BAB 5 Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan Sebagai simpulan, penulis menarik beberapa simpulan kecil yang berasal dari penelitian yang sudah dilakukan penulis pada bab 4 mengenai hubungan antara fashion Jepang dan pola hidup konsumerisme di Indonesia. Simpulannya adalah sebagai berikut. Pelaku fashion Jepang di Indonesia rata- rata berjenis kelamin wanita. Hal ini terlihat dari jumlah responden, di mana dari 62 responden, yang mengaku berjenis kelamin wanita sebanyak 49 orang, sedangkan pria sejumlah 13 orang. Fashion Jepang di Indonesia, khususnya di komunitas yang diteliti penulis, populer di kalangan anak muda usia 15 hingga 20 tahun, dengan responden sebanyak 29 orang, dan di kalangan mahasiswa, dengan 30 orang responden. Jenis fashion Jepang yang populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah Cosplay, yang dipilih 52 orang responden. Mengenai pendapatan, usia, dan pekerjaan, dari 62 orang responden, tercatat 30 orang menerima pendapat per bulannya dari orang tua, dengan 21 orang responden merupakan mahasiswa. Dalam 30 orang tersebut, 18 orang di antaranya memperoleh pendapatan antara Rp 500,000 hingga Rp 1,000,000 per bulan. Sebanyak 42 responden mengaku mengetahui fashion Jepang pertama kali dari anime, manga, dan game Jepang, yang menurut Suyanto (2013) merupakan salah satu faktor pemicu tindakan Konsumtif Sinergistik. Di Indonesia, terdapat hubungan antara fashion Jepang dan pola hidup konsumerisme. Hal ini terlihat dari beberapa jawaban responden dan dibandingkan dengan teori pada bab 2. Terdapat jawaban 23 responden mengenai pendapatan dan pengeluaran mereka yang dialokasikan untuk pembelian benda- benda terkait fashion Jepang setiap bulannya. Beberapa di antaranya adalah 2 orang responden yang berpenghasilan maksimal Rp 1,000,000 setiap bulan, namun menghabiskan lebih dari Rp 2,000,000 untuk membeli benda- benda terkait fashion Jepang per bulan. Dan lagi terdapat 1 orang responden yang 55
56
berpenghasilan di bawah Rp 500,000 namun demi membeli perlengkapan fashion Jepang, ia berani mengeluarkan lebih dari Rp 2,000,000 setiap bulannya. Dari 23 orang responden yang terindikasi melakukan pola hidup konsumerisme berdasarkan teori dari Suyanto (2013), 11 di antaranya berpenghasilan Rp 500,000 hingga Rp 1,000,000 setiap bulan. Kemudian, sebanyak 28 responden melakukan pola hidup konsumerisme ditinjau dari frekuensi penggunaan benda- benda terkait fashion Jepang yang mereka beli. Hal ini dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Veblen (1899) dan Stavrakakis (2006) mengenai pergeseran fungsi benda. Mengenai asal barang yang dibeli responden, 24 responden mengatakan mereka membeli benda- benda terkait fashion Jepang melalui agen yang menjual benda- benda impor serta 6 orang membeli menggunakan kartu kredit. Menurut Suyanto (2013), pembelian benda dari luar negeri hanya memanfaatkan fungsi sosial benda tersebut, sedangkan kartu kredit menghasilkan budaya berhutang, di mana keduanya merupakan kegiatan pola hidup konsumerisme. 41 orang responden mengaku membeli dan mengenakan fashion Jepang untuk membuat mereka percaya diri dan bangga. Menurut McGregor (2003) hal ini merupakan gaya hidup konsumerisme, dikarenakan bendabenda dianggap memiliki arti dan membentuk identitas seseorang termasuk menimbulkan kepercayaan diri. Selain itu terdapat jawaban lain yang dipilih reponden lain, yang mengindikasikan sikap konsumerisme untuk pencitraan dan sosialisasi menurut Suyanto (2013). Kemudian 53 orang responden mengaku tidak puas dengan apa yang telah mereka miliki dan ingin terus menambah benda- benda fashion Jepang miliknya. Alasan 35 orang berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan dengan melihat dan memiliki benda- benda tersebut. McGregor (2003) mengatakan bahwa hal ini merupakan tindakan konsumeris. Dalam karakteristik konsumeris yang ia tulis, pada nomor 3 tertulis bahwa bagi seorang konsumeris kebahagiaan pribadi dan sosial hanya bisa dicapai dengan melakukan konsumsi. Dan apabila dikaitkan dengan karakteristik mengenai seorang konsumeris oleh McGregor (2003) nomor 5, 31 orang responden yang merasa tidak puas dengan apa yang mereka lakukan dengan fashion Jepang saat ini, melakukan pola hidup konsumeris. McGregor (2003) mengatakan bahwa roda ekonomi
57
harus terus berputar, oleh karena itu seseorang harus merasa tidak puas dalam hal kepemilikian, konsumsi, dan penambahan benda. 5.2 Saran Terdapat beberapa hal yang dapat dikembangkan untuk penelitian mengenai fashion dan konsumerisme. Penelitian selanjutnya dapat mencari dan menggunakan teori yang berbeda yang dapat dihubungkan dengan fashion dan juga konsumerisme. Untuk objek penelitian, disarankan agar peneliti dapat melakukan penelitian dengan responden yang lebih banyak. Akan lebih baik apabila peneliti selanjutnya dapat membandingkan antara tingkat pembelian benda terkait fashion Jepang di Indonesia dan di Jepang sendiri terutama dalam komunitas tertentu, misalnya antara komunitas fashion Gothic Lolita yang ada di Jepang dan komunitas serupa yang ada di Indonesia.
58
59