BAB 5 THE LAST WORD IS YOUR NAME By. Edward William White
Ada tulisan singkat yang menurutku entahlah. Tak ada kesan sedikit pun setelah membacanya. Setelah itu aku menulis kisah singkat tentang hidupku. Terutama semua kenanganku saat bersamamu. Ya Tuhan, luar biasa sekali yang kudapatkan. Aku seperti dipaksa memasuki gorong-gorong kata dengan ribuan rasa. Semua part yang terlintas menghabiskan puluhan bahkan ratusan halaman dan tak pernah cukup.
FEBRUARY
Kau memperkenalkan dirimu dengan nama Embun. Nama yang jarang kudengar. Tentu saja aku menanyakankan ulang namamu untuk memastikan telingaku tidak salah dengar. Kamu hanya mengganggukkan kepalamu dan menulis nama lengkapmu di sebuah kertas notes. Embun Suci Nirwana. Jujur baru kali ini aku mempermasalahkan nama seseorang. Namamu tentunya. Sekilas kucari koherensi namamu dengan wajahmu. Matamu bulat besar bersinar seperti kelereng yang muncul dari sebuah kerang. Hidungmu kecil mancung sedikit menekuk ke bawah. Bibirmu kecil merah dan membuatku berdesir saat kamu tersenyum. Pipimu seperti pusaran air dengan cekungan kembar. Intinya, aku belum menemukan arti embun di wajahmu. Aku bilang padamu, namaku Surya Peramal Mendung. Tentu saja kamu tertawa. Kamu malah menyingkatnya SUPERMEN. Sama halnya saat pertama kali kudengar kamu menyebutkan namamu. Dari sebuah nama kita saling cerita. Aku baru menyadari mengapa setelah kita pertama kali diperkenalkan dengan bumi ini, orang tua kita disibukkan mencari nama. Nama adalah awal kita mengenal diri kita. 2
FEBRUARY
Kamu suka sekali makan coklat. Setiap kali melihat coklat dipajang di etalase toko di awal February, kamu menyempatkan diri memperhatikannya. Saat kutunjukkan satu untukmu dan akan membelinya, kamu menolaknya. Gadis yang aneh. Kamu bilang, “Di satu gigitan coklat ada kebahagian. Tapi bersamamu, aku sudah bahagia tanpa harus menggigitnya.” Setelah itu kamu tersenyum lalu menggandeng tanganku menginggalkan toko itu. Ada perasaan sejuk mengalir lalu mengisi darah ini dengan rasa yang tak terjelaskan. Mungkin karena namamu Embun, hingga tanganmu sesejuk ini. Kita seakan dibawa menuju matahari tenggelam dan merangkumnya dalam sebuah cerita. Kamu memberiku puisi-puisi indah. Aku bukan orang yang pandai menulis puisi. Apalagi diksi-diksi dalam puisi. Istilah diksi saja baru kuketahui saat membaca tulisanmu. Kalimat yang indah tidak harus berdiksi rumit, bagiku kalimat yang indah adalah kalimat yang ada namamu. Entah itu hanya ucapan selamat tinggal, asal ada namamu, aku pasti berharap ingin tahu. Aku hanya garis-garis Terkadang menjadi kata di atas kertas Terkadang menjadi retak di atas tanah 3
FEBRUARY
Terkadang menjadi keriput di wajah tua Tapi di tanganmu, aku adalah takdirmu EMBUN
Kau memelukku dari belakang dan sekali lagi memberikan selembar puisi untukku. Aku hanya bisa tersenyum. Sejak pertama mengenalmu, aku belum pernah memberimu apa-apa. Bahkan nama yang kuperkenalkan padamu juga asal keluar dari bibirku. “Bagus tidak?” Sekali lagi bola mata bundar dan senyum yang melengkung di bibirmu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Kamu melingkarkan tanganmu di pinggangku lalu berbisik lirih seperti sesosok malaikat meninabobokan raksasa, “Aku tidak meminta menjadi yang terakhir bagimu, Surya. Tapi yakinlah, aku selalu menganggapmu yang terakhir bagiku. Kamu terlalu kejam menggantungkanku. Kapan kamu akan nembak aku? Masa juga cewek yang nembak duluan. Coba buatkan aku puisi.”
4
FEBRUARY
Kau benar, Embun. Hubungan kita apa? Aku hanya mengikutimu dan menjadi bayanganmu tanpa memberimu kejelasan. Bagiku membaca semua tulisanmu sudah cukup. Aku selalu suka membaca kata terakhir di setiap selembar kertas yang kau berikan. Ya. Namamu. EMBUN. Kamu tidak tahu, Embun. Mengapa aku tidak pernah menulis puisi untukmu. Satu-satunya puisi yang bisa kutulis hanyalah dari darah. Malam itu semua berbalik. Biasanya aku selalu menunggu kata terakhir di sobekan kertas adalah namamu. Saat sekuntum mawar menancap di jendela kamarku, aku bukan lagi Surya. Aku adalah malam gelap yang tak lagi mengenal cahaya, apalagi siapa. Mawar itu terjatuh dari genggaman tanganku saat kulihat kata terakhir di sobekan kertas itu adalah namamu. Dadaku terasa sesak dan jantungku berburu irama. Aku tak pernah ingin menembakmu. Aku hanya ingin bersamamu. Mawar yang berisi order kematianmu ini telah diberikan padaku. Kamu telah membuat permintaan yang salah. Malam itu juga aku menyelinap ke kamarmu seperti malaikat kematian siap mencabut nyawamu. Kulihat seorang Embun yang bisanya bermata bundar, tertidur dengan senyum masih merekah di bibirnya. 5
FEBRUARY
Aku tidak bisa melakukannya. Tangan ini selalu bergetar hebat untuk melakukan tugasku. Tanganku hanya bisa membelai rambutmu, lalu menyeka rambut yang sebagian menutupi wajahmu. Kukecup keningmu mesra seolah itu adalah puisi terakhir yang mungkin kubacakan untukmu. Satu-satunya puisi yang bisa kutulis hanyalah dari darah. Aku bukan pujangga. Aku hanya pembunuh bayaran yang kebetulan melintasi sekilas hidupmu sebelum mengakhirnya. “Embun,” bisikku lembut mengagetkanmu. “Surya? Kau….” Kamu terbangun dan buruburu jari telunjukku menempel di bibirmu agar kau tak bertanya apa-apa. “Embun, kau pernah memintaku nembak kamu, kan? Kau pernah memintaku menulis puisi untukmu, kan? Sekarang aku akan penuhi permintaanmu walau terpaksa. Aku tidak bisa berpuisi dengan kata-kata kecuali dengan darah. Aku hanyalah malaikat kematian, Embun. Bukan Surya seperti yang kau kenal. Dan malam ini aku datang kepadamu bukan sebagai orang yang siap mendampingimu. Maafkan aku jika hanya memberimu saat singkat dengan akhir yang tak menyenangkan. Apakah kau masih ingin mendengar puisiku?” 6
FEBRUARY
Beberapa tetes airmata mulai jatuh ke pipimu. Awalnya aku mengira kau akan berteriak menentang takdir kematianmu. Awalnya aku mengira kau akan menamparku dengan semua kebohongan yang selama ini kusembunyikan. Tapi kau malah memelukku erat dengan bisikan lembut, “Tidak ada akhir yang indah selain diakhiri oleh orang yang sangat dicintai, Surya. Cium aku dengan kematian lembutmu. Aku ingin mendengar puisimu.” Aku menatap mata bundarnya yang indah. Ada sedikit desah yang keluar dari hembusan nafaskumengatur semua ritme kebenaran ini. aku tahu ini takkan mudah.
Kita adalah sebuah huruf capital dan sebuah titik Kaki-kaki menyusuri jalan rumah tua Tersesat dalam ribuan kalimat Kita tetap saja sebuah huruf capital dan sebuah titik Gonggongan anjing di tepi jalanan
7
FEBRUARY
Mengolok nestapa pengemis cinta Kita masih saja sebuah huruf capital dan sebuah titik Tak peduli huruf apa yang kau gunakan untuk mengawali katamu Aku selalu menanti sebagai titik akhir perjalananmu
Letusan kecil di jantungmu cukup mengantar tidur panjangmu untuk selamanya. Aku sudah menjadi titik akhir perjalanan seorang Embun. Embun yang menetes di daun yang salah. Kupandangi wajahmu yang terlelap damai untuk selamanya. Dengan ciuman kecil di bibirmu. Kau akan selalu menjadi Embun bagiku. Satusatunya kesalahan hanyalah, the last word is your name. CATATAN KECIL MALAIKAT MAUT Kembali kubaca lagi tulisan singkat itu. Kubaca sekali lagi dan kudapat sebuah kisah di sana yang mungkin sederhana, tapi mampu membuatku belajar. “Every single person on the planet has a story. Don’t judge people before you truly know them. The truth might just surprise you.” 8