BAB II DASAR TEORI
2.1 Data Jumlah Penduduk untuk Perencanaan Penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan di suatu negara, khususnya dalam hal perencanaan. Dapat dikatakan bahwa aspek kependudukan merupakan unsur yang sangat diutamakan karena perencanaan memang ditujukan untuk dan oleh penduduk itu sendiri. Perkembangan suatu wilayah perencanaan sangat tergantung dari penduduk wilayah itu sendiri. Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi yaitu jumlah penduduk. Karena itu dalam suatu perencanaan sangat dibutuhkan data jumlah penduduk di wilayah tersebut. Namun, data jumlah penduduk yang hanya bersifat tekstual saja belum cukup untuk suatu perencanaan karena itu penting juga diketahui informasi distribusi kepadatan penduduknya yang bersifat spasial.
Di Indonesia proses pengumpulan data jumlah penduduk masih dilakukan dengan cara sederhana yaitu melalui Sensus Penduduk. Sensus Penduduk ini dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 tahun sekali. Data jumlah penduduk diperoleh melalui registrasi, yang meliputi jumlah penduduk pada sensus sebelumnya ditambah dengan data kelahiran dan migrasi masuk,dan dikurang dengan data kematian dan migrasi keluar. Dengan metode registrasi yang seperti ini, data yang diperoleh tentu saja tidak akurat, karena masih banyak penduduk yang jarang sekali melapor bila ada kelahiran maupun kematian. Selain itu, mengingat Kota Bandung merupakan salah satu kota tujuan pelajar, tentu banyak sekali penduduk datangan yang masuk maupun keluar tanpa melakukan registrasi terlebih dahulu. Hal inilah yang menyebabkan angka yang dilaporkan ke BPS jauh lebih rendah dengan keadaan sebenarnya.
-7-
2.2 Penentuan Kepadatan Penduduk Dalam penginderaan jauh, yang dijadikan objek biasanya merupakan objek yang berukuran besar. Penduduk merupakan objek yang terlalu kecil apabila ingin dilihat dari citra penginderaan jauh. Karena itu dalam penelitian ini pola distribusi kepadatan penduduk diidentifikasi dengan menggunakan tipe lahan hunian.
2.2.1
Metode Land Use Density
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu merode land use density. Landuse yang dimaksud disini yaitu landuse habitation (lahan hunian). Pada metode ini, penentuan kepadatan penduduk diperoleh dari jenis cakupan lahan. Metode pendekatannya yaitu penyajian informasi kepadatan penduduk yang diwakili oleh perbedaan jenis cakupan lahannya, khususnya lahan hunian (Min,Lu An, 2002). Model matematika yang dijadikan pendekatan yaitu: n
P = ∑ ( Ai Di )
(2-1)
i =1
Dimana: P = Jumlah penduduk total untuk daerah penelitian. Ai= Luas dari tiap tipe penggunaan lahan dalam hal ini permukiman. Di= kepadatan penduduk dari tiap tipe permukiman. Dengan menggunakan model matematika di atas, maka perhitungan dapat dilakukan melalui prosedur berikut:
Data citra satelit Quickbird yang didapat dikoreksi terlebih dahulu, kemudian citra yang telah dikoreksi di-overlay dengan peta batas administrasi untuk kemudian dilakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian.
Dari citra yang telah terkoreksi dan telah dipotong, dilakukan klasifikasi tipe lahan hunian. Kemudian dilakukan digitasi on screen pada citra yang diidentifikasi sebagai permukiman.
Dari hasil digitasi lahan hunian dihitung luas masing-masing tipe permukiman. Berdasarkan model matematik di atas maka dengan mengalikan luas area tipe lahan hunian dengan kepadatan penduduk tipe
-8-
permukiman yang sama akan diperoleh jumlah penduduk untuk tipe permukiman tersebut.
Dengan menjumlahkan semua jumlah penduduk tiap tipe permukiman, maka diperoleh jumlah penduduk keseluruhan dari daerah penelitian.
2.4.2
Penerapan prinsip kuadrat terkecil terhadap metode land use density untuk menentukan kepadatan penduduk
Penentuan kepadatan penduduk dengan menggunakan prinsip kuadrat terkecil pada metode land use density akan dijelaskan sebagai berikut. Misalkan dipilih sebanyak j = 1,2,.....m wilayah penelitian (Rw atau Rt) dengan total jumlah penduduk untuk wilayah penelitian diketahui (Pj). Kemudian terdapat sebanyak i = 1,2,.....n tipe perumahan dengan kepadatan penduduk untuk masing-masing tipe adalah Di dan luas masing-masing tipe adalah Ai. Maka persamaannya yaitu: n
Pj = ∑ ( A ji Di )
(2-2)
i =1
Apabila diuraikan: P1
= A11D1 + A12D2 + ..... + A1nDn
P2
= A21D1 + A22D2 + ..... + A2nDn
.... Pm
....
....
.....
......
= Am1D1 + Am2D2 + ..... + AmnDn
Apabila mode matematik diatas diuraikan dalam bentuk persamaan matriks, maka persamaan matriksnya adalah:
P = A.D
(2-3)
Yang akan dicari dalam penelitian ini yaitu nilai dari kepadatan penduduk yaitu matriks D. Agar prinsip kuadrat terkecil dapat digunakan maka jumlah wilayah penelitian harus lebih banyak daripada jumlah klasifikasi tipe permukiman (m>n). Dengan menggunakan prinsip kuadrat terkecil untuk mendapatkan nilai terbaik dengan kesalahan seminimum mungkin, maka matriks D dapat dihitung nilainya.
-9-
Persamaannya yaitu:
[
]
−1
D = AT . A . AT .P
(2-4)
Persamaan diatas merupakan persamaan matriks untuk metode land use density dengan prinsip kuadrat terkecil dengan tidak menggunakan analisis pembobotan.
2.4.3
Metode Pembobotan
Dalam penelitian ini digunakan pembobotan dalam perhitungan kepadatan penduduk. Apabila persamaan diatas dilengkapi dengan pembobotan maka akan menjadi sebagai berikut:
[
]
−1
Dbobot = AT .W . A . AT .W .P
(2-5)
Dengan Matriks W sebagai matriks bobot.
Secara umum matriks bobot berfungsi untuk melindungi kualitas hasil perhitungan dalam hal ini matriks D. Apabila dalam perhitungan ada data yang kualitasnya buruk, maka dengan adanya matriks bobot (matriks W) data tersebut akan di- block atau di- reduce.
2.5
Klasifikasi Daerah Penelitian
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, yaitu bahwa dalam penginderaan jauh, objek penduduk terlalu kecil sehingga tidak dapat tampak dari citra satelit. Pola distribusi penduduk hanya dapat diperkirakan dari pola permukiman. Pada penelitian
ini,
distribusi
penduduk
akan
dicoba
diidentifikasi
dengan
menggunakan pola permukiman yang tampak pada citra.
Dalam penelitian ini, daerah yang tampak pada citra didefinisikan menjadi 2 macam daerah, yaitu:
- 10 -
1. Daerah Non permukiman Pada penelitian ini, daerah non permukiman dibatasi hanya pada daerah yang memiliki bangunan, bukan daerah kosong yang peruntukannya bukan sebagai permukiman. Sehingga klasifikasi daerah non permukiman bisa dilakukan berdasarkan fungsi bangunan tersebut, yaitu:
Daerah dengan bangunan gedungnya untuk fungsi keagamaan (masjid, gereja, pura, wihara, kelenteng)
Daerah dengan bangunan gedungnya untuk fungsi usaha (perkantoran, perdagangan, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal)
Daerah dengan bangunan gedungnya untuk fungsi sosial dan budaya (pendidikan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum)
Daerah dengan bangunan gedungnya untuk fungsi khusus (instalasi pertahanan dan keamanan, reaktor nuklir, dan bangunan sejenisnya)
2. Daerah permukiman Suatu daerah dapat dikatakan daerah permukiman apabila daerah tersebut terdapat suatu kawasan perumahan. Sedangkan kawasan perumahan terbentuk dari satuan terkecil yang disebut rumah. Suatu bangunan dapat dikatakan rumah apabila:
Merupakan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.
Merupakan tempat tinggal yang permanen.
Bukan merupakan tempat bekerja seperti kantor, pasar, pabrik, dan sejenisnya.
Bukan merupakan tempat penginapan seperti losmen, hotel, dan sejenisnya karena tidak mendukung fungsi rumah sebagai sarana pembinaan keluarga.
Bukan merupakan tempat yang mendukung kegiatan sosial seperti sekolah, fasilitas ibadah, rumah sakit dan sejenisnya.
- 11 -
Mengacu pada pembagian tipe lahan hunian (perumahan) berdasarkan pola yang tampak pada citra oleh Farid, M (2004), terdapat 2 (dua) tipe perumahan yakni:
Perumahan teratur : perumahan yang direncanakan dengan baik terlebih dahulu, dibangun dengan pola yang baik dan teratur rapi serta memiliki prasarana, utilitas dan fasilitas yang cukup dan baik.
Perumahan tidak teratur : adalah perumahan yang berkembang tanpa direncanakan terlebih dahulu. Polanya tidak teratur serta prasarana, utilitas dan fasilitasnya yang tidak mencukupi atau memenuhi sayarat baik jumlah maupun kualitasnya.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan pola yang tampak pada citra, perumahan teratur dan perumahan tidak teratur dibagi lagi menjadi beberapa tipe perumahan. Mengacu pada pembagian tipe perumahan berdasarkan kelas oleh Deonald (2007), terdapat beberapa kelas perumahan yakni:
Rumah mewah. Memiliki luas kapling sekitar 600m2 – 2000m2. Bila ditinjau dari luas kaplingnya rumah - rumah mewah memiliki luas bangunan dan kapling yang besar. Memiliki pola yang teratur.
Rumah Menengah. Luas kapling sekitar 200m2 – 600m2. Dilihat dari ukuran kapling dan bangunannya, ukuran jenis rumah ini lebih kecil dari ukuran rumah mewah. Memiliki pola yang teratur.
Rumah Sederhana. Luas kapling sekitar 54m2 – 200m2. Memiliki pola yang teratur.
Rumah kampung. Polanya tidak teratur, fisik bangunannya terbuat dari bahan yang sifatnya tahan lama seperti semen, kayu, atau gabungan semen dan kayu. Lokasinya bisanya berada di pusat kota.
Rumah liar. Polanya tidak teratur, bahan bangunannya bersifat semi atau tidak tahan lama, seperti kayu, kardus. Perumahan ini banyak ditemui di pinggir-pinggir sungai, pinggir rel kereta api, di sekitar pasar, dll.
- 12 -