Bab 5 Ringkasan
Seperti kita ketahui bahwa di seluruh dunia terdapat berbagai bahasa yang berbedabeda baik tata bahasa, bunyi, dan hal lainnya. Khususnya dari segi bunyi bahasa, pasti terdapat beberapa fonem yang ada pada sistem bahasa yang satu, namun tidak ada pada sistem bahasa yang lain. Hal inilah yang menyebabkan terjadi penyimpangan bunyi bahasa ketika seseorang mempelajari bahasa kedua yang bukan merupakan bahasa ibu orang tersebut. Penyimpangan ini juga terjadi pada pemelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya beberapa fonem bahasa Jepang pada sistem bahasa Indonesia. Agar bahasa dapat digunakan sebagai alat komunikasi serta dapat memenuhi fungsinya dengan baik, maka dibutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai bunyi bahasa. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendalami dan mengkaji bunyi bahasa adalah fonologi, yaitu ilmu yang mempelajari bunyi suatu bahasa. Ilmu ini tidak hanya sekedar membahas bagaimana perbedaan bunyi bahasa yang satu dengan bahasa lainnya, namun juga membahas bagaimana bunyi ujaran dihasilkan yang ditinjau dari segi artikulatoris serta dari segi yang lain. Jika berbicara mengenai bunyi suatu bahasa, tentu saja erat kaitannya dengan bahasa lisan. Karena dengan bahasa lisan, kita dapat mendengar bunyi bahasa. Walaupun bunyi bahasa tersebut dapat ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan, tetapi untuk dapat ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan, dibutuhkan pembunyian suatu bahasa melalui bahasa lisan.
46
Analisis yang dilakukan penulis berhubungan dengan pelafalan kata dalam bahasa Jepang yang dilakukan oleh responden berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bunyi yang diteliti terdiri dari tiga bunyi bahasa Jepang, yaitu bunyi shi, tsu, dan zu. Bunyi-bunyi ini masih sering salah dilafalkan oleh pemelajar asing, khususnya bangsa Indonesia dengan bahasa ibu bahasa Indonesia. Merupakan hal yang wajar dan sering terjadi bila terjadi pergeseran saat seseorang mempelajari bahasa lain yang asing bagi dirinya. Seperti pergeseran bunyi yang disebabkan adanya perbedaan bunyi antara bahasa yang biasa dipakai oleh orang tersebut dengan bahasa kedua yang dipelajarinya. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena bunyi cenderung dipengaruhi lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud yaitu lingkungan suatu bunyi. Pergeseran tersebut dapat juga terjadi karena alat-alat ucap seseorang tidak mampu dengan sengaja mengucapkan dua bunyi yang benar-benar sama. Seperti pergeseran di antara bunyi [e] dan [ε] atau di antara bunyi [o] dan [ɔ]. Kedua bunyi [e] dan [ε] dapat diucapkan pada vokal e yang terdapat pada kata rela, meja, dan beda sebagai bunyi [e] maupun sebagai bunyi [ε]. Dengan memperhatikan pergeseran-pergeseran seperti itu, maka dapat saja terjadi pergeseran pelafalan bahasa lain dengan melakukan penyesuaian lafal dengan bahasa sendiri, baik disadari maupun tidak disadari. Banyak sekali orang Indonesia yang melafalkan bahasa Jepang dengan tidak sesuai bunyi aslinya. Banyak terjadi penyimpangan bunyi yang disebabkan oleh penyesuaian bunyi yang tidak terdapat dalam sistem bunyi bahasa Indonesia. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menimbulkan masalah pengertian makna maupun kesalahan penulisan kata saat pendiktean. Misalnya bunyi つ き (tsuki) yang memiliki makna “bulan”, dan 47
seharusnya dilafalkan [tsɯki] sering dilafalkan sebagai す き (suki)
yang memiliki
makna “suka”, dan seharusnya dilafalkan [sɯki]. Apabila saat melakukan pendiktean, pendikte salah melakukan suatu kata, maka penulis kata yang didiktekan tentu menuliskannya dengan salah pula. Hal-hal seperti inilah yang dapat menimbulkan kesalahan yang fatal. Hal-hal inilah yang membuat penulis terinspirasi untuk melakukan penelitian ini. Maka penulis meneliti sejauh mana kesalahan seperti itu dilakukan oleh pemelajar bahasa Jepang. Yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab kesalahan pengucapan bunyi shi, tsu, dan zu dalam bahasa Jepang yang diucapkan oleh responden berbahasa ibu bahasa Indonesia. Lebih jauh lagi peneliti meneliti bagaimana dan mengapa kesalahan pengucapan tersebut terjadi. Penulis memilih responden yang diambil dari mahasiswa semester delapan tahun 2008 jurusan sastra Jepang Universitas Bina Nusantara. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis kesalahan pengucapan bunyi し (shi), つ (tsu), dan ず/づ (zu) dalam bahasa Jepang, yaitu lebih tepatnya mengetahui bunyi apa saja di antara bunyi し (shi), つ (tsu), dan ず/づ (zu) dalam bahasa Jepang yang masih sering dilafalkan secara tidak benar oleh pemelajar berbahasa ibu bahasa Indonesia, serta mengetahui alasan terjadinya kesalahan tersebut yang dilakukan oleh mahasiswa sastra Jepang tingkat akhir Universitas Bina Nusantara, juga memperbaiki kesalahan pengucapan tersebut yang relevan bagi setiap pemelajar bahasa Jepang. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengingatkan para pemelajar 48
bahasa Jepang agar memperhatikan hal ini sebagai hal yang penting dalam mempelajari suatu bahasa serta menghimbau agar pemelajar bahasa Jepang dapat memperbaiki kesalahan yang terjadi. Berdasarkan bunyi-bunyi konsonan bahasa Jepang yang penulis pilih untuk diteliti, yaitu bunyi konsonan [ʃi], [tsɯ], dan [zɯ] atau [dzɯ], dikelompokkan lagi menurut jenis kesalahannya berdasarkan pembagian interferensi bunyi bahasa menurut Weinreich. Dari empat jenis gejala interferensi bunyi bahasa yang diuraikan oleh Weinreich, penulis memperoleh dua gejala interferensi yang terjadi pada responden yang melakukan kesalahan bunyi konsonan [ʃi], [tsɯ], dan [zɯ] atau [dzɯ], yaitu: 1) Pembedaan fonem yang berkekurangan, yang terjadi karena dua bunyi yang berbeda dalam bahasa kedua/ bahasa sasaran (bahasa Jepang) tidak dibedakan dalam bahasa pertama (bahasa Indonesia). Kesalahan yang termasuk dalam kelompok jenis gejala interferensi ini yaitu: a) Kesalahan pelafalan bunyi konsonan [ʃi] menjadi [si] disebabkan karena oleh penutur bahasa Indonesia bunyi [ʃi] dan [si] dianggap sama, sehingga responden menyamaratakan bunyi [ʃi] dan [si]. Keduanya merupakan bunyi desis (frikatif), namun berbeda titik artikulasinya. b) Kesalahan pelafalan bunyi konsonan [tsɯ] menjadi [sɯ] disebabkan karena tidak adanya bunyi konsonan [ts] sistem dalam bahasa Indonesia, maka responden melafalkan bunyi [ts] menjadi bunyi [s] yang lebih mudah diucapkan dan
49
bunyinya mendekati bunyi [ts]. Kedua bunyi ini memiliki titik artikulasi yang sama, yaitu dental-alveolar, tetapi kontak ujung lidah dengan bagian belakang gigi seri atas dan gusi (alveolum) tidak dilakukan pada bunyi [s]. Pada kata-kata yang mengandung bunyi [tsɯ] pada bagian tengah atau akhir kata, responden dapat mengucapkannya dengan benar, disebabkan karena ada awalan bunyi vokal yang memungkinkan mengucapkan bunyi konsonan [t] sebelum bunyi [s] dibunyikan. c) Kesalahan pelafalan bunyi [zɯ] atau [dzɯ] menjadi [sɯ] serta kesalahan pelafalan bunyi [dzɯ] menjadi [zɯ] disebabkan karena tidak adanya bunyi [dz] dalam sistem bunyi bahasa Indonesia, yang menyebabkan responden mengucapkan bunyi lain yang mendekati dan lebih mudah diucapkan, yaitu bunyi [z] yang dilafalkan pada awal kata sebagai bunyi [dz] dan bunyi [s] yang dilafalkan pada tengah atau akhir kata sebagai pengganti bunyi [z].
Alasan kesalahan pengucapan bunyi-bunyi tersebut dikelompokkan dalam gejala interferensi ini karena bagi responden antara bunyi bahasa kedua (bahasa Jepang) dan bunyi yang diucapkan terdapat kemiripan bunyi, sehingga kemiripan tersebut digunakan sebagai akibat dari fonem dalam bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi bahasa Jepang tersebut. Dan kemiripan bunyi tersebut tidak dianggap berbeda dalam bahasa Indonesia.
50
2) Penggantian bunyi, yang terjadi jika terdapat bunyi-bunyi yang tampak sama dalam kedua bahasa, tetapi dalam kenyataannya dilafalkan dengan cara yang berbeda. Kesalahan yang termasuk dalam gejala interferensi ini yaitu: a) Kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] menjadi [tʃɯ] yang terjadi karena saat membunyikan bunyi [ts], responden menganggap bunyi [ts] dan [tʃ] adalah bunyi yang tampak sama sehingga mereka mengucapkan bunyi [tʃ] sebagai pengganti bunyi yang mendekati bunyi [ts]. Kesalahan ini dilakukan karena adanya pergeseran posisi lidah pada titik artikulasi yang bukan seharusnya. Yang seharusnya lidah bergeser ke arah gusi (alveolum), tetapi responden memposisikan lidah yang lebih bergeser ke arah langit-langit keras (palatum). b) Kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] menjadi [zɯ] yang hanya terjadi pada satu orang responden. Maka penulis menarik dua buah kesimpulan penyebab terjadinya kesalahan ini, yaitu: 1. Terjadi kesalahan pembacaan teks saat perekaman pengambilan suara dilakukan. Kesalahan pembacaan ini dapat saja terjadi, karena aksara つ (tsu) dalam bahasa Jepang jika diberi tanda ( ゛) maka akan menjadi づ (zu). 2. Responden ingin memposisikan lidah seperti saat membunyikan konsonan [s] seperti kesalahan yang banyak dilakukan oleh responden yang lain, tetapi saat posisi lidah dalam membentuk bunyi [s] telah tercapai, responden
51
melakukan ledakan udara yang disertai desahan. Ledakan udara ini tidak perlu dilakukan pada bunyi [s]. Kesalahan ini juga terjadi akibat penempatan lidah yang seharusnya terjadi kontak dengan gigi seri dan gusi (dental-alveolum) serta pelepasan udara yang tidak disertai ledakan udara tidak dilakukan oleh responden. Sehingga yang dihasilkan adalah bunyi [z].
Alasan kesalahan pengucapan bunyi-bunyi tersebut dikelompokkan dalam gejala interferensi ini karena bunyi yang diucapkan oleh responden benar-benar berbeda dari bunyi seharusnya, tetapi karena dalam bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi yang seharusnya, maka responden mencari bunyi terdekat untuk pengganti bunyi tersebut. Namun daripada itu, responden mengetahui bahwa bunyi yang diucapkannya sebenarnya merupakan bunyi yang berbeda dari bunyi aslinya. Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah: 1) Distribusi konsonan bahasa Jepang yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia seringkali menyulitkan responden dalam melafalkan konsonan-konsonan tersebut. 2) Kesalahan dapat juga ditimbulkan oleh kesalahan pembacaan kata yang dilakukan responden saat membaca bahasa Jepang dengan aksara-aksara yang tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia. 3) Dari ketiga bunyi bahasa Jepang yang diteliti, yaitu し (shi), つ (tsu), dan ず/づ (zu), diketahui bahwa ketiga bunyi tersebut masih sering dilafalkan secara salah.
52
4) Kesalahan bunyi-bunyi yang diucapkan responden merupakan bunyi yang mendekati dengan bunyi bahasa Jepang yang tidak ada dalam bahasa Indonesia dan responden melakukan penyesuaian pelafalan. 5) Pada umumnya responden mengucapkan bunyi-bunyi konsonan bahasa Jepang yang tidak terdapat dalam bunyi bahasa Indonesia berdasarkan bunyi yang mereka kenal dari bahasa Indonesia dan melakukan penyamarataan bunyi-bunyi tersebut, sehingga menimbulkan bunyi yang berbeda di telinga orang Jepang. 6) Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh responden dapat menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan ketidakpahaman pendengar akan bunyi yang diucapkan, karena bunyi yang diucapkan menjadi berbeda dan pada beberapa kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
53