382
BAB 7. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN 7.1. Implikasi Hasil Penelitian 1. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan di Selat Madura terdiri dari : Onj (onjhem), PL (Petik laut), Ny (nyabis), AND (andun), PNG (pangambak), SKK ( sistem kontrak kerja), dan TL ( telasan). Kearifan lokal yang berpotensi dan memenuhi syarat untuk dapat dikembangkan dimasa mendatang dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan (sustainable)
adalah :
Onj (onjhem), PL (Petik laut), Ny (nyabis), AND (andun), PNG (pangambak), dan SKK (sistem kontrak kerja). Hal ini sejalan dengan deklarasi Stockholm Swedia, bahwa Permasalahan environtment atau lingkungan hidup menjadi keniscayaan dunia sejak abad ke XX . Hal ini sebagai wujud kesadaran manusia akan arti pentingnya pemasalahan environtment atau lingkungan hidup sebagaimana telah dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang dihadiri 131 negara pada tahun 1972 di Stocholm Swedia. Dimana pada intinya menyatakan bahwa perlindungan dan perbaikan environtment atau lingkungan,
merupakan permasalahan global untuk menyelamatkan
umat
sehingga
manusia
setiap
Negara
dan
Pemerintah
wajib
memperhatikannya. Selain itu sebagai kearifan lokal yang ada di Selat Madura merupakan
suatu
upaya
untuk
keselarasan
hidup
manusia
dengan
lingkungannya. Hal ini juga selaras dengan penelitian Syafa’at (2005), bahwa Konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan mereka dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya alam yang begitu panjang, masyarakat adat mampu mengembangkan suatu cara untuk mempertahankan hidup dengan menciptakan sistem nilai, pola hidup, sistem hukum dan
383
kelembagaan yang selaras dengan kondisi serta ketersediaan sumberdaya alam
disekitar daerah yang dihuninya. Disamping itu Hasil penelitian ini
merupakan suatu pengembangan serta lebih luas jangkauannya dibandingkan kearifan lokal yang telah ada, seperti kearifan lokal mane’e , sasi, maupun awig-awig
dalam
upaya
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
secara
sustainable sekaligus upaya pelestarian sumberdaya ikan (Grenier, 1998). 2. Model ekonomi rumahtangga nelayan (Fishery Household Economics) yang mengintegrasikan perilaku nelayan juragan dan pendega merupakan model ekonomi rumahtangga pertanian (Agricultural Household Economics). Hal ini merupakan pengembangan dari teori yang dikemukakan Chayanov, bahwa konsep inti dari teori Chayanov dalam menganalisis ekonomi keluarga adalah terjadinya keseimbangan antara konsumen dan buruh dalam keluarga, yaitu ditunjukkan
oleh
rasio
antara
jumlah
anggota
rumahtangga
yang
mengkonsumsi (C) dan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja mendapat gaji/upah (W) dalam keluarga tersebut ( C / W ). Apabila jumlah tanggungan keluarga meningkat, maka rasio C/W akan meningkat juga. Maka upaya untuk menurunkan rasio tersebut, dengan jalan menambah jumlah jam kerja atau hari kerja keluarga yang bekerja mendapatkan gaji/upah, selain itu juga dapat diupayakan dengan menambah jumlah anggota keluarga yang ikut bersama bekerja. Dalam hal ini mengajukan anggota keluarga perempuan tani dalam keluarga tani tersebut ikut bekerja untuk mendapatkan gaji/upah, supaya rasio C / W menurun. Berdampak akan meningkatkan pendapatan dalam rumah tangga petani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga mereka.
Juga
diperkuat Oleh Muhammad. S, (2011) bahwa Sebagian besar permasalahan perikanan (tangkap dan kelautan) adalah sangat komplek, yaitu mencakup dimensi biologi, sosial-politik-ekonomi . Juga
dapat disaksikan, akan sering
terjadi kompleksitas pada skala yang terbatas. Akibatnya, perencanaan
384
pengelolaan sumberdaya perikanan yang hanya didasarkan pada informasi “bio-ekologis” semata, akan bisa gagal, apabila tekanan pada usaha penangkapan tidak terkendali, sebagai akibat adanya kendala “politik dan ekonomi”. Demikian pula kebijakan ekonomi bisa saja mengalami kegagalan, apabila tidak bersamaan dalam hal memperhatikan komponen “bio-ekologis”. Dengan kata lain, bahwa perikanan (tangkap dan kelautan) merupakan sistem dinamik dengan mempunyai banyak komponen
yang saling berinteraksi
antara satu dengan lainnya. (Walter, 1980 dari Charles, 2001) dalam Muhammad, S. (2011). Perilaku produksi ikan, curahan kerja, pendapatan, dan pengeluaran rumahtangga nelayan payang di Selat Madura, sebagai berikut : a. Kegiatan produksi ikan berhubungan dengan ukuran asset kapal, daerah penangkapan ikan, harga BBM, Harga ikan, pendidikan juragan, frekuensi melaut, produktivitas wilayah penangkapan ikan dan kearifan lokal petik laut. Hasil penelitian ini merupakan kritik kepada teori Maximum Sustainable Yield (MSY),dimana dinyatakan bahwa pada saat awalnya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor “biologis” saja, yang biasa disebut sebagai Maximum Sustainable Yield (MSY) atau penangkapan ikan maksimum lestari. Pendekatan ini pada intinya adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksinya (surplus), sehingga bila surplus tersebut ditangkap/dipanen, maka sumberdaya ikan yang ada masih mampu bertahan dan cukup untuk dipanen secara berkelanjutan
(sustainable).
Pada
waktu
penelitian
selanjutnya
pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan dengan berdasarkan konsep MSY banyak mengalami kritikan dari berbagai pihak karena dianggap terlalu sederhana dan tidak memadai. Kritikan yang mendasar antara lain
385
adalah bahwa konsep pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek lain seperti, sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Conrad dan Clark (1987), berpendapat bahwa kelemahan konsep MSY adalah : (1) Konsep MSY bersifat “ tidak stabil”, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja bisa mengarah kepada pengurasan stok ikan (stock depletion). (2) Konsep MSY didasarkan pada konsep keseimbangan (“steady state”) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi “non steady state”. (3) Konsep MSY tidak memperhitungkan nilai “ekonomis” apabila stok ikan tidak dipanen atau “imputed value”. (4) Konsep MSY sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri berbagai ragam jenis atau “multispecies”, dan (5) Konsep MSY mengabaikan aspek ”interdependensi” dari sumberdaya ikan. b. Dalam rumahtangga juragan dan pendega masih tersedia waktu luang cukup besar. Curahan kerja untuk agro industry dan non-perikanan memperoleh dukungan dan keterlibatan angkatan kerja wanita untuk menangani kegiatan non-melaut. Curahan kerja untuk melaut dan jumlah frekuensi melaut. Hasil ini memberikan peluang untuk mencari alternatif mata pencaharian (AMP) dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan sekaligus melestarikan sumberdaya ikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Smith (1983) yang menyatakan bahwa pengendalian secara “ekonomi” adalah penggunaan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian pada upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi tersebut adalah terdiri dari : (1) harga BBM (2) harga ikan, (3) pajak dan biaya izin penangkapan ikan, (Nikijuluw, 2002), (4) pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Smith, 1983), (5) pengembangan prasarana pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan (TPI), (6) pemberian kredit lunak bagi nelayan, (7) peningkatan mutu SDM (keterampilan)
386
nelayan, dan (8) pengembangan konsep agribisnis perikanan (Saragih, 1998), serta (9) pengaturan sistem bagi hasil yang berlaku pada masyarakat perikanan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan nelayan. c. Pendapatan rumahtangga juragan terutama ditentukan oleh produksi melaut, pendidikan
juragan, jumlah ABK, bagian ABK, curahan kerja
pada kegiatan non-perikanan , pendapatan dari bagi hasil dan kearifan lokal andun. Pengaruh perubahan harga ikan dan frekuensi melaut terhadap
penerimaan
nelayan
cukup
rendah.
Fenomena
ini
mengisyaratkan bahwa dalam upaya meningkatkan pendapatannya nelayan cenderung lebih berkecenderungan untuk menguras sumberdaya ikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Charles (2011), bahwa sebagai contoh,
ada permasalahan mendasar
berkenaan dengan kondisi
sumberdaya alam dunia, seperti yang dinyatakan oleh FAO sebagai berikut (Charles, 2001) : bahwa sekitar 35% dari 200 pusat cadangan ikan dunia telah menunjukkan adanya penurunan hasil tangkapan, sekitar 25% pada tahapan sudah mencapai tereksploitasi penuh (“mature”) dan sekitar 31% berada pada tahapan masih perkembangan, hanya sekitar 9% yang berada pada tahapan “mulai” diusahakan untuk dieksploitasi (“underdeveloped level”). Hal ini menunjukkan bahwa hampir 68% “cadangan ikan dunia” telah berada pada tahap tereksploitasi/terkuras penuh dan berlebih (over fishing). Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Granger dan Garcia (1996) adalah bahwa sekitar 44% sudah terindikasi “over-exploited”, sekitar 16% terindikasi “tereksploitasi penuh”, sekitar 6% mengalami “deplesi” dan hampir 3% sumberdaya ikan “mulai pulih”. Hal ini berarti sekitar 69% memerlukan tindakan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang “sangat mendesak”.
387
d. Pendapatan rumahtangga pendega terutama ditentukan oleh bagian ABK, jumlah ABK, pendapatan dari bagi hasil, pendidikan, curahan kerja dalam RT untuk kegiatan non-perikanan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah berkaitan erat dengan semua kegiatan rumahtangga nelayan. Hal ini selaras dengan Undang-Undang Perikanan sebagaimana menurut Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa Pada bagian Ketentuan Umum Undang – Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah semua upaya, termasuk kebijakan dan non-kebijakan,
yang
bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimafaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Mengingat setiap bentuk kebijakan akan berdampak terhadap para pelaku, yaitu rumahtangga nelayan,
maka
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan harus dilakukan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan itu sendiri beserta lingkungannya e.Pengeluaran rumahtangga juragan terutama ditentukan oleh pendapatan RT setelah pajak, angkatan kerja RT, kearifan lokal pangambak, pendidikan, tabungan RT, investasi RT, dan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan RT. Hasil ini menunjukkan adanya interaksi antara perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dengan kondisi masyarakat nelayan yang khas serta ketersediaan sumberdaya perikanan. Hal ini mendukung pendapat yang dikemukakan Nikijuluw (2002), bahwa terdapat kaitan sangat erat antara “ketersediaan” sumberdaya perikanan dengan “perilaku ekonomi rumahtangga” nelayan, sehingga pilihan berbagai kebijakan pemanfaatan bergantung pada kekhususan/kekhasan, situasi, dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pemanfaatan atau pembangunan perikanan. Menurut Nikijuluw (2002), meskipun demikian, setiap pilihan
388
pemanfaatan
beserta
kebijakan
yang
akan
dilakukan
sebaiknya
berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) diterima oleh masyarakat nelayan, (2) dapat diimplimentasikan secara gradual, (3) bersifat fleksibel, (4) dalam
implementasinya didorong oleh efisiensi dan inovasi, (5)
memiliki pengetahuan yang sempurna tentang peraturan dan biaya yang dikeluarkan sebagai akibat untuk mengikuti peraturan dan atau kebijakan tersebut, dan (6) terdapat implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan. f. Pengeluaran rumahtangga pendega terutama ditentukan oleh angkatan kerja RT, pendapatan RT setelah pajak, angkatan kerja perempuan, dan tabungan RT. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam pengeluaran rumahtangga nelayan pendega untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kontribusi angkatan kerja perempuan cukup besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Reniati (1998), yang menunjukkan bahwa peluang suami maupun istri bekerja diluar sektor perikanan ditentukan oleh beberapa hal, yaitu : faktor tingkat pendapatan diluar sektor perikanan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kondisi ekonomi lokal, umur, angkatan kerja keluarga dan jumlah asset. g. Tabungan dalam rumahtangga juragan ternyata jauh lebih tinggi daripada tabungan rumahtangga pendega, sehingga masalah krusial dalam perumusan
kebijakan
peningkatan
kesejahteraan
nelayan
adalah
mengurangi kesenjangan ekonomi yang semakin besar antara juragan dan pendega, dengan jalan memodifikasi system bagi hasil yang lebih adil.
Hal ini sesuai dengan penelitian Aryani (1994) yaitu, bahwa
penerimaan nelayan juragan lebih tinggi daripada penerimaan nelayan pendega, dimana akan terkait juga dengan jumlah tabungan rumahtangga juragan lebih tinggi daripada tabungan rumahtangga pendega/ABK.
389
3. Kearifan lokal yang ada dan dapat
mempengaruhi perilaku rumahtangga
Nelayan payang di Selat Madura adalah : petik laut, onjem, andun dan pangambak.
Untuk Petik Laut berkaitan erat dengan tujuan pengelolaan
perikanan yang mencakup aspek biologi, ekonomi , sosial budaya, hukum dan politik dan itu selaras dengan penelitian Cochrane (2002), yaitu bahwa tujuan dikelolanya
perikanan
antara
lain
tercapainya
“optimalisasi
ekonomi”
pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus terjaga kelestariannya. Menurut Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007), tujuan (goal) umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu “biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial”. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu:(1) untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas(tujuan” biologi”); (2) untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan “ekologi”); (3) untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan “ekonomi”); (4) untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan “sosial”). Sedangkan untuk Onjem sebagai rumah bagi ikan merupakan upaya manusia untuk mempertahankan “stok ikan” sebagaimana fungsi terumbu karang di lautan. Hal ini sejalan dengan penelitian FAO (1995) yang menyatakan bahwa masyarakat perikanan internasional menganggap penting manajemen sumberdaya perikanan seperti yang dimuat dalam “CCRF” (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Pasal 7 CCRF mengenai Manajemen Perikanan diantaranya menyatakan bahwa negara harus mengadopsi pendekatan manajemen sumberdaya perikanan yang tepat berdasarkan pada bukti dan fakta ilmiah yang ada. Selain itu, pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau “memulihkan stok perikanan” di laut pada tingkat
390
kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa merusak lingkungan dan tanpa mengganggu stabilitas ekonomi. Adapun kearifan lokal Andun dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan nelayan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang masih under fishing dan pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Hal ini selaras dengan Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1983 Keputusan ini menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan juga sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No.392 tahun 1999 yang mengatur jalurjalur penangkapan ikan. Sesuai Keputusan Mentri tersebut bahwa jalur perikanan dibagi menjadi 3 jalur,yaitu : jalur I, II dan III. Jalur I dibagi menjadi 2 jalur, yaitu jalur Ia daerah tangkapan “sampai 3 mil” laut, jalur Ib perairan “diluar 3 mil sampai 6 mil” laut, jalur II daerah tangkapannya “diluar 6 mil sampai 12 mil” laut, jalur III perairan diluar jalur II “(12 mil) laut sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)”. Dengan penetapan jalur ini maka Propinsi memiliki kewenangan mengelola kekayaan laut sejauh “12 mil” laut, sedangkan Kabupaten/Kota 1/3 dari kewenangan Propinsi , yaitu sejauh “4 mil” laut sesuai amanat dalam pasal 18 Undang-undang No.32 tahun 2004. Sedangkan Kearifan lokal Pangambak merupakan suatu lembaga pemasaran ikan informal yang ada sejak lama pada masyarakat nelayan dan dirasakan sebagai lembaga informal yang mampu mengatasi persoalan nelayan. Hal ini sejalan dengan penelitian
Firth (1946) dalam Kusnadi (2005)., bahwa
pangambak selain menyediakan pinjaman modal usaha kepada para nelayan, tugas utama pedagang perantara (pangamba’) adalah menyelenggarakan kegiatan pasar perikanan secara terus menerus agar ikan tetap tersedia untuk konsumen
dan
menstabilkan/menyelamatkan
harga
ikan
ketika
hasil
tangkapan ikan nelayan sedikit (musim paceklik)atau berlimpah (musim ikan). Pedagang Perantara
yang menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan
nelayan Madura disebut pangamba’ (Jordan dan Niehof, 1982).
391
Oleh
karena
itu
perlu
mengupayakan implementasinya
diupayakan
payung
hukum
untuk
dalam rangka pemberdayaan masyarakat
nelayan Selat Madura untuk mengelola sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan serta bisa diangkat sebagai kekayaan nasional
7.2.
Implikasi Kebijakan (Policy) Kebijakan (Policy) peningkatan pendapatan nelayan payang dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat madura secara optimal dan sustainable (berkelanjutan) terdiri dari : (1) Peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan payang dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan Selat madura diupayakan dengan cara mengembangkan Alternatif Mata Pencaharian (AMP) nelayan melalui kegiatan pada agroindustri perikanan dan non perikanan, juga memperbaiki perundangan dan peraturan daerah tentang sistem Bagi Hasil berdasarkan kelembagaan dan kearifan lokal yang ada (sistem kontrak kerja, Pangambak). (2) Peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan payang dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan under fishing dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut, merupakan Policy (kebijakan) kombinasi dari beberapa kebijakan seperti : kebijakan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), kebijakan pemberian kredit lunak, kebijakan teknologi ramah lingkungan, kebijakan kesempatan dan peluang kerja non perikanan, kebijakan nelayan andun, kebijakan perluasan
jangkauan
daerah
penangkapan
ikan,
kebijakan
peningkatan aset kapal (ukuran kapal, alat tangkap dan mesin kapal yang lebih modern), dan kebijakan peningkatan fasilitas pelabuhan perikanan (TPI,
Transportasi,
Perbengkelan
dll).
Dilain
pihak
392
diperlukan upaya pemerintah untuk membatasi ijin operasi kapal asing dan medorong nelayan nasional untuk bisa beroperasi dengan modernisasi armada penangkapan ikan nasional. (3) Peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan payang dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan jangkauan 60-200 mil laut dengan kebijakan pengembangan teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan, juga kebijakan pengaturan tentang sistem penetapan upah minimum bagi ABK. (4) Peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan payang dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan jangkauan 30-60 mil laut dengan kebijakan pengembangan teknologi rumpon (Onjhem) dan kebijakan pembuatan terumbu karang buatan serta kebijakan transplantasi karang yang dapat melestarikan lingkungan, sekaligus menjadi
rumah
ikan
yang
akan
bisa
dimanfaatkan
secara
berkelanjutan (sustainble). (5) Peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan payang dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan jangkauan 0-30 mil laut dengan kebijakan pengembangan teknologi KJA (Karamba Jaring Apung) untuk jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, tuna yellow fin, bandeng, rumput laut dan kebijakan ekowisata pantai dengan pemanfaatan kearifan lokal petik laut , sebagai even tahunan untuk menarik wisatawan domestik dan asing. Sekaligus kebijakan untuk kesempatan kerja baru bagi rumahtangga nelayan payang di sektor pariwisata seperti : souvenir, penginapan, persewaan perahu, pemancingan, kuliner, transportasi dll. (6) Perlu diupayakan kebijakan nelayan membuat terumbu karang buatan (TKB) berbentuk lonceng untuk kepentingan pemulihan terumbu
393
karang yang telah rusak dan sebagai rumah ikan sebagai wujud kepedulian nelayan terhadap lingkungan dan kelestarian alam secara berkelanjutan juga sebagai restocking bagi ikan. (7) Pemda (Pemerintah Daerah) Kota/Kabupaten Probolinggo dengan kebijakan OTODA (Otonomi Daerah) berpeluang untuk merumuskan kebijakan dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang pembangunan kawasan pesisir Selat Madura sekaligus pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Madura secara sustainble berdasarkan wilayah pemanfaatan sumberdaya perikanan secara terpadu dengan menumbuh kembangkan kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan.