai penelitian ini serta Voluntaristic Theory of Action yang diuji di lapangan. Asumsi yang mendasari penggunaan gabungan antara teori Pilihan Rasional dan Voluntaristic Action (Talcott Parsons) adalah karena, di dalam realita kehidupan sosial -- tidaklah mungkin pembuatan keputusan individu benar-benar bebas dari pengaruh orang lain. Sementara itu disisi lain, teori - teori Pengambilan Keputusan Bermigrasi ditingkat individu (Migration Decision Making Processes) yang bersumber dari paradigma demografi, ekonomi, geografi dan psikologi sosial (lihat : De Jong and Gardner, 1981 : 1- 323) yang sangat dominan dalam analisis - analisis pengambilan keputusan migrasi selama ini, tidak hanya diposisikan sebagai teori pembanding – tetapi sekaligus pula untuk menunjukkan bahwa, teori “voluntaristic action” dalam disertasi ini memposisikan
diri
sebagai teori lama
yang
“applicable”
untuk
melengkapi kekosongan peta teoritik pengambilan keputusan migrasi ditingkat individu yang sudah ada, khususnya yang berasal dari paradigma fakta sosial atau perspektif teori Sosiologi Makro.
250
Pertimbangan dan alasan teoritik lain yang mendasari penggunaan gabungan ke tiga pendekatan teori tersebut dapat dijelaskan kembali sebagai berikut . Pertama , strategi teori Struktural Fungsional , berasal dari paradigma yang memusatkan diri pada kajian tentang fakta sosial. Menurut pendapat Ritzer (1988) fakta sosial itu terdiri dari dua tipe; yakni tentang social structure dan social institution (Siahaan, 1993 : vi) Kedua, strategi teoritik yang memusatkan kajiannya pada persoalan struktur sosial dan pranata sosial, di dalam kepustakaan sosiologi dikategorikan ke dalam sosiologi makro, yang membedakannya dengan sosiologi mikro (Siahaan, 1993 : vii) Sementara itu, alasan ketiga, pemilihan teori “voluntaristic action” yang masuk ke dalam kelompok teori Rational Choice untuk menjelaskan mengapa wanita dari pedesaan mengambil keputusan bermigrasi secara legal ataupun ilegal ke luar negeri (dalam mengatasi kemiskinannya) -sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa, teori Voluntaristic Action memang berakar pada Fungsionalisme yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, yang bersumber dari tradisi Durkheimian yang terkenal itu (Siahaan, 1993 : vii) yang telah disinggung di bagian awal tulisan ini . Dengan demikian, teori “voluntaristic action” dari Talcott Parsons, dapat ditegaskan kembali posisinya, yakni sebagai kajian sosiologi makro
251
dalam perspektif teori Struktural fungsional dalam konteks paradigma fakta sosial khususnya teori tentang tindakan (action theory) yang berbeda dengan paradigma perilaku sosial sebagaimana di tulis dan di tegaskan oleh Max Weber ** Upaya melakukan abstraksi gejala empirik ditingkat mikro melalui penjelasan teori Voluntaristic action, menuju teori konsensus di tingkat makro ini, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sebab menurut Ritzer (1988 ) hal tersebut merupakan sebuah kontinium gejala yang ia sebutkan sebagai “ The Microscopic – Macroscopic
Continium ” ( lihat :
Siahaan, 1993 : vii)
7. 3. Teori Tindakan Voluntaristik dalam Perspektif Teori Migrasi
Berbeda dengan perspektif teori pengambilan keputusan migrasi yang bersumber dari paradigma ekonomi, demografi, geografi dan _____________________ ** Weber membedakan dua konsepsi antara konsep “tindakan” dengan konsep “perilaku ” yang benar-benar murni, yang merupakan reaksi perilaku. Konsep ‘perilaku’ menurut Weber sebenarnya lebih bermakna “diam” dibandingkan dengan perilaku yang tergolong otomatis yang lahir tanpa melalui proses berpikir sebelumnya. Sebuah stimulus yang menimbulkan dan kemudian menjadikannya sebagai bentuk perilaku (tertentu) hanya terjadi, karena adanya sedikit bantuan ‘intervening’, di antara stimulus dan respon . Oleh karena itu, “perilaku” (behavior) menjadi tidak menarik dan tidak penting untuk diperbincangkan dalam sosiologi Weber (Ritzer, 1996 : 124)
252
psikologi; maka Talcott Parsons telah mengembangkan teori ‘Voluntaristic Action’ berdasarkan tradisi Durkhemian yang berbeda baik dalam hal paradigma, konsep, asumsi maupun pendekatannya. Teori Neoclasic Economic Macro, seperti disinggung di bagian awal tulisan ini, sebagai misal. Teori ini hanya berusaha menjelaskan begaimana proses dan akibat dari perpindahan tenaga kerja yang berasal dari negara yang mengalami surplus tenaga kerja tetapi kekurangan kapital – menuju negara yang kekurangan tenaga kerja, tetapi memiliki kapital yang berlimpah (Massey, dkk., 1993 ; 1998 dan Hugo, dkk.,1996b) Teori ini kurang
memperhatikan
bagaimana
seseorang
memutuskan
untuk
berpindah, sebab-sebab perpindahan, serta dengan cara apa ia berpindah. Teori ekonomi lainnya, yaitu teori Neoclasic Economic Micro, yang sebetulnya juga memperbincangkan soal pengambilan keputusan di tingkat individu migran, tetapi tidak mencoba menjelaskan persoalan, mengapa seseorang berpindah dengan cara tertentu, mengapa bukan dengan cara yang lain. Teori ini hanya merekomendasikan kepada para migran potensial itu, agar mempertimbangkan ‘cost and benefit’ dari setiap perpindahan ke daerah tujuan yang memiliki potensi lebih besar dibandingkan dengan daerah asal migran (lihat: Massey, dkk., 1993 : 434 , dan Kuper and Kuper, 2000 : 543)
253
Teori yang berasal dari perspektif demografi-ekonomi adalah teori Segmented Labour Market yang juga sudah disinggung di bagian awal disertasi ini. Menurut teori ini, arus migrasi tenaga kerja dari suatu negara ; ditentukan oleh adanya faktor permintaan (demand) pasar kerja, yang lebih tinggi di negara lain. Dalam teori ini, faktor penarik yakni pasar kerja (pull factor) terhadap arus migrasi tenaga kerja, jauh lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor penekan lain untuk berpindah (push factor) yang ada di daerah asal. Namun demikian, teori ini kurang memberikan penjelasan yang rinci di tingkat mikro, bagaimana seseorang akhirnya memutuskan untuk berpindah ataukah tetap tinggal di daerah asalnya. Berikutnya, teori pengambilan keputusan migrasi
di tingkat
individu yang berasal dari perspektif geografi seperti disinggung di Bab 2 disertasi ini, adalah teori dorong-tarik dari Everett S. Lee (1970) Keputusan seseorang untuk bermigrasi menurut Lee (1970) dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya empat faktor, yang ia gambarkan dalam sebuah diagram . Ke empat faktor tersebut yaitu; (1) faktor (positif,negative dan netral) di daerah asal , (2) faktor (positif, negative dan netral) yang ada di daerah tujuan, (3) faktor penghalang migrasi dan (4) faktor individu pelaku migrasi. Ide dasar yang mempengaruhi konsepsi teori “push-pull” Everett S. Lee ini bersumber dari teori Grafitasi E.G. Ravenstein yang
254
ditulisnya tahun 1885. Teori Lee ini tidak menjelaskan bagaimana proses seseorang di dalam pilih memilih sarana yang tersedia sebelum mengambil keputusan berpindah yang dipengaruhi oleh situasi, kondisi, ataupun struktur sosial dimana ia menjadi bagian di dalamnya. Everett Lee, hanya menekankan pada pentingnya factor origin dan destination dalam perpindahan individu yang bersifat permanen (bukan sirkulasi). Model pengambilan keputusan bermigrasi di tingkat individu yang sudah sangat terkenal dalam penelitian-penelitian migrasi di dunia ketiga selama dekade 1980-an adalah teori “expected income model of rural-urban migration” yang diintrodusir oleh Michael P. Todaro (1978) Dalam teorinya itu, Todaro menjelaskan dan jika diringkas kembali, uraiannya akan menjadi sebagai berikut. Bahwa, dorongan utama migrasi menurut Todaro (1978) adalah adanya pertimbangan ekonomi yang rasional, terhadap keuntungan (benefit) dan biaya (cost) baik dalam arti finansial maupun psikologis. Todaro berasumsi bahwa, ada dua harapan yang mendorong mengapa
seseorang
berpindah.
Petama,
seseorang
mengharapkan
(expecting) akan mendapatkan salah satu dari sekian jenis pekerjaan yang ada di kota, meskipun tingkat pengangguran di kota terus bertambah. Kedua, seseorang berharap akan mendapat penghasilan yang lebih tinggi di kota dibandingkan dengan di daerah asalnya. Besarnya harapan itu
255
diukur dari ; perbedaan upah riil yang terjadi antara di desa dan di kota ; dan harapan bahwa kemungkinan seseorang mendapatkan salah satu jenis pekerjaan di kota akan terpenuhi (Sukirno, 978 : 145) Meskipun teori Todaro ini hampir mendekati harapan untuk dipakai menjelaskan proses migrasi di tingkat individu, namun teori ini hanya tepat diterapkan pada migrasi internal (migrasi desa-kota dalam satu wilayah Propinsi atau antar Propinsi) . Teori ini kurang mampu memberikan penjelasan untuk gejala migrasi internasional, yang menyangkut persoalan pemilihan cara berpindah yang menyangkut hukum keemigrasian antar negara. Model pengambilan keputusan migrasi di tingkat individu yang juga banyak dipakai, adalah teori Economic Human Capital , dan teori New Household Economic yang juga telah disinggung di Bab 2 disertasi ini. Prinsip dasar teori ini dapat dipaparkan kembali sebagai berikut . Sebagai pendekatan mikro ekonomi, teori Economic Human Capital berasumsi bahwa, seseorang akan memutuskan untuk berpindah ke tempat yang lain, adalah untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar di tempat tujuan; dan asumsi seperti ini dianalogikan sebagai tindakan melakukan “investasi” sumber daya manusia. Menurut teori ini, investasi sumber daya manusia sama artinya dengan investasi di bidang usaha yang lain. Jadi, jika seseorang telah memutuskan untuk berpindah ke tempat lain, berarti
256
ia telah mengorbankan sejumlah pendapatan yang “seharusnya” ia terima di tempat asalnya (=Yv), dan akan menjadi ‘opportunity cost’ untuk meraih sejumlah pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan migrasi (=Yw) Disamping ‘opportunity cost’ untuk perpindahan semacam itu, individu tersebut juga mengeluarkan biaya langsung dalam bentuk biaya migrasi. Seluruh biaya tersebut (biaya langsung dan opportunity cost) tadi dianggap sebagai “investasi” dari seseorang migran. Imbalannya adalah, adanya arus pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan, yang dalam hal ini dinyatakan dengan Yw. (Sukirno, 1978 : 146) Teori keputusan berpindah seperti ini kurang memperhatikan pengaruh dari faktor - faktor struktur sosial, pranata sosial (seperti determinan yang mempengaruhi orang berpindah atau tidak berpindah) maupun faktor yang lain seperti perbedaan tingkat upah riil dan biaya hidup di tempat yang baru, serta pengaruh agregat dari lingkungan (keluarga atau kerabat) calon migran. Teori New Household Economic yang telah disinggung di muka, menyatakan bahwa, arus migrasi akan membentuk strategi perekonomian rumah tangga, untuk memaksimalkan pendapatan dan meminimalkan resiko serta menghilangkan tekanan yang berasal dari kegagalan pasar. Teori ini memberikan wawasan baru dalam pendekatan migrasi, bahwa aturan migrasi tidaklah dibuat oleh individu yang terisolir, tetapi oleh
257
sekelompok orang yang saling berhubungan, semacam kerabat atau keluarga, dimana orang-orang itu akan bertindak secara kolektif (Massey,dkk., 1993 : 438) Teori ini sangat kuat menekankan pada aspek ekonomi, dan oleh karena itu aspek non ekonomi kurang mendapat perhatian dalam proses pengambilan keputusan migrasi individual. Oleh karena itu, teori ini belum mampu secara tuntas menjelaskan gejala perpindahan individu, terutama yang menyangkut fungsi simbolik yang kompleks dari pikiran individu (manusia) Teori keputusan migrasi yang bersumber dari perspektif teori psikologi adalah teori “Motivation for Migration ; An Assessment and a Value Expectancy Research Model “, yang diajukan oleh De Jong dan Fawcett (1981). Menurut De Jong dan Fawcett, ada dua konsep penting yang menonjol dari hasil review mereka baik terhadap teori maupun terhadap kajian empirik, yang mendasari pendekatan “motivasi bermigrasi”. Pertama, beberapa motivasi punya kaitan dengan keseimbangan faktor lingkungan dan struktur yang dapat membantu menjelaskan agregasi dari suatu pola mobilitas manusia ; dan kedua, kunci untuk menyatukan ke duanya adalah dengan mengidentifikasi proses lanjutan dari lingkaran rangsangan makro yang diterjemahkan ke dalam relevansi pertimbangan untuk pengambilan keputusan individual. Dengan mengutip pernyataan
258
Mabogunje (1970: 11) dalam analisisnya tentang migrasi desa-kota di negara berkembang; De Jong dan Fawcett menyatakan bahwa, dalam kerangka pendekatan sistem, penjelasan tentang mengapa penduduk berpindah, haruslah kembali pada batasan tentang perbedaan tanggapan perorangan terhadap
rangsangan berpindah
pada drajat integrasi
masyarakat pedesaan -- berkait dengan aktivitas ekonomi nasional. Tentu saja, ide tentang “harapan” atau “aspirasi” menjadi amat sentral untuk di pahami, sebab cara setiap lingkungan dalam memberikan rangsangan kepada setiap orang, tentu berbeda, melalui penyebaran rangsangan kepada setiap individu. Untuk alasan seperti ini, maka variabel-variabel dalam teori migrasi desa-kota menjadi amat kompleks dan krusial. Untuk itu, De Jong dan Fawcett (1981 : 40) kemudian mengajukan tipologi tentang motif-motif untuk berpindah sebagai berikut . (1) motif ekonomi; yakni seseorang akan mengejar mobilitas sosial atau status sosial yang lebih baik di tempat tujuan. Motif semacam ini lebih banyak terjadi pada migrasi penduduk di negara-negara berkembang (perpindahan penduduk golongan muda dari desa untuk menempuh pendidikan tinggi di kota-kota besar), sedang di negara maju, tidak begitu nampak. (2) motif kepuasan tempat tinggal. Motif ini banyak terjadi di kalangan penduduk negara-negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. (3) motif
259
untuk mempertahankan basis sosial ekonomi masyarakat, banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang. (4) motif berkumpul dengan kerabat atau teman. Motif berpindah semacam ini banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang yang memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. (5) motif berpindah untuk mempertahankan gaya hidup. Motif migrasi semacam ini hanya terjadi pada
golongan penduduk yang
memiliki pendapatan atau pensiun yang sangat tinggi di negara maju.
7.4. Posisi Terori Tindakan Voluntaristic dalam Teori Pengambilan Keputusan Migrasi.
Setelah membandingkan teori-teori pengambilan keputusan migrasi menurut perspektif ekonomi, demografi, geografi maupun psikologi, nampaknya teori sosiologi pilihan rasional khususnya teori tindakan “voluntaristic” dari Talcott Parsons, sangat dekat dengan teori Michael P. Todaro; yakni “Expected income model of rural-urban migration” Meskipun demikian, perbedaan utama antara teori Todaro dengan teori Parsons (Voluntaristic Theory of Action) dalam proses pengambilan keputusan untuk berpindah adalah terletak pada; pertama, space migrasi. Dalam hal ini Todaro lebih menekankan pada migrasi internal (migrasi desa-kota dalam satu wilayah propinsi atau antar propinsi dalam satu negara); sedangkan
260
teori Parsons dapat diterapkan migrasi
eksternal
(migrasi
baik untuk migrasi internal maupun
penduduk
antar
negara
yang
dalam
kepustakaan demografi lazim disebut migrasi internasional). Kedua, dalam teorinya, Todaro kurang bahkan tidak menekankan pada proses migrasi, yakni ketika seseorang harus dihadapkan pada berbagai kendala dan tekanan untuk berpindah serta alternatif pilihan cara untuk berpindah dan melakukan pilihan itu, guna memaksimalkan tujuan -- tetapi Todaro lebih menekankan pada “harapan” yang menjadi alasan seseorang untuk berpindah. Bahwa “harapan” itu ia ukur hanya berdasarkan ukuran ekonomi semata, sedang pada teori tindakan “voluntaristic” Parsons, aspek-aspek norma, nilai dan ide lainnya, kondisi yang bersifat situasional serta pilihan cara untuk mencapai tujuan, lebih mendapat penekanan, sehingga teori “Voluntaristic Action” dari Talcott Parsons nampak lebih komprehensif , jika dipakai untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan migrasi sementara ditingkat individu . Sebab bagaimanapun kondisinya, setiap orang tentu menjadi bagian dari sebuah sistem sosial, apakah itu dalam skala mikro (keluarga), kerabat besar (mezzo) atau masyarakat lingkungan makronya yang mau tidak mau akan memberikan pengaruh (sekecil apapun) dalam proses pengambilan keputusan migrasi tersebut .
261
Atas dasar pertimbangan dan alasan ilmiah seperti itu, maka temuan yang tergolong baru dari disertasi ini adalah bahwa, teori “Voluntaristic
Action” dari Talcott Parsons, tidak diragukan lagi dapat
diusulkan menjadi teori yang applicable dalam studi-studi migrasi penduduk sementara - ditingkat individu, baik itu menyangkut isu tentang determinan migrasi, proses migrasi maupun isu tentang dampak migrasi bagi daerah asal. Dengan kata lain, teori Voluntaristic Action sangat “applicable” untuk dipakai menjelaskan atau menganalisis proses pengambilan keputusan migrasi di tingkat individu yang berasal dari paradigma fakta sosial dalam kerangka perspektif teoritik Sosiologi Makro (teori Konsensus ) yang bersumber dari mazhab Durkhemian yang terkenal itu. Jadi, teori Voluntaristic Action yang telah ditransformasikan menjadi “the middle range theory” seperti diuraikan dalam Bab 2 (Tinjauan Pustaka) di muka , dapat diusulkan menjadi pendekatan “baru” yang lebih komprehensif di dalam analisis-analisis Pengambilan Keputusan Migrasi ditingkat individu di luar perspektif teoritik Migration Decision Making Processes yang selama ini sangat lazim dan sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma ekonomi, demografi, geografi dan psikologi.
262
7.5. Implikasi Teoritik Penelitian. Sejalan dengan uraian tersebut di atas maka, tesis utama dari disertasi ini, dapat kiranya ditunjukkan melalui implikasi teoritik hasil temuan empirik, sebagai berikut. Bahwa, fenomena pemilihan sarana bermigrasi baik legal maupun ilegal yang telah dilakukan oleh wanita dari keluarga petani di pedesaan ini -- lebih merupakan strategi “pembebasan diri” dari berbagai tekanan struktural dan kultural yang selama berabadabad telah dikonstruksi oleh masyarakat ke dalam “hegemoni patriarchi” dalam struktur hubungan kekuasaan antara laki-laki dan wanita di pedesaan -- dibandingkan dengan tindakan melawan hukum emigrasi ke luar negeri. Bahwa makna sesungguhnya, dari pemilihan sarana bermigrasi secara legal atau ilegal yang telah dilakukan oleh para TKW asal pedesaan di Jawa Timur ini -- disadari ataupun tidak, lebih merupakan sebuah strategi dari kaum wanita tani dalam studi ini -- untuk mengubah struktur hubungan kekuasaan antara laki-laki dan wanita, melalui “emansipasi wanita” dari pada tindakan sengaja melanggar hukum emigrasi/imigrasi ke luar negeri. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa, disertasi ini dengan jelas menunjukkan telah terjadi “pergeseran struktur hubungan kekuasaan di
263
antara laki-laki dan wanita “ dalam keluarga migran internasional. Bukti empirik yang mendukung pernyataan ini, di antaranya adalah ; (1) mayoritas keputusan bermigrasi ditentukan sendiri oleh migran yang bersangkutan, baik itu TKW kategori legal maupun kategori ilegal seperti ditunjukkan oleh data dalam Tabel 4.22 Bab 4 halaman 151 disertasi ini. (2) Para TKW ini juga tidak menghiraukan atau dengan sengaja telah “melawan” berbagai kekangan struktural dan kultural yang telah dikemas selama berabad-abad ke dalam bentuk konstruksi sosial “hegemoni patriarchi, juga dalam bentuk norma Syari’at (Islam) , adat masyarakat pedesaan dan bahkan Fatwa Haram dari MUI “ yang berusaha membatasinya selama ini, dan (3); adanya bukti berupa munculnya beberapa kasus gugat cerai yang dimulai oleh pihak istri (dalam keluarga migran internasional) sesungguhnya merupakan bukti adanya pergeseran itu. Dengan demikian, implikasi teoritik paling penting dari temuan studi ini sesungguhnya adalah, bahwa hasil studi ini justru telah “mencabar” teori Voluntaristic Action Talcott Parsons. Artinya, “ value , norms, dan other ideas” sebagai sebuah struktur dalam pemikiran Parsons – terbukti tidak mampu lagi membatasi (“mengekang”) ruang gerak wanita dalam pembuatan keputusan penting bagi dirinya. Oleh karena itulah
264
maka, konsep “otoritas lokal terbeli” menjadi temuan penting lainnya dari disertasi ini. Sekecil apapun hasil temuan disertasi ini, tetapi tetap ada harapan bahwa, disertasi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perdebatan teori-teori pengambilan keputusan migrasi di tingkat individu yang berasal dari perspektif sosiologi pada masa yang akan datang.
***